Bulan Safar: Latar Belmaug Nama & Mitos Kesialan di Dalamnya

Latar Belakang Nama Bulan Safar

Bulan Safar merupakan bulan kedua dalam kalender Hijriah setelah bulan Muharram. Di balik penamaan bulan Safar ada alasan khusus, sebagaimana disampaikan oleh Imam Abul Fida Ismail bin Umar ad-Dimisyqi, atau yg lebih dikenal dgn nama Imam Ibnu Katsir (wafat 774 H). Di balik penamaan bulan Safar tak lepas dari keadaan orang Arab tempo dulu pada bulan ini. Safar yg memiliki arti “sepi” atau “sunyi” sesuai keadaan masyarakat Arab yg selalu sepi pada bulan Safar. Sepi dalam arti senyapnya rumah-rumah mereka sebab orang-orang keluar meninggalkan rumah buat perang dan bepergian. Imam Ibnu Katsir menjelaskan:

صَفَرْ: سُمِيَ بِذَلِكَ لِخُلُوِّ بُيُوْتِهِمْ مِنْهُمْ، حِيْنَ يَخْرُجُوْنَ لِلْقِتَالِ وَالْأَسْفَارِ

Artinya, “Safar dinamakan dgn nama tersebut, sebab sepinya rumah-rumah mereka dari mereka, ketika mereka keluar buat perang dan bepergian.” (Ibnu Katsir, Tafsîrubnu Katsîr, [Dârut Thayyibah, 1999], juz IV, halaman 146).

Ibnu Manzhur (wafat 771 H), menyampaikan alasan yg lebih banyak. Menurutnya, ada beberapa alasan mendasar di balik penamaan bulan Safar, di antaranya: (1) sebagaimana penjelasan Ibnu Katsir; (2) orang Arab memiliki kebiasaan memanen semua tanaman yg mereka tanam, dan mengosongkan tanah-tanah mereka dari tanamanan pada bulan Safar; dan (3) pada Safar orang Arab memiliki kebiasaan memerangi setiap kabilah yg datang, sehingga kabilah-kabilah tersebut harus pergi tanpa bekal (kosong) sebab mereka tinggalkan akibat rasa takut pada serangan orang Arab. (Muhammad al-Anshari, Lisânul ‘Arab, [Beirut, Dârus Shadr: 2000], juz IV, halaman 460).

 

Baca: Doa Bulan Safar

Mitos Kesialan di Bulan Safar
Sebagaimana jamak diketahui, banyak orang beranggapan dan bahkan ada yg meyakini, pada bulan safar mau terjadi musibah yg luar biasa dan mau terjadi cobaan melebihi bulan-bulan lainnya. Dalam hal ini Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat 795 H) mengatakan, bulan Safar dan bulan lainnya tak memiliki perbedaan sama sekali. Menurutnya sebagaimana dalam bulan lain, dalam bulan Safar dapat terjadi keburukan dan kebaikan. Dengan kata lain, tak boleh menganggap bulan Safar diyakini sebagai bulan yg dipenuhi dgn kejelekan dan musibah. Beliau menegaskan:

وَأَمَّا تَخْصِيْصُ الشُّؤْمِ بِزَمَانٍ دُوْنَ زَمَانٍ كَشَهْرِ صَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ فَغَيْرُ صَحِيْحٍ

Artinya, “Adapun mengkhususkan kesialan dgn suatu zaman tertentu bukan zaman yg lain, seperti (mengkhususkan) bulan Safar atau bulan lainnya, maka hal ini tak benar.”

Ibnu Rajab tak membenarkan keyakinan seperti itu sebab semua bulan, zaman, dan tahun merupakan makhluk Allah swt, yg di dalamnya dapat saja terjadi suatu kesialan, bencana, dan musibah. Maka sangat tak logis bila musibah hanya dikhususkan pada bulan Safar dan meniadakannya pada bulan-bulan lainnya.

Lebib tegas Ibnu Rajab menyatakan, barometer dari baik dan taknya suatu zaman tak dilihat dari kejadian-kejadian yg terjadi di dalamnya. Menurutnya, semua zaman yg di dalamnya semua seorang mukmin menyibukkan diri dgn kebaikan, maka zaman tersebut ialah zaman yg diberkahi. Demikian pula sebaliknya. Ibnu Rajab berkata:

فَكُلُّ زَمَانٍ شَغَلَهُ المُؤْمِنُ بِطَاعَةِ اللهِ فَهُوَ زَمَانٌ مُبَارَكٌ عَلَيْهِ، وَكُلُّ زَمَانٍ شَغَلَهُ العَبْدُ بِمَعْصِيَةِ اللهِ فَهُوَ مَشْؤُمٌ عَلَيْهِ

 

Artinya, “Setiap zaman yg orang mukmin menyibukkannya dgn ketaatan kepada Allah, maka merupakan zaman yg diberkahi; dan setiap zaman orang mukmin menyibukkannya dgn bermaksiat kepada Allah, maka merupakan zaman kesialan (tak diberkahi).” (Zainuddin ‘Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Baghdadi ad-Dimisyqi, Lathâ-iful Ma’ârif, [Dar Ibn Hazm, cetakan pertama: 2004], halaman 81).

 

Baca: Bulan Safar, Rabu Wekasan, dan Peristiwa di Dalamnya

 

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, penyebab suatu zaman tak diberkahi oleh Allah swt ialah disebabkan banyaknya kemaksiatan yg dilakukan manusia. Begitu juga penyebab suatu zaman dapat diberkahi apabila di dalamnya orang sibuk dgn melakukan ketaatan dan kebaikan. Karenanya sangat wajar bila pada penjelasan di atas, Ibnu Rajab menolak anggapan atau keyakinan bahwa bulan Safar dianggap sebagai bulan kesialan yg di dalamnya tak ada keberkahan sama sekali.

Anggapan atau keyakinan tersebut sebenarnya tak lepas dari tradisi orang Arab yg memiliki keyakinan bahwa bulan Safar merupakan bulan kesialan dan penuh cobaan. Keyakinan salah itu akhirnya mengakar dan menyebar ke mana-mana, bahkan tak sedikit masyarakat Indonesia yg mengikutinya. Rasulullah saw pun menolak anggapan seperti itu. Rasulullah saw bersabda:

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ، وَفِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الْأَسَدِ

Artinya, “Tidak ada wabah (yg menyebar dgn sendirinya tanpa kehendak Allah), tak pula tanda kesialan, tak (pula) burung (tanda kesialan), dan juga tak ada (kesialan) pada bulan Safar. Menghindarlah dari penyakit judzam sebagaimana engkau menghindar dari singa.” (HR al-Bukhari) (Badruddin ‘Aini, ‘Umdâtul Qâri Syarhu Shahîhil Bukhâri, [Beirut, Dârul Kutub: 2006], juz IX, halaman 409).

Syekh Abu Bakar Syata ad-Dimyathi (wafat 1302) mengatakan, hadits di atas ditujukan buat menolak keyakinan dan anggapan orang-orang Jahiliah yg mempercayai setiap sesuatu dapat memberikan pengaruh dgn sendirinya; baik keburukan maupun kebaikan. Selain itu juga menolak setiap penisbatan suatu kejadian kepada selain Allah. Artinya, semua kejadian yg terjadi murni sebab kehendak Allah yg telah tercatat sejak zaman azali, bukan disebabkan waktu, zaman, dan anggapan salah lainnya.” (Abu Bakar Syattha, Hâsiyyah I’ânatuth Thâlibîn, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiah: 2003], juz III, halaman 382).

Bukti Bulan Safar Bukan Bulan Kesialan

Habib Abu Bakar Al-Adni dalam salah satu mengatakan, ada beberapa bukti peristiwa yg menolak keyakinan masyarakat Jahiliah atas keyakinannya yg menganggap bahwa bulan safar merupakan bulan kesialan. (1) Rasulullah saw melangsungkan pernikahan dgn Sayyidah Khadijah pada bulan Safar; (2) Pernikahan antara Sayyidina Ali dan Sayyidah Fatimah az-Zahra juga di bulan Safar; (3) Hijrah Rasulullah saw dari Makkah ke Madinah bertepatan dgn bulan Safar; (4) perang pertama, yaitu perang Abwa terjadi pada bulan Safar, di mana umat Islam jusrtu mendapatkan kemenangan telak atas kaum kafir; (5) pada bulan Safar juga terjadi peperangan hebat yaitu perang Khaibar, dan kemenangan diraih oleh umat Islam. (Abu Bakar al-Adni, Mandzûmatu Syarhil Atsar fî Mâ warada ‘an Syahri Shafar, halaman 9).

 

Baca: Peristiwa-peristiwa Penting di Bulan Safar

Demikian alasan di balik penamaan bulan Safar, serta serta jawaban atas anggapan dan keyakinan sebagian masyarakat perihal mitos kesialan yg diyakini mau terjadi pada bulan Safar. Anggapan demikian tak layak dijadikan pedoman oleh orang beriman. Sebab, dgn meyakininya, mau berpotensi mengesampingkan Allah dgn segala otoritas-Nya, yg dapat saja memberikan pengaruh kepada siapa pun, atas persangkaannya kepada Allah swt. Semoga kita dijauhkan dari keyakinan keliru dan menyimpang dari ajaran Islam. Amin. Wallâhu a’lam.

 

 

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan, Kokop, Bangkalan.

 

 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.