Membahas tentangRais Aam PBNU: Ibarat Desainer, MUI Harus Merajut Benang Perbedaan Menjadi Pakaian Indah

Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentangRais Aam PBNU: Ibarat Desainer, MUI Harus Merajut Benang Perbedaan Menjadi Pakaian Indah,

Oase.id- Sejak awal berdiri sampai usianya 45 tahun kini, MUI kerap menasbihkan diri sebagai tenda besar umat Islam. Di dalamnya, ada perwakilan berbagai ormas Islam di Indonesia yg berkumpul dalam satu atap besar.

Sebagai tenda besar umat Islam, MUI di usianya yg ke-45 ini harus semakin bermanfaat bagi umat dan bangsa. Itulah yg disampaikan Rais Aam PBNU KH. Miftachul Akhyar, sebagaimana rilis yg diterima Oase.id, Jumat 7 Agustus 2020.

Dia mau, MUI terus istiqomah mengemban peran sebagai tenda besar ini. Perbedaan-perbedaan antra ormas Islam satu dgn yg lainnya semestinya dapat dijembatani oleh MUI. Ibarat benang-benang yg berupa warna, tugas MUI menjahit benang-benang itu menjadi pakaian yg enak dipakai dan nyaman dipandang. 

 

“MUI diharapkan terus istiqomah memerankan fungsi dalam menjahit perbedaan yg ada menjadi satu model pakaian yg satu, yg enak dipakai, dan elok dipandang. Pengurus MUI ibarat desainer handal yg meracik warna-warni kain menjadi satu kesatuan dalam satu tema bersatu dalam perbedaan, mencari titik temu atas perbedaan yg dapat disatukan, dan mewujudkan sikap saling memahami atas perbedaan yg tak mesti harus disatukan,” katanya. 

Sebagai wadah ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim, Kiai Miftah menilai MUI memiliki peran sangat penting. Utamanya dalam menjalankan perannya sebagai melting pot, titik temu, rumah besar Umat Islam yg terdiri dari banyak kamar namun disatukan dgn dinding ukhuwah Islamiyah. Menurutnya, MUI selama ini telah menjalankan peran sebagai majlis ini dgn baik. 

“Komitmen ukhuwwah Islamiyyah inilah yg menjadi titik temu dalam warna warni organisasi ke-Islaman di Indonesia. Dan saya melihat MUI telah menjalankan fungsi ini secara sangat baik. MUI telah memfungsikan dirinya sebagai “majlis”, sebagai tempat duduk, di dalamnya berhimpun berbagai ormas Islam yg berbeda-beda, untuk meneguhkan khidmah persatuan umat dan bangsa,” ungkapnya. 

Kiai Miftah mencermati, ada tiga kondisi perbedaan di dalam umat Islam yg itu harus dipahami sehingga tetap bersatu di bawah ukhuwah Islamiah. Perbedaan itu, ujar dia, muncul sebab perbedaan tafsir terhadap suatu masalah, yg masih mungkin disatukan. Pada kondisi seperti ini, maka upaya menyatukan menjadi suatu hal yg amat mulia sesuai dgn kaedah “al-khuruj minal khilaf mustahabb”. 

Sedangkan perbedaan kedua berdasar pada ijtihadi dgn argumen shahih pada wilayah majalul ikhtilaf. Perbedaan di titik ini tak mungkin disatukan. Maka perlu dibangun komitmen saling pengertian atau saling memahami untuk mewujudkan harmoni di tengah perbedaan. Sementara perbedaan ketiga ialah perbedaan yg harus diluruskan sebab telah masuk kategori menyimpang. 

“Ketiga, perbedaan terhadap masalah keagamaan yg masuk kategori ma’lum mind din bi al-dlarurah, seperti tentang otentisitas al-Quran, soal kewajiban salat, maka pada hakekatnya, ini bukan wilayah perbedaan yg dapat dimaklumi,” katanya. 

“Dalam Islam, perbedaan pendapat yg ditoleransi ialah perbedaan pendapat yg dgn dlawabith dan hudud, bukan waton suloyo atau asal beda tanpa kaidah yg dibenarkan.Yang ketiga ini ialah penyimpangan yg harus diluruskan,” imbuhnya. 

Pemahaman terhadap jenis-jenis perbedaan itu penting sehingga bijak dalam merespon sebuah perbedaan. Dalam kondisi Pandemi Covid-19 seperti sekarang, menurut Kiai Miftah, salah satu caranya ialah komitmen bersama melalui persatuan. Bersatu dalam bingkai ukhuwah di tengah perbedaan, bukan dgn bercerai berai dan saling menyalahkan. 

Tugas MUI Memperbaiki Akhlak

Sebagai organisasi keulamaan, MUI mengemban risalah kenabian. Risalah kenabian paling utama ialah risalah keutamaan akhlak. Nabi sendiri diutus untuk memperbaiki akhlak umatnya. Sesuai hadis nabi Muhammad SAW, innama buitstu li utammima makarimal akhlak

“Untuk itu, MUI harus memantabkan diri sebagai penjaga akhlak umat dan bangsa, menjadi teladan makarimal akhlak oleh ulama untuk kemaslahatan bangsa. Akhlak ulama mau menjadi faktor munculnya keberkahan bagi umat dan bangsa, terutama saat berada dalam krisis,” ujarnya.  

Bentuk makarimal akhlak yg mau dicapai pada Milad ke-45 ialah terus menerus istiqomah mendakwahkan nilai-nilai Islam yg menyejukkan dan menyatukan. Bukan sebaliknya yaitu membelah dan menegasikan perbedaan. Ulama juga harus mengedepankan prinsip tasamuh (toleransi) dalam hubungan insaniyah, tafahum (saling pengertian) dan mengedepankan maslahah ammah (kepentingan umum) atas dasar ukhuwah. 

“Ulama juga menjauhi sikap dan perilaku ananiyyah (egoisme) dan ‘ashabiyyah hizbiyyah (fanatisme kelompok), yg dapat mengakibatkan ‘adawah (saling permusuhan), tanazu’ (pertentangan), dan syiqaq (perpecahan) di antara kita,” katanya. 

Kiai Miftah menilai, hal-hal yg harus dihindari itu merupakan sebab pasang surut ukhuwah Islamiah. Sikap yg cenderung mengedepankan ananiyyah dan ashabiyyah baik ashabiyyah hizbiyah maupun ashabiyyah jam’iyyah itu merusak konsistensi ukhuwah. 

“Untuk itulah, perlu ada komitmen untuk terus memupuk ukhuwah Islamiyah kita di tengah realitas perbedaan yg ada. MUI tanpa komitmen menghargai perbedaan dgn semangat ukhuwah islamiyah dan al tafahum mau kehilangan makna sebagai tenda besar,” pungkasnya. 

Selain merajut kesatuan dalam Islam, MUI diminta memainkan peran strategis lebih lagi. MUI, ungkap Kiai Miftah, telah selayaknya menjadi jangkar utama dalam mewujudkan ukhuwah wathaniyyah, komitmen persaudaraan kebangsaan untuk mewujudkan persatuan bangsa. Menurutnya, itu ialah modal utama dalam meuwjudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur

“Fungsi kenabian atau profesik yg disandang oleh MUI bukan hanya untuk umat Islam semata, tetapi fungsi itu harus menjelma menjadi rahmat bagi semua, rahmatan lil aalamin. Bukan sekedar untuk internal umat, tetapi juga untuk persaudaraan kebangsaan, dan persaudaraan kemanusiaan. Ini ialah modal utama dan sumbangsih keulamaan yg dinanti serta terus diharap, serta sangat vital dan strategis guna merealisasikan tujuan berbangsa dan bernegara kita, baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur,” katanya. 

 “Saya berharap keberaaan dan keberperanan MUI sebagai tenda besar umat Islam semakin bermanfaat bagi umat dan bangsa; menjadi penyejuk saat udara panas, menjadi api penghangat saat cuaca dmau; menjadi pelita saat gelap, menjadi teman sejati yg selalu hadir saat suka dan duka; menjadi pemersatu di tengah perbedaan; istiqamah membimbing umat dan menjadi sahabat bagi pejabat dalam menjalankan tugas mewujudkan maslahat; amanah dalam menjalankan tugas dakwah, seimbang dalam amar makruf dan nahi mungkar, terbingkai dalam dakwah penuh hikmah,” imbuhnya.

(FER)

Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentangRais Aam PBNU: Ibarat Desainer, MUI Harus Merajut Benang Perbedaan Menjadi Pakaian Indah . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.

terima kasih





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.