Tak dapat disangkal lagi, bahwa zakat merupakan bagian dari ibadah. Ketentuan pembayaran dan penyaluran harta zakat telah diatur oleh nash, sehingga menghendaki kepatuhan semua muzakki (pelaksana zakat) dan segenap perangkat/elemen zakat. Termasuk di dalamnya ialah ‘amil (panitia zakat) dan ashnaf (kelompok penerima zakat). Zakat tak sah bila tak disalurkan ke delapan ashnaf.
Â
Nah, rincian terkait dgn 8 ashnaf ini telah dinyatakan oleh QS Al-Taubah [9]: 60, yg salah satunya ialah asnaf sabilillah. Sabilillah sendiri memiliki definisi sebagai berikut:
Â
الصّÙنْ٠السَّابÙع ÙÙÙŠ سَبÙيل الله للآيه الْكَرÙيمَة وهم الْغÙزَاة الَّذين لَا رزق Ù„ÙŽÙ‡ÙÙ… ÙÙÙŠ الÙىء وَأَصْØَاب الÙىء يسمون المرتزقة وَلَا يصر٠شَيْء من الصَّدقَات Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ الْغÙزَاة المرتزقة كَمَا لَا يصر٠شَيْء من الْÙَيْء Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ المتطوعة ÙˆÙŽÙ„ÙŽÙˆ عدم الْÙَيْء لم ÙŠÙعْط المرتزقة من الصَّدقَات ÙÙÙŠ الْأَصَØ
Â
“Asnaf ketujuh ialah sabilillah, disebabkan penyebutannya pada bunyi eksplisit ayat yg mulia. Mereka ialah para tentara perang yg tak mendapatkan harta fai’. Para tentara yg mendapatkan harta fai disebut dgn istilah murtaziqah dan harta zakat tak dapat disalurkan ke mereka yg masuk kelompok murtaziqah ini, sebagaimana harta fai’ juga tak dapat disalurkan ke tentara mutathawwa’ah. Meskipun tak ada fai’, kelompok tentara murtaziqah juga tetap tak dapat menerima zakat, menurut qaul ashah†(Kifayatu al-Akhyar, juz I, halaman 194).
Â
Harta fai’ ialah harta rampasan perang yg diperoleh dari orang kafir di medan perang. Jika kelompok sabilillah ialah terdiri atas tentara yg tak mendapatkan harta rampasan ini, maka itu berarti bahwa sabilillah terdiri dari para tentara yg bertugas menjaga wilayah perbatasan (syahnu al-tsaghur) atau sukarelawan perang yg diperintahkan oleh imam buat maju ke medan perang sebab adanya musuh. Karena mereka tak maju berhadapan dgn musuh secara langsung, maka mereka tak berhak atas harta fai’. Demikian halnya dgn sukarelawan, sebab sebelumnya tak ada persiapan buat perang, maka alat-alat buat perlindungan diri dan senjata ialah dapat diambil dari harta zakat.
Â
Garis besarnya, mereka yg disebut sebagai sabilillah ialah para tentara yg memegang peran penting menggugurkan hukum fardhu kifayah dari seluruh warga, dan bukan menduduki peran fardhu ‘ain sebagaimana tentara yg langsung berhadapan dgn musuh. Syekh Taqiyuddin al-Hushny menjelaskan:
Â
Ù„ÙŽÙˆ كَانَ Ùرض عين لتعطلت المعايش والمزروعات وَخَربَتْ الْبÙلَاد نعم قد يعرض مَا ÙŠÙوجب Ø°ÙŽÙ„ÙÙƒ على كل Ø£Øد كَمَا سَنذكرÙه٠إÙÙ† شَاءَ الله تَعَالَى ÙÙŽØ¥Ùذا قَامَ بÙالْجÙهَاد٠من ÙÙيه٠كÙÙَايَة سقط الْÙَرْض عَن البَاقÙينَ Ù„ÙØ£ÙŽÙ† هَذَا شَأْن Ùروض الكÙايات
Â
