Syukur dalam Kajian Para Sufi

Syukur merupakan kata yg lazim diucapkan dalam keseharian masyarakat. Syukur menjadi pembahasan dalam bab tersendiri dalam kajian tasawuf. Syukur dibahas dgn beragam pandangan orang-orang sufi dalam ar-Risalatul Qusyairiyyah.

Pembahasan syukur dalam ar-Risalatul Qusyairiyyah diawali dgn kutipan Surat Ibrahim ayat 7:

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ

Artinya, “Sungguh, bila kalian bersyukur, niscaya Kutambahkan nikmat kalian,” (Surat Ibrahim ayat 7).

Terkait syukur, al-Qusyairi mengutip sebuah hadits yg menceritakan Atha dan Ubaid bin Umair. Suatu hari keduanya menemui sahabat Aisyah ra.

 

“Kabarkan kepada kami apa yg paling mengherankanmu dari perbuatan Rasulullah saw!” kata Atha.

Siti Aisyah ra menangis. Ia kemudian bercerita bahwa suatu malam Rasulullah saw mendatanginya dan berbaring di kasurnya atau di dalam selimutnya sehingga kulit keduanya saling bersentuhan.

“Wahai putri Abu Bakar, biarkan aku beribadah kepada Allah malam ini,” katanya. 

“Aku senang dekat dengamu Rasulullah,” jawab Aisyah ra.

Rasulullah saw kemudian mendekati kirbat berisi air dan berwudhu. Pada kesempatan ini Rasulullah menuang banyak air buat wudhunya. Aisyah pun merelakan suaminya beribadah menghidupkan malam.

Rasulullah saw mulai melakukan shalat. Ia menangis. Air matanya mengalir sehingga membasahi dadanya. Ia turun buat rukuk. Pada rukuk ini ia juga menangis. Kemudian itidal dan sujud. Ia juga bersujud dalam keadaan menangis. Bangun dari sujud ia juga menangis.

Rasulullah saw terus melakukan shalat dgn menangis sepanjang malam sampai Bilal ra datang buat mengabarkannya azan subuh.

“Wahai Rasulullah, apa yg membuatmu menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosamu yg dahulu dan kemudian,” tanya Aisyah ra.

“Apakah aku tak boleh menjadi hamba yg bersyukur dan mengapa aku tak melakukannya?” jawab Rasulullah. 

*

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut pengertian syukur sebagai rasa terima kasih kepada Allah swt. Adapun berikut ini ialah hakikat syukur yg disebutkan oleh al-Qusyairi.

حقيقة الشكر عند أهل التحقيق الاعتراف بنعمة المنعم على وجه الخضوع

      
Artinya, “Hakikat syukur menurut ahli hakikat ialah pengakuan atas nikmat Allah, Zat pemberi nikmat, dgn jalan ketundukan,” (Lihat Abul Qasim Al-Qusyairi, ar-Risalatul Qusyairiyyah, [Kairo, Darus Salam: 2010 M/1431 H], halaman 97).

Hakikat syukur dapat juga berarti pujian terhadap orang yg berbuat baik dgn menyebut kebaikannya. Dengan demikian, syukur seorang hamba kepada Allah ialah pujian kepada Allah dgn menyebut kebaikan-Nya. Sedangkan syukur Allah kepadanya berupa pujian Allah dgn menyebut kebaikan hamba-Nya.

Adapun kebaikan seorang hamba ialah ketaatannya kepada Allah. Sedangkan kebaikan Allah ialah pemberian nikmat Allah kepadanya berupa taufik dan hidayah supaya ia mau bersyukur.

Syukur atas nikmat Allah diucapkan dgn mulut dan disadari dgn hati. Sedangkan sebagian ulama membagi syukur dgn tiga ekspresi, pengakuan dgn lisan atas nikmat Allah, kepatuhan oleh anggota badan atas ibadah yg diperintahkan, dan syukur hati dgn musyahadah. (Al-Qusyairi, 2010 M/1431 H: 97-98).

Abu Ustman mengatakan, syukur ialah menyadari keterbatasan kita buat bersyukur. Ulama lainnya menambahkan, syukur sebab dapat bersyukur merupakan nikmat yg lebih sempurna dari sekadar mensyukuri nikmat sebab kita meyadari bahwa tanpa taufik-Nya kita takkan dapat bersyukur.

Al-Junaid ketika berusia 7 tahun mengatakan saat ditanya pamannya di hadapan para jamaah: 

 

“Syukur itu ialah kau tak bermaksiat kepada Allah dgn nikmat-Nya.”

Abu Ustman mengatakan, syukur orang awam terkait dgn nikmat makanan, pakaian, dan material lainnya, sedangkan syukur orang khawash terkait pengertian dan pemahaman yg masuk ke dalam batin mereka.

Nabi Dawud as mengatakan, “Tuhanku, bagaimana aku dapat bersyukur kepada-Mu? Syukurku atas nikmat-Mu merupakan nikmat (batin) tersendiri dari sisi-Mu.”

Suatu hari seseorang menemui Sahal bin Abdullah at-Tustari. Ia mengadu musibah kehilangan bahwa seorang pencuri masuk ke dalam rumahnya dan mengambil barang berharganya.

“Bersyukurlah kepada Allah. Bagaimana kalau pencuri yaitu setan masuk ke dalam hatimu dan merusak keyakinanmu?” kata At-Tustari. Wallahu a’lam. (Ustadz Alhafiz Kurniawan)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.