Sikap Muslim saat Mendapati Kekeliruan Orang Lain

Seorang Muslim yg bertakwa dituntut atau dianjurkan buat mengambil paling tak satu dari tiga sikap dari seseorang yg melakukan kekeliruan terhadapnya, yaitu menahan amarah, memaafkan, dan berbuat baik terhadapnya.

Hal itu terlihat pada Al-Qur’an Surat Ali ‘Imran ayat 134:

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“(yaitu) orang yg berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yg menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yg berbuat kebaikan.” (QS Ali Imran: 134)

Lain halnya ketika seseorang yg menekadkan diri buat tak berbuat baik kepada yg berbuat salah kepadanya. Bahkan ia berani bersumpah buat tak berbuat baik terhadap seseorang yg melakukan kesalahan kepadanya. Maka Al-Qur’an menganjurkan supaya ia memaafkan dan melakukan apa yg diistilahkan oleh Al-Qur’an dgn al-shafeh. Hal ini seperti yg diterangkan dalam Surat An-Nur ayat 22:

 

Baca juga: Risalah KH Hasyim Asy’ari buat Bekal Berumah Tangga

وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan janganlah orang-orang yg mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tak) mau memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin, dan orang-orang yg berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayg.” (QS An-Nur: 22)

Dari kedua ayat yg dikutip di atas, dapat dipahami bahwa sebenarnya ada tingkatan yg lebih tinggi ketimbang sekadar memberi dan meminta maaf (dijelaskan di bagian akhir tulisan ini). Hal tersebut mau terlihat jelas ketika seseorang memahami apa itu istilah maaf. Kata maaf berasal dari Al-Qur’an al-afwu yg berarti menghapus, sebab yg memaafkan menghapus bekas-bekas luka di hatinya.

Artinya, bukan memaafkan namanya bila masih tersisa bekas luka di hati dan bila masih ada dendam yg membara dalam hatinya. Boleh jadi ketika itu apa yg dilakukannya baru sampai pada tahap menahan amarah. Artinya, bila manusia mampu berusaha menghilangkan segala noda atau bekas luka di hatinya, maka dia baru dapat dikatakan telah memaafkan orang lain atas kesalahannya.

 

Baca juga: Hak Nasab Anak dan Waris pada Suami-Istri

Oleh sebab itu, syariat secara prinsip mengajarkan bahwa seseorang yg memohon maaf atas kesalahannya kepada orang lain supaya terlebih dahulu menyesali perbuatannya, bertekad buat tak mengulanginya lagi, serta memohon maaf sambil mengembalikan hak yg pernah diambilnya. Kalau berupa materi, maka materinya dikembalikan, dan kalau bukan materi, maka kesalahan yg dilakukan itu dijelaskan kepada yg dimohonkan maafnya.

Keterangan di atas juga menjadi syarat bertaubat seorang hamba kepada Tuhannya. Taubat menuntut penyesalan yg mendalam atas segala salah, khilaf, dan dosa yg diperbuat seorang hamba. Esensi taubat juga bukan hanya satu arah saja, yakni hubungannya dgn Tuhan, tetapi juga mengubah perilaku sosialnya di tengah masyarakat menjadi laku yg positif.

Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon

*) Dinukil dari Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1999)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.