Membahas tentang Operasi Ganti Kelamin atau Transgender dalam Kajian Fiqih

Beberapa hari belakangan publik heboh dgn pernyataan Dorce Gamalama yg mengaku mau dimakamkan secara perempuan ketika meninggal kelak. Ia menyebutkan dirinya telah memiliki kelamin perempuan, sehingga berpesan supaya kelak dimakamkan secara perempuan. Statemen itu pun viral sehingga mengundang banyak orang berkomentar.

Berkaitan hal ini muncul pertanyaan, menurut fiqih Islam, apakah orang yg telah melakukan operasi berganti alat kelamin berarti status kelaminnya juga otomatis berubah? 

Sudah sangat maklum bahwa orang yg dilahirkan sebagai laki-laki sampai kapanpun hukumnya tetap sebagai laki-laki, begitu pula yg orang yg dilahirkan sebagai perempuan sampai kapanpun dihukumi perempuan, meskipun telah melakukan operasi ganti kelamin. Hukum seperti ini berlaku dalam seluruh hal, mulai hukum bersuci, shalat, menutup aurat, hingga perawatan jenazah dan lainnya.

Oleh sebab itu, operasi ganti alat kelamin dari orang yg telah jelas kelaminnya hukumnya tak boleh sebagaimana dibahas dan diputuskan dalam Muktamar Ke-26 NU pada 10-16 Rajab 1399 H atau 5-11 Juni 1979 M di Semarang, Jawa Tengah. Operasi ganti alat kelamin seperti itu juga tak mengubah status kelamin asalnya. 

Dalam kajian fiqih Islam, pernah muncul pertanyaan kasus yg identik dgn kasus di atas. Yaitu, andaikan (1) ada seorang wali yg punya karamah dapat berubah wujud (tathawwur) dari laki-laki menjadi perempuan, atau (2) ada seorang lelaki yg oleh Allah diubah wujudnya (di-maskhu) menjadi perempuan—seperti kisah sebagian Bani Israil yg diubah wujudnya menjadi kera sebagaimana dikisahkan dalam surat Al-Baqarah ayat 65—, apakah setelah berganti wujud itu ia membatalkan wudhu laki-laki yg menyentuhnya?

Ulama menjawab, buat kasus pertama tak membatalkan, sebab dipastikan bahwa zat wali yg berubah bentuk itu pada hakikatnya tak berubah, yg berubah hanya penampakan luarnya, sementara sifat dzukurah atau kelaki-lakiannya tak berubah.

Sementara dalam kasus kedua ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama membatalkan, sebab sangat mungkin yg berubah ialah zatnya. Kemungkinan kedua tak membatalkan, sebab mungkin yg berubah ialah sifatnya, bukan zatnya. (Abdul Hamid as-Syirwani, Hawasyis Syirwani ‘ala Tuhfatil Muhtah, [Beirut: Darul Fikr], juz I, halaman 137).

Melihat kasus tathawwur atau perubahan wujud seorang wali di atas, perubahan fisik tak otomatis mengubah status jenis kelamin seseorang. Orang yg asalnya laki-laki meskipun berubah secara fisik menjadi perempuan tetap dihukumi laki-laki, sehingga dalam hal wudhu umpamanya, maka tak mau membatalkan wudhu laki-laki lain yg menyentuhnya.

Bahkan dalam kasus maskhu, yg perubahannya lebih drastis, berubah zat maupun sifatnya, ulama saja masih belum mantap, apakah membatalkan wudhu laki-laki lain yg menyentuhnya apa tidak. Apalagi hanya perubahan alat kelamin luar dari hasil rekayasa operasi ganti kelamin, di mana yg berubah hanya sebagian fisik luarnya saja, tentu secara fiqih sangat sulit diterima sebagai alasan perubahan jenis kelamin dari jenis kelamin asalnya. 

Dengan demikian, orang yg melakukan operasi ganti kelamin status jenis kelaminnya tak berubah. Bila asalnya laki-laki maka tetap berstatus sebagai laki-laki, dan bila asalnya perempuan maka tetap berstatus sebagai perempuan. Hal ini berlaku dalam seluruh hukum fiqih, mulai bersuci, shalat, pembagian waris, perawatan jenazah ketika meninggal, dan selainnya. Wallahu a’lam.

 

Ustadz Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.