Membahas tentang Perempuan di Kepengurusan PBNU dalam Kajian Ushul Fiqih

Landasan Fiqhiyah

Ada semangat baru dalam kepengurusan PBNU 2022-2027 yg dikomandani KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) kali ini dgn diikutsertakannya para tokoh kaum perempuan NU dalam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Meski sempat mengundang perdebatan sebab partisipasi kaum perempuan ialah suatu hal yg baru dan ‘out of box’ dalam tubuh PBNU selama ini, namun harus diakui bahwa itulah upaya Gus Yahya sebagai pemimpin baru di NU buat me-refresh kepengurusan PBNU serta ijtihad para kiai pimpinan PBNU buat melakukan tajdid di tubuh jam’iyah Nahdlatul Ulama secara umum menjelang 100 tahun umurnya. Sehingga kepengurusan baru bukan sekadar pengurusnya yg berwajah baru, tapi juga semangat serta gelora berjamiyah yg baru. 

Pada umumnya, penentangan keikutsertaan kaum perempuan dalam kepengurusan PBNU muncul dgn melihat dan mempertimbangkan dua sisi. Pertama; mengakomodir kaum perempuan dalam kepengurusan PBNU dianggap melanggar tradisi dan kebiasaan NU yg telah dianggap baik dan mapan.

Kedua; kecurigaan atas pelanggaran atas doktrin fiqih NU tentang ikhtilathur rijal wan nisa’, yakni bercampurnya secara lahiriyah antara kaum laki-laki dan perempuan yg jelas diharamkan dalam hukum empat mazhab fiqih Ahlus Sunnah wal Jamaah, khususnya fiqih Syafi’i yg dipegangi mayoritas warga NU. Padahal bila dikaji lebih dalam, ikhtilath (percampuran) kaum laki-laki dan perempuan tersebut bukanlah bersifat lahiriyah, tapi sekadar pada nama dalam SK kepengurusan PBNU.

Berdasarkan dua alasan tersebut, partisipasi kaum perempuan dalam kepengurusan PBNU dianggap suatu hal yg ‘terlarang’ dalam pandangan fiqih oleh sebagian orang. Minimal dianggap tak patut dan tak elok (khilaful awla) dilakukan oleh organisasi muslim terbesar di dunia sekelas NU yg menjadi pegangan mayoritas umat Islam di Indonesia, di mana fiqih sebagai etika agama maupun etika sosial dijadikan rujukan utama NU. Namun, sebenarnya bagaimanakah landasan dan kajian manhajiyah Aswaja NU dalam memandang persoalan tersebut? 

 

Landasan Ushuliyah

Harus diakui bahwa memasukkan kaum perempuan dalam kepengurusan PBNU ialah hal yg sama sekali baru. Ijtihad tersebut dilandasi pada kebutuhan NU pada ketika ini yg harus mengakomodir perempuan dalam peran-peran publik sekaliber tugas buat mengemban amanat berat menjadi pengurus besar Nahdlatul Ulama. Dan itu dilakukan sebagai bentuk penghargaan NU atas hak-hak kaum perempuan yg selama ini menjadi bagian dari konsen perjuangan NU itu sendiri. 

Sebagai ormas Islam terbesar di dunia, NU sangat perlu buat menampakkan keberpihakan dan pembelaan terhadap hak-hak kaum perempuan pada dunia buat menghilangkan stigma dan stereotip negatif bahwa kaum perempuan di dalam jam’iyah NU hanya dijadikan sebagai ‘konco wingking’ saja.

Sebenarnya perjuangan terhadap pembelaan hak-hak kaum perempuan tersebut sejak awal telah dilakukan NU. Hasilnya, bukan hanya kader-kader Fatayat dan Muslimat yg terbukti punya peran besar dalam dunia publik bahkan politik di mana banyak dari kader tersebut berhasil menjadi kepala daerah dari tingkat kabupaten, gubernur hingga menteri.

