Kebiasaan umum yg berlaku di masyarakat, sebab seseorang membuka/mendirikan toko, akhirnya ia didatangi oleh pihak supplier (penyetok) barang. Mereka kemudian menitipkan barang ke toko buat dijualkan. Tentu pemilik toko senang menerimanya, sebab hal itu sama dgn menambah peluang penghasilan. Apalagi pemilik toko tak membayar apa pun kepada pihak supplier. Ia hanya mau membayar sejumlah barang yg dititipkan dan berhasil dijual. Ibarat kata pepatah, “pucuk dicinta, ulam pun tiba. Cari utangan susah, eh ada orang yg nitip barang buat dijualkan.â€Â
Sebagian di kalangan masyarakat kecil kita juga sering berlaku kebiasaan yg sama. Ada seorang ibu rumah tangga yg di tengah kesibukannya mengurus rumah tangga dan anak, dia menyempatkan diri buat ikut mendapatkan penghasilan. Dia membuat jajanan ringan, kemudian dititipkan ke warung-warung terdekat dari rumahnya. Pemilik warung senang sebab ada bahan buat menambah jumlah jajanan yg dijualnya dan otomatis menambah penghasilan. Selain itu, lebih senang lagi disebabkan sebab pembayarannya dilakukan di belakang manakala barangnya telah habis terjual.Â
Timbul pertanyaan di kalangan pemerhati fiqih, akad apa yg dipergunakan oleh pedagang buat model jual beli di atas? Dan apakah syariat juga membolehkan model transaksi sedemikian ini?Â
Akad titip barang buat dijualkan
Sebelum kita masuki pembahasan lebih lanjut mengenai akadnya, terlebih dahulu harus dicermati bahwa yg dimaksud sebagai titip dalam kasus ini ialah bukan titip sebagaimana seseorang menitipkan sepeda ke tukang penitipan sepeda. Bukan pula seperti orang menitipkan barang gadai ke pegadaian. Untuk kasus penitipan sepeda, maka akadnya ialah wadi’ah. Sementara buat kasus penitipan barang ke pegadaian, maka akadnya ialah rahn (gadai). Dalam akad wadi’ah, setiap barang yg dititipkan harus kembali berupa barang. Demikian pula buat akad rahn, maka barang harus dikembalikan sama seperti saat dimasukkan ke pegadaian.Â
Titip dalam maksud kedua model jual beli di atas pada dasarnya ialah kerja sama antara supplier dan pedagang pemilik toko disebabkan sebab potensi jual yg dimiliki toko atau warung yg dititipi. Kenapa potensinya yg disorot? Karena tak mungkin seorang pembuat kue mau menitipkan kuenya di toko jam. Tidak mungkin pula supplier sabun colek dan sabun mandi menitipkan barang yg dijualnya ke penjual gorengan di tepi jalan. Tentu pertimbangan dasar mereka dalam menitipkan barang ialah potensi. Potensi buat lakunya barang sehingga potensi buat mempercepat habisnya barang yg diproduksi sehingga dapat memproduksi lagi dan menambah keuntungan.Â
Melihat titik tekan akad ialah pada kerja sama antara reseller dan supplier dgn mempertimbangkan “potensi toko dalam menjual barangâ€, atau istilah kerennya ialah “daya jual toko terhadap barangâ€, maka biasanya para ahli fiqih mengelompokkan transaksi ini sebagai akad syirkah wujuh, yaitu akad kerja sama yg dibangun atas dasar kepercayaan dan potensi. Namun, benarkah bahwa akad ini ialah syirkah wujuh? Tunggu dulu! Kita kaji lebih jauh. Sebelumnya kita anggap dulu bahwa ini ialah akad syirkah wujuh.
Apakah akad ini diperbolehkan dalam fiqih?Â
Para ulama’ berbeda pendapat dalam hal kebolehan akad syirkah wujuh. Hanya kalangan madzhab Syafi’i yg menyatakan secara tegas bahwa akad semacam ini ialah haram. Meskipun demikian, para fuqaha’ Syafi’iyah tak serta merta menghukuminya sebagai kemutlakan haramnya, sebab ada hiyalah (rekayasa transaksi) yg menyebabkan model transaksi ini menjadi boleh. Bagaimana rekayasa transaksi ini diperbolehkan?
