Hubungan Syariat & Tasawuf dalam Kajian Islam

Imam Ibnu Malik mengatakan, “Barang siapa (mempelajari) ilmu tasawuf, namun tak mempelajari ilmu fiqih (syariat), maka mau berpotensi menjadi orang zindiq. Barang siapa yg belajar fiqih tanpa mempelajari tasawuf, maka cenderung mau menjadi orang fasiq. Barang siapa yg mempelajari keduanya, maka dialah ahli hakikat yg sesungguhnya.”

Kedua ilmu tersebut merupakan ilmu-ilmu yg sangat penting buat dipelajari dan dipahami. Keduanya merupakan cabang ilmu yg menempati posisi sangat strategis dalam menbuat manusia menuju jalan yg benar. Oleh sebabnya, Imam Malik mengatakan bahwa keduanya tak dipisahkan dalam menjalankan amaliah buat mendekatkan diri kepada Allah swt. Jika syariat dapat diumpamakan sebagai teori dalam beribadah, maka tasawuf merupakan pengendali dalam melakukan ibadah tersebut.

Sejatinya, mempelajari ilmu-ilmu Allah tak lain selain buat mendekatkan diri kepada-Nya. Ilmu-ilmu itu kemudian menjadi sebuah manifestasi buat menyempurnakan ibadah seorang hamba dalam mendekatkan diri kepada Allah swt. Misalnya, bentuk penghambaan dan peningkatan spiritualitas, seorang hamba melakukan shalat, wujud kepedulian seorang hamba kepada sesama manusia dgn mengeluarkan zakat, upaya buat meraih ridha-Nya dgn melaksanakan ibadah haji, dan bentuk pengendalian diri dari hawa nafsu yg tercela dgn mengerjakan puasa.

Makna Syariat dan Tasawuf

Pada dasarnya, ilmu syariat merupakan salah satu cabang ilmu yg membahas perihal ibadah-ibadah atau amaliah yg bersifat lahir (nyata). Sedangkan ilmu tasawuf ialah salah satu cabang ilmu yg bersifat batin (tak nyata). Keduanya merupakan ilmu yg sangat erat dan saling berhubungan. Mari kita bahas satu per satu.

Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (wafat 987 H) dalam kitab Kifayatul Atqiya mengatakan, bahwa syariat ialah semua perintah Allah, seperti shalat, zakat, puasa haji, dan semua larangan-larangan Allah, yaitu zina, mencuri, sombong, mau dipuji orang lain dan lainnya. Ia menegaskan:

اَلشَّرِيْعَةُ هِيَ المَأْمُوْرَاتُ الَّتِي أَمَرَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهَا وَالْمَنْهِيَاتُ الَّتِي نَهَى اللهُ عَنْهَا.

Artinya, “Syariat ialah perintah-perintah yg Allah swt memerintahkannya, dan larangan-larangan yg Allah melarang buat melakukannya.” (Al-Malibari, Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya, [Bairut, Darul Fikr: 2001], halaman 8).

Untuk menerapkan syariat di atas, dgn melakukan semua yg diperintah dan meninggalkan semua larangan, tentu tak ada teladan dan contoh yg benar selain mengikuti apa yg dicontohkan oleh Rasulullah, sebagaimana yg dilakukan oleh para sahabat ketika bersama dgn Rasulullah. Setelah itu, para sahabat menjadi teladan tabiin dan tabiut tabiin dalam melakukan setiap ibadah. Selanjutnya, teladan terbaik ialah mengikuti para ulama yg memiliki sanad keilmuan yg bersambung sampai pada Rasulullah.

Akan tetapi, ada yg tak kalah penting ketika melakukan ibadah, yaitu kebersihan hati dari setiap sifat-sifat yg dapat merusak eksistensi ibadah itu sendiri. Oleh sebabnya, buat dapat selamat dari sifat-sifat tercela, ilmu tasawuf juga sangat penting buat dimengerti dan dipahami, supaya semua ibadah yg dilakukan dapat diterima oleh Allah swt.

Ilmu tasawuf sendiri lebih cenderung tentang urusan hati dan cara-cara membersihkannya, sebagaimana disampaikan oleh Sayyid Murtadha Az-Zabidi:

تَطْهِيْرُ الْبَاطِنِ وَالظَّاهِرِ مِنَ الْآثَامِ الخَفِيَّةِ وَالْجَلِيَّةِ مِنْ أَوَائِلِ التَّصَوُّفِ

Artinya, “Menyucikan batin dan lahir dari dosa-dosa yg tak jelas dan yg jelas, merupakan awal mula dari tasawuf. (Az-Zabidi, Ithafus Sadatil Muttaqin, [Bairut, Tarikh al-‘Arabi: 1994], juz VIII, halaman 477).

Senada dgn apa yg disampaikan oleh Syekh Abul ‘Abbas Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Isa Zarruq Al-Fasi, (wafat 899 H) seorang ulama sufi, asal Maroko. Ia mengatakan:

التَصَوُّفُ عِلْمٌ قُصِدَ لِاِصْلَاحِ الْقُلُوْبِ وَاِفْرَادِهَا للهِ تَعَالَى عَمَّا سِوَاهُ.

Artinya, “Ilmu tasawuf ialah ilmu yg dimaksudkan buat memperbaiki hati dan menyendirikannya (hati) hanya buat Allah swt dari selain-Nya.” (Ahmad Zarruq al-Fasi, Qawa’idut Tasawwuf, [Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, Lebanon: 2005], halaman 25).

Dari definisi syariat dan tasawuf di atas, dapat disimpulkan bahwa keduanya merupakan cabang ilmu yg tak dapat dipisahkan. Syariat mencerminkan perwujudan pengalaman iman pada aspek lahiriah, sedangkan tasawuf mencerminkan perwujudan pengalaman iman pada aspek batiniah. Maka sangat wajar, bila Imam Malik memosisikan ahli hakikat yg sebenarnya hanya kepada orang-orang yg telah dapat memahami dan memadukan ilmu syariat dan tasawuf. Tidak hanya syariat, tak juga hanya tasawuf.

Ungkapan di atas senada dgn pendapat Syekh Muhammad bin  Muhammad bin Musthafa bin Utsman Abu Sa’id al-Hanafi (wafat 1156 H), perihal makna syariat dan tasawuf. Menurutnya, ilmu syariat ialah ilmu yg membahas tentang aspek lahiriah dari setiap ibadah atau pekerjaan yg dilakukan seorang hamba, sedangkan tasawuf merupakan ilmu yg membahas perihal batin seorang hamba dalam membersihkan hati mereka dari segala sifat tercela ketika melakukan ibadah. (Abu Sa’id al-Hanafi, Bariqatu Mahmudiyah fi Syarhi Thariqati Muhammadiyah wa Syari’ati Nabawiyah, [Mathba’ah al-Halabi, 2010], juz 1, halaman 291).

Meski keduanya memiliki hubungan yg erat, Syekh Ahmad bin Muhammad Ibnu Ajibah al-Husaini (wafat 1266) dalam kitabnya memberikan garis ketentuan secara khusus perihal keduanya. Menurutnya, fiqih (syariat) lebih umum ketimbang ilmu tasawuf sebab syariat lebih pada pekerjaan-pekerjaan yg bernilai menampakkan potret agama Islam. Ibnu Ajibah mengatakan:

حُكْمُ الْفِقْهِ عَامٌ لِأَنَّ مَقْصُوْدَهُ إِقَامَةُ رَسْمِ الدِّيْنِ وَرَفْعِ مَنَارِهِ وَإِظْهَارِ كَلِمَاتِهِ وَحُكْمُ التَّصَوُّفِ خَاصٍ لِأَنَّهُ مُعَامَلَةٌ بَيْنَ الْعَبْدِ وَرَبِّهِ مِنْ غَيْرِ زَائِدٍ

Artinya, “Hukum fiqih (syariat) sangat umum, sebab tujuannya ialah menampakkan potret agama Islam, mengangkat aturannya, dan menampakkan kalimatnya. Sedangkan ilmu tasawuf merupakan ilmu yg khusus, sebab sesungguhnya, ia merupakan interaksi antara seorang hamba dgn Tuhan-Nya tanpa perlu menambah.” (Ibnu ‘Ajibah, Iqadul Himam Syarah Matnil Hikam, [Bairut, Darul Kutubil ‘Ilmiah: 2001], halaman 21).

Hubungan Syariat dan Tasawuf

Syekh Zainuddin al-Malibari memberikan salah satu penafsiran, perihal ayat Al-Qur’an yg memadukan antara ilmu syariat dan ilmu tasawuf. Dalam Al-Qur’an Allah swt berfirman:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ 

Artinya, “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.” (QS Al-Fatihah: 5).

Ayat di atas menurut Syekh Zainuddin memiliki dua kandungan antara syariat dan tasawuf, (1) kandungan ayat tentang syariat, yaitu “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah”. Ayat ini menunjukkan bahwa seorang hamba menyembah kepada Allah melalui upaya yg menjadi representasi dari adanya ilmu syariat, seperti shalat, puasa, zakat, haji, meninggalkan maksiat dan lainnya. Semua ketentuan ini tentu dilakukan secara nyata (lahir), yg merupakan timbal balik dari adanya syariat itu sendiri, sebagai salah satu cabang ilmu yg mengatur pola hidup beragama secara lahiriah; dan (2) kandungan ayat tentang tasawuf, yaitu “hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”. Ayat ini menurut al-Malibari menjadi pokok penting dalam ilmu tasawuf. Dan, adanya ayat ini juga menunjukkan bahwa seorang hamba harus menghilangkan semua kemampuan dan usahanya ketika melakukan ibadah, dan mengembalikan kepada Allah. Dengan kata lain, tanpa adanya pertolongan dari-Nya, maka siapa pun tak aka nada yg dapat melakukan suatu ibadah, sehinggan dgn anggapan demikian, tak ada peluang buat sombong, mau dipuji dan sifat-sifat tercela lainya, sebab semua yg dilakukan memang tak didasari oleh usahanya, namun murni atas pertolongan Allah swt. (al-Malibari, Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya, [Bairut, Darul Fikr: 2001], halaman 9).

Kesimpulannya, melakukan semua ibadah yg diwajibkan kepada umat Islam dan meninggalkan semua maksiat yg menjadi larangan merupakan representasi dari adanya ilmu syariat. Ilmu yg satu ini memiliki peran yg sangat penting buat mengatur pola ibadah yg sifatnya lahiriah. Namun, di sisi yg lain juga perlu buat memperhatikan ibadah dari aspek batiniah, sebab tanpa tinjauan ini, meski secara syariat semua ibadah telah benar, mau keliru bila dalam menjalankannya masih ada sifat-sifat tercela, dan hal ini hanya dapat diperbaiki dgn ilmu tasawuf sebagaimana yg telah dijelaskan di atas. Wallahu A’lam bisshawab.

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.