Pandangan NU terkait Hoaks & Ujaran Kebencian

Selain pemerintah, Nahdlatul Ulama juga melakukan imbauan serupa terkait maraknya kebencian dan hoaks ini. Para Ulama yg hadir Musyawarah Nasional (Munas) NU 2017 di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), juga memiliki keresahan yg sama terkait dampak ujaran kebencian, hinaan, fitnah, hoaks, dan manipulasi informasi yg kemudian dikenal dgn istilah hatespin (pelintiran kebencian) di Indonesia.

Para ulama ini menilai fenomena mengkhawatirkan itu dapat merusak karakter anak bangsa. Media sosial dianggap sebagai akselerator penyebaran ujaran kebencian baik secara lisan maupun tertulis, yaitu twitter, facebook, whatsapp, youtube, dan jenis akun lainnya.

Ujaran kebencian, hokas, manipulasi informasi, hate spin, pada gilirannya merusak keharmonisan dan kerukunan hidup masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, masalah ini diangkat sebab tingkat urgensinya supaya masyarakat tak hidup dalam kubangan kebencian satu sama lain.

Para ulama ini memutuskan bahwa ujaran kebencian, hoaks, manipulasi informasi merupakan perilaku tercela yg jauh dari akhlakul karimah (akhlak terpuji) sebab perbuatan ini menyerang kehormatan pribadi dan golongan yg dilindungi agama (hifzhul ‘irdh). Ujaran kebencian perbuatan yg mencerminkan akhlaq madzmumah (akhlak tercela) yg dilarang oleh agama Islam.

Secara lebih khusus, di dalam Islam, ujaran kebencian masuk dalam kategori namimah, ghibah, sukhriyyah, istihza`, buhtan, fitnah, dan lain-lain. Dengan kata lain, Islam telah melarang perbuatan menghasut, mengadu domba, merendahkan orang lain, menyebarkan berita bohong, dan fitnah. Semua ini termasuk kategori kemungkaran yg mesti dicegah dan dihentikan.

Selain perbuatan tercela, semua perbuatan ini dalam putusan Sidang Komisi Bahtsul Masail Maudhuiyah Munas NU 2017 dinyatakan sebagai salah satu jarimah atau tindakan kriminal sebab telah diatur dalam undang-undang. Ujaran kebencian mencakup ungkapan, gerak tubuh, atau simbol yg bertujuan buat merendahkan kelompok tertentu. Ujaran kebencian tersebut juga didasarkan pada niat buat membenci, ada kelompok yg menjadi target, menyebarkan kebencian kepada kelompok lain dgn niat tertentu.

Semua orang yg melakukan ujaran kebencian dan hoaks dihukumi berdosa sebab masuk dalam perbuatan yg tercela (akhlaq madzmumah) dan pelaku kriminal atau jarimah sebab telah diatur dalam undang-undang. Umat Islam dilarang melakukan dan menyebarkan ujaran kebencian yg didasarkan atas etnis, agama, ras, dan golongan.

Forum Ulama ini menilai bahwa pengaturan tentang lalu lintas komunikasi dan informasi baru bersifat parsial. Belum ada UU tentang komunikasi sebagai induk pengaturan. Maka, penanganan berbagai problem komunikasi dan arus informasi terkini, misal, seputar peredaran informasi hoaks, meluasnya ujaran kebencian atas nama ceramah agama, kebebasan membid‘ahkan, dan mengafirkan, terasa tak mendapat penanganan yg utuh mulai dari aspek pencegahan, pembinaan, sampai penindakan.

Konstitusi UUD 1945 menyebut jaminan Hak Berkomunikasi dan Memperoleh Informasi. Namun konsep legal komunikasi secara utuh belum memiliki rujukan hukum. Pengaturan komunikasi saat ini baru aspek parsial dari komunikasi, yaitu aspek Pers (UU 40/1999), Telekomunikasi (UU 36/1999), Penyiaran (UU 32/2002), Informasi Elektronik (UU 11/2008 dan revisinya UU19/2016), dan Informasi Publik (UU 14/2008).

Sedangkan era digital yg ditandai akselerasi media sosial (medsos) memunculkan beragam persoalan komunikasi baru di tengah masyarakat. Masalah hoaks dan problem sejenis (ujaran kebencian, fitnah, manipulasi informasi, disinformasi, peredaran prasangka, dan lain-lain) menjadi ancaman serius kehidupan berbangsa, juga beragama.

Selama ini penanganannya hanya didekati secara parsial dari aspek informasi elektronik, dgn UU ITE dan dianggap pasal karet. Padahal problem itu juga dapat berkembang dalam bentuk informasi non-elektronik. Tidak hanya di dunia maya, problem ujaran kebencian dan hoaks juga terjadi di dunia nyata, dalam ruang-ruang komunal, yaitu mimbar ceramah, forum pengajian, ruang kuliah, dan sebagainya.

Para ulama di Forum Sidang Qanuniyah Munas NU 2017 ini merekomendasikan adanya tata aturan ruang ekspresi komunikasi dan arus informasi dgn membedakan standar etika di ruang privat, ruang komunal, dan ruang publik.

Apalagi komunikasi dan informasi bermuatan keagamaan ikhtilafiyah atau dipolemikkan, baik antarmazhab dalam satu agama, maupun antaragama, yg dapat mengganggu sensitivitas publik. Kecuali itu, pemerintah perlu mengeluarkan rumusan kode etik atau standar etika dalam komunikasi dan informasi, serta mekanisme pembinaan, literasi, serta penindakan, bila terjadi pelanggaran. (Alhafiz Kurniawan)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.