Realita banyaknya kaum perempuan NU yg menjadi pengasuh pesantren-pesantren NU dalam menghasilkan kader-kader santri, serta banyaknya para bu nyai di NU yg bertugas buat memimpin jamaah NU juga menjadi bukti lain bahwa kaum perempuan di NU bukan hanya menjadi subordinat kaum laki-laki. Tetapi mereka juga peran besar dalam upaya melakukan transformasi sosial dan budaya serta pemberdayaan terhadap masyarakat secara langsung dan nyata. 

Ada tiga landasan ushuliyah yg dapat diajukan buat melegitimasi atas ijtihad para kiai pemimpin NU buat mengakomodir kaum perempuan di dalam kepengurusan PBNU ketika ini. 

Pertama, landasan manhaj istishab. Secara lughah, istishab berarti menetapi hukum asal. Otoritas manhaji ini digunakan para ulama buat menyikapi realitas persoalan fiqhiyah yg terjadi ketika doktrin teks tak pernah secara tegas menjelaskan secara implisit maupun eksplisit atas hukum larangan ataupun perintahnya.

Dalam arti lain, realitas persoalan fiqhiyah yg terjadi tersebut tak pernah ditentang syari’ah sebab tak ada sama sekali doktrin dalil naqli yg melarangnya, juga tak pernah diperintahkan syari’ah sebab tak ada otoritas teks yg memerintahkan, baik dalam doktrin teks al-Quran maupun Sunnah Rasulullah Saw. 

Dengan demikian buat menyikapi realita persoalan fiqih tersebut, para ulama dituntut buat berijtihad dgn menggunakan logika asal muasal dari hukum syari’ah; bahwa asal dari segala hal yg tak dibicarakan oleh Syari’ di mana otoritas utamanya dipegang langsung oleh Allah melalui doktrin teks al-Quran maupun Rasulullah Saw melalui doktrin as-sunnah ialah boleh, berdasarkan kaidah “al-aslu fil asyya’ al-ibahah” (asal hukum segala hal ialah mubah). 

Harus diakui, partisipasi kaum perempuan dalam kepengurusan keorganisasian seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ialah suatu hal yg baru, di mana otoritas teks al-Quran maupun doktrin as-Sunnah tak pernah membicarakan keharamannya maupun kehalalannya.

Dengan begitu dalam logika hukum asal muassal syari’ah, sikap diamnya syari’ (Allah dan Rasulullah) ini jelas menunjukkan kebolehan. Jika ditentang, pasti syari’ah mau mengharamkannya, dan bila diperintahkan pasti syari’ah mau mewajibkannya. Namun realitanya tak demikian sehingga realita hukum keikutsertaan kaum perempuan dalam kepengurusan PBNU ataupun organisasi lainnya dalam otoritas syariah ialah diperbolehkan. 

Kedua; landasan istishlah atau maslahah mursalah. Otoritas manhaji ini digunakan para ulama berdasarkan logika munasib dalam syari’ah. Munasib ialah otoritas dan doktrin dasar dalam syari’ah yg meletakkan tiga pilar maqashidus syari’ah sebagai tujuan utama; yaitu (1) jalbun naf’i (menarik manfaat), (2) daf’un dharar (menolak mudharat) dan yg (3) raf’ul haraj (menghilangkan kesulitan manusia).

Prinsip jalbun naf’i’ terimplementasikan dalam perintah-perintah syari’ah sebab tak ada satu pun hal yg diperintahkan syari’ah dalam otoritas Islam manapun melainkan pasti di dalamnya ada kemanfaatan bagi umat.

Manakala prinsip daf’ud dharar terejawantah dalam larangan-larangan syari’ah di mana tak ada satu pun larangan dalam syari’ah melainkan pasti ada mudharat dan mafsadah bagi umat.

Pun prinsip raf’ul haraj, merupakan salah satu bentuk moderatisme Islam dalam memberlakuan syari’ah supaya syari’ah sebagai aturan baku dalam agama dapat diaplikasikan dgn baik oleh umat. Sehingga segala hal yg menyulitkan dalam pemberlakuan syari’ah sebab faktor tuntutan keadaan harus diupayakan buat diringankan, berdasarkan kaidah “idza dhaqal amru ittasa’a”. 

