Berikut ini ialah Surat An-Nisa ayat 17 berikut terjemahan dan beberapa tafsir seputarnya:
Ø¥Ùنَّمَا التَّوْبَة٠عَلَى الله٠لÙلَّذÙينَ يَعْمَلÙونَ السّÙوءَ بÙجَهَالَة٠ثÙمَّ يَتÙوبÙونَ Ù…Ùنْ قَرÙيب٠ÙÙŽØ£ÙولَئÙÙƒÙŽ يَتÙوب٠الله٠عَلَيْهÙمْ، وَكَانَ الله٠عَلÙيمًا ØÙŽÙƒÙيمًاÂ
Innamat taubatu ‘alallâhi lilladzîna ya’malûnas sû-a bijahâlatin tsumma yatûbûna min qarîbin fa-ulâika yatûbullâhu ‘alaihim, wakânallâhu ‘alîman hakîma.
Artinya, “Sungguh tobat yg pasti diterima oleh Allah hanyalah bagi orang-orang yg melakukan keburukan dalam kondisi bodoh, kemudian mereka bertobat dari waktu yg dekat, maka mereka itulah yg Allah terima tobatnya, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.â€
Ragam TafsirÂ
Setelah dalam ayat 16 Allah menyebutkan bahwa pelaku kekejian bila mau bertobat dan beramal shaleh maka tak boleh dihukum, dan juga menjelaskan bahwa Allah maha menerima tobat lagi maha penyayg, dalam ayat 17 kemudian Allah menjelaskan syaratnya dan mendorong pelaku kemaksiatan buat segera bertobat.Â
Berkaitan dgn frasa Ø¥Ùنَّمَا التَّوْبَة٠عَلَى الله٠“Sungguh tobat yg pasti diterima oleh Allahâ€, maksud pasti di sini bukan pasti dalam arti wajib diterima oleh Allah, sebab tak ada yg dapat mewajibkan suatu apapun kepada Allah. Namun maksudnya ialah tobat yg memenuhi syarat pasti mau dipenuhi Allah sesuai janji-Nya dalam rangka memberi rahmat kepada para hamba, sebagaimana dalam ayat lain Allah berfirman:
ÙˆÙŽØ¥Ùذَا جَاءَكَ الَّذÙينَ ÙŠÙؤْمÙÙ†Ùونَ بÙآيَاتÙنَا ÙÙŽÙ‚Ùلْ سَلَامٌ عَلَيْكÙمْ كَتَبَ رَبّÙÙƒÙمْ عَلَى Ù†ÙŽÙْسÙه٠الرَّØْمَةَ أَنَّه٠مَنْ عَمÙÙ„ÙŽ Ù…ÙنْكÙمْ سÙوءًا بÙجَهَالَة٠ثÙمَّ تَابَ Ù…Ùنْ بَعْدÙه٠وَأَصْلَØÙŽ Ùَأَنَّه٠غَÙÙورٌ رَØÙيمٌ  الأنعام: 54
Artinya, “Dan ketika orang-orang yg beriman dgn ayat-ayat Kami datang kepadamu Muhammad, maka katakanlah: ‘Semoga keselamatan terlimpahkan kepada kalian, Tuhan Kalian telah menetapkan pada diri-Nya buat memberi rahmat, sungguh siapa saja dari kalian yg melakukan keburukan dalam kondisi bodoh kemudian ia bertobat setelahnya dan memperbaiki amalnya, maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayg.†(Al-An’am: 54). (Ahmad bin Muhammad as-Shawi, Hasyiyyatus Shawi ‘ ala Tafsiril Jalalain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], editor: Shidqi Muhammad Jamil, juz I, halaman 278).
Maksud frasa Ù„ÙلَّذÙينَ يَعْمَلÙونَ السّÙوءَ بÙجَهَالَة٠ثÙمَّ يَتÙوبÙونَ Ù…Ùنْ قَرÙيب٠“bagi orang-orang yg melakukan keburukan dalam kondisi bodoh, kemudian mereka bertobat dari waktu yg dekat†menunjukan dua syarat tobat, yaitu pertama maksiatnya dilakukan dalam kondisi bodoh atau tak tahu; dan kedua pertobatannya dilakukan dari waktu yg dekat. Berikut ini penjelasannya.
