Berikut ini ialah teks, transliterasi, terjemahan, dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas Surat An-Nisa’ ayat 21:
وَكَيْÙÙŽ تَأْخÙØ°Ùونَه٠وَقَدْ Ø£ÙŽÙْضَى بَعْضÙÙƒÙمْ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ بَعْض٠وَأَخَذْنَ Ù…ÙنْكÙمْ Ù…Ùيثَاقًا غَلÙيظًاÂ
Wa kaifa ta’khudzÅ«nahu wa qad afdhÄ ba’dhukum ilÄ ba’dhin wa akhadzna minkum mÄ«tsaqan ghalÄ«zhan.
Artinya, “Bagaimana kalian mengambil mahar yg telah kalian berikan itu, sementara sebagian kalian telah bersetubuh dgn sebagian yg lain dan para istri telah mengambil janji yg sangat kuat dari kalian?†(An-Nisa’ ayat 19)
Ragam Tafsir
Ayat ini merupakan kelanjutan ayat sebelumnya, yg membahas ‘illat atau alasan larangan bagi suami mengambil mahar yg telah diberikan kepada istrinya, ketika ia berkemauan menikahi wanita lain. Al-Qur’an mengingkari perbuatan suami tersebut sebagaimana dalam frasa ayat:
وَكَيْÙÙŽ تَأْخÙØ°Ùونَه٠وَقَدْ Ø£ÙŽÙْضَى بَعْضÙÙƒÙمْ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ بَعْضÙÂ
Artinya, “Bagaimana kalian mengambil mahar yg telah kalian berikan itu. Sementara sebagian kalian telah bersetubuh dgn sebagian yg lain.â€
Syekh Nawawi Al-Bantani menafsirkan, bagaimana boleh suami mengambil kembali mahar itu sementara antara ia dan istrinya telah berkumpul dalam satu kain. Istri telah menyerahkan diri kepadanya buat menjadi kenikmatan seksual bagi suami dan telah terjalin kasih sayg yg sempurna di antara keduanya. Maka tak pantas bagi suami yg berakal sehat mengambil kembali mahar yg telah diberikan kepada istrinya. (Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsîrul Munîr li Ma’âlimit Tanzîl, [Beirut, Darul-Fikr: 1425 H/2006 M], juz I, halaman 160).
Frasa ayat ini juga membawa pemahaman bahwa larangan suami mengambil mahar yg telah diberikan kepada istri berlaku bila di antara mereka telah terjadi persetubuhan. Jika belum terjadi persetubuhan dan terjadi perceraian, maka suami berhak mendapatkan kembalian separuh mahar. Demikian ini pendapat Imam As-Syafi’i.
Sementara menurut Imam Malik meskipun di antara suami istri belum terjadi persetubuhan namun telah terjadi khalwat atau berduaan di tempat sepi yg memungkinkannya buat bersetubuh, maka suami tetap tak berhak mengambil kembali mahar tersebut. (Ahmad bin Muhammad As-Shawi, HÄsyiyyatus ShÄwi ‘ alÄ TafsirÄ«l JalÄlain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], juz I, halaman 280).
Kemudian di akhir ayat Al-Qur’an menyatakan ketakpantasan suami mengambil kembali mahar tersebut sebab telah ada perjanjian yg sangat kuat di antara suami istri, yg ditegaskan dalam frasa ayat:
وَأَخَذْنَ Ù…ÙنْكÙمْ Ù…Ùيثَاقًا غَلÙيظًا
Artinya, “Para istri telah mengambil janji yg sangat kuat dari kalian?â€
Imam As-Suyuthi menegaskan, maksudnya ialah perjanjian kuat yg Allah perintahkan buat mempertahankan wanita sebagai istri secara baik atau mencerainya secara baik pula. (Jalâluddîn Al-Mahalli dan Jalâluddîn As-Suyûthi, Tafsîrul Jalâlain pada Hâsyiyyatus Shâwi ‘ ala Tafsiril Jalalain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], juz I, halaman 279).
Sementara Syekh Nawawi mengutip pendapat Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu ‘anhuma dan Mujahid yg menyatakan bahwa maksud dari mitsâqan ghalîzha ialah akad nikah yg diikat dgn mahar. Akad inilah yg menghalalkan suami mengakses kebutuhan biologis kepada istri. Rasullullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:
ÙَاتَّقÙوا اللهَ ÙÙÙ‰ النّÙسَاءÙØŒ ÙÙŽØ¥ÙنَّكÙمْ أَخَذْتÙÙ…ÙوهÙنَّ بÙأَمَان٠الله٠وَاسْتَØْلَلْتÙمْ ÙÙرÙوجَهÙنَّ بÙÙƒÙŽÙ„Ùمَة٠الله٠رواه مسلم
Artinya, “Takutlah kalian kepada Allah dalam urusan para istri. Sebab sungguh kalian mengambil mereka dgn janji Allah dan kalian halalkan kelamin mereka dgn kalimat Allah.†(HR. Muslim). (Nawawi Al-Jawi, 1425 H/2006 M: I/160). Wallâhu a’lam.
Penulis: Ahmad Muntaha AM
Editor: Alhafiz Kurniawan