Dalam konteks prinsip munasib sebagai tujuan pemberlakuan syari’ah itulah partisipasi kaum perempuan dan para bu nyai dalam kepengurusan PBNU patut dikaji dan dipertimbangkan dgn baik dalam konteks kemanfaatan dan kemudharatannya serta upaya buat menghilangkan kesulitan-kesulitan yg melanda umat.

Dalam aspek kemanfaatan (jalbun naf’i), partisipasi kaum perempuan dalam kepengurusan PBNU ialah satu hal yg positif, baik dan jelas sangat bermanfaat. Sebab kebijakan tersebut bertujuan buat memberikan penghargaan terhadap perjuangan para bu nyai dan kader perempuan di NU yg selama ini telah berhasil dalam melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat, khususnya upaya mereka dalam ‘ngrumat dan ngramut’ jamaah dan santri NU. Baik dalam peran-peran mereka sebagai bunyai di pesantren buat mencetak generasi santri NU, maupun peran-peran mereka sebagai pengasuh pengajian di jamaah Muslimat dan Fatayat NU buat mencetak kader-kader perempuan NU yg berkualitas dalam jamiyah NU. 

Manakala dalam aspek kemudharatan (daf’ud dharar), dapat dipastikan bahwa mengakomodir kaum perempuan di dalam kepengurusan PBNU bukanlah hal yg mudharat dan mafsadah secara nyata, kecuali adanya pandangan negatif beberapa kalangan yg tak siap dalam menerima hal yg baru sehingga hal tersebut dianggap suatu yg tabu.

Namun seiring dgn perjalanan waktu, dapat dipastikan bahwa kemanfaatan besar buat mengakomodir kaum perempuan dalam pengurus besar NU pasti mau menghapus stereotip negatif tersebut. 

Adapun kekhawatiran terjadinya ikhtilath kaum laki-laki dan perempuan juga tak perlu menjadi kekhawatiran yg berlebihan, mengingat NU sebagai organisasinya para kiai pasti mau selalu menjaga prinsip moralitas syariah dan tetap menjunjung tinggi etika fiqih sebagai pijakan amaliyah dan harakahnya dalam mengharamkan adanya ikhtilath lahiriyah tersebut. 

Ketiga; landasan ‘kebutuhan umum’ sebagai manhaj dan dalil syari’ah. Dalam kajian manhaji mazhab Hanafi, celah mencari hukum berdasarkan kebutuhan umum ini diformulasikan dalam kaidah istihsan. Namun dalam kajian mazhab Syafi’i, legislasi hukum Islam yg didasarkan pada kebutuhan umum ini diformulasikan dalam kaidah fiqhiyah “al-hajah al-‘ammah tanzilu manzilatad dharurah”, bahwa kebutuhan umum yg terjadi secara nyata dalam masyarakat, senyampang masih maslahah bagi masyarakat dan sahih dalam pandangan syari’ah dgn tak menghalalkan yg haram, merupakan hal yg baik dan dapat diakomodir dalam legislasi hukum Islam. Sebab kebutuhan umum merupakan bagian dari kondisi kedaruratan dalam syari’ah.

Al-hajah al-‘ammah tersebut dalam analisis para ulama salaf dikategorikan pada tiga tuntutan kondisi;

(1) Tuntutan sosial akibat perubahan zaman. Hal ini seperti dalam kasus tuntutan atas kebutuhan ketersediaan bank konvensional dalam sistem perekonomian modern, sehingga mustahil bank konvensional dalam konteks kekinian diharamkan sebab kebutuhan masyarakat dunia atas kehadiran bank konvensional jelas mengalahkan kajian-kajian tekstual atas keharaman bank yg dipersepsikan sebagai bagian dari praktek riba.

Praktik jual beli online yg sekarang menjadi kebutuhan umum juga merupakan contoh lain dari kategori tuntutan sosial yg pertama ini. 

(2) Tuntutan tradisi akibat perbedaan tempat pemberlakuan syari’ah. Hal ini seperti dalam kasus tuntutan pentingnya mengakomodir tradisi-tradisi lokal di Nusantara seperti selametan serta ritual keagamaan lainnya dalam tradisi masyarakat NU yg tak ditemukan di belahan dunia Islam yg lain.

