Pandangan Islam tentang Konten Dakwah Provokatif di Medsos

Tiga hari belakangan publik disuguhkan berita penangkapan oknum penistaan agama di media sosial yg telah menyebarkan ujaran kebencian. Sebenarnya di belantara media sosial aktor-aktor pelaku ujaran kebencian yg dikemas dalam dakwah provokatif sangat banyak. Satu dua oknum yg tertangkap itu hanya segelintir.

Pertanyaannya, menurut ajaran Islam, bagaimana cara menghentikan kasus serupa supaya tak kembali terulang di kemudian hari atau minimal dapat menguranginya?

Di tengah masyarakat yg majemuk seperti Indonesia, penyiaran agama apapun itu, utamanya melalui media sosial, telah seharusnya dilakukan secara arif. Pendakwah agama apapun perlu menyadari, dakwah yg dilakukan secara provokatif, menista agama lain, dan melecehkannya tak mau mendapatkan hasil yg baik, bahkan hanya mau menjadi konten “sampah” di media sosial. Apalagi yg didakwahkan ialah agama Islam yg jelas-jelas menjamin kemerdekaan beragama bagi seluruh manusia, memerintahkan dakwah secara arif, dan melarang umatnya buat mensyiarkan Islam secara provokatif.

Islam Menjamin Kemerdekaan Beragama. Nabi Saw sebagai Teladannya

Islam menjamin kemerdekaan beragama bagi siapapun. Secara tegas Allah berfirman:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ. البقرة: ٢٥٦

Artinya, “Tidak ada paksaan buat (memasuki) agama (Islam); sungguh telah jelas jalan yg benar ketimbang jalan yg sesat. Karena itu orang yg mengingkari Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang kepada buhul tali yg amat kuat yg tak mau putus, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Surat Al-Baqarah ayat 256). 

Berdasarkan ayat ini Nabi Muhammad saw tak pernah memaksakan agama Islam kepada siapapun. Nabi Muhammad saw sangat menjaga at-ta’ayus ad-dini as-silmi atau harmoni kehidupan beragama yg penuh kedamaian antara kaum muslimin dan umat beragama lainnya. (Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsîrul Wasîth, [Beirut, Dârul Fikr Al-Mu’âshir dan Dârul Fikr, cetakan pertama: 1422 H/2001 M), juz I, halaman 148-149).

Dakwah dgn Kearifan

Perjuangan dakwah yg dilakukan Nabi Muhammad saw menunjukan teladan kearifan. Intimidasi, teror, dan berbagai persekusi yg dihadapinya, tak membuat Nabi Muhammad saw melakukan dakwah secara provokatif, kasar, dan mengumbar ujaran kebencian. Bagaimanapun dakwah tetap dilakukannya secara penuh hikmah dan kearifaan sesuai tuntunan Al-Qur’an:

اُدْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ. النحل:  125

Artinya, “Serulah ke jalan Tuhanmu dgn hikmah dan pelajaran yg baik. Bantahlah mereka dgn cara yg baik. Sungguh Tuhanmu lebih mengetahui siapa yg tersesat dari jalannya dan dialah yg lebih mengetahui orang-orang yg mendapat petunjuk.” (Surat An-Nahl ayat 125)

Selain bertentangan dgn Islam, dakwah yg dipenuhi ujaran kebencian, penistaan agama lain, dan provokasi konflik di tengah masyarakat yg majemuk justru menjauhkan manusia dari tujuan utama dakwah yaitu mengajaknya pada kebaikan. Imam Fakhruddin Ar-Razi mengatakan:

مَتَى امْتَزَجَتِ الْحُجَّةُ بِالْإِيذَاءِ كَانَتِ الْفِتْنَةُ 

Artinya, “Kapan hujjah argumentasi dakwah tercampur dgn perbuatan menyakiti orang lain, maka pasti muncullah fitnah,” (Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr Al-Bahrul Muhîth, [Beirut, Dârul Fikr Al-‘Ilmiyyah, cetakan pertama: 1422 H/2001 M], juz VI, halaman 48).

Menghindari Dakwah Provokatif

Dakwah provokatif dgn memproduksi konten ‘sampah’ di media sosial juga jelas-jelas dilarang oleh Islam. Namun perlu diakui, sadar atau tak, terkadang orang lepas kontrol dan berlebihan dalam dakwahnya. Sebab itu wajar bila sejak dulu perilaku semacam ini mendapatkan teguran dari Allah swt:

وَلاَ تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللهِ فَيَسُبُّواْ اللهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُون. الانعام: 108

Artinya, “Janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yg mereka sembah yg lain dari Allah, sebab mereka nanti mau memaki Allah dgn melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yg dahulu mereka kerjakan.” (Surat Al-An’am ayat: 108).

Para pendakwah tentu tahu, ayat ini merupakan teguran bagi mereka supaya tak melakukan kemungkaran-kemungkaran dalam dakwahnya, yaitu mencaci-maki sesembahan dan simbol agama lain secara provokatif yg justru membuat sasaran dakwah semakin jauh dari hidayah Islam. (Fahruddin Ar-Razi, Mafâtihul Ghaib, [Beirut: Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah, cetakan pertama: 1421 H/2000 M], juz XIII, halaman 114-116).

Hemat penulis, apabila para pendakwah semua agama, utamanya Islam, memperhatikan tiga hal tersebut, (1) menjamin atau menghargai kebebasan beragama; (2) berdakwah dgn penuh kearifan; dan (3) menghindari dakwah provokatif; fenomena konten sampah dakwah provokatif dapat berkurang dan tak mau terjadi aksi saling balas kebodohan. Wallâhu a’lam.

Ustadz Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online dan Founder Aswaja Muda.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.