Tafsir QS Ali Imran 140: Pelajaran dari Kekalahan Umat Islam di Perang Uhud

Mengingat perang Uhud ialah mengingat kekalahan umat Islam melawan tentara kafir Quraisy. Pertempuran ini terjadi pada tanggal tujuh Syawal tahun ketiga Hijriah, kurang lebih setahun setelah pertempuran terbesar, yaitu perang Badar. Umat Islam waktu itu berjumlah 700 bala tentara, sedangkan musuhnya, kafir Quraisy berjumlah 3000 tentara.

 

Ada dua hal yg pasti terjadi dari sebuah peperangan, yaitu kemenangan dan kekalahan. Artinya, bila satu kubu berhasil meraih kemenangan, pasti yg lain terpuruk dalam kekalahan, dan begitu sebaliknya. Tidak mungkin keduanya sama-sama kalah atau sama-sama menang. Dan, kekalahan kaum Muslimin di perang Uhud ialah peristiwa yg memilukan, terutama bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Selain sebab 70 sahabatnya yg gugur menjemput syahid, juga di antara mereka ialah pamannya sendiri, Sayidina Hamzah bin Abdul Mutthalib.

 

Dalam peperangan, kita mengenal konsep mudâwalah, atau yg akrab disebut ‘kalah-menang’. Secara etimologi, mudâwalah diambil dari kata dâwala-yudâwilu yg berarti menggilir, memutar atau memindah sesuatu. Imam al-Qaffâl mengatakan, al-Mudâwalatu naqlu asy-syai’ min wâhidin ila âkhara, ‘Mudâwalah ialah memindah sesuatu dari satu tempat ke tempat yg lain’.

 

Makna di atas, dalam Al-Qur’an—sependek penelusuran penulis—terdapat di dua tempat, yaitu pada surat al-Hasyr ayat tujuh, dan surat Ali Imran ayat 140. Namun, kali ini kita fokus pada kajian makna mudâwalah dalam surat Ali Imran ayat 140 tentang peperangan. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

 

اِنْ يَّمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِّثْلُهٗ ۗ  وَتِلْكَ الْاَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِۚ وَلِيَعْلَمَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاۤءَ ۗ  وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَۙ

 

“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada perang Badar) mendapat luka yg serupa. Dan, masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yg beriman (dgn orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan, Allah tak menyukai orang-orang zalim.”

 

Baca juga: Bagaimana Penerapan Ayat-ayat Jihad?

 

Di antara beberapa riwayat yg menjelaskan latar belakang turunnya ayat di atas—seperti dari Imam Rasyid bin Sa’ad dalam Tafsir at-Tsa’labiy (juz 3, hal. 182) —yaitu berawal dari seorang perempuan yg dgn penuh sesal mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya membawa mayat suami dan putra kesaygannya yg gugur di medan perang. Sang baginda yg baru saja sampai, dgn hati pilu dan duka lara kekalahannya di perang Uhud, harus menerima pengaduan dan rasa tak terima atas apa yg menimpa perempuan tersebut. Masalahnya, ia mengadu tak hanya dgn tangis dan kata-kata, tetapi juga sambil memukul-mukul dadanya di hadapan Nabi sebagai wujud sesalnya yg mendalam.

 

Bagi Nabi, dgn konteks peperangan membela Islam, sikap itu telah abnormal, termasuk ekspresi kesedihan di luar batas kewajaran. Sampai-sampai Nabi bersabda, Ahakadza yuf’alu bi rasuliki, ‘Apakah demikian cara yg benar memperlakukan rasulmu?’, ungkapnya menyesalkan pengaduan itu. Maka, turunlah surat Ali Imran ayat 140 di atas.

 

Dari asbab an-nuzul ini, selain buat membuka peluang meraih kedudukan mulia sebagai syuhada dan mencari tahu siapa yg benar-benar beriman, Allah subhanahu wata’ala juga mengajarkan makna peperangan yg sesungguhnya kepada kita semua, bahwa peperangan membela agama tak melulu tentang kemenangan. Bahkan, terkadang harus mendapatkan kekalahan. Inilah maksud dari konsep mudâwalah dalam peperangan. Sebagaimana yg dititahkan Allah pada penggalan ayat di atas, Wa tilka al-ayyâmu nudâwiluha baina-n-nâs, ‘Dan, masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)’.

 

Hal yg penting kita catat ihwal konsep mudâwalah di sini, bahwa kekalahan kaum Muslimin di pertempuran Uhud bukan sebab Allah memberi pertolongan kepada kaum kafir, sebagaimana pertolongan-Nya kepada umat Islam di perang Badar. Mengingat, Allah tak pernah dalam satu peperangan berpihak kepada umat Islam, dan dalam peperangan yg lain berpihak pada musuh Islam. Sekali pun tak pernah. Melainkan, maknanya bahwa sesekali Allah menampakkan kemurkaan yg besar kepada orang kafir, dan kali yg lain memberi pelajaran terhadap umat Islam. Terbukti, kekalahan itu menyimpan hikmah yg sangat besar.

 

Imam Fakhruddin Muhammad bin Umar ar-Razi (544-604 H) dalam karya monumentalnya, at-Tafsir al-Kabir atau Mafatihul Ghaib (juz 9, hal. 14) berhasil menyingkap tiga hikmah di balik kekalahan umat Islam di perang Uhud. Pertama, dalam rangka memberi peluang asumsi kebenaran ideologi orang kafir. Bila orang-orang kafir yg mendustakan ajaran Nabi waktu itu selalu kalah dalam setiap pertempuran, maka secara aksiomatis, baik yg Muslim maupun non-Muslim mau mengakui bahwa beriman kepada Allah dan rasul-Nya ialah sebuah kebenaran, dan beriman kepada selain-Nya ialah kebatilan. Dampaknya, keimanan tak lagi menyimpan keistimewaan lebih dari yg lain.

 

Namun, kalau ada peluang kebenaran ideologi orang-orang kafir secara asumtif, maka keimanan menjadi sangat istimewa, dan bukan hal mudah buat diperoleh. Logikanya, bagaimana mungkin agama yg benar di sisi Allah, serta telah dijamin mendapat pertolongan dan kejayaan, mampu dibantai secara tak manusiawi? Dengan logika ini, tentu mereka berasumsi bahwa ideologi merekalah yg benar.

 

Kedua, guna memberi pelajaran kepada kaum mukminin (ta’diban lil mukminin). Mengingat, tak jarang orang-orang beriman saat itu yg masih berani mendurhakai Tuhannya. Walau mungkin tak banyak dan sering. Karena itu, Allah memberi mereka pelajaran melalui kekalahan dan perihnya luka tebasan orang-orang kafir, sehingga mudah menganalogikannya dgn pedihnya siksa akhirat yg tiada tara. Analogi dari logika formal semacam ini, dalam Ushul Fiqh kita mengenalnya dgn term qiyas aulawi.

 

Ketiga, menguak kesadaran mau remehnya kebahagiaan dan problem duniawi. Imam Fakruddin ar-Razi menyampaikan, bahwa bahagia dalam kemenangan dan rintihan rasa sakit sebab kekalahan, hanyalah bunga kehidupan yg semu. Sebab, bahagia dan sakitnya tiada dapat dibandingkan dgn kehidupan akhirat. Kalau memang kebahagiaan akhirat ialah prioritas kaum mukminin, maka apalah artinya pilu dan duka lara yg dirasakan di dunia. Wallahu a’lam bisshawab.

 

 

Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus sekaligus pengajar di Ma’had Aly Situbondo, pengampu pengajian kitab Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam karya Syekh Izzuddin bin Abdissalam





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.