Syarat pertama, dalam frasa Ù„ÙلَّذÙينَ يَعْمَلÙونَ السّÙوءَ بÙجَهَالَة٠“bagi orang-orang yg melakukan keburukan dalam kondisi bodoh, Syekh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi menjelaskan, maksudnya hati pelaku maksiat tak menghadirkan atau menyadari siksa Allah akibat maksiat yg dilakukan. Sebab andaikan sadar, niscaya ia tak mau melakukannya. Dalam konteks seperti ini Abu Hurairah RA meriwayatkan:
أَنَّ النَّبÙىَّ صَلَّى الله٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يَزْنÙÙŠ الزَّانÙÙŠ ØÙينَ يَزْنÙÙŠ ÙˆÙŽÙ‡ÙÙˆÙŽ Ù…ÙؤْمÙنٌ، وَلاَ يَسْرÙÙ‚Ù ØÙينَ يَسْرÙÙ‚Ù ÙˆÙŽÙ‡ÙÙˆÙŽ Ù…ÙؤْمÙنٌ، وَلاَ يَشْرَب٠الْخَمْرَ ØÙينَ يَشْرَبÙهَا ÙˆÙŽÙ‡ÙÙˆÙŽ Ù…ÙؤْمÙنٌ، وَالتَّوْبَة٠مَعْرÙوضَةٌ بَعْد٠متÙÙ‚ عليه
Artinya, “Sungguh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Tidaklah pezina ketika berzina dalam kondisi beriman sempurna, taklah orang mencuri saat mencuri dalam kondisi beriman sempurna, dan taklah orang meminum khamr saat ia meminumnya dalam kondisi beriman sempurna, dan setelah perbuataannya itu tobat terbuka baginya’.†(Muttafaq ‘Alaih). (Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi, Tafsir As-Sya’rawi, [Mesir, Akhbarul Yaum: 1411 H/1991 M], ed.: Ahmad Umar Hasyim, jilid IV, halaman 2068-2069).
Secara lebih lugas Imam Ar-Razi menyatakan, di antara ragam tafsir ‘dalam kondisi bodoh’ pada ayat paar ulama mufassirin menjelaskan, maksudnya ialah orang yg bermaksiat disebut sebagai orang bodoh dan perbuatan maksiatnya dinilai sebagai kebodohan. Sedangkan sebab orang maksiat, meskipun alim, disebut sebagai orang bodoh, sebab andaikan ia mengamalkan atau konsisten memengang ilmunya atas dampak perbuatannya—akan mendapat pahala bila beramal shaleh dan mau mendapat siksa bila bermaksiat—, maka ia tak mau berani nekat melakukan maksiat. Sehingga bila ia tak mengamalkan ilmunya maka ia menjadi seperti tak berilmu. Karenanya orang yg bermaksiat layak dan sah disebut sebagai orang yg bodoh. (Fakhruddin Muhammad ar-Razi, Tafsir al-Fakhr ar-Razi, [Beirut, Darul Fikr: tth.], juz IX, halaman 242).
Syarat kedua, dalam frasa Ø«Ùمَّ يَتÙوبÙونَ Ù…Ùنْ قَرÙيب٠“kemudian mereka bertobat dari waktu yg dekatâ€, Imam As-Suyuthi menjelaskan, maksudnya ialah sebelum ajal datang, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
مَنْ تَابَ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ الله٠قَبْلَ أَنْ ÙŠÙغَرْغÙرَ تَابَ الله٠مÙنْهÙ. رواه الØاكم. صØÙŠØ
Artinya, “Siapa saja yg bertobat kepada Allah sebelum nyawa sampai tenggorokan maka Allah menerima tobat darinya. (HR Al-Hakim)
Lebih lanjut Imam Ahmad As-Shawi menjelaskan, waktu antara terjadinya maksiat dgn kematian disebut dekat sebab sebenarnya setiap sesuatu yg pasti datang itu ialah dekat, dan umur meskipun panjang sebenarnya ialah sedikit. Di sini terdapat isyarat, hendaknya manusia selalu memperbarui pertobatan setiap saat, sebab kematian dapat datang kapan saja. Dalam konteks inilah Abu Bakar As-Shiddiq RA berkata:Â
مَا خَرَجَ Ù…ÙنّÙÙŠ Ù†ÙŽÙَسٌ وَانْتَظَرْت٠عَوْدَهÙ
Artinya, “Tidaklah satu nafas keluar dariku sementara aku tunggu kembalinya.†(As-Shawi, 1424 H/2004 M: I/278).
Sementara frasa ÙÙŽØ£ÙولَئÙÙƒÙŽ يَتÙوب٠الله٠عَلَيْهÙمْ، وَكَانَ الله٠عَلÙيمًا ØÙŽÙƒÙيمًا “maka mereka itulah yg Allah terima tobatnya, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksanaâ€, maksudnya ialah mereka yg memenuhi dua syarat itu tobatnya diterima Allah. Allah maha mengetahui manusia melakukan kemaksiatan sebab terkuasai oleh syahwat dan kebodohannya. Allah juga maha bijaksana terhadap hamba-Nya yg meskipun sering terkuasai syahwat dan kebodohan namun mau bertobat sebelum ajal tiba, maka pasti Allah terima pertobatannya sebab kemurahan-Nya. Demikian penjelasan Syekh Nawawi Banten. (Muhammad Nawawi al-Jawi, At-Tafsîrul Munîr li Ma’âlimit Tanzîl, [Beirut: Dar al-Fikr, 1425 H/2006 M], juz I, halaman 152). Wallâhu a’lam.
Ahmad Muntaha AM-Founder Aswaja Muda