Di Gubuk Ini Banyak Lahir Santri Handal Pembaca Kitab Kuning

– Kyai Amin Fauzan Badri menemukan metode singkat belajar ilmu alat. Dalam tempo 8 – 20 bulan, santri dijamin sanggup membaca kitab ‘gundul’ secara lancar lengkap dgn ma’na dan gramatikanya. Saygnya, fasilitas pesantrennya kurang memadai. Masih berupa gubug reot.

Baca juga: Begini Strategi Dakwah Wali Songo Dalam Islamisasi Di Jawa

Muhammad Amir Hasan membuka Kitab Fathul Qarib. Kitab karya Abu Abdillah Muhammad bin Qosim al-Ghazzi tanpa harakat dan terjemah itu dibacanya dgn lancar. Bocah berusia 12 tahun tersebut bahkan mampu membaca makna, menjabarkan i’rab (perubahan harakat di akhir kalimat), dan melafalkan maraji’-nya.

“Saya baru 9 bulan di pondok ini,” tutur lulusan Madrasah Ibtidaiyah di pulau Karimun Jawa itu ketika ditemui di Pesantren kyai Amin Grobogan beberapa waktu lalu.

Padahal umumnya, seorang santri butuh waktu minimal tiga tahun buat dapat membaca dan memaknai kitab ‘gundul’. Itu pun harus ditempa ngaji ilmu ‘alat (gramatika bahasa Arab) saban hari.

Lain lagi Ahmad Badawi. Bocah asal Pati, Jawa Tengah itu usianya setahun lebih muda dari Muhammad Amir Hasan. Andai melanjutkan sekolah formal, ia menginjak kelas 6 Ibtidaiyah (MI). Tetapi 8 bulan terakhir, ia memilih mondok. Meski belum genap setahun nyantri, ketika diminta membaca kitab Fathul Qarib lengkap dgn maknanya, Badawi juga mampu membaca kitab tersebut dgn lancar.

Muhammad Amir Hasan dan Ahmad Badawi tak nyantri di pondok modern. Ia mengaji di pesantren salaf dgn fasilitas yg jauh dari kata sederhana. Pondok yg berdiri di pelosok Kabupaten Grobogan, tepatnya di Desa Brakas Kecamatan Klambu Jawa Tengah itu bukan bangunan permanen yg disusun dari semen dan bata. Bangunannya sangat memprihatinkan sebab beralas papan kayu, dan berdindingkan anyaman bambu (Jawa = gedhek).

Di gubug itu, hanya ada dua kamar buat tidur 25 santri. Untuk santri sebanyak itu, hanya ada 1 kamar mandi yg lagi-lagi jauh dari kata layak. “Di sini anak santri itu keluar masuk, menyesuaikan dgn metode. Begitu dia telah khatam, biasanya terus pulang,” tutur Kyai Amin Fauzan Badri, pengasuh pesantren tersebut mengawali ceritanya.

Di samping itu, juga banyak orang tua yg tak tega menaruh anaknya di pesantren ini, mereka tak tega dgn fasilitas yg dimiliki. Satu-satunya alasan yg membuat banyak orang tua tega menitipkan anaknya, menurut Kyai Amin, ialah kemampuan anak dapat membaca kitab kuning dalam tempo singkat.

Baca Juga:  Cegah Radikalisme di Masjid, JK: Dakwah Harus Diisi dgn Dai yg Paham Agama

Namun siapa sangka, dari gubuk reot inilah lahir anak-anak yg mahir membaca kitab kuning secara cepat. Kyai Amin bercerita, metode cepat baca kitab kuning ini dibuat sebab pengalaman masa lalunya ketika masih di pesantren, yakni sulitnya membaca kitab kuning. “Semua teman saya di pesantren dulu itu hafal kitab Alfiah, sebab itu menjadi syarat kenaikan kelas.Tapi hanya sedikit yg mampu membaca dan menguasai kandungan kitab kuning dgn baik,” tuturnya

Atas pengalaman itulah, kala pulang dari pesantren, ia lalu mulai merumuskan metode yg kemudian diberi nama Al-Ikhtishor.