“Andai kata jihad fi sabilillah itu hukumnya ialah fardhu ‘ain, maka pasti mau terjadi ketimpangan dalam berbagai sektor kehidupan dan berbagai pertanian, sehingga negara mau roboh. Benar, memang terkadang hukum jihad fi sabilillah ini ialah wajib berlaku atas setiap individu sebagaimana yg mau kami jelaskan insyaallah. Akan tetapi, bilamana telah ada yg menegaskan diri melakukan jihad di dalamnya secara kifayah, maka gugur kewajiban masyarakat lainnya. Hal itu tak lain sebab tugas jihad ini hukumnya ialah fardhu kifayah†(Kifayatu al-Akhyar, halaman 496)
Â
Adapun berkaitan dgn peran fardhu kifayah ini disampaikan sebagai berikut:
Â
ثمَّ الْكÙÙَايَة تØصل بشيئين Ø£ÙŽØدهمَا Ø´ØÙ† الثغور بÙجَمَاعَة يكÙون من بازائهم من الْعَدو ÙÙŽØ¥ÙÙ† ضعÙوا وَجب على كل من وَرَاءَهÙمْ من الْمÙسلمين Ø£ÙŽÙ† يمدوهم بÙمن يتقوون بÙه٠على قتال عدوهم وَالثَّانÙÙŠ Ø£ÙŽÙ† يدْخل الإÙمَام دَار الْكÙَّار غازياً بÙÙ†ÙŽÙسÙه٠أَو يبْعَث جَيْشًا ÙˆÙŽÙŠÙؤمر عَلَيْهÙÙ… من ÙŠØµÙ„Ø Ù„Ø°ÙŽÙ„ÙÙƒ ÙÙŽÙ„ÙŽÙˆ امْتنع الْكل من الْقيام بذلك Øصل الاثم Ù„ÙŽÙƒÙÙ† Ù‡ÙŽÙ„ يعم الْجَمÙيع أم يخْتَص بالذين يدنون Ø¥Ùلَيْه٠ÙÙيه٠وَجْهَان الْمَذْكÙور ÙÙÙŠ الْØَاوÙÙŠ للماوردي وَتَعْلÙيق القَاضÙÙŠ أبي الطّيب أَنه يَأْثَم الْكل وَصØØ Ø§Ù„Ù†Ù‘ÙŽÙˆÙŽÙˆÙيّ أَنه يَأْثَم كل من لَا عذر Ù„ÙŽÙ‡Ù
Â
“Hukum kifayah berlaku berdasar dua kriteria, yaitu: pertama, penjagaan perbatasan bersama sekelompok petugas lainnya yg sekira dapat menolak serangan musuh. Jika kondisi petugas ini lemah, maka wajib hukumnya bagi masyarakat yg berdiri di belakangnya dari kalangan muslimin buat ikut serta membantu, bersama-sama dgn pihak lainnya yg takut mau serangan musuh. Kedua, bilamana pemimpin maju sendiri ke negeri kaum kafir buat berperang, atau imam mengutus seorang tentara supaya mengajak orang yg pantas buat ikut serta dalam peperangan. Dalam kondisi seperti ini, seandainya semua orang menolak buat melakukannya, maka berdosalah mereka. Apakah dosa ini berlaku atas semua orang, ataukah hanya kaum muslimin yg tinggal dekat dgn lokasi peperangan itu? Maka dalam hal ini ada dua pendapat, sebagaimana disebutkan dalam al-Hawi li al-Mawardi, dgn catatan kaki dari Qadli Abu Thayib, yaitu: mereka berdosa seluruhnya. Pendapat ini dishahihkan oleh Imam Nawawi, dan menegaskan semua orang yg tak ada udzur baginya, ialah berdosa.†(Kifayatu al-Akhyar, halaman 498).
Â
Berbekal analisis terhadap peran asnaf sabilillah di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
Â
- Ashnaf ini muncul seiring adanya gangguan keamanan terhadap kaum muslimin, sehingga dibutuhkan orang yg mau menempati sektornya, dgn tak pandang bulu apakah mereka yg diangkat oleh pemerintah dan ditugaskan menempati sektor penjagaan perbatasan (syahnu al-tsaghur) atau berasal dari tim sukarelawan. Hikmah dalil yg berlaku atas mereka ialah berangkat dari rasa takut (khauf).
- Untuk tentara yg ditempatkan oleh pemerintah, maka mereka terdiri dari orang yg memiliki keahlian di bidangnya (man yashluhu li dzalika). Kecuali buat sukarelawan, maka tak diperlukan adanya keahlian.
- Hukum berdiri menempati sektor di atas sifatnya ialah fardhu kifayah, artinya bila tak ada orang dari kalangan kaum muslimin yg menempati sektor tersebut, maka semua orang berdosa
- Segala keperluan mereka dibiayai dari harta zakat.
Â
Lantas, bagaimana illat sabilillah ini kita berlakukan atas dokter atau tenaga medis buat penyaluran harta zakat guna membeli Alat Pelindung Diri (APD)?
Â
Tenaga Medis sebagai Sabilillah
Syekh Ibnu Qayyim Al-Hanbaly di dalam Zad al-Ma’ad-nya menyatakan bahwa kesehatan merupakan seagung-agungnya nikmat dan merupakan rahmat yg tak terhingga. Untuk itu sebagai bentuk rasa syukur terhadap hal itu, maka menjaganya merupakan modal terpenting supaya segala praktik penghambaan kepada Allah SWT dapat dilaksanakan (Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad, Riyadl: Muassasatu al-Risalah, tt., juz 4, halaman 196).
Â
Karena kesehatan merupakan nikmat yg agung, maka upaya menjaga kesehatan dan menjaga masyarakat dari serangan penyakit dan wabah yg berpotensi menimbulkan kerusakan/kematian (halak) merupakan yg sejalan dgn tujuan dasar pokok syariah, yaitu hifdh al-nafs (penjagaan jiwa).
Â
Ada dua tugas utama upaya penjagaan jiwa dari penyakit dalam syariat, yaitu: (1) upaya preventif dan (2) upaya kuratif (pengobatan). Dalam sebuah narasi yg panjang, Imam Al-Syathibi menyinggung mengenai pentingnya upaya preventif ini sebagai berikut:
Â
المؤذيات والمؤلمات خلقها الله تعالى ابتلاءً للعباد وتمØيصًا.. ÙˆÙÙÙ‡ÙÙ…ÙŽ من مجموع الشريعة: الإذن٠ÙÙŠ دÙعها على الإطلاق؛ رÙعًا للمشقة اللاØقة، ÙˆØÙظًا على الØظوظ التي أذÙÙ†ÙŽ لهم Ùيها، بل أذن ÙÙŠ التØرز منها عند تَوَقّÙعÙهـــا وإن لم تَقَعْ؛ تكملةً لمقصود العبد، وتوسعةً عليه، ÙˆØÙظًا على تكميل الخلوص ÙÙŠ التوجه إليه والقيام بشكر النعم. Ùمن ذلك: الإذن٠ÙÙŠ دÙع٠ألم الجوع والعطش والØر والبرد، ÙˆÙÙŠ التداوي عند وقوع الأمراض، ÙˆÙÙŠ التَّوَقّي من كلّ٠مؤذÙØ› آدميًّا كان أو غيرَه، والتØرّÙز٠من المتوقَّعات Øتى ÙŠÙقدّÙÙ… العÙدّة لها، وهكذا سائر ما يقوم به عيشÙÙ‡ ÙÙŠ هذه الدار؛ من درء المÙاسد وجلب المصالØ.. وكون٠هذا مأذونًـــا Ùيه: معلومٌ من الدين ضرورة
Â
“Penyakit fisik dan ruhani, keduanya diciptakan oleh Allah sebagai wahana buat menguji hamba-Nya yg beriman dan sekaligus sebagai bala’ bagi yg tak beriman…. Oleh sebab itu pula, dapat dipahami dari beberapa kumpulan teks syariat, yg menyatakan bahwasanya diizinkan buat melakukan upaya preventif terhadap penyakit, menghindarkan diri dari kesulitan yg mungkin mau terjadi, sambil menjaga batas-batas syara’ yg diperbolehkan. Bahkan, syariat juga mengizinkan buat melakukan tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit, meski hal itu belum benar-benar terjadi. Semua itu ditujukan guna mendukung kesempurnaan bagi tujuan dasar dari manusia (yaitu buat ibadah), serta memberi kelonggaran kepada mereka dalam melaksanakan syariat, sambil menjaga paripurnanya kesehatan dalam menghadapi suatu penyakit. Semua itu juga merupakan bentuk aktualisasi rasa syukur atas nikmat kesehatan yg telah dianugerahkan. Oleh sebab itu pula, syariat juga mengizinkan hamba buat berusaha menghindari sakit akibat rasa lapar, haus, panas dan dmau, dan bolehnya berobat ketika sakit, menjaga diri dari hal-hal yg dapat menyakiti jasmani, baik terhadap diri anak adam atau selainnya, berusaha menghindarkan diri dari penyakit buat datang kembali, serta semua hal yg berkaitan dgn eksistensi kehidupan insan di dunia ini. Yang jelas, semuanya ini, muaranya ada pada menolak mafsadah serta menarik kemaslahatan… Segala yg telah disebutkan di atas, ialah diizinkan oleh syara’ bahkan merupakan perkara yg dianggap ma’lum mina al-din bi dlaruratan (maklum dari sisi agama sebagai kebutuhan primer) oleh syariat.†(Al-Syathibi, al-Muwafaqat, Beirut: Dar al-Ma’arif, tt., Juz 2, halaman 150-151).
