Khutbah I
Jamaah shalat Jum’at a‘zâkumullâh,
Manusia, terutama yg tinggal di kota, sebagian atau bahkan mungkin mayoritas terlalu sibuk. Urusan kita terlalu banyak, meski hampir semuanya mungkin hanya buat kepentingan diri kita sendiri. Berapa lama waktu yg kita habiskan buat mencari nafkah? Berapa jam kita buat menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan di luar kantor? Berapa buat istirahat dan tidur? Berapa pula buat aktivitas hiburan, misalnya bermain media sosial atau beromong kosong dalam kerumunan orang? Berapa lama buat berbelanja atau bepergian? Rasa-rasanya durasi 24 jam yg dianugerahkan kepada kita tiap hari seolah selalu kurang.
Saking sibuknya, kita bahkan sering tak sempat menghitung, dari sekian waktu yg kita lalui apakah porsi manfaat dan kebaikan lebih banyak atau justru sebaliknya: sia-sia belaka. Hal ini kerap dilatarbelakangi oleh sikap kita yg terlalu tenggelam pada urusan sehari-hari, urusan duniawi. Minimnya waktu buat kontemplasi dan merenungi diri membuat manusia sering lupa bahwa ada kebahagiaan sejati di luar gemerlap aktivitas dan alam bendawi ini.
Allah subhânahu wata‘âlâ berfirman dalam surat Al-Kahfi ayat 46:
Artinya, “Harta dan anak keturunan ialah hiasan kehidupan rendah, sedangkan amal lestari yg berkebaikan ialah lebih baik (lebih tinggi nilainya) di sisi Tuhanmu sebagai pahala, dan lebih baik pula sebagai harapan.†(QS. 18: 46)
Dalam surat dan ayat lain disebutkan:
Bukanlah harta kekayaanmu, dan bukan pula anak keturunanmu itu yg mau mendekatkan kamu ke sisi Kami (Tuhan) sedekat-dekatnya, kecuali orang yg beriman dan beramal saleh. Maka mereka ini, ada bagi mereka pahala berlipat ganda atas apa yg mereka amalkan, dan mereka mau hidup dalam ruang-ruang (di surga) dgn aman sentosa (QS Saba’ [34]: 37).
Dua ayat tersebut mengungkapkan secara jelas bahwa orientasi “kehidupan rendah†dipertentangkan dgn orientasi kehidupan ketuhanan (rabbânîyah). Kebaikan sejati ternyata bukan pada banyaknya kekayaan dan keturunan, melainkan justru pada kehidupan yg diliputi kesadaran berketuhanan yg ditandai dgn iman amal saleh.
Hal yg dapat ditarik dari keterangan di atas bahwa orientasi kehidupan yg lebih tinggi, yg lebih mendapat ridla Allah ialah yg lebih menitikberatkan segi-segi kualitatif hidup, bukan segi-segi kuantitatifnya. Kekayaan dan anak keturunan seberapa pun banyak dan hebatnya tetap tak mau mengungguli iman dan amal saleh.
Iman dapat kita maknai sebagai kesadaran penuh mau Allah dalam setiap gerak langkah kita. Keyakinan yg tak hanya dibibir melainkan juga termanifestasi dalam setiap tindakan. Melalui iman inilah kita menyingkirkan berhala-berhala yg menyekutukan-Nya. Berhala-berhala tersebut dapat berupa uang, rumah, mobil, pekerjaan, jabatan, prestasi, anak, istri, dan seterusnya. Segala anugerah diyakini datang dari Allah dan semua aktivitas bermuara hanya buat Allah.
Yang kedua ialah amal saleh (‘amal shâlih). Kata shalih berasal dari akar kata shulh yg berarti baik, cocok, pantas, perdamaian. Shâlih dalam bahasa Arab lebih pas dipakai buat hal-hal yg ada kaitannya dgn orang lain. Dengan bahasa lain, kata ini lebih berorientasi sosial ketimbang individual. Dari kata ini pula muncul kata mashlahat yg bermakna kemaslahatan atau kebaikan bagi publik.
Jamaah shalat Jum’at a‘zâkumullâh,
Ketika Al-Qur’an mengontraskan antara banyaknya harta dan keturunan dgn iman dan amal saleh, terungkap pesan bahwa sesungguhnya yg kuantitatif, yakni berupa kekayaan dan keluarga, tak lebih utama ketimbang kualitas pribadi seorang hamba yg digambarkan dgn kesadaran berketuhanan dan perbuatan baik. Kitab Suci seolah sedang mengajak kita buat tak hanya mempedulikan diri sendiri melainkan juga menebar kemanfaatan kepada yg lain.
Al-Qur’an sering menggambarkan dgn nada miring sikap hidup yg membanggakan harta kekayaan, tapi juga tak pernah memuji kemiskinan dan pola keluarga kecil yg sedikit atau tanpa keturunan. Islam memandang segenap perkara duniawi secara proporsional: menghalalkannya sebagai sarana buat meraih kebahagiaan hakiki, yakni tercapainnya kesadaran penuh mau Allah dalam setiap kesibukan kita dan kebermanfaatan kita buat lingkungan sekitar.
