Penjelasan Para Rasul yg Tak Pernah Melakukan Perbuatan Haram, Makruh & Mubah

Di antara tujuan Allah mengutus para rasul ialah menyampaikan risalah kepada umat manusia yg menjadi tanggung jawab mereka. Hal itu terekam dalam kitab-kitab ilmu tauhid yg menjelaskan empat (4) sifat wajib para rasul, yaitu: shidiq (benar dalam semua pekerjaan, ucapan dan tindakannya), amanah (jujur dalam setiap apa yg disampaikan), tabligh (menyampaikan setiap risalah yg menjadi tanggung jawab), fathanah (cerdas dalam pribadinya). 

 

Sebagai manusia pilihan, tentu semua tindakan para rasul selalu sesuai dgn apa yg dikehendaki Allah. Karenanya, kita sebagai manusia mempunyai kewajiban mengikuti semua teladan yg dicontohkan oleh para rasul, kecuali yg Allah khususkan bagi mereka. Allah berfirman:

 

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ

Artinya, “Katakanlah (Muhammad), ‘Jika Kalian mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mencintai kalian’.” (QS. Ali ‘Imran: 31)

 

Dalam ayat lain disebutkan:

 

وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Artinya, “Ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.” (QS. Al-A’raf: 158)

 

Dua ayat di atas menunjukkan kewajiban mengikuti semua teladan yg dicontohkan oleh para rasul, kewajiban itu telah final tanpa dipertentangkan oleh para ulama, baik mutaqaddimin (klasik) maupun muta’akhirin (kontemporer). Ulama sepakat tanpa khilaf bahwa mengikuti jejak langkah utusan-utusan Allah sesuai dgn zamannya berhukum wajib.

 

Kewajiban mengikuti para rasul juga menjadi dalil secara pasti atas terjaganya jiwa Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam dan rasul lainnya dari setiap perbuatan maksiat dan dosa. Mereka bahkan terjaga dari semua pekerjaan yg hukumnya makruh. Semua teladan yg dicontohkan oleh mereka berputar pada perbuatan yg berhukum wajib, sunnah dan mubah. Semua itu ketika dipandang dari sisi perbuatannya, tanpa memandang faktor lain yg dapat mempengaruhi hukum pekerjaan tersebut. Misalnya makan, ketika dipandang dari sisi pekerjaannya maka berhukum mubah, namun dapat menjadi sunnah bahkan wajib ketika disertai faktor lain yg mengubah hukum asalnya.

 

Sedangkan ketika memandang dari faktor-faktor yg lain, yaitu, faktor yg dapat mengubah hukum asal dari sebuah pekerjaan mubah menjadi sunnah (awarid) maka semua pekerjaan para rasul hanya berada dalam hukum wajib dan sunnah saja. Syekh Muhammad Ad-Dasuqi mengatakan:

 

وَأَمَّا لَوْ نَظَرَ اِلَيْهِ بِحَسَبِ عَوَارِضِهِ فَالْحَقُّ أَنَّ أَفْعَالَهُمْ دَائِرَةٌ بَيْنَ الْوُجُوْبِ وَالنَّدْبِ لاَ غَيْرُ، لِأَنَّ الْمُبَاحَ لاَ يَقَعُ مِنْهُمْ

 Artinya, “Jika memandang dari faktor lain (yg mempengaruhi hukum dari pekerjaan para rasul) maka yg benar ialah semua pekerjaan para rasul hanya berputar dalam hukum wajib dan sunnah, bukan yg lain, sebab pekerjaan yg hukumnya mubah tak pernah terjadi pada mereka.” (Muhammad Ad-Dasuqi, Hâsyiyatud Dasûqi ‘ala Ummil Barâhain, [Maktabah Imam, Surabaya: 2000], halaman 182).