Sebab bila tradisi tersebut dihilangkan justru mau mengakibatkan kesulitan dan kemudharatan. Itulah sebabnya para ulama NU lebih banyak memilih buat melestarikan tradisi dan budaya tersebut dgn pola modifikasi, konversi maupun asimilasi supaya tradisi tersebut tetap bernilai Islami. 

(3) Tuntutan sosial dan tradisi secara bersamaan.

Pada kategori ketiga inilah ijtihad kiai NU buat mengakomodir kaum perempuan dalam kepengurusan PBNU menemukan urgensinya. Karena tak dapat dipungkiri bahwa modernitas ketika ini telah menuntut adanya peran kaum perempuan lebih luas dalam dunia publik meski tak boleh melupakan peran utamanya dalam dunia domestik.

Dan kondisi ini telah menjadi bagian penting dari tradisi kita di Nusantara puluhan tahun lamanya, terlebih dalam kondisi modern ketika ini. Terbukti, partisipasi kaum perempuan dalam perekonomian nasional justru lebih dominan dibanding kaum laki-laki dgn banyaknya pegawai dan kaum buruh dari kelompok yg dianggap sebagian kalangan hanya sebagai ‘konco wingking’ ini. 

Pun dalam peran-peran sosial masyarakat, tak sedikit ketika ini kaum perempuan yg memiliki kemampuan buat memegang kepemimpinan sosial dan politik dalam masyarakat, entah menjadi lurah, camat hingga bupati.

Terlebih di dalam jamiyah NU, di mana kita secara nyata menemukan realitas bahwa bukan hanya kiai yg ketika ini menjadi pengawal agama dan pemimpin keagamaan masyarakat. Tetapi juga para bu nyai yg menjadi pemimpin bagi masyarakat dan jamaah NU dgn ribuan pengikut, serta kader-kader Muslimat dan Fatayat NU yg ketika ini banyak memegang jabatan publik seperti bupati, gubernur hingga menteri.

Inilah realita yg menuntut NU sebagai ormas dakwah dan fokus buat melakukan pemberdayaan pada masyarakat buat tak lagi memandang remeh terhadap peran kaum perempuan dalam proses transformasi sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Sehingga mengakomodir kaum perempuan, khususnya para bu nyai Nusantara dalam kepengurusan PBNU dgn pertimbangan atas peran penting mereka dalam sosial dan keagamaan dalam jamiyah NU ialah kebutuhan mendesak supaya stereotip negatif atas posisi kaum perempuan dalam kehidupan sosial yg sering kali digambarkan negatif dan bias menjadi hilang.

 

Penutup

Ijtihad para ulama dan para kiai NU dalam persoalan furu’iyah memang bukanlah suatu hal yg memiliki kebenaran mutlak. Sehingga ruang perdebatan pasti mau selalu ada, sebab kebenaran yg sesungguhnya hanya menjadi otoritas Allah SWT. 

Pun dalam persoalan diakomodirnya kaum perempuan dan para bunyai nusantara dalam kepengurusan PBNU periode 2022-2027 ketika ini jelas membuka ruang ikhtilaf. Namun, sebagai santri, kita patut buat menerima dan mengapresiasi ijtihad para pimpinan jamiyah Nahdlatul Ulama tersebut dgn pikiran terbuka dan lapang dada. Bukankah santri harus nderek kiai? 

Terlebih, bila kita bicara tentang otoritas agama, perdebatan apapun dalam fiqhiyah maka keputusan mutlak pemberlakuannya ialah kembali kepada para pemegang otoritas tersebut. Dan otoritas itu kini dipegang oleh para kiai NU yg menjadi bagian dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Di sinilah pentingnya kita sebagai warga NU buat selalu husnuzhan kepada para ulama dan kiai yg menjadi pemimpin kita, sebab mustahil beliau-beliau mengabaikan otoritas fiqih Ahlus Sunnah yg selalu berujar “tasharruful imam ‘ala ar-ra’iyah manuthun bil maslahah”. Maka yakinlah, bahwa ijtihad itu ialah buat kemaslahatan NU dan warga NU. 

KH Abu Yazid AM, Katib Syuriyah PBNU 2022-2027.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.