Semoga kita semua termasuk orang-orang yg Rasulullah sebut sebagai manusia dgn kualitas unggulan (khairunnâs). Kualitas tersebut tak diukur dari jumlah kekayaan, tingginya kedudukan, atau bergengsinya status sosial dan latar belakang pendidikan. Ia diukur dari kadar kemanfaatannya buat orang lain. “Khairunnâs anfa‘uhum linnâs. Sebaik-baik manusia ialah mereka yg paling bermanfaat bagi manusia lainnya.â€
Khutbah II
اَمَّا بَعْد٠Ùَياَ اَيّÙهَا النَّاس٠اÙتَّقÙوااللهَ ÙÙيْمَا اَمَرَ وَانْتَهÙوْا عَمَّا Ù†ÙŽÙ‡ÙŽÙ‰ وَاعْلَمÙوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكÙمْ بÙاَمْر٠بَدَأَ ÙÙيْه٠بÙÙ†ÙŽÙْسÙه٠وَثَـنَى بÙمَلآ ئÙكَتÙه٠بÙÙ‚ÙدْسÙه٠وَقَالَ تَعاَلَى اÙنَّ اللهَ وَمَلآ ئÙكَتَه٠يÙصَلّÙوْنَ عَلىَ النَّبÙÙ‰ يآ اَيّÙهَا الَّذÙيْنَ آمَنÙوْا صَلّÙوْا عَلَيْه٠وَسَلّÙÙ…Ùوْا تَسْلÙيْمًا. اللهÙمَّ صَلّ٠عَلَى سَيّÙدÙنَا Ù…ÙØَمَّد٠صَلَّى الله٠عَلَيْه٠وَسَلّÙمْ وَعَلَى آل٠سَيّÙدÙناَ Ù…ÙØَمَّد٠وَعَلَى اَنْبÙيآئÙÙƒÙŽ وَرÙسÙÙ„ÙÙƒÙŽ وَمَلآئÙكَة٠اْلمÙقَرَّبÙيْنَ وَارْضَ اللّهÙمَّ عَن٠اْلخÙÙ„ÙŽÙَاء٠الرَّاشÙدÙيْنَ اَبÙÙ‰ بَكْرÙوَعÙمَروَعÙثْمَان وَعَلÙÙ‰ وَعَنْ بَقÙيَّة٠الصَّØَابَة٠وَالتَّابÙعÙيْنَ وَتَابÙعÙÙŠ التَّابÙعÙيْنَ Ù„ÙŽÙ‡Ùمْ بÙاÙØْسَان٠اÙلَىيَوْم٠الدّÙيْن٠وَارْضَ عَنَّا مَعَهÙمْ بÙرَØْمَتÙÙƒÙŽ يَا اَرْØÙŽÙ…ÙŽ الرَّاØÙÙ…Ùيْنَ
اَللهÙمَّ اغْÙÙرْ Ù„ÙلْمÙؤْمÙÙ†Ùيْنَ وَاْلمÙؤْمÙنَات٠وَاْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ وَاْلمÙسْلÙمَات٠اَلاَØْيآء٠مÙنْهÙمْ وَاْلاَمْوَات٠اللهÙمَّ اَعÙزَّ اْلاÙسْلاَمَ وَاْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ ÙˆÙŽØ£ÙŽØ°Ùلَّ الشّÙرْكَ وَاْلمÙشْرÙÙƒÙيْنَ وَانْصÙرْ عÙبَادَكَ اْلمÙÙˆÙŽØÙ‘ÙدÙيَّةَ وَانْصÙرْ مَنْ نَصَرَ الدّÙيْنَ وَاخْذÙلْ مَنْ خَذَلَ اْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ ÙˆÙŽ دَمّÙرْ اَعْدَاءَالدّÙيْن٠وَاعْل٠كَلÙمَاتÙÙƒÙŽ اÙÙ„ÙŽÙ‰ يَوْمَ الدّÙيْنÙ. اللهÙمَّ ادْÙَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزÙÙ„ÙŽ وَاْلمÙØÙŽÙ†ÙŽ وَسÙوْءَ اْلÙÙتْنَة٠وَاْلمÙØÙŽÙ†ÙŽ مَا ظَهَرَ Ù…Ùنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدÙنَا اÙنْدÙونÙيْسÙيَّا خآصَّةً وَسَائÙر٠اْلبÙلْدَان٠اْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمÙيْنَ. رَبَّنَا آتÙناَ ÙÙÙ‰ الدّÙنْيَا Øَسَنَةً ÙˆÙŽÙÙÙ‰ اْلآخÙرَة٠Øَسَنَةً ÙˆÙŽÙ‚Ùنَا عَذَابَ النَّارÙ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْÙÙسَنَاوَاÙنْ لَمْ تَغْÙÙرْ لَنَا وَتَرْØَمْنَا Ù„ÙŽÙ†ÙŽÙƒÙوْنَنَّ Ù…ÙÙ†ÙŽ اْلخَاسÙرÙيْنَ. عÙبَادَالله٠! اÙنَّ اللهَ يَأْمÙرÙنَا بÙاْلعَدْل٠وَاْلاÙØْسَان٠وَإÙيْتآء٠ذÙÙ‰ اْلقÙرْبىَ وَيَنْهَى عَن٠اْلÙÙŽØْشآء٠وَاْلمÙنْكَر٠وَاْلبَغْي يَعÙظÙÙƒÙمْ لَعَلَّكÙمْ تَذَكَّرÙوْنَ وَاذْكÙرÙوااللهَ اْلعَظÙيْمَ يَذْكÙرْكÙمْ وَاشْكÙرÙوْه٠عَلىَ Ù†ÙعَمÙه٠يَزÙدْكÙمْ ÙˆÙŽÙ„ÙŽØ°Ùكْر٠الله٠اَكْبَرْ
Alif Budi Luhur