Hukum Meninggalkan Ibadah Wajib sebab Darurat Kesehatan

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Redaksi NU Online, pemerintah berencana menutup sementara rumah ibadah buat sekian waktu demi mencegah lonjakan penyebaran Covid-19. Dengan demikian, umat Islam tak dapat melaksanakan shalat Jumat. Pertanyaannya, apakah kita umat Islam boleh meninggalkan ibadah wajib sebab alasan demikian? Mohon keterangannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (hamba Allah/Depok)

Jawaban

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Penanya yg budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya buat kita semua. Semua bersepakat bahwa keselamatan jiwa (hifzhun nufus) menjadi kewajiban yg harus diupayakan. Oleh sebabnya, keselamatan jiwa menjadi bagian dari uzur menurut syariat.

Keselamatan jiwa (hifzhun nufus) telah banyak dibahas dalam kajian maqashidus syariah. Keselamatan jiwa (hifzhun nufus) merupakan kebutuhan dasar manusia yg dilindungioleh syariat Islam.

Lalu bagaimana bila keselamatan jiwa (hifzhun nufus) ditempuh dgn cara menghindari kerumunan sebagaimana situasi darurat penyebaran Covid-19 yg konsekuensinya ialah peniadaan shalat Jumat yg memang harus dikerjakan di masjid dgn jumlah jamaah agak besar?

Dalam kondisi demikian, kita dihadapkan pada situasi sulit. Apa yg harus kita lakukan? Shalat zuhur di rumah buat menghindari kerumunan Jumat berarti meninggalkan shalat Jumat. Shalat jumat di masjid (bagi masjid yg masih buka) sama juga menghadang bahaya yg mengancam keselamatan jiwa.

Dalam situasi seperti ini, kita harus memilih mana yg lebih prioritas. Dalam hal ini kita dapat mengikuti panduan dari kaidah fiqih sebagai berikut:

إذَا تَعَارَضَ الْمَانِعُ وَالْمُقْتَضِي فَإِنَّهُ يُقَدَّمُ الْمَانِعُ لأنَّ اعْتِناءَ الشارِعِ بالمَنْهِيّاتِ أَشَدُّ مِنِ اعْتِنائِه بالمَأْمُوْراتِ لِحَدِيْث مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْه فَاجْتَنِبُوْه ومَا أَمَرْتُكُمْ بِه فَأْتُوْا مِنْه مَا اسْتَطَعْتُمْ

Artinya, “Jika (kita) dihadapkan pada larangan dan perintah (wajib/sunnah), maka larangan diprioritaskan sebab perhatian syariat pada larangan lebih kuat ketimbang perhatian pada perintah sebagaimana hadits Rasulullah, ‘Apa yg kularang kepada kalian, jauhilah. Apa yg kuperintahkan kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian,’” (Syekh Ahmad Az-Zarqa, Syarhul Qawaidil Fiqhiyyah, [Damaskus, Darul Qalam: 2012 M/1433 H], halaman 243).

Selain hadits tersebut, kaidah fiqih ini didukung dgn riwayat Imam Muslim yg menceritakan peristiwa perjalanan Fathu Makkah. Riwayat ini bercerita bagaimana Nabi Muhammad SAW juga memilih pembatalan puasa Ramadhan demi keselamatan jiwa para sahabat yg berpuasa di tengah terik matahari.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِي رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ فَصَامَ النَّاسُ ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ حَتَّى نَظَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ ثُمَّ شَرِبَ فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ صَامَ فَقَالَ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ

Artinya, “Dari sahabat Jabir bin Abdillah RA, Rasulullah SAW keluar pada tahun Fathu Makkah (630 M/8 H) menuju Makkah pada bulan Ramadhan. Rasulullah masih berpuasa. Tiba di Kira Al-Ghamim, orang-orang juga masih berpuasa. Rasulullah kemudian meminta segelas air (sebab kondisi fisik menurun) lalu mengangkatnya tinggi-tinggi sehingga orang banyak melihat gelas yg dipegangnya. Ia kemudian meminumnya. Setelah itu Rasul dikabarkan bahwa sebagian orang memaksakan diri berpuasa. Rasul mengatakan, ‘Mereka orang yg bermaksiat. Mereka orang yg bermaksiat,’” (HR Muslim).

Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa mereka yg memaksakan diri dgn mengabaikan faktor keselamatan jiwa dalam mengerjakan ibadah ialah orang yg bermaksiat. Hal ini dapat dimaklumi sebab mereka menghadapi mudharat bagi diri mereka sendiri. Sedangkan kewajiban ibadah tersebut dapat dicarikan solusi fiqhiyyahnya atau alternatifnya.

هكذا هو مكرر مرتين وهذا محمول على من تضرر بالصوم أو أنهم أمروا بالفطر أمرا جازما لمصلحة بيان جوازه فخالفوا الواجب وعلى التقديرين لا يكون الصائم اليوم في السفر عاصيا اذا لم يتضرر به ويؤيد التأويل الأول قوله في الرواية الثانية إن الناس قد شق عليهم الصيام

Artinya, “Kata “Mereka orang yg bermaksiat” dilontarkan Rasulullah secara berulang. Pengulangan itu ditujukan kepada mereka yg menempuh bahaya dgn memaksakan diri berpuasa atau mereka yg diperintahkan buat membatalkan puasa dgn perintah yg pasti sebab sangat jelas kemaslahatannya, lalu mereka melanggar perintah tersebut. atas dua kemungkinan itu, orang yg memaksakan diri berpuasa pada perjalanan hari itu hanya dapat dianggap sebagai orang yg bermaksiat ketika membahayakan keselamatan jiwanya dgn memaksakan diri berpuasanya. Ta’wil pertama diperkuat dgn nash pada riwayat kedua yg mengatakan, ‘Sungguh, orang-orang mengalami kesulitan berpuasa,’” (Al-Imam An-Nawawi, Al-Minhaj, Syarah Shahih Muslim Ibnil Hajjaj, [Kairo, Darul Hadits: 2001 M/1422 H], juz IV, halaman 252).

Demikian jawaban singkat kami. Semoga dapat dipahami dgn baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,

Wassalamu ’alaikum wr. wb.

(Alhafiz Kurniawan)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.