Yang Lebih Penting dari Sekadar Baju Baru di Hari Raya

Idul Fitri merupakan salah satu hari yg dimuliakan oleh umat Islam. Orang sering menyebutnya hari raya, persisnya merayakan kemenangan atas hawa nafsu serta menahan lapar dan dahaga selama satu bulan lamanya. Di Tanah Air, perayaan ini juga identik dgn kegembiraan dan pakaian-pakaian baru. Apa sebetulnya esensi hari raya Idul Fitri? 

Syekh Abdul Hamid bin Muhammad bin ‘Aly bin Abdil Qadir Qudsi al-Makki asy-Syafi’i dalam kitabnya Kanzun Najah was Surur mengungkapan:

لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ، إِنَّمَا الْعِيْدُ لِمَنْ طَاعَاتُهُ تَزِيْدُ، وَكُلُّ يَوْمٍ لاَ يُعْصَى فِيْهِ فَهُوَ عِيْدٌ

Artinya, “Bukanlah disebut id bagi orang yg mengenakan (pakaian) baru, sesungguhnya id itu bagi orang yg ketaatannya bertambah, dan setiap hari yg tiada maksiat di dalamnya itulah id” (Abdul Hamid al-Makki asy-Syafi’i, Kanzu an-Najah wa as-Surur [Damaskus: Dar al-Sanabil, 1430 H/2009 M], h. 263).

Ungkapan ini seolah meluruskan orang-orang yg berpikir bahwa hari raya Idul Fitri selalu identik dgn baju baru. Padahal, esensi Idul Fitri ialah ketaatan pada Allah yg semakin bertambah. Sebab, kita telah dilatih selama satu bulan buat berlomba-lomba beramal shalih. Jangan sampai ketika Ramadhan pergi, amal-amal kebaikan itu juga turut lenyap. Yang diharapkan pasca-Ramadhan ialah kebaikan-kebaikan tetap senantiasa ditebarkan, bahkan bila mampu justru semakin bertambah kadarnya.

Lebih lanjut kitab ini menuturkan, ketika umat Islam berkumpul buat melangsungkan shalat Idul Fitri, Allah subhanahu wa ta’ala berkata kepada para malaikat: “Wahai malaikat-malaikat-Ku, apa balasan bagi orang yg telah menyelesaikan pekerjaannya?” Malaikat menjawab, “Wahai Tuhan Kami, yaitu diberikan upahnya”. Kemudian Allah berkata, “Aku bersaksi, wahai Malaikat-Ku, sesungguhnya Aku telah mengampuni mereka semua” (Kanzu an Najah wa as-Surur, h. 264). 

Maksud dari ‘menyelesaikan pekerjaan’ dalam konteks ini ialah pengibaratan umat Islam yg telah menuntaskan puasa Ramadhan. Sehingga mereka layak diberi upah, berupa diampuni dosa-dosanya layaknya baju kotor yg dicuci dgn air yg mengalir.

Adapun asal-muasal disebut id juga disampaikan dalam kitab ini, yaitu:

وّلْيُعْلَمْ،أَنًّ الْعِيْدَ مَأْخُوْذٌ مِنَ الْعَوْدِ فَسُمِّيَ عِيْدًا لِتَكَرُّرِهِ كُلَّ عَامٍ، وَقِيْلَ: لِكَثْرَةِ عَوَائِدِ اللَّهِ تَعَالَى فِيْهِ عَلَى عِبَادِهِ بِفَضْلِهِ الْمَوْفُوْرِ، أَوْ لِأَنَّهُ جَلَّ وَعَلاَ يَعُوْدُ عَلَى خَلْقِهِ بِالسُّرُوْرِ، وَقِيْلَ: لِأَنَّ فِيْهِ عَوَائِدُ الإِحْسَانِ وَفَوَائِدُ الْاِمْتِنَانِ…

“Dan diketahui, bahwa kata id’ diambil dari kata ‘aud (kembali), lalu disebut id sebab berulang-ulang setiap tahun. Dikatakan demikian, sebab banyaknya kembalian (imbalan) Allah ta’ala bagi hambanya dgn keutamaan-keutamaan yg telah tersedia di hari itu. Atau sebab sesunggunnya Allah jalla wa ‘alaa kembali (mengunjungi) makhluk-Nya dgn kebahagiaan. Dikatakan pula, sebab pada hari itu terdapat imbalan-imbalan kebaikan dan beberapa anugerah yg menjadikan bersyukur” (Lihat Kanzun Najah was Surur, h. 265).

 

Baca juga: Tiga Hikmah Pakai Baju Baru di Hari Raya

Berdasarkan penuturan-penuturan yg terdapat dalam kitab ini, sesungguhnya esensi hari raya Idul Fitri itu terletak pada hubungan kita kepada Sang Pencipta, yaitu Allah subhaanahu wa ta’ala. Memang layak disebut sebagai hari raya atau hari kemenangan, sebab umat Islam mendapat imbalan atas amal ibadahnya selama bulan Ramadhan. Namun, yg tak kalah penting, upah yg besar hanya mau diberikan kepada orang yg bekerja dgn keras. Begitu pula ganjaran yg banyak hanya mau diperoleh oleh orang yg banyak beramal kebaikan, serta senantiasa menambah kadar ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Wallahu a’lam.

 

Lilik Iswanti, santri Ma’had Al-Jami’ah al-Aly UIN Malang; peserta kelas menulis keislaman NU Online 2021
 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.