Berbakti kepada orang tua merupakan salah satu kewajiban bagi umat Islam, terlebih kepada ibu. Dengan keramatnya, ibu dapat menjadi penunjang kesuksesan seseorang. Sebut saja Uwais Al-Qarni yg terkenal di langit gara-gara pengabdian yg luar biasa kepada ibunya.
Â
Selain Uwais, ada tokoh lain yg berhasil mewujudkan cita-cita sebab mengabdi kepada ibunya. Ia ialah Syekh at-Turmudzi, seorang sufi dan ulama besar di zamannya. Di antara pemikirannya yg cukup fenomenal ialah konsep khatmul auliya’ (pamungkas para wali), sebuah pemikiran yg lahir dari pengembangan ajaran khatmul anbiya (pamungkas para nabi). Beliau bernama lengkap Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin al-Hasan al-Hakim at-Turmudzi.
Â
Â
Kisah pengorbanan dan pengabdian Syekh at-Turmudzi kepada ibunya dicatat oleh Syekh Utsman Ismail Yahya dalam pengantar kitab karya Syekh at-Turmmudzi, Khatmul Auliya’.
Â
Dikisahkan, saat at-Turmudzi masih muda berniat mau mondok keluar daerah menyusul sahabat-sahabatnya yg telah lebih dulu berangkat. Sebelum berangkat, at-Turmudzi muda menyampaikan rencananya itu kepada ibunya. Tak disangka, ternyata niat mulianya tersebut malah tak direstui oleh ibunya sebab memang ibunya saat itu sedang terbaring sakit.
Â
“Nak, ibumu ini sedang sakit dan tak berdaya. Ibu hanya punya kamu seorang. Kalau kamu mondok, siapa yg mau menemani ibu?” ungkap ibunya penuh harap supaya at-Turmudzi tak meninggalkannya seorang diri.
Â
Jawaban dari ibunya itu seperti anak panah yg melesat tepat di hati Syekh at-Turmudzi. Hatinya terenyuh bercampur sedih. Tidak ada pilihan lain, ia pun memutuskan buat membatalkan niat belajar agama ke luar daerah. At-Turmudzi muda lebih memilih tinggal di rumah buat menemani dan mengurus ibunya.
Â
Waktu pun berjalan sebagaimana mestinya. Namun, hari-hari Syekh at-Turmudzi masih dipenuhi kegundahan sebab niatnya buat mencari ilmu tak kunjung terlaksana. Di sisi lain, ia tak dapat pergi jauh meninggalkan ibunya seorang diri.
Â
Kesedihan Syekh at-Turmudzi mencapai puncaknya, hingga suatu hari ia datang ke maqbarah (kuburan). Selain bermaksud ziarah, ia juga mau melepaskan semua keluh kesah dan kegundahan yg selama ini dirasakan. Tak terasa tetesan air matanya mengalir deras.
Â
“Aku ialah orang bodoh, sementara sahabat-sahabatku yg sedang mencari ilmu sebentar lagi mau pulang dan membawa segudang ilmu,” sesalnya sambil menangis di atas maqbarah.
Â
Saat Syekh at-Turmudzi bergelut dgn emosinya yg sedang berkecamuk, tiba-tiba di hadapannya muncul sesosok kakek yg tak dikenal. Kakek ini langsung menyapa dan menanyakan penyebab kesedihannya yg mendalam. Tanpa pikir panjang, Syekh at-Turmudzi menjawab dan mencurahkan semua kesedihannya.
Â
“Saya mau mondok, tapi kemauan itu tak mungkin terwujud sebab saya harus menemani dan menjaga ibuku yg sedang sakit,” jawabnya.
Â
Kakek ini langsung memberikan tawaran kepada Syekh at-Turmudzi buat belajar ilmu kepadanya.
Â
“Apakah kamu mau belajar kepadaku? Kamu tak perlu lama belajar kepadaku. Nanti kalau sahabat-sahabatmu telah kembali, belajarnya mau kita akhiri,” ujarnya.
Â
Syekh at-Turmudzi pun menerima tawaran ini dgn riang gembira sebab kemauannya buat belajar mau terlaksana. Tak jadi soal walaupun mungkin belajarnya hanya sebentar. Sejak saat itu, keduanya bertemu setiap hari buat belajar dan mengajar.
Â
Hari-hari berlalu, keilmuan Syekh at-Turmudzi semakin meningkat dgn drastis. Beberapa waktu kemudian ia pun menyadari bahwa sosok kakek yg selama ini menjadi gurunya itu ialah Nabi Khidir. Ia juga bersyukur dan menyadari bahwa anugerah yg ia dapatkan ialah berkat doa dari ibunya.
Â
Begitulah ibu, dapat menjadi keramat bagi anaknya yg berbakti dan dapat membawa laknat kepada anaknya yg durhaka.
Â
Â
Â
Muhammad Aiz Luthfi, Redaktur NU Online
Â
Referensi: Syekh Abi Abdillah Muhammad bin Ali bin Husain Al-Hakim, at-Turmudzi, Khtamul Auliya, Tahqiq: Syekh Utsman Ismail Yahya, (Maktabah Al-Katsulukiyah Beirut, tt), hal 10-11.
Â
Â