 

Menurut Syekh Ad-Dasuki, semua utusan Allah tak pernah melakukan pekerjaan-pekerjaan yg hukumnya mubah, sebab semua pekerjaan tak dilakukan dgn kehendak dirinya sendiri (syahwat), namun setaknya disertai dgn niat mendekatkan diri kepada Allah. Atau dapat juga dgn tujuan mencontohkan sebuah syariat (tasyri’) kepada umatnya. Dengan tujuan itu, secara otomatis menjadikan semua pekerjaan-pekerjaan mereka termasuk dari ajaran (ta’lim) kepada umatnya. Dengannya, semua teladan para rasul yg awalnya berhukum mubah mau menjadi bernilai ketaatan di sisi Allah disebabkan tujuan mulia tadi. Sedangkan melakukan ketaatan kepada Allah mempunyai hukum setaknya sunnah. 

 

Berkaitan dgn penjelasan di atas, Syekh Az-Zarnuji menyampaikan sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam:

 

كَمْ مِنْ عَمَلٍ يُتَصَوَّرُ بِصُوْرَةِ أَعْمَالِ الدُّنْيَا وَيَصِيْرُ بِحُسْنِ النِّيَةِ مِنْ أَعْمَالِ الْأَخِرَةِ

Artinya, “Betapa banyak suatu pekerjaan yg bernilai dunia (mubah), namun disebabkan baiknya niat menjadi pekerjaan akhirat (mendapatkan pahala).” (Az-Zarnuji, Ta’limul Muta’allim, [Bairut, Darul Kutub: 2000], halaman 4).

 

Semua pekerjaan dan ucapan yg disampaikan para rasul tak lepas dari pantauan-Nya secara langsung. Seolah Allah menghendaki para utusan-Nya tak pernah melakukan kesalahan sedikit pun. Toh bila memang melakukannya, Allah mau menegurnya secara langsung. Seperti Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam tak pernah mengatakan suatu apa pun dgn kehendaknya sendiri setelah diangkat menjadi nabi. Begitu pun para rasul lain. Allah berfirman:

 

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى، إنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى

Artinya, “Dan taklah diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauannya. Tidak lain (Al-Qur’an itu) ialah wahyu yg diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)

 

Menurut ulama ahli tafsir, ayat ini menyatakan tentang terjaganya lisan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dari segala hawa nafsu dan tujuan yg salah. Ia taklah berbicara kecuali dgn apa yg diwahyukan kepadanya dari Allah. Ia juga tak pernah mengatakan kecuali apa yg diperintahkan kepadanya, kemudian menyampaikannya kepada umatnya secara utuh dan sempurna, tanpa pengurangan maupun penambahan. 

 

Para rasul yg oleh Allah  diberi mandat sebagai uswah (teladan) bagi umat manusia di muka bumi selalu menampakkan etika, pekerjaan, ucapan, dan semua perbuatannya dgn penampilan yg baik. Analoginya begini. Para rasul Allah di muka bumi merupakan manusia pilihan yg Allah pilih buat menyampaikan risalah kenabian. Mereka datang sebagai sosok penyelamat manusia dari kebodohan dan kesesatan menuju kehidupan berilmu dan hidayah. Dengannya Allah memerintahkan semua makhluk buat menjadikan para rasul sebagai teladan yg dijadikan panutan. Tentu bila para rasul melakukan kesalahan, baik yg hukumnya makruh atau khilaful aula, maka umatnya juga dituntut melakukan pekerjaan-pekerjaan tak baik itu. Sedangkan yg dinamakan ketaatan hanyalah buat perbuatan baik tanpa menyalahi syariat sedikit pun. Maka tak logis bila pembawa risalah dari Allah memerintahkan sebuah keburukan. (Ad-Dasuqi, Hâsyiyatud Dasûqi, halaman 181).

 

Sebab itu, semua perbutan yg dicontohkan para rasul tak ada yg berhukum haram, makruh, khilaful aula maupun mubah, sebab Allah memerintahkan manusia buat mengikuti semua jejak langkah yg dicontohkan oleh mereka tanpa harus diperinci. Seolah Allah hendak menyampaikan bahwa semua tindakan para rasul ialah baik dan harus diikuti tanpa mengomentari dan memerinci. Semua perbuatan bila telah dilakukan oleh para rasul maka menunjukkan perbuatan itu baik, kecuali beberapa perbuatan tertentu yg Allah khususkan bagi mereka, maka tak dianjurkan diikuti. Bahkan haram bagi manusia lain buat mengikutinya.

 

Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan Jawa Timur.
 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.