Jangan Pernah Berpikir Merdeka!

Secara umum, kemerdekaan ialah keadaan yg berdiri sendiri. Kemerdekaan dapat diartikan bebas, lepas, tak terjajah dan sebagainya, sebagaimana tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Jika melihat makna ayat Al-Qur’an secara umum, maka semua yg ada di langit dan bumi ialah hamba (‘abdun). Artinya, ia tak dapat dikatakan merdeka, tak dapat dikatakan bebas. Allah berfirman:

إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّماوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَنِ عَبْداً (مريم: 93)

Artinya, “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, melainkan mau datang kepada (Allah) Yang Maha Pengasih sebagai seorang hamba.” (QS Maryam: 93).

Imam Abul Fida Ismail bin Umar bin Katsir ad-Dimasyqi (700-774 H) mengatakan, ayat di atas hanya berkaitan dgn ranah ibadah, bukan dgn ranah sosial. Artinya, bila semua makhluk yg ada di bumi dan langit dikatakan sebagai hamba, maka tak boleh ada yg dijadikan tuhan selain Allah swt. Jika ada, maka semua itu hanyalah rekayasa tanpa dalil yg pasti. Allah telah mengutus para nabi dan rasul sejak awal sampai nabi paling akhir, buat menjelaskan bahwa yg harus dijadikan tuhan hanyalah Allah semata. Namun ada sebagian dari mereka yg mengingkari dan menolak ajakan/risalah yg disampaikan para nabi dan rasul. (Ibnu Katsir, Tafsîr Ibnu Katsîr, [Syiria, Dâruth Thayyibah: 1999], juz IV, halaman 447).

Syekh Muhammad bin Jarir Abu Ja’far ath-Thabari (224-310 H), mengatakan bahwa QS Maryam: 93 juga tak menjelaskan sisi sosial, ia lebih pada penjelasan keadaan manusia kelak di hari kiamat. Semua makhluk yg ada di langit dan bumi mau datang kepada Allah sebagai hamba, dgn keadaan hina dan tunduk serta mengakui status kehambaannya dan membenarkan ketuhanan Allah swt. (ath-Thabari, Tafsîruth Thabari, [Muassasah ar-Risalah: 2000], juz XVIII, halaman 261).

Syekh Nawawi Banten (wafat 1316 H) memiliki pandangan yg cukup berbeda. Menurutnya, semua yg ada di bumi dan langit tak ada yg memiliki status merdeka, ia masih dalam status dimiliki (mamlûk). Tentunya, ia harus mengakui bahwa dirinya hanyalah seorang hamba, dan harus taat kepada Allah swt, selaku yg menciptakan bumi dan langit serta isinya, juga tak mengingkari apa yg diperintahkan Allah kepadanya. (Nawawi Banten, Marâhu Labîd li Kasyfi Ma’nal Qur’ânil Majîd, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah], juz II, halaman 19).

Melihat beberapa penafsiran ulama di atas maka sangat jelas, dalam ranah ibadah (vertikal), tak ada istilah “kemerdekaan” dan “kebebasan” bagi semua makhluk yg ada di bumi dan langit. Artinya, semua makhluk yg Allah ciptakan tak dapat dikatakan merdeka, ia tetaplah seorang hamba, ada dalam kendali-Nya, terikat oleh aturan-Nya serta semua tingkah lakunya, tak memiliki kebebasan penuh.

Dalam diskursus ilmu syariat (fiqih) kata kemerdekaan dalam diri manusia dapat diartikan dgn dua arti, (1) kebebasan secara eksternal, yaitu kebebasan dari suatu paksaan, tekanan, kekuatan hegemoni dari luar dirinya sendiri, seperti musuh dan lainnya; dan (2) kebebasan secara internal, yaitu ia dapat menggunakan keputusan yg ia tetapkan pada dirinya, tanpa terikat oleh keputusan orang lain, dan tanpa diikat oleh kehendak dan kemauan orang lain. Ia murni bebas dari segala tuntutan dan segala aturan-aturan orang-orang yg sama dgnnya (horizontal), tanpa memandang aturan-aturan kepadanya dari yg lebih atas, yaitu Tuhan (vertikal). (Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Hurriyatul Insân fî Dhilli ‘Ubudiyatihi Lillâh, [Damaskus: Dârul Fikr,: 1992], halaman 22).

Dalam al-Mausû’atul Fiqhiyyah dijelaskan, merdeka memiliki makna kebebasan dari segala bentuk perbudakan dan pemilikan:

وَهُوَ: مَنْ خَلَصَتْ ذَاتُهُ عَنْ شَائِبَةِ الرِّقِّ وَالْمِلْكِ

Artinya, “Merdeka ialah orang yg terlepas dari bentuk perbudakan dan hak milik.” (Lihat, al-Mausû’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, [Kuwait: Wazâratul Auqâf: 1998], juz XVII, halaman 171).

Dari berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kata merdeka dapat ditinjau dgn dua arti: (1) merdeka dalam hal ibadah (vertikal), dan (2) merdeka dalam hal kemanusiaan (horizontal). Untuk makna merdeka yg pertama, manusia sama sekali tak memiliki kebebasan, ia sangat terikat oleh segala aturan yg Allah tetapkan dgn segala otoritas-Nya, kepada makhluk yg lemah. Manusia masih ada dalam status perbudakan, yg segala tindakannya masih diawasi dan dijaga dgn ketat. Namun, yg perlu diketahui, makna pertama berkaitan dgn hal kemerdekaan dalam ibadah dan ketuhanan. Adapun makna kedua, dapat dipastikan dan telah mayoritas bahwa manusia telah merdeka, mereka memiliki kebebasan penuh buat melakukan apapun yg mau dilakukan. Tidak ada yg dapat menghalanginya, selama masih sesuai dgn prinsip-prinsip kemanusiaan dan tak menyalahi aturan-aturan lain, berupa kebaikan dan kerusakan.

Dalam diskursus ilmu tasawuf, kata “merdeka” dgn segala kebebasannya, dan “hamba” dgn segala keterbatasannya, memiliki makna yg lebih sederhana, namun lebih sulit buat diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Dikatakan dalam sebuah syair:

الْعَبْدُ حُرٌّ إنْ قَنَعْ وَالْحُرُّ عَبْدٌ إنْ طَمَع فَاقْنَعْ وَلَا تَطْمَع فما شَيْءٌ يَشِينُ سِوَى الطَّمَعْ

Artinya, “Hamba sahaya menjadi merdeka apabila dia merasa cukup, dan orang merdeka menjadi budak apabila ia tak merasa puas. Maka merasa cukuplah, jangan pernah berambisi, sebab tak ada suatu apa pun yg lebih memalukan selain ketamakan.”(Zakaria al-Anshari, Asnal Mathâlib fî Syarhi Raudlit Thâlib, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah: 2000], juz I, halaman 546).

Dari syair di atas dapat dirumuskan, bahwa dalam tinjauan ilmu tasawuf kebebasan dan kemerdekaan bukan tentang orang masih terikat undang-undang atau masih memiliki tanggungan oleh aturan orang lain, atau dapat juga ia masih menjadi hak milik orang lain, tak. Kemerdekaan hanyalah bagi mereka yg merasa cukup dgn apa yg ada pada dirinya, serta tak pernah memiliki perasaan dan ambisi buat memiliki apa yg menjadi hak miliki orang lain.

Sebanyak apapun harta yg dimiliki orang, bila masih memiliki ambisi buat memiliki hak orang lain, serta tak pernah merasa cukup dgn apa yg ada pada dirinya, maka dialah budak sebenarnya. Namun, sehina dan semisikin apa pun orang, bila dapat menerima pada apa yg dimilikinya, dan tak memiliki ambisi buat memiliki hak orang lain, maka dialah orang merdeka sebenarnya. Merdeka bukan fokus pada kebebasan, bukan pula tercekik dgn adanya aturan, namun merdeka lebih pada sikap menerima pada apa yg Allah berikan kepadanya.

Dalam sebuah hadits Rasulullah saw menjelaskan, kekayaan yg sebenarnya bukan tentang materi, bukan pula dgn semua kebutuhan terpenuhi, namun tentang diri sendiri yg selalu merasa cukup. Rasulullah saw bersabda:

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ (رواه أبو هريرة)

Artinya, “Bukanlah kekayaan itu disebabkan banyaknya harta, mau tetapi kekayaan itu ialah kekayaan jiwa.” (HR Abu Hurairah).

Memiliki kekayaan jiwa dgn selalu menerima apa yg Allah berikan merupakan kekayaan tersendiri yg sangat nikmat. Namun, buat menjadi hamba yg selalu menerima tentu sangat sulit, dan banyak orang-orang yg belum dapat sabar. Sebab, pemberian Allah kepada hamba-Nya tak selalu tentang nikmat, terkadang berupa ujian, bahkan ada yg sebagai laknat. Karenanya, Al-Qur’an memberikan kabar gembira kepada orang-orang yg dapat bersabar dan menerima semua yg Allah berikan kepadanya. Dalam Al-Qur’an dinyatakan:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (البقرة:155)

Artinya, “Kami pasti mau menguji kalian dgn sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yg sabar.” (QS Al-Baqarah: 155).

Hemat penulis, kemerdekaan dan kebebasan bukanlah tentang terpenuhinya materi atau dgn memiliki banyak harta. Apalah arti harta melimpah bila belum dapat menerima dgn apa yg dimiliki dan masih berambisi memiliki apa yg dimiliki orang lain. Ia tak ubahnya sebagai hamba sahaya yg selalu mengharapkan kebebasan dan kemerdekaan. Begitu juga dgn kata “hamba” tak selalu dimaknai dgn kemiskinan, kebutuhan yg banyak, bukan pula tentang adanya hak milik orang lain pada dirinya, melainkan tentang rasa cukup pada apa yg dimiliki oleh dirinya sendiri. Dengan demikian, ia telah menempati posisi orang-orang yg telah merdeka. Karenanya, sebagai manusia yg selalu memiliki ambisi buat selalu sama dgn orang lain, tak cukupkah menjadi diri sendiri, padahal sikap seperti ini lebih baik dan lebih maslahat buat dirinya. Wallâhu a’lam bisshawâb.

 

 

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan, Kokop, Bangkalan.
 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.