Perhatikan dgn seksama mengenai beberapa syarat jual beli! Salah satu syarat jual beli ialah bilamana barang tersebut telah menjadi milik sah dari pedagang. Jika belum menjadi milik, maka ada kemungkinan lain bolehnya menjual barang, yaitu sebab adanya penyerahan kuasa, atau sebab pedagang menjadi wakil dari supplier. Termasuk dalam kategori penyerahan kuasa ialah bilamana pedagang mendapatkan izin dari penjual. Kemutlakan izin ditentukan berdasarkan tradisi (‘urf) setempat tempat berlangsungnya akad.Â
الإذن المطلق يرجع Ùيه إلى العرÙ
Artinya: “Pengertian izin secara mutlak ialah dikembalikan maknanya kepada tradisi (‘urf).†(Hasyiyatul Jamal)
Tradisi yg berlaku di kalangan pedagang, saat supplier melakukan penyerahan barang kepada pedagang, umumnya mereka memberitahukan terlebih dahulu harga dasar barang dari supplier. Misalnya, buat satu unit barang habis, harganya ialah 25 ribu rupiah. Supplier memberikan izin kepada pedagang buat menjualnya dgn harga berapapun yg dikehendaki beserta besaran keuntungan yg diharapkan, namun tetap memperhatikan bahwa ia harus membayar sejumlah harga dasar yg disampaikan oleh supplier. Mencermati tipologi ini, maka sebenarnya akad ini lebih pas bila disebut akad utang-piutang (duyûn). Karena secara jelas pihak supplier memberi patokan harga dasar. Patokan harga ini berbeda sekali tentunya dgn model syirkah. Dalam syirkah disyaratkan adanya isytirak fi al-ribhi, yaitu keuntungan yg dibagi secara bersama-sama antara masing-masing anggota serikat. Nah, dalam kasus pertama, keuntungan tersebut tak dibagi secara bersama-sama. Supplier hanya memberikan patokan harga. Dengan demikian jelas bahwa transaksi semacam ialah masuk akad utang-piutang dan bukan termasuk syirkah.Â
Apakah akad utang-piutang ini juga dapat diterapkan pada penitipan jajanan ke warung?
Ada problem bila kasus di atas diputuskan berlakunya juga pada kasus penitipan jajanan ke warung. Problem yg mendasar ialah bahwa makanan – termasuk pula jajanan – ialah barang ribawi. Jika uang dimasukkan dalam kategori barang ribawi juga, maka secara tak langsung telah terjadi akad tukar-menukar (mu’awadlah) barang ribawi berbeda jenis. Untuk itu disyaratkan harus kontan dan saling terima kedua barang yg dipertukarkan. Tidak adanya unsur kontan dan serah terima langsung di tempat dapat menjadikan akadnya masuk akad riba. Waduh, penulis harus siap-siap didemo oleh kaum ibu. Dan ditambah lagi, ironisnya hal ini dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga yg mau membantu suaminya menambah income rumah tangga. Wah, enggak jadi bantu-bantu suami jadinya.Â
Apa solusi yg dapat ditawarkan? Ada dua solusi, yaitu:
1. Tidak menganggap uang sebagai barang ribawi. Dengan begitu, akad penitipan jajanan ke warung tak dianggap sebagai akad barang ribawi. Dalam akad bukan barang ribawi, tak ada masalah mau mengutangkan jajanan yg dipatok harganya ke warung, asal warungnya membayar sesuai dgn harga tersebut. Dengan demikian, akad yg berlangsung ialah akad utang-piutang.
2.Menganggap akad yg terjadi sebagai akad syirkah wujuh dgn menetapkan bagian keuntungan yg dapat diambil oleh pihak teman serikatnya (syârik). Contoh: buat lima jajanan yg laku dijual, pihak syarik mendapatkan satu bagian penjualan jajanan. Istilah kasarnya jual 5 dapat 1. Namun catatan yg perlu diperhatikan ialah: bahwa fiqih Syafi’iyah melarang jenis akad ini. Namun tiga madzhab yg lain menyebutkan bahwa syirkah wujuh ialah dibolehkan. Selanjutnya, terserah anda mau pilih pendapat yg mana? Menganggap uang sebagai bukan barang ribawi, ataukah ikut model syirkah wujuh?
Wallahu a’lam bish shawab
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim.
Uncategorized