Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentangLika-liku Kartini Belajar Islam,
Oase.id- Raden Ajeng (RA) Kartini tak hanya menyuguhkan kisah-kisah tentang emansipasi wanita. Lebih jauh lagi, ada sepenggal pengalaman hidup tokoh kelahiran 21 April 1879 ini menygkut pandangannya terhadap agama Islam.
Mulanya, Kartini mempunyai pandangan yg cukup sinis terhadap kajian-kajian agama. Ia beranggapan, agama, termasuk Islam, hanyalah sebuah warisan leluhur yg kaku dgn ajaran-ajaran yg tak membumi.
Hingga suatu hari, Kartini bertemu dgn Kiai Sholeh Darat Al-Samarangi. Di sana, ia belajar tentang kelembutan Islam hingga terinspirasi memunculkan pandangan pemikiran yg kemudian ia karang dgn sebutan 'Habis gelap, terbitlah terang.”
Pada mulanya
Terlahir dari keluarga priayi Jawa, Kartini merasa memiliki pengalaman yg tak cukup baik tentang proses belajar mengajar, termasuk dalam mengkaji agama Islam.
Soal kegelisahan Kartini ini, dapat ditilik dalam suratnya yg ia kirim kepada sabatnya, Stella, pada 6 November 1899.
“Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tak mengerti apa yg dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tak diajar makna yg dibacanya. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tak satu patah kata pun yg kau jelaskan kepadaku apa artinya,” tulis Kartini.
Baca: 5 Ulama Indonesia yg Mendunia
Curhatan Kartini ini merujuk pada pengalaman yg dia anggap tak menyenangkan ketika belajar membaca Al-Qur'an. Ia tak mendapatkan jawaban yg halus dan tuntas ketika menanyakan satu maksud lafaz dalam kitab suci.
Kartini menganggap, agama diajarkan kepada manusia supaya dapat dijadikan pedoman hidup, berlaku baik, dan mencapai kebahagiaan yg abadi. Namun cita-cita itu, menurut Kartini, mau sangat sulit diraih bila dalam pengajarannya justru menerapkan sistem yg berjarak, bahkan terbatas.
Di ujung keputus-asaannya, Kartini mengungkapkan pendapat kepada sahabatnya, “Tidak jadi orang sholeh pun tak apa-apa, asalkan jadi orang yg baik hati, bukankah begitu Stella?”
Kegelisahan Kartini terhadap tradisi keagamaan di lingkungannya juga dicurahkan melalui surat yg ia kirimkan kepada J.H. Abendanon, seorang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda.
Kelak, Abendanon inilah yg mengumpulkan dan membukukan surat-surat Kartini menjadi buku “Habis gelap terbitlah terang.”
“Aku tak mau lagi membaca Al-Qur'abn, belajar menghafal perumpamaan-perumpaan dgn bahasa asing yg tak aku mengerti artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yg mulia itu terlalu suci sehingga kami tak boleh mengerti apa artinya,” tulis Kartini dalam suratnya yg bertiti-mangsa 15 Agustus 1902 itu.
Terbitlah terang
Pengajar Studi Tafsir Hadits di Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo, Semarang, Masrur melalui judul Kyai Soleh Darat, Tafsir Faid Al-Rahman dan RA Kartini yg dimuat dalam At-Taqaddum: Jurnal Peningkatan Mutu Keilmuan dan Kependidikan Islam (2012) menuliskan, sinisme Kartini terhadap Islam itu gugur setelah berjumpa dgn Kiai Sholeh Darat.
Pertemuan keduanya terjadi ketika Kartini berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak bernama Ario Hadiningrat. Ketika itu, di keluarga besar Kartini sedang dilangsungkan pengajian bulanan yg kebetulan mendatangkan sosok bernama lengkap KH Sholeh bin Umar.
Kiai Sholeh Darat merupakan ulama besar. Melalui tempaannya, lahirlah tokoh-tokoh besar Islam di Indonesia. Termasuk, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadaratussyekh KH Hasyim Asy'ari, dan pendiri Persyarikatan Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.
Baca: Kala Kiai Ahmad Dahlan Menanyakan Kabar KH Hasyim Asy'ari
Kartini, begitu terkesima atas penjelasan runut makna QS. Al-Fatihah yg dijelaskan Kiai Sholeh Darat dgn bahasa Jawa.
Usai pengajian, Kartini pun memberanikan diri mencurahkan keresahannya kepada Kiai Sholeh Darat.
“Kiai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Qur'an yg isinya begitu indah dan menggetarkan sanubari. Maka, bukan buatan rasa syukur hatiku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Qur'an dgn bahasa Jawa,” ungkap Kartini kepada Kiai Sholeh Darat.
Mendengar curhatan Kartini, Kiai Sholeh pun tergugah untuk mengalih-bahasakan Al-Qur'an ke dalam bahasa Jawa. Kemudian, di tangan ulama besar ini, lahirlah Tafsir Faid Al-Rahman ala Kalam Malik Al-Adyan.
Kitab itu pun, dihadiahkan kepada Kartini dalam hari pernikahannya. Saygnya, Kiai Sholeh Darat baru merampungkan sebanyak 13 Juz, dari Al-Fatihah hingga QS. Ibrahim sebelum ulama tersebut wafat pada 18 Desember 1903.
Berkat Kiai Sholeh Darat, Kartini mendalami secara lebih serius penjelasan-penjelasan yg diwariskan gurunya itu. Terutama, ia begitu terkagum dgn kandungan makna dalam QS Al-Baqarah: 257. Kartini mengidolakan kalimat “… Min al-zulumat ila al-nur. Dari kegelapan menuju cahaya.”
Ia merasa, ayat tersebut mewakili pengalaman hidupnya dari penderitaan menuju kemerdekaan, dari kebodohan menuju penjelasan terang benderang.
Hingga akhirnya, Kartini menyadur semangat ayat tersebut ke dalam bahasa Belanda berbunyi; Door duisternis tot licht alias habis gelap terbitlah terang.
(SBH)
Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentangLika-liku Kartini Belajar Islam . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.
terima kasih