“Saya berfikir, bahwa membaca kitab itu mestinya mudah, sebab susunan dalam bahasa arab itu hanya berupa Jumlah Ismiyah dan Jumlah Fi’liyah. Jika dua jumlah ini dikuasai, semua mau jadi mudah,” terangnya.

Baru setelah dipelajari pokoknya, susunannya berupa jumlah ismiyah atau fi’liyah, dipelajari pelengkapnya, yaitu jar-majrur, fi’il-fail, maf’ul bih, maf’ul muthlaq, dharaf, na’at wa man’ut, isim munsharif, ghairu munshorif, isim isyarah, dan lain-lainnya.

Kyai Amin menjelaskan, kitab yg dikarangnya hanya terdiri dari dua kitab pokok dan satu kitab maraji’ (referensi). Kitab pertama menjelaskan cara membuat Jumlah Ismiyah. Sedangkan kitab kedua menjelaskan cara membuat Jumlah Fi’liyah.

Menurutnya, buat mengaji dua kitab Al-Ikhtishor cukup diselesaikan dalam tempo 2 bulan atau 52 kali pertemuan. 1 bulan pertama mengaji Jumlah Ismiyah, dan bulan kedua mengaji Jumlah Fi’liyah. Proses belajarnya menurut kyai Amin cukup 1 jam dalam sehari.

“Santri setiap hari cukup belajar metode Al-Ikhtishor ini satu jam saja, sebab syarat buat mempelajari metode ini ialah tak boleh lupa antara pelajaran pertama sampai terakhir. Pasalnya, setiap bab dalam Al-Ikhtishor ini berkaitan satu sama lain. Sehingga dalam dua kitab itu merupakan satu mata rantai yg tak terputus. Kalau santri lupa soal bab sebelumnya, itu menutup jalan buat dapat pada bab selanjutnya,” ujar Kyai Amin

“Karena antara satu bab dgn bab lainnya saling kait mengait, maka santri cukup belajar satu jam saja, supaya dia tak lupa dgn pelajaran-pelajaran sebelumnya,” tambahnya.

Kyai Amin menuturkan, proses pengajaran Al-Ikhtishor dilakukan saban pagi secara privat, 4 mata antara dirinya dgn santri. Satu per satu santri mengaji dgnnya.

“Di sini tak ada masa pengajian bersama-sama dimulai. Kalau hari ini ada santri datang, berarti besok pagi dia mulai belajar. Jadi antara satu santri dgn santri lainnya, mulainya beda dan khatamnya juga beda,” tutunya.

Baca Juga:  Hapus Konten Radikal di Buku Pelajaran Agama, Menag: Materi Khilafah Masih Ada

Lalu buat menguatkan ingatan santri, setiap ba’da Ashar digelar setoran hafalan, dan pada malam harinya santri diwajibkan muthala’ah yg dipimpin santri senior. “Setiap satu bahasan dikaji tiga kali dalam satu hari,” terangnya.

Soal muthala’ah yg dipimpin santri senior, menurut Kyai Amin, cara ini ditempuh buat menyiapkan santri senior supaya dapat mengajar Al-Ikhtishor. “Nanti manfaatnya dia ngajar Al-Ikhtishor telah dapat,” terangnya.

Selain Al-Ikhtishor Jumlah Ismiyah dan Fi’liyah, Kyai Amin juga menulis kitab kecil sebagai rujukan (maraji’) bagi dua kitab sebelumnya. Kitab berukuran kecil itu menukil dari sejumlah kitab Alfiah dan sharaf.

Jika sukses meng-khatamkan Al-Ikhtishor, santri telah siap mengaji kitab kuning. Dalam praktik tersebut dibagi menjadi tiga tahapan, pemula, menengah, dan tinggi. Masing-masing tahapan ditempuh selama 3 hingga 6 bulan. Pada tahap pemula, mengaji kitab Fathul Qarib. Tahap menengah kitab Tahrir dan tahap tinggi, mengaji kitab Nihayatuz Zayn.

Artinya, seorang santri dijamin mahir membaca kitab kuning dalam tempo 20 bulan. Yakni 2 bulan mengaji Al-Ikhtishor, dan 18 bulan mengaji tiga kitab. Hasilnya boleh diuji. Muhammad Amir Hasan dan Ahmad Badawi misalnya, belum genap setahun nyantri, ia telah lancar membaca kitab Fathul Qarib. Saygnya, fasilitas pesantren masih jauh dari kata layak. Sehari-hari di gubug reot pun dilakoni dua santri itu, “tidak betah juga harus dipaksa betah,” tutur Ahmad Badawi.

Namun begitu, kyai Amin selalu berpesan kepada para santrinya selama belajar di pesantren. “Agar dapat cepat membaca kitab kuning, kita harus ingat tiga hal: harus teliti kata perkata; harus dapat menalar susunan kalimat secara logis; dan harus menguasai gramatika (kaidah) secara matang,” pesannya.

Baca juga: Betulkah Mengatakan “Kembali Kepada Qur’an dan Sunnah” Mendekatkan Orang Kepada Qur’an dan Sunnah?

Kyai Amin yg kelahiran Keling Kelet Jepara Jawa Tengah pada 7 Desember 1975 ini bercerita, dua kitab Al-Ikhtishor itu mulai ditulis sejak tahun 2005, ketika masih menetap di desa kelahirannya.

Saat mulai menyusun kitab ini sebenarnya, tak semua kaidah gramatika Bahasa Arab dikuasainya dgn baik. Karenanya, begitu selesai ditulis, segera dibawanya ke gurunya di Mathaliul Falah di Kajen Margoyoso Pati buat di-tashih.

Baca Juga:  Berakhir Damai, Satpol PP yg Cekcok dgn Habib Umar Assegaf Dihadiahi Umroh

Setelah di-tashih, guru kyai Amin di Mathaliul Falah berpesan supaya tulisan yg telah dikoreksinya tak dibuka di tempat. “Jangan dibuka di sini ya, dibuka nanti saja di rumah,” pesannya.

Sesampai di rumah, tulisan itu kemudian dibuka. Dan ternyata, semua disilang memakai bolpoin merah, tanda salah semua.

“Saya buka halaman per halaman, semua berisi silang merah. Saya takut, minder dan menyerah dgn semua kesalahan itu. Dalam benak saya bergumam, saya tak berani meneruskan tulisan ini,” kenangnya.

“Tapi di halaman akhir tulisan itu, ada tulisan tangan guru saya tadi, man jadda wajada, siapa yg bersungguh-sungguh pasti mau berhasil,” tambahnya.

Membaca tulisan tangan gurunya, kiai Amin yg telah takut, tiba-tiba muncul keberanian buat meneruskan kembali menulis dan memperbaiki semua kesalahan yg telah diberi tanda merah oleh gurunya.

“Saya terus berusaha memperbaiki semua kesalahan itu. Dan selang beberapa lama, setelah saya perbaiki, saya tashihkan lagi ke guru saya, dan alhamdulillah lulus, tak ada coretan,” kenangnya.

Dari pengalaman itu kyai Amin yakin, bahwa kunci keberhasilan seseorang terletak pada niat dan kemauan kerasnya. “Jika kita memiliki A dan kemudian mengamalkannya, pasti Allah mau memberikan kemampuan kepada kita buat mengerti B. Jika kita memiliki B dan kemudian mengamalkannya, pasti Allah mau memberikan kemampuan kepada kita buat mengerti C, begitu seterusnya,” tambahnya penuh optimis.

Karena itu, kyai Amin berpesan kepada semua santrinya dan mereka yg mau dapat membaca kitab kuning supaya memiliki niat yg bulat dan belajar dgn semangat.

“Syarat buat belajar dapat membaca kitab kuning di sini ini cuma dua, yaitu dapat membaca tulisan Arab dan tulisan latin (Indonesia),” pungkasnya.

Artikel ini dimuat di website Kemenag.go.id dgn judul: Gubuk Reot Ini Hasilkan Pembaca Kitab Kuning Handal





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.