Manusia diperintah Allah buat mengonsumsi produk yg halalan thayyiban. Halal dalam artian tak dilarang oleh agama, serta thayyib yaitu tak mengandung keburukan, aman dikonsumsi, serta tak membahayakan diri.
Â
Allah menghalalkan segala yg baik, dan mengharamkan hal-hal yg buruk. Allah berfirman,
Â
…يَأْمÙرÙÙ‡ÙÙ… بÙالْمَعْرÙÙˆÙ٠وَيَنْهَاهÙمْ عَن٠الْمÙنكَر٠وَيÙØÙلّ٠لَهÙم٠الطَّيّÙبَات٠وَيÙØَرّÙم٠عَلَيْهÙم٠الْخَبَائÙØ«ÙŽ…
Â
Artinya: “…Dia (Nabi Muhammad) menyuruh mereka kepada yg ma’ruf dan mencegah mereka dari yg mungkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yg baik dan mengharamkan atas mereka segala yg buruk…†(QS Al A’raf 157)
Â
Â
Ø¥Ùذَا بَلَغَ الْمَاء٠قÙلَّتَيْن٠لَمْ ÙŠÙŽØْمÙل٠الْخَبَثَ
Â
“Ketika air telah mencapai dua qullah, maka ia tak mengandung najis.â€
Â
Kata al-khabats di atas dipahami sebagian ulama dgn makna najis. Karena najis merupakan sesuatu yg buruk dan khabats, maka ia diharamkan.
Â
Suatu ketika Imam az-Zuhri pernah ditanya tentang hukum minum air kencing sebagai cara berobat. Imam Ibnu Syihab Az Zuhri ini ialah ulama yg memelopori kodifikasi hadits-hadits Nabi. Imam Az-Zuhri menjawab bahwa air kencing bukanlah sesuatu yg thayyibat. Karena tak thayyib, maka ia ialah sesuatu yg buruk. Dan kita tahu, air kencing itu najis.
Â
Allah berfirman dalam surah Al Maidah ayat 3,
Â
….ØÙرّÙمَتْ عَلَيْكÙم٠الْمَيْتَة٠وَالدَّم٠وَلَØْم٠الْخÙنْزÙير٠وَمَا Ø£ÙÙ‡Ùلَّ Ù„Ùغَيْر٠اللَّه٠بÙه٠وَالْمÙنْخَنÙقَة٠وَالْمَوْقÙوذَة٠وَالْمÙتَرَدّÙيَة٠وَالنَّطÙÙŠØَة٠وَمَا Ø£ÙŽÙƒÙŽÙ„ÙŽ السَّبÙع٠إÙلَّا مَا ذَكَّيْتÙمْ وَمَا Ø°ÙبÙØÙŽ عَلَى النّÙصÙبÙ
Â
Artinya: “Diharamkan atas kamu bangkai, darah, daging babi, yg disembelih atas nama selain Allah, yg tercekik, yg dipukul, yg jatuh, yg ditanduk, dan yg diterkam binatang buas, kecuali yg sempat kamu menyembelihnya, dan yg disembelih atas berhala-berhala…†(QS Al Maidah: 3)
Â
Ayat di atas menunjukkan bahwa bangkai, darah dan hewan yg tak disembelih sesuai ketentuan Islam, kesemuanya diharamkan oleh agama. Imam al-Syarbini dalam Mughnil Muhtaj memaparkan bahwa keharaman yg tak sebab pemuliaan atau kondisi yg menjijikkan, menunjukkan statusnya ialah najis.
Â
Sebagai contoh, ialah status keharaman bangkai. Bangkai tak dimuliakan, dan bila belum membusuk, bagi sebagian orang ia belum dinilai menjijikkan. Dalam fiqih, bangkai tak dipahami sekadar sebagai makhluk mati. Al-maytah atau bangkai didefinisikan sebagai berikut:
Â
وَالْميتَة مَا زَالَت Øَيَاتهَا بÙغَيْر ذَكَاة شَرْعÙيَّة
Â
Artinya: “Bangkai ialah makhluk yg hilang nyawanya tanpa cara penyembelihan yg syar’i.†(Imam Asy-Syirbini dalam kitab Al Iqna’ fi Halli Alfazhi Abi Syuja’).
Â
Definisi “bangkai†ini tak hanya mencakup hewan yg tak disembelih secara syar’i, namun juga hewan yg haram dimakan dagingnya meski disembelih sesuai ketentuan Islam. Sebab keharaman bangkai atau al–maytah ini sebab ia najis. Beberapa benda najis lain yg kita ketahui antara lain ialah babi dan anjing, benda cair yg memabukkan, tinja, air kencing, nanah, darah dan muntahan. Status benda-benda najis ini haram dikonsumsi.
Â
Dalam suatu hadits yg diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari, Rasulullah ditanya tentang adanya bangkai tikus yg jatuh di permukaan mentega (sementara ulama mengartikannya dgn lemak) yg padat. Nabi menjawab, “Jika mentega itu padat, maka buanglah tikus itu dan buang juga mentega di sekitar daerah yg kejatuhan tikus itu. Jika mentega itu cair, maka jangan digunakan.â€
Â
Bangkai tikus ialah najis. Permukaan mentega yg terkena bangkai tersebut, ialah barang yg mutanajjis (terkena najis). Dari situ diketahui bahwa benda padat yg terpapar najis, selama masih dapat dihilangkan wujudnya maka ia dapat dikonsumsi kembali. Namun bila ia bercampur, maka bangkai itu menjadikan seluruh bagian dari benda cair itu menjadi najis.
Â
KH. Ali Mustafa Yaqub menyertakan tiadanya najis sebagai kriteria halal produk pangan dan obat dalam bukunya Kriteria Halal-Haram buat Pangan, Obat dan Kosmetika Menurut Al–Quran dan Hadits. Ketika suatu produk suci dan terbebas dari najis, maka ia halal buat digunakan dan dikonsumsi. Wallahu a’lam.
Â
Â
Muhammad Iqbal Syauqi, alumnus Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences