Tafsir Surat an-Nisa’ Ayat 20

Berikut ini ialah teks, transliterasi, terjemahan, dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas Surat An-Nisa ayat 20:

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا، أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

Wa in aradhtum istibdāla zawjin makāna zaājin wa ātaytum ihdāhunna qinthāran fa lā ta’khudzū minhu syay’an, ata’khudzūnahu buhtānan wa itsmam mubīna.

Artinya, “Jika kalian menghendaki menggantikan seorang istri pada posisi istri lainnya sementara kalian telah memberikan salah satu dari para istri itu harta yg banyak (sebagai mahar) maka jangan kalian ambil kembali sedikitpun harta itu. Apakah kalian mau mengambilnya dgn kezaliman dan dosa yg sangat jelas?” (An-Nisa’ ayat 19).

Ragam Tafsir 

Ayat ini memuat dua pembahasan. Pembahasan pertama, larangan Al-Qur’an kepada para suami dari mengambil kembali sedikitpun mahar yg telah diberikan kepada istrinya, yaitu ketika ia mau menceraikannya dan menggantinya dgn wanita lain. Inilah substansi frasa ayat:

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا

Artinya, “Jika kalian menghendaki menggantikan seorang istri pada posisi istri lainnya, sementara kalian telah memberikan kepada salah satu dari para istri itu harta yg banyak (sebagai mahar), maka jangan kalian ambil kembali sedikitpun harta itu.”

Imam Fakhruddin Ar-Razi mengutip riwayat yg berkaitan dgn konteks ayat ini:

رُوِيَ أَنَّ الرَّجُلَ مِنْهُمْ إِذَا مَالَ إِلَى التَّزَوُّجِ بِامْرَأَةٍ أُخْرَى رَمَى زَوْجَةَ نَفْسِهِ بِالْفَاحِشَةِ حَتَّى يُلْجِئَهَا إِلَى اْلاِفْتِدَاءِ مِنْهُ بِمَا أَعْطَاهَا لِيُصْرِفَهُ إِلَى تَزَوُّجِ الْمَرْأَةِ التَّيِ يُرِيدُهَا.

Artinya, “Diriwayatkan sungguh lelaki dari golongan Jahiliyah ketika mau menikahi wanita lain maka ia menuduh istrinya sendiri telah melakukan kekejian sehingga kondisi seperti itu memaksa istrinya buat menebus diri dari suaminya dgn memberikan mahar yg telah diberikan suami kepadanya supaya suaminya tak jadi menikahi wanita lain tersebut.”

Ar-Razi juga menjelaskan bahwa bila nusyûz dilakukan oleh suami, maka ia dilarang buat mengambil kembali sedikitpun mahar yg telah diberikan kepada istrinya. Namun bila kemudian ternyata benar-benar terjadi khulu’, yaitu istri benar-benar menuntut cerai dgn membayar tebusan, maka suami mempuyai hak milik atas harta tebusan tersebut. Hal ini seperti kasus jual beli waktu azan Jum’at. Meskipun haram, namun bila benar-benar terjadi maka jual beli itu sah dan dapat memindahkan hak kepemilikan barang yg diperjualkan. (Fakhruddin Muhammad Ar-Razi, Mafâtîhul Ghaib, [Beirut, Dârul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1421 H/2000 M], juz X, halaman 12-13).

Pembahasan kedua, penegasan Al-Qur’an bahwa perbuatan suami mengambil mahar yg telah diberikan kepada istri dalam kasus tersebut merupakan kezaliman dan dosa yg sangat nyata, yg dalam frasa ayat:

أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

Artinya, “Apakah kalian mau mengambilnya dgn kezaliman dan dosa yg sangat jelas?” (An-Nisa’ ayat 19).

Pertanyaan dalam ayat ialah pertanyaan dgn maksud mengingkari perbuatan tersebut, atau yg dikenal dgn istilah istifhâm inkâri. Maksudnya, semestinya hal itu tak dilakukan sebab sangat jelas keburukannya menurut syariat maupun akal sehat. (Ar-Razi, 1421 H/2000 M: X/13). Wallâhu a’lam.

Ustadz Ahmad Muntaha AM-Founder Aswaja Muda





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.