Â
Karena setiap serangan penyakit mematikan ialah memiliki kesamaan illat pada timbulnya halak (kerusakan) pada masyarakat, maka tak urung penyakit ini disamakan kedudukannya dgn ‘aduw (musuh) yg hendak menghancurkan suatu negara. Dengan qiyas terhadap tanggung jawab tentara dalam menjaga keamanan masyarakat dari serangan musuh, maka dalam konteks kedokteran, upaya menjaga masyarakat dari serangan wabah ini juga dapat dibagi menjadi dua sektor.
Â
Pertama, petugas yg berada di sektor preventif. Sudah pasti yg dinamakan dgn sektor preventif ialah sektor yg berperan awal mencegah penyebaran penyakit. Untuk itu para petugas ini dapat terdiri dari petugas yg menjemput pasien yg hendak di karantina atau petugas yg menguburkan korban wabah. Tim surveilans dan petugas yg memeriksa kesehatan calon pasien, ialah merupakan pihak-pihak yg masuk dalam wilayah ini, disebabkan sebab mereka berada di garda terdepan. Kepada mereka, dapat disalurkan harta zakat dalam rupa Alat Pelindung Diri (APD) guna membantu kesempurnaan perjalanan tugasnya.
Â
Kedua, petugas yg berkaitan langsung dgn pengobatan pasien (kuratif). Para petugas ini terdiri dari sekumpulan orang yg ditunjuk oleh pemerintah, dan memiliki spesialisasi khusus dalam bidangnya (man yashluhu). Kedudukan mereka diqiyaskan dgn keberadaan tentara dadakan yg dibutuhkan oleh Imam dan ditunjuk supaya ikut serta maju ke medan perang. Segala keperluan buat pelaksanaan tugasnya dicukupi lewat peran harta zakat, termasuk kebutuhan alat perang, baju besi, kuda perang dan lain sebagainya. Para petugas kedokteran yg menempati sektor ini diqiyaskan dgn para tentara ini, sehingga keperluannya terhadap Alat Pelindung Diri (APD) guna menanggulangi wabah juga dapat diambil lewat harta zakat.
Â
Apakah penyaluran harta zakat ini hanya berlaku atas pembelian APD saja?
Â
Imam Nawawi rahimahullah, menyampaikan:
Â
قال أصØابنا: والمعتبر ÙÙŠ قولنا “يقع موقعًا من ÙƒÙايته”: المطعم٠والملبس٠والمسكن٠وسائر٠ما لا بد له منه؛ على ما يليق بØاله، بغير إسرا٠ولا إقتار، لنÙس الشخص ولمن هو ÙÙŠ Ù†Ùقته
Â
“Para ashab al-Syafi’i (ulama pengikut mazhab Syafi’i) berpendapat: menurut pendapat yg mu’tabar di kalangan kami ‘sesuatu yg dipandang cukup buatnya’, maksudnya ialah kebutuhan mereka mau ‘makanan, pakaian (APD), tempat tinggal, dan semua hal yg tak dapat tak harus dilakukan buat pemenuhan tugasnya, sepatutnya, tanpa berlebih-lebihan dan juga tak terlalu irit, sebab memandang sisi individu yg diberi serta keluarga yg dinafkahi.†(Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt., juz 1, halaman 191).
Â
Berdasarkan pendapat ini, maka besaran zakat yg disalurkan ke mereka ialah tak hanya mencakup APD, melainkan juga dapat disalurkan buat kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal atau segala keperluan yg dapat mendukung usaha pencegahan tersebarnya wabah. Apalagi bila wabah itu berlangsung cepat tak terkendali, maka sebesar itu pula harta zakat dapat disalurkan buat membantu mereka. Wallahu a’lam bish shawab.
Â
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur