Mahfud MD Semprot Abu Janda, Felix, Eggi Sudjana dalam ILC “Reuni 212”

– Meski Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah dibubarkan, tetapi, semangat buat mengerek sistem khilafah tak kunjung padam. Bahkan mereka semakin terang-terangan, menyebut khilafah sebuah keniscayaan. Itulah yg muncul dalam talkshow Indonesia Lawyers Club (ILC) tvOne Selasa (05/12/2017) malam, dgn menyuguhkan topik 212: Perlukah Reuni?

Untung ada Prof Mahfud MD. Pemandu acara, Karni Ilyas memberikan kesempatan kepada Mahfud MD mengomentari seluruh pembicaraan. Mahfud pun mengoreksi sejumlah nara sumber, dari Ustad Abu Janda Al-Boliwudi, Felix Yanwar Siauw sampai Eggi Sudjana yg diyakini tak tahu bedanya apa itu syariah, hukum, fikh dan qonun.

Setelah menjelaskan mengapa dirinya tak hadir dalam Reuni 212, dan mengapresiasi jalannya reuni yg tertib dan damai, Mahfud menjawab masalah yg substansial dari talkshow ILC ini.

“Saya mau masuk ke masalah substansi. Ada tarik ulur apakah Reuni 212 itu politik? Setiap kegiatan tak dapat dilepaskan dari politik. Di dalam (Reuni 212) politik, di luar politik, yg komentar pun politik. Karena semua berakhir pada policy (kebijakan),” katanya.

Bahkan, lanjutnya, setiap Ormas itu gerakan poltiik, mereka mengirim aspirasi ke pemerintah, itu juga politik. “Tetapi tak semua berbentuk partai politik. Jadi buang-buang waktu saja kalau kita bicara nuansa politik. ILC ini juga politik, sebab punya target kepada pemirsa atau bahkan dapat berpengaruh kepada policy pemerintah,” jelasnya.

Salah satu yg patut dicatat, kata Mahfud, ialah munculnya fenomena aksi 212, ini merupakan kemajuan dari demoktasi kita. Di sisi lain, menunjukkan betapa umat Islam masih kosisten terhadap kenegaraannya. “Dulu tak ada peluang melakukan gerakan seperti ini. Era reformasi ini memungkinkan, dan aparat justru melindungi. Kita tak tahu, bagaimana kondisi Timur Tengah, Arab Saudi, tak ada perkumpulan seperti ini, tak ada majelis taklim yg dapat hidup di sana,” lanjutnya.

Baca Juga:  Tak Hanya Covid-19, Gus Miftah Ungkap Dua Virus Ini Juga Berbahaya

Mahfud juga menyebut aksi 212 tak dapat lepas dari jamaah NU dan Muhammadiyah. Kalau dikatakan peserta 212 tak ada warga NU dan Muhammadiyah, atau tak didukung NU dan Muhamamdiyah, itu salah. Yang tak mendukung itu strukturalnya. “Saya yakin, lebih dari separo peserta 212 itu NU dan Muhammadiyah. Saya punya teman hakim, dokter yg kirim foto aksi. Mereka ini NU dan senang sekali berada di tengah-tengah aksi tersebut. Tidak ada bahayanya. Apalagi semua mau mendukung NKRI,” tegasnya.

Kesempatan ini juga dipakai mahfud buat mengkritisi Abu Janda Al-Boliwudi. “Saya punya kritik kepada Abu Janda yg mempersoalkan tentang hadits yg dikatakan 200 tahun setelah nabi wafat. Ini tak benar, dan sangat bertentangan dgn tardisi NU. Memang hadits itu muncul 200 tahun setelah nabi Muhammad saw wafat, tetapi, hadits itu ditulis secara teliti. Di pesantren, itu sangat dipercaya. Hadits ada tingkatannya, mutawatir, shohih, hasan, dloif dan seterusnya. Hadits itu terjaga, kalau mempersoalkan itu, berarti melanggar tradisi pesatren,” katanya.

Lebih tegas lagi, Mahfud MD mengomentari khilafah yg disebut Felix Yanwar Siauw sebagai keniscayaan. “Saya sangat tak sependapat tentang khilafah sebuah keniscayaan. Kalau tak (khilafah) berarti tak percaya pada Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan setersunya. Itu sejarah. Tetapi khilafah, dalam konsep FPI dan HTI ialah sistem pemerintahan. Itu jelas ideologi yg bertentangan dgn Pancasila,” tegasnya.

Baca Juga:  Felix: Penguasa Terganggu Dakwah Islam, Kalis: Dakwah Islam Baik-Baik Saja

Kalau khilafah bermakna sebagai pemimpin, lanjut Mahfud, tak apa-apa. “Tetapi kalau buat mengubah sistem, itu gerakan terlarang. Saya telah mendapat penjelasan dari HTI, bahwa yg dimaksud khilafah itu pemerintahan, mereka tolak demokrasi sebab dihukumi toghut. Mereka tak menolak kebangsaannya, sebab itu gerakan mereka transnasional. Ini yg diperjuangkan dan tak pernah dibantah, ini berbahaya,” tambahanya.

Mahfud bahkan menantang buat berdebat kapan saja soal ini. “Khilafah sebagai pemimpin iya, tetapi sebagai sistem kenegaraan tak ada. Khilafah sebagai pemimpin bermacam-maca. Ada 57 negara Islam yg tergabung dalam OKI, dan 22 negara Arab. Maka, di sini Indonesia juga dapat disebut khilafah, ini ijtihad para ulama seperti ulama ulama lain,” terangnya.

Ia juga menyebut kitab al-Ahkam As-Sulthoniyah. “Saya belajar dua semester, termasuk dgn guru saya Ahmad Azhar Basyir, pimpinan Muhamamdiyah. Beliau mengatakan NKRI ini sangat sesuai dgn Islam. Karena itu, kalau khilafah ini dimaknai sebagai sistem kenegaraan, mengganti ideologi Pancasila, maka, gerakan khilafah ini sangat berbahaya,” ujarnya.

Terakhir Mahfud MD menyinggung Eggi Sudjana yg menggebu-gebu bicara soal Piagam Jakarta. “Saudara Eggi Sudjana menyebut NKRI yg berdasar Ketuhanan yg Maha Esa dimaknai Allah swt, sebagaimana Piagam Jakarta, itu tak dapat. Itu bukan tafsir Pancasila. Itu penafsiran bukan hanya bertentangan gramatiknya, tetapi juga fakta historisnya,” kata Mahfud MD.

Memang betul dulu ada Piagam Jakarta. Lalu dicoret, menjadi Ketuhanana yg Maha Esa. Kalau dikatakan harus kembali ke Piagam Jakarta, itu bukan kata Pancisila, tetapi itu pendapat Ki Bagus Hadikusumo (Pendukung Keras Piagam Jakarta red), Islam itu tauhid. Ini berbeda dgn Bung Karno, yg disebut Tuhan Yang maha Esa itu kembali kepada agama masing-masing.

Baca Juga:  Minta Masjid Milik Pemerintah Dikelola Baik, Menko Polhukam: Jangan Ada Ceramah Adu Domba!

“Perdebatan tentang ini banyak orang tak paham, jangan-jangan Pak Eggi juga tak tahu bedanya apa itu syariah hukum, fikh, qonun. Ini masih sangat jauh. Dan kita tak perlu mundur ke Piagam Jakarta, ini bukan Negara Islam, sehingga tak dapat berlaku hukum Islam, kecuali bagian (perdata) tertentu yg telah disahkan menjadi UU,” pungkasnya.

Sejumlah komentar masuk ke redaksi duta.co, mayoritas mereka menyoroti program ILC yg kali ini dinilai menjadi corong 212. “Sudah tak fair ILC, kesannya jadi media 212. Cara penulisan nara sumber saja tak imbang. Kalau KH Dr Marsudi Syuhud (Ketua PBNU) hanya ditulis Marsudi Suhud, sementara Felix Yanwar Siauw diberi embel-embel ustadz. “Sangat tak fair dan kelihatan ILC menjadi corong mereka. Untung ada Pak Mahfud,” tulis [email protected] pembaca duta.co.

Source: duta.co





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.