Tata Cara Shalat Tahiyatul Masjid: Niat, Waktu, & Ketentuannya

Shalat sunnah Tahiyatul Masjid secara etimologi (bahasa) dapat diartikan shalat sunnah dalam rangka menghormati masjid. Sedangkan menurut terminologi, shalat sunnah Tahiyatul Masjid ialah shalat sunnah dua rakaat yg dilakukan ketika seseorang memasuki masjid dan hendak berdiam diri di dalamnya.

Shalat Tahiyatul Masjid juga merupakan bentuk penghormatan kepada Dzat yg memiliki masjid, yaitu Allah ﷻ. Oleh sebabnya, penghormatan itu diletakkan di awal, sebelum bergegas melaksanakan ibadah lainnya. Lebih dari itu, shalat sunnah ini ialah ajang peningkatan spiritualitas dan manifestasi pengakuan seorang hamba kepada Tuhan-Nya mau ketakberdayaan dirinya di hadapan-Nya. 

Kesunnahan shalat Tahiyatul Masjid berdasarkan hadits Rasulullah ï·º yg berbunyi:

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِس

Artinya, “Jika salah seorang di antara kalian memasuki masjid maka hendaklah ia mengerjakan shalat dua rakaat sebelum ia duduk” (HR Abu Qatadah).

Terkait hadits di atas, Imam Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi mengatakan, mayoritas ulama sepakat mengenai kesunnahan melakukan shalat sunnah Tahiyatul Masjid bagi orang-orang yg memasuki masjid. Bahkan, tak dianjurkan (baca: makruh) bagi orang-orang yg memasuki masjid buat langsung duduk sebelum melaksanakannya (Imam Nawawi, Syarah Nawawi alal Muslim [Bairut: Darul Ihya’ al-Arabi, 1998], juz V, h. 226).

Dalil yg lain juga dapat ditemukan dalam beberapa teks hadits Rasulullah tentang anjuran shalat tersebut, di antaranya, Rasulullah ï·º bersabda:

دَخَلَ رَجُلٌ يَوْم الجُمُعةِ والنّبيُّ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم يخطُبُ فَقَالَ أَصَلّيْتَ؟ قالَ لَا قالَ قُمْ فَصَلِّ ركْعَتَيْن

Artinya, “Seorang laki-laki pada hari Jumat masuk (masjid) ketika Nabi Muhammad ﷺ sedang melakukan khutbah. Maka Rasulullah bertanya, ‘Apakah engkau telah shalat?’ Ia menjawab, ‘Belum’. Rasulullah bersabda, ‘Berdirilah, kemudian shalatlah dua rakaat” (HR al-Bukhari).

Dalam kitab Tanbihul Ghafilin juga disebutkan bahwa shalat yg dilakukan ketika memasuki masjid ialah murni sebagai penghormatan kepadanya. Syekh as-Samarqandi mengatakan,

لِكُلِّ شَيْءٍ تَحِيَّةٌ وَتَحِيَّةُ الْمَسْجِدِ رَكْعَتَانِ

Artinya, “Setiap sesuatu memiliki penghormatan, dan menghormati masjid dgn melakukan (shalat sunnah) dua rakaat” (Syekh as-Samarqandi, Tanbihul Ghafilin, [Bairut: Dar Ibnu Katsir, Damaskus, 2000], juz 1, h. 304).

Waktu Shalat Tahiyatul Masjid
Shalat sunnah Tahiyatul Masjid tak memiliki waktu secara khusus buat dikerjakan. Ia dapat dilaksanakan setiap saat, baik siang dan malam, tentu dilakukan ketika seseorang masuk ke dalam masjid, dan sebelum duduk yg disengaja, atau tak disengaja namun dgn batas waktu yg dianggap lama.

Lantas bagaimana bila memasuki masjid di waktu-waktu yg dilarang melakukan shalat sunnah, seperti setelah shalat subuh dan shalat ashar, atau ketika waktu istiwa di selain hari Jumat? Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarhil Muhadzdzab menjelaskan,

وَيُكْرَهُ أَنْ يَجْلِسَ مِنْ غَيْرِ تَحِيَّةٍ بِلَا عُذْرٍ لِحَدِيْثِ أَبِى قَتَادَةَ المُصَرّحِ بِالنَّهْيِ وَسَوَاءٌ عِنْدَنَا دَخَلَ فِي وَقْتِ النَّهْيِ عَنِ الصَّلَاةِ أَمْ فِي غَيْرِهِ

Artinya, “Dan dimakruhkan buat duduk (dalam masjid) tanpa mengerjakan shalat sunnah tahiyat bila tak ada udzur (sebab lupa atau tak tahu). (Kemakruhan tersebut) disebabkan adanya hadits yg diriwayatkan Abi Qatadah tentang larangan tersebut, baik seseorang itu masuk (masjid) di waktu yg dilarang mengerjakan shalat (sunnah) atau di selain waktu tersebut.” (Imam Nawawi, Majmu’ Syarhil Muhadzdzab, [Bairut: Darul Kutub al-Ilmiah, 1995], juz IV, halaman 52).

 

Baca juga: Lima Waktu yg Diharamkan Shalat

 

Jika berpedoman pada pendapat Imam Nawawi di atas, maka tak ada waktu khusus bagi kesunnahan shalat Tahiyatul Masjid. Artinya, shalat sunnah yg satu ini dapat dilakukan di waktu apa pun dan kapan pun, bahkan tetap disunnahkan di waktu-waktu yg dilarang melakukan shalat sunnah, misalnya setelah shalat subuh dan shalat ashar, waktu terbit dan terbenamnya matahari, juga tak makruh di saat tergelincirnya matahari. Pendapat ini merupakan pendapat masyhur dari kalangan mazhab Syafi’iyah.

Tata Cara dan Niat Shalat Tahiyatul Masjid
Tata cara melakukan shalat Tahiyatul Masjid sebagaimana yg dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam al-Adzkar lin Nawawi (Bairut: Darul Fikr, 1994: 120), tak jauh berbeda dgn tata cara shalat sunnah lainnya. Berikut langkah-langkahnya:

 

  1. Dimulai dgn takbiratul ihram. Bersamaan dgn mengangkat tangan, seseorang hendaknya berniat melaksanakan shalat sunnah Tahiyyatul Masjid. Sebelumnya, buat memantapkan, silakan lafalkan niat: 

    أُصَلِّي تَحِيَّةَ الْمَسْجِدِ رَكْعَتَيْنِ سُنَّةً لِلّٰهِ تَعَالَى

    Ushallî tahiyatal masjidi rak’ataini sunnatan lillîhi ta’âla

    Artinya, “Saya shalat Tahiyatul Masjid dua rakaat sunnah sebab Allah ta’ala.”
     

  2. Dilaksanakan dgn dua rakaat dgn satu kali salam; membaca surat al-Fatihah (wajib) dan surat al-Kafirun (sunnah) pada rakaat yg pertama, dan membaca surat al-Fatihah (wajib) dan surat al-Ikhlas (sunnah) pada rakaat yg kedua.
     
  3. Tutup shalat dgn salam.

Hanya saja, shalat Tahiyatul Masjid mempunyai aturan secara khusus yg tak dimiliki shalat sunnah lainnya, yaitu harus dilakukan di dalam masjid. Oleh sebabnya, shalat sunnah yg satu ini hanya dianjurkan bagi orang-orang yg memasuki masjid, bukan yg lainnya.

Selebihnya ia tak memiliki aturan dan bacaan khusus. Shalat sunnah yg satu ini juga boleh diniati dgn shalat sunnah lainnya, seperti dgn niat shalat sunnah mutlak, atau sunnah rawatib, atau bahkan dgn niat shalat fardhu juga tak masalah, sebagaimana penjelasan Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarhil Muhadzdzab, yaitu:

وَلَا يُشْتَرَطُ أَنْ يَنْوِيَ بِالرَّكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ بَلْ إِذَا صَلَّى رَكْعَتَيْنِ بِنِيَةِ الصَّلَاةِ مُطْلَقًا أَوْ نَافِلةً رَاتِبَةً أَوْ غَيْرَ رَاتِبَةٍ أَوْ صَلَاةً فَرِيْضَةً أَجْزَأَهُ ذَلِكَ

Artinya, “Tidak disyaratkan buat berniat (shalat) Tahiyatul Masjid dua rakaat, mau tetapi bila mengerjakan shalat dua rakaat dgn niat shalat sunnah mutlak, sunnah rawatib, selain rawatib, atau niat shalat fardhu, maka telah dianggap cukup (mendapat pahala shalat Tahiyatul Masjid).” (An-Nawawi, Majmu’ Syarhil Muhadzdzab, 1995, juz IV, