Membahas nikmat yg Allah swt berikan, sama halnya membahas sesuatu yg tak mau pernah selesai. Sebab Allah sendiri selalu mencurahkan nikmat terhadap hamba-Nya. Karena begitu banyak nikmat yg diberikan, maka tak dapat dihitung jumlah dan bentuknya. Manusia hanya dapat menerima, menjalankan, mensyukuri, atau ada pula yg mengingkari. Dalam Al-Qur’an ditegaskan:
ÙˆÙŽØ¥Ùنْ تَعÙدّÙوا Ù†Ùعْمَةَ الله٠لَا تÙØْصÙوها، Ø¥Ùنَّ اللهَ لَغَÙÙورٌ رَØÙيمٌ. (النØÙ„: 18)
Artinya, “Jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tak mau mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayg.†(Surat an-Nahl ayat 18).
Imam Fakhruddin ar-Razi menjelaskan, ketakmampuan manusia menghitung nikmat yg diterimanya disebabkan semua manfaat dan kenyamanan yg dinikmati oleh tubuhnya, yg digunakan buat menarik manfaat dan menolak keburukan, nikmat yg Allah ciptakan di muka bumi kemudian menjadikan manusia merasa senang, nyaman dan tentram, demikian pula setiap hal yg menjadikan seseorang terhindar dari maksiat, semua itu ialah nikmat. Semua manfaat yg ada di muka bumi atau yg menjadi media buat meraihnya, sejatinya ialah nikmat. Sebab, dgn adanya manfaat atau media kemanfaatan tersebut seseorang menjadi lebih semangat melakukan ketaatan dan mendekat diri kepada-Nya. Imam ar-Razi mengatakan:
Ùَثَبَتَ أَنَّ جَمÙيعَ مَخْلÙوقَاتÙه٠سÙبْØَانَه٠نÙعَمٌ عَلَى الْعَبÙيدÙ
Artinya, “Maka dipastikan, semua ciptaan Allah subhanâhu wa ta’âlâ ialah nikmat bagi hamba-Nya.†(Fakhruddin ar-Razi, Tafsîr Mafâtîhul Ghaib, [Beirut, Dârul Ihyâ’-it Turâtsi, 1998], juz III, halaman 474).
Sementara Syekh al-Khazin mengatakan, bila dilihat dari segi jenis, maka nikmat terbagi menjadi beberapa bagian. Di antaranya nikmat dunia dan nikmat agama, seperti nikmat Islam dan iman. Ada nikmat yg tampak dan dapat dirasakan (dhâhir), ada nikmat yg tak nampak (bâthin), ada nikmat suatu manfaat, da nada pula nikmat seseorang dijauhkan dari maksiat dan keburukan. Masing-masing bila dirinci mau menjadi sangat banyak. Misalnya, dalam nikmat yg tampak dan dapat dirasakan, manusia oleh Allah diberikan nikmat kesehatan badan dan kesejahteraan. Manusia diberi penglihatan yg baik tanpa cacat, dan diberi akal sempurna, diberi pendengaran yg dgnnya dapat memahami suatu ucapan, bacaan dan lainnya. Nikmat kekuatan tangan, nikmat kemampuan berjalan menggunakan dua kaki, dan lainnya. (‘Alauddin ‘Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi al-Khazin, Tafsîrul Khâzin, [Beirut, Dârul Fikr: 1992], juz IV, halaman 84).
Melihat penjelasan Syekh al-Khazin di atas, sangat wajar bila manusia tak mampu menghitung semua nikmat yg mereka terima. Sebab, menghitung satu jenis nikmat yg di dalamnya terdapat ratusan cabang-cabang nikmat yg lain, manusia tak mau mampu. Apalagi bila menghitungnya dgn detail, tentu lebih tak mampu.
Syekh Nawawi Banten memiliki pandangan berbeda perihal ayat di atas, menurutnya, yg dimaksud tak mampu menghitung pada ayat di atas, ialah menghitung secara sempurna, bukan tak dapat menghitung secara menyeluruh. Sebab, manusia tak mengetahui semua nikmat-nikmat yg Allah berikan kepadanya, mereka hanya mengetahui sebagiannya saja. Akibatnya, dgn ketaktahuan ini, manusai tak dapat mensyukuri nikmat secara sempurna. Hal ini juga memberikan warning bahwa akal yg dimiliki manusia hanya memiliki kapasitas yg sangat terbatas ketika harus memuat dan menghitung semua nikmat Allah yg sangat banyak.
Cukup sebagai contoh dan pelajaran bahwa akal manusia sangat terbatas bila dibandingkan dgn nikmat Allah yg sangat luas ialah ketika manusia sedang sakit. Ia mau merasa bingung dan selalu berharap kesembuhan. Namun ia tak mengetahui ada di bagian mana inti penyakit dan bagian mana pula yg harus diobati. Sementara itu Allah mengatur kondisinya dgn cara-Nya yg sangat sempurna. Manusia tak mengetahui di bagian mana yg Allah sembuhkan, dan bagaimana pula cara mengobatinya. Setelah itu oleh Allah ia disembuhkan dari penyakit tersebut bahkan penyakitnya dihilangkan. Yang semestinya dijadikan pelajaran dan renungan ialah, saat Allah menyembuhkan manusia dari penyakit, ia sering tak menyadari atas nikmat yg Allah berikan saat itu. Pikirnya, yg penting telah sembuh, tanpa berpikir bagaimana cara Allah menyembuhkannya. (Nawawi al-Bantani, Marahu Labidin li Kasyfi Ma’ânil Qur’ânil Majîd, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah: 1999], juz I, halaman 589).
Cara Mensyukuri Nikmat yg Tak Terbatas
Sudah jelas bahwa semua nikmat yg Allah berikan sangat banyak, sangat rinci, dan begitu luas tak mampu manusia hitung dgn detail pula. Lantas bagaimana cara mensyukurinya?
Mensyukuri semua nikmat yg diberikan oleh Allah ialah bagian yg sangat penting buat dilakukan manusia, baik mensyukuri nikmat secara global atau dgn detail. Bersyukur ialah bagian dari manifestasi keimanan kepada Allah Sang Maha Pemberi, serta sebagai bukti ketaatan pada perintah-Nya. Dalam Al-Qur’an Allah memerintahkan manusia buat bersyukur atas nikmat yg telah diberikan dan melarang mengingkarinya:
ÙَاذْكÙرÙونÙÙŠ أَذْكÙرْكÙمْ وَاشْكÙرÙوا Ù„ÙÙŠ وَلَا تَكْÙÙرÙونÙ. (البقرة: 152)
Artinya, “Maka ingatlah kalian kepada-Ku, Aku pun mau ingat kepadamu; dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengufuri-Ku.†(QS Al-Baqarah: 152).
Sayyid Muhammad Ali Thanthawi mengatakan, meski nikmat yg Allah berikan tak terhitung jumlahnya dan manusia tak mampu menghitungnya, bukan kemudian menghilangkan kewajibannya buat bersyukur. Syekh Thanthawi mengatakan:
وَمَا دَامَ الْأَمْر٠كَذَلÙÙƒÙŽØŒ ÙَاشْكÙرÙوْه٠عَلَيْهَا مَا اسْتَطَعْتÙمْ، وَأَخْلÙصÙوْا لَه٠الْعÙبَادَةَ وَالطَّاعَةَ
Â
Artinya, “Selama keadaan seperti itu (tak mampu menghitung semua nikmat), maka syukurilah nikmat (yg diterima) semampunya, serta ikhlaskan ibadah dan ketaatan kepada-Nya.†(Sayyid Thanthawi, Tafsîrul Wasîth, [Beirut, Dârul Fikr: 2014], halaman 2509).
Menurut Syekh Thanthawi, ketakmampuan seseorang menghitung semua nikmat yg diterimanya, baik nikmat dunia, berupa rejeki yg cukup dan keluarga dalam kondisi sehat; nikmat agama, seperti nikmat Islam dan iman; nikmat yg tampak dan dapat dirasakan; nikmat yg tak nampak; nikmat berupa manfaat dan nikmat dijauhkan dari maksiat dan keburukan; tak kemudian menjadi penyebab gugurnya perintah buat bersyukur kepada Allah swt. Manusia tetap terkena tuntutan buat bersyukur, sesuai kemampuannya.
Sementara menurut Syekh Nawawi Banten, cara bersyukur harus dilakukan dgn mensyukuri semua nikmat yg diterimanya, baik secara terperinci maupun global. Masalah kemudian ada beberapa nikmat yg luput buat disyukuri, maka Allah Yang Maha Pengampun. Syekh Nawawi menjelaskan:
Ø«Ùمَّ الطَّرÙيْق٠إÙÙ„ÙŽÙ‰ الشّÙكْر٠أَنْ يَشْكÙرَ اللهَ عَلَى جَمÙيْع٠نÙعَمÙÙ‡Ù Ù…ÙÙَصّÙÙ„Ùهَا ÙˆÙŽÙ…ÙجْمَلÙهَا، Ø¥Ùنَّ اللهَ لَغَÙÙورٌ Ù„ÙلتَّقْصÙيْر٠الصَّادÙر٠عَنْكÙمْ ÙÙÙŠ الْقÙيَام٠بÙØ´Ùكْر٠نÙعَمÙÙ‡Ù
Artinya, “Kemudian cara bersyukur yaitu dgn bersyukur kepada Allah atas semua nikmat-Nya; baik secara detail maupun secara global. Sungguh Allah Maha Pengampun atas kelalaian yg muncul dari kalian semua dalam melakukan syukur atas nikmat-nikmat-Nya.†(Nawawi al-Bantani, Marâh Labîd, juz I, halaman 590).
Syekh Abu Muhammad al-Husaini bin Mas’ud al-Baghawi, ulama yg memiliki julukan Muhyis Sunnah, memiliki penafsiran berbeda dgn dua penafsiran di atas. Jika dua pendapat yg telah disebutkan lebih menekankan pada ungkapan syukur, maka tak dgn pendapat Al-Baghawi. Beliau mengatakan, bahwa yg terpenting dalam melakukan syukur bukan tentang ungkapannya, namun lebih pada aplikasinya. Al-Baghawi mengatakan:
يَعْنÙÙŠ وَاشْكÙرÙوا Ù„ÙÙŠ بÙالطَّاعَة٠وَلَا تَكْÙÙرÙوْنÙÙŠ بÙالْمَعْصÙÙŠÙŽØ©ÙØŒ ÙÙŽØ¥Ùنَّ مَنْ أَطَاعَ اللهَ Ùَقَدْ شَكَرَه٠وَمَنْ عَصَاه٠Ùَقَدْ ÙƒÙŽÙَرَهÙ
Artinya, “Yang dimaksud (ayat syukur), ialah: ‘Bersyukurlah kepada-Ku dgn melakukan ketaatan, dan janganlah kalian ingkar kepada-Ku dgn maksiat’. Karena sungguh orang yg taat kepada Allah maka ia telah bersykur, dan orang yg bermaksiaat kepada-Nya maka ia telah ingkar.†(Al-Baghawi, Tafsîrul Baghawi, [Dâruth Thayyibah, 1997], juz I, halaman 168).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa cara bersyukur kepada Allah atas nikmat yg tak terbatas dapat dilakukan dgn dua cara. Pertama, dgn memuji Allah swt atas segala nikmat yg diberikan kepada manusia, baik nikmat Islam dan iman, sehat rohani dan jasamani, nikmat memiliki anggota tubuh yg sempurna dan lainnya. Kedua, dgn cara menggunakan anggota badan buat melakukan ketaatan kepada Allah swt. Sebab, dgn melakukan ketaatan artinya seseorang telah bersyukur dgn segala nikmat yg diterimanya. Wallâhu a’lam bisshawâb.Â
Â
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan, Kokop, Bangkalan.