Membahas tentangSejarah Ibadah Kurban: Dari Nabi Ibrahim sampai Abdul Muthalib

Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentangSejarah Ibadah Kurban: Dari Nabi Ibrahim sampai Abdul Muthalib,

Oase.id- Seorang petinggi suku Quraisy, Abdul Muthalib termenung. Ia terkenang kisah leluhurnya, Ibrahim yg diperintah Tuhan menyembelih Ismail, sang putra tercinta.

Hatinya berkecamuk. Pilu. Ia merasakan, getar Nabi Ibrahim kini telah berpindah ke dadanya. Bedanya, Ibrahim di masa silam ditantang iman. Sementara dirinya, disandera nazar.

Abdul Muthalib menangis. Betapa tak tega hati bila ia mesti menyembelih Abdullah, anak yg paling disayginya. Namun apa daya, janji telah kepalang. Ia pernah berucap bila anaknya genap sepuluh orang, maka si bungsu mau dikurbankan.

 

Bermula dari zamzam

Berpuluh tahun sebelumnya, penguasa Makkah dari suku Jurhum, Madhad bin Amru al Jurhumi tengah kewalahan menghadapi gempuran musuh-musuhnya. Dengan mengandalkan sisa tenaga yg dimiliki, ia berniat menghilangkan jejak serta mengamankan sebagian hartanya.

Beberapa patung emas, pedang, dan beragam benda berharga lainnya ia ceburkan ke dalam sumur, setelah itu diuruk dgn panasnya pasir jazirah Arab.

Sumur itu ialah zamzam. Sumber air andalan bagi peziarah dan penduduk Kota Makkah.

Baca: Mengapa Makkah Disebut Tanah Haram?

 

Setelah berpuluh tahun zamzam terpendam dan dinyatakan hilang, kebutuhan air di Makkah dan sekitarnya makin sulit dipenuhi. Hingga suatu malam Abdul Muthalib bermimpi didatangi seseorang dan berkata, “Cari! Dan galilah zamzam!”

Bunga tidur itu ditafsiri Abdul Muthalib sebagai kode petunjuk keberadaan zamzam. Kotoran dan darah yg turut hadir di mimpinya dimaknai sebagai simbol air yg mengenygkan dan menyembuhkan penyakit. Paruh gagak tuli merujuk istilah penduduk Habasyah yg pernah berhasrat menghancurkan kakbah.

Sementara gambaran sarang semut menandakan bahwa zamzam mau segera kembali ditemukan dan dikerumuni banyak orang.

Abdul Muthalib pamit kepada istrinya untuk mulai mengurai petunjuk-petunjuk tersebut. Pertama yg dilakukannya ialah menggelar kurban besar-besaran. Ia juga membagikan banyak makanan.

Singkat cerita, penelusuran pun Abdul Muthalib relatif lancar dan membuahkan hasil. Zamzam ditemukan. Saygnya, penduduk Makkah yg teramat bahagia tak mampu menahan nafsu guna segera meneguk airnya.

Suasana sempat kacau. Kepada Abdul Muthalib yg menemukan, bahkan ada yg sampai hati berkata kasar.

“Wahai Abdul Muthalib! Apakah kau berani menghalangi kami, sedangkan kau sendiri tak mempunyai anak lelaki yg dapat menjagamu?!” gertak seorang laki-laki yg hendak menyerobot ke muka antrean.

Abdul Muthalib pun lemas. Bukan tak berani, ia hanya kecewa dan sedih. Memang benar, putranya cuma satu, yakni Harits semata.

Sudah lama Abdul Muthalib memimpikan menambah keturunannya. Hanya saja, kemauannya itu tak juga dikabulkan Allah Swt hingga masa yg terbilang lama. Atas kejadian itu, Abdul Muthalib pun bernazar.

“Ya Allah, bila Engkau memberiku sampai sepuluh anak, maka mau aku kurbankan untuk-Mu putra yg paling akhir kelahirannya,” rintih Abdul Muthalib, begitu yakin.

 

Undian

Allah Maha Mendengar. Ucapan Abdul Muthalib terjawab cukup singkat. Nyaris di setiap tahun, istrinya hamil dan melahirkan hingga tiba kepada hitungan anak ke sepuluh yg diberi nama Abdullah.

Abdullah memang beda dibanding saudara-saudaranya. Raut mukanya lebih rupawan, tingkahnya saleh, dan kecerdasannya bikin kedua orang tuanya jatuh cinta dan mencurahkan kasih sayg sepenuhnya.

Setelah Abdullah kian tumbuh kembang, Abdul Muthalib gusar sebab teringat pernah bernazar soal kurban. Sebagai pemuka kabilah, sungguh gengsi melupakan janji begitu saja. Terlebih, ia telah merasa bersumpah langsung untuk Sang Pencipta.

Usai menangis sejadi-jadinya, Abdul Muthalib tak juga merasa siap dan rela menyembelih Abdullah. Ia terus berharap dan berdoa, semoga Allah Swt berkenan menyelamatkan putranya selayak posisi Ismail di pangkuan Ibrahim yg diganti dgn domba.

Setelah cukup waktu, akhirnya dgn terpaksa dan berat hati Abdullah yg mungil itu dibawa Abdul Muthalib ke hadapan kakbah. Janji ialah janji. Ia pun bertekad menyembelih Abdullah demi memenuhi nazarnya.

Abdul Muthalib lekas mencabut pisau yg diselipkan di sisi kiri badan. Ketika baja tajam itu nyaris menyentuh leher putranya, beberapa petinggi Quraisy lain yg memergoki segera mencegah dan memegangi tangan Abdul Muthalib.

Abdul Muthalib pun jatuh. Setelah berhasil ditenangkan, seorang pendeta yg turut mencegah menyarankan supaya Abdul Muthalib melaksanakan nazarnya dgn cara mengundi.

Seseorang itu bilang, “Tulislah Abdullah di tubuh satu anak panah, kemudian sembilan batang lainnya ditulisi nama unta.”

Aturan mainnya, sepuluh anak panah itu diletakkan di depan berhala Hubal. Setelah siap, Abdul Muthalib dipersilakan memilih dgn mata terpejam.

Jika anak panah yg terpilih bertuliskan lafaz “unta”, maka tak boleh ada seorang pun menghalangi Abdul Muthalib menyembelih putranya. Namun apabila yg muncul ialah nama Abdullah, maka Abdul Muthalib harus mengulanginya terus-menerus sembari menambahkan sepuluh unta yg dilambangkan dgn jumlah anak panah sampai hitungan ke seratus pun tiba.

Abdul Muthalib menyepakati. Meski begitu, di dalam hatinya penuh harap melafalkan doa supaya Tuhan berkenan menyelamatkan Abdullah.

“Ya Allah, Abdullah ataukah 100 unta yg mau saya sembelih?” keluh Abdul Muthalib.

 

Rasulullah Muhammad mengakuinya

Sejak pengundian pertama, kecemasan Abdul Muthalib melulu dibayar lega. Anak panah yg diambilnya selalu bertuliskan nama Abdullah. Ia pun menambah sepuluh batang anak panah di setiap babak yg dilalui, hingga tibalah di hitungan seratus unta.

Abdul Muthalib amat gembira. Ia yakin, Tuhan lebih menghendaki dirinya menyembelih seratus ekor unta untuk dibagikan kepada masyarakat Makkah.

Merujuk peristiwa ini, aturan hukum kabilah Quraisy yg menerapkan denda sepuluh ekor unta bagi pembunuh satu nyawa, konsekuensinya dinaikkan menjadi seratus ekor unta.

Abdullah yg selamat, terus tumbuh dewasa. Setelah cukup umur, ia dinikahkan dgn Aminah binti Wahab.

Aminah ialah perempuan cantik kabilah Quraisy dari garis Bani Zuhrah. Atas pernikahan keduanya, lahirlah manusia paling mulia, Muhammad Saw, sang utusan Allah.

Baca: 20 April 570: Nabi Muhammad Saw Lahir

 

Mengenang peristiwa itu, dalam satu hadis, Nabi Muhammad bersabda;

“Aku ialah putra dari dua orang yg disembelih (dikurbankan).”

 

Tentu, dua nama itu merujuk Nabi Ismail As dan peristiwa yg menimpa masa kecil ayahnya, Abdullah.

 

Sumber: Disadur dari kisah-kisah dalam As Sirah an Nabawiyah karya Ibn Hisyam, Tarikh al Umam wa al Muluk karya Ath Thabari, Ar-Rahiq al Makhtum karya Safi al Rahman Mubarakfuri, dan As Sirah an Nabawiyah as Sahihah, karya Akram al Umari.

(SBH)

Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentangSejarah Ibadah Kurban: Dari Nabi Ibrahim sampai Abdul Muthalib . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.

terima kasih





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.