Ke Mana Perginya Kitab & Sumber Hadits Masa Islam Awal?

Salah satu polemik dalam kajian Islam, khususnya bidang hadits, ialah tentang otentisitas atau keaslian sumber. Jika merujuk pada argumen para cendekiawan – baik dari kalangan Muslim atau Eropa – banyak asumsi muncul bahwa hadits baru muncul di era jauh pasca wafatnya Nabi. Pertanyaan itu muncul sebab ada kemungkinan saat era kodifikasi hadits pada masa Dinasti Umayyah, banyak riwayat hadits telah mengalami distorsi, pengubahan, atau bahkan pemalsuan.

 

Intelektual seperti Ignas Goldziher atau Joseph Schacht berargumentasi bahwa ada tokoh-tokoh kunci yg diduga memalsukan/mengubah hadits, serta memberi dasar dan dalih pada syariat di masyarakat dgn hadits yg disandarkan pada Nabi.

 

Sebelumnya pernah ditulis tentang apakah hadits Nabi telah ditulis sejak masa sahabat. Kesimpulan yg disodorkan oleh Syekh Mustafa Azami ialah Nabi telah memperkenankan sahabat buat mencatat darinya, baik yg berupa surat, maupun pernyataan dan ibadah beliau. Larangan mencatat dari Nabi yg dijadikan kritik berada dalam konteks kemungkinan tercampurnya lafal Al-Qur’an dan hadits, dan banyak sahabat justru telah mencatat hadits yg mereka peroleh dalam shahifah.

 

Syekh Muhammad Mustafa Al-Azami menulis dalam Studies in Hadith Methodology and Literature bahwa sedari abad awal Islam telah ada banyak orang yg menulis hadits, baik dari kalangan sahabat maupun tabiin. Shahifah atau risalah-risalah terpisah yg ditulis para sahabat itu ada yg hanya mencatatkan keseharian Nabi saja, dan ada juga yg ditulis dgn menyertakan pendapat pribadi atau kasus-kasus hukum yg dialami sahabat dan tabiin. Pencatatan hadits-hadits tersebut sangat acak, tergantung siapa sahabat yg menulis dan bagaimana pengalamannya bersama Nabi. Sebagai contoh, shahifah yg disusun Zaid bin Tsabit dalam tema faraidl.

 

Pada abad kedua Hijriah, muncul tren menyusun kitab yg menghimpun beragam masalah hukum. Dalam konteks ini, Imam Malik bin Anas ialah salah satu pelopornya dgn menyusun alMuwattha’, berisi hadits-hadits utamanya dalam masalah hujjah syariat.

 

Lantas, ke mana kepingan dan catatan-catatan hadits para sahabat atau tabiin awal yg telah disusun?

 

Sebagaimana disinggung di atas, mulanya kumpulan hadits tersusun berdasar subjek tiap sahabat, atau tema-tema tertentu yg sangat terbatas – inilah salah satu penyebab cara berislam para sahabat saja telah dapat berbeda. Berlanjut pada tren akhir abad kedua Hijriah, kitab hadits yg lebih komprehensif banyak disusun, seperti Mushannaf Ibnu Abi Syaibah dan Mushannaf Abdur Razzaq. Meski mencakup banyak masalah, kitab hadits awal ini kadang menyitir riwayat tanpa sanad yg lengkap, atau menyandarkannya langsung pada para sahabat. Tentu saja, banyak kitab-kitab era sahabat dan tabi’in awal tak sampai ke kita.

 

Perlu Anda ketahui, riwayat dalam kitab hadits lama itu telah diserap oleh kitab-kitab hadits setelahnya yg lebih ensiklopedik. Demikian catatan Syekh Mustafa Azami dalam Studies in Hadith Methodology and Literature. Meski catatan-catatan para sahabat itu tak sampai ke kita, tapi ia telah tercatat di kitab-kitab hadits setelahnya. Tidaklah mungkin para generasi Muslim awal maupun setelahnya mengabaikan catatan hadits awal, bila penggantinya tak cukup memadai di masa-masa setelahnya. Dan perlu diakui, seiring zaman kitab terdahulu itu tak banyak lagi digunakan – sehingga jadi salah satu penyebab ia tak sampai ke masa kini.

 

Penyerapan catatan hadits generasi awal ke karya kitab-kitab yg lebih tersistematisasi dilakukan dgn beberapa metode pengutipan. Pertama, ialah pengutipan kata per kata dari sanad yg mau bertemu di satu tokoh. Semisal hadits-hadits yg bersumber dari Imam Malik dalam Al-Muwaththa’, mau dapat ditemui dgn redaksi lainnya dalam kutubus sittah dgn periwayat yg mungkin perawinya berbeda di generasi lebih akhir. Hal ini menunjukkan bahwa para penyusun kitab hadits juga merujuk kitab yg sama, namun dari rantai perawi yg berbeda.

 

Kedua, pengutipan kata per kata, dgn tambahan dari penyusun kitabnya terkait kalimat atau riwayat yg kurang jelas, tambahan pendapat pribadi, yg keseluruhannya dijelaskan berbasis pada suatu hadits tertentu. Jika membaca kitab hadits seperti Shahih al Bukhari atau Sunan at Tirmidzi misalnya, kerap para ulama ini memberikan syarah singkat tentang makna riwayat yg asing maupun pendapatnya setelah pengutipan riwayat.

 

Kemudian ketiga, catatan hadits terdahulu itu diserap ke kitab yg lebih belakangan dalam konteks ijtihad atau penyusunan bab yg berbeda. Dalam kitab Shahih al Bukhari, lumrah ada hadits yg redaksinya tak dicantumkan lengkap di satu bab, tapi di lainnya disabilan lebih lengkap. Sehingga dalam satu kitab saja, satu hadits dapat disebutkan lebih dari sekali dalam bab berbeda.

 

Terakhir, ialah suatu tradisi parafrase, yg dikenal dgn riwayat bil ma’na. Seorang perawi mencatatkan atau menyampaikan hadits dgn ekspresi dan perkataannya sendiri. Riwayat semacam ini mengharuskan perawinya memahami bahasa Arab dan tahu konsekuensi bila ada pengubahan kata yg ia lakukan.

 

Tradisi pengutipan hadits dulu tak seperti sekarang yg membaygkan bahwa hadits dicatat dari generasi ke generasi dgn presisi. Dulu orang yg mencari sanad hadits mesti mendapat pengakuan dan izin dari gurunya. Tradisi lisan lebih dahulu ajek dibanding tulis, sehingga sejak hadits dibukukan dan terkanonisasi, sistem periwayatan lebih bersandar pada teks dan pengajaran kitab.

 

Nantinya dalam ilmu hadits, konsekuensi beralihnya tradisi lisan ke teks dalam periwayatan ialah adanya konsep mutabi’ dan syahid. Sistem ini memungkinkan telaah suatu riwayat hadits, dgn mencari riwayat lain dari sanad yg berbeda, yg mau sangat penting dalam penilaian kualitas hadits.

 

Maka bila ada pertanyaan: bila benar hadits itu telah ditulis atau telah ada sejak masa sahabat, mengapa teksnya jarang yg diketahui saat ini? Nah, catatan-catatan itu dapat jadi telah ditinggalkan sejak sistem sanad dan kodifikasi hadits telah mapan di kalangan muhadditsin. Wallahu a’lam.

 

 

Muhammad Iqbal Syauqi, alumnus Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences; mahasiswa Profesi Dokter UIN Jakarta





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.