Membatalkan Pernikahan Usai Lamaran? Ini Ketentuannya

Sebagai langkah awal sebelum terjadinya pernikahan, syariat Islam menganjurkan adanya khitbah (lamaran). Tujuannya, buat menambah pengetahuan dan pengenalan antara calon suami dan istri. Dengan khitbah, calon suami boleh mengenal dan mencari tahu lebih jauh tentang watak, perilaku, sifat, dan kecenderungan calon istrinya, begitupun sebaliknya. Harapannya, kedua pasangan dapat melanjutkan pada jenjang pernikahan dgn hati dan perasaan yg lebih yakin dan sempurna. Bahasa bekennya, “agar tak ada dusta di antara kita.”

Khitbah merupakan tahapan pertama sebelum membentuk ikatan suami dan istri dalam sebuah rumah tangga. Umumnya, praktik ini dilakukan oleh pihak mempelai pria buat menyampaikan kemauan dan kesungguhannya dalam menikahi mempelai wanita, meski pada dasarnya boleh-boleh saja khitbah dilakukan oleh pihak mempelai wanita.

Hanya saja, dalam prosesnya terkadang tak selalu berjalan sesuai harapan. Betapa pun kesepakatan khitbah telah terlaksana, adanya kendala terkadang mempengaruhi keberlangsungan khitbah pada jenjang selanjutnya. Bahkan, kadang ada peristiwa yg mengharuskan salah satu atau kedua belah pihak membatalkan rencana pernikahan yg disepakati pascalamaran.

Membahas tentang hukum membatalkan rencana pernikahan dalam Islam menjadi pembahasan yg menarik dan penting buat dipahami. Sebab, khitbah merupakan sebuah proses yg biasanya dijadikan jalan paling baik buat menuju ikatan rumah tangga, sebagaimana yg dijelaskan dalam fiqih pernikahan (munakahah). 

Hukum Membatalkan Nikah Usai Lamaran

Syekh Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam kitab al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, menjelaskan bahwa khitbah tak dapat dianggap sama dgn nikah. Keduanya merupakan dua komponen yg berbeda, sehingga mempunyai ketentuan yg juga berbeda. Dalam kitabnya disebutkan:

بما أن الخطبة ليست زواجاً، وإنما هي وعد بالزواج، فيجوز في رأي أكثر الفقهاء للخاطب أو المخطوبة العدول عن الخطبة

Artinya, “Melihat bahwasanya khitbah tak dapat dikatakan akad nikah, dan khitbah hanyalah sebatas janji buat menikah, maka menurut mayoritas ulama, bagi mempelai pria yg melamar dan wanita yg dilamar boleh buat berubah pikiran dari lamarannya (janji nikahnya, red)” (Syekh Dr. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut: Dar al-Fikr 2010], juz 9, h. 19).

Khitbah dgn segala ketentuannya memang belum dapat dianggap sebagai akad nikah. Sebelum akad (nikah) terjadi antara keduanya, masing-masing belum mempunyai tanggungan apa pun, dan tak mempunyai beban antara keduanya. Hanya saja, dalam kelanjutan pernyataannya, Syekh Wahbah az-Zuhaili menganjurkan buat tak membatalkan. Dalam kitabnya dijelaskan:

ولكن يطلب أدبياً ألا ينقض أحدهما وعده إلا لضرورة أو حاجة شديدة، مراعاة لحرمة البيوت وكرامة الفتاة

Artinya, “Akan tetapi, dianjurkan sebagai bentuk etika bagi salah satunya, buat tak merusak janjinya, kecuali dalam keadaan yg mendesak, atau kebutuhan yg sangat. (Hal itu) demi menjaga kehormatan keluarga dan kemuliaan wanita” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2010: juz 9, h. 19).

Imam Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi dalam kitab al-Adzkar menjelaskan tentang janji, bahwa ulama kalangan Syafi’iyah sepakat, sunnah hukumnya menepati janji, selagi tak berupa janji yg dilarang, tentu bila tak ditepati mau berkonsekuensi pada hukum makruh dan menghilangkan keutamaannya (Imam Nawawi, al-Adzkar lin Nawawi, [Beirut: Dar al-Fikr, 1994], h. 317).

Menggunakan Alasan yg Tepat

Jika ikatan yg telah disepakati telah tak dapat dirajut kembali, sesuai dgn keadaan dan kebutuhan sebagaimana yg telah dijelaskan di atas, maka sebaiknya bagi pria yg melamar menggunakan alasan yg tepat ketika mau membatalkannya. Syekh Wahbah az-Zuhaili memberikan cara yg benar, yaitu:

وينبغي الحكم على المخطوبة بالموضوعية المجردة، لا بالهوى أو بدون مسوغ معقول، فلا يعدل الخاطب عن عزمه الذي شاءه؛ لأن عدوله هو نقض للعهد أو الوعد

Artinya, “Sebaiknya, memutuskan (pembatalan rencana nikah) atas wanita yg telah dilamarnya itu dgn menggunakan alasan-alasan nyata yg tak dibuat-buat, tak disebabkan mengikuti hawa nafsu, atau tanpa sebab yg dapat diterima oleh akal. Sehingga, pria yg melamar tak berpaling dari tujuan melamar yg ia kehendaki, sebab dgn berpaling dari janjinya, ia dianggap telah merusak janji-janjinya” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2010: juz 9, h. 19).

Kesimpulannya, bila telah jelas ditemukan alasan yg dapat diterima oleh akal dan dibenarkan dalam Islam, segera membatalkan khitbahnya justru lebih baik, supaya pihak wanita tak terlalu mengharapkannya. Namun, bila alasannya tak dapat dibenarkan, sekadar mengikuti hawa nafsu, atau bahkan hanya alasan yg dibuat-buat, membatalkan khitbah justru tak baik. Karena membatalkannya menunjukkan ia bukan laki-laki yg dapat dipercaya, sehingga orang lain tak mudah buat percaya kepadanya. Tidak hanya itu, janji yg telah disepakati, seperti janji khitbah, namun tak dipenuhi mau dipertanyakan oleh Allah ﷻ kelak di akhirat. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً

Artinya, “Dan penuhilah janji sebab janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.” (QS Al-Isra’: 34)

Oleh sebabnya, seperti apa pun alasannya, bila masih dapat dilanjutkan, lebih baik tak membatalkan janji dalam khitbahnya, menimbang efek yg mau terjadi pada dirinya, berupa tak mau dipercaya oleh orang lain, juga tak kalah penting mengingat firman Allah ï·» di atas.

Meminta Kembali Barang yg Diberikan

Di banyak tradisi masyarakat di Indonesia ada kebiasaan ketika melamar, keluarga pelamar mendatangi pihak keluarga orang yg mau dilamar dgn membawa berbagai bentuk barang, seperti uang, pakaian, dan bahkan ada juga yg memberikan barang-barang pokok.

Dari kebiasaan ini mau muncul permasalahan, yaitu tentang meminta kembali barang yg telah diberikan kepada pihak yg dilamar, seiring dgn pembatalan rencana pernikahan. Saat percekcokan terjadi, misalnya, dan berujung salah satu dari kedua pihak memilih buat tak melanjutkan janji, maka diperbolehkan bagi pihak pria menarik kembali barang yg telah diberikan, baik barang itu masih ada, hilang, atau telah rusak. Hanya saja, bila telah rusak, maka ia boleh meminta nominalnya. Syekh Wahbah az-Zuhaili mengatakan:

وفي حال الهلاك أو الاستهلاك يرجع بقيمته إن كان قيمياً، وبمثله إن كان مثلياً

Artinya, “Jika (barang yg diberikan) telah hilang atau rusak, maka ia boleh meminta nominal harganya, bila barang yg diberikan berupa mutaqawam (barang yg hitungannya menggunakan nominal harga), dan meminta dgn ganti barang serupa bila yg diberikan ialah mitsli (barang yg hitungannya dgn ditimbang atau ditakar, seperti beras, dan lainnya).” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2010: juz 9, h. 19).

 

Sunnatullah, santri sekaligus pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan Jawa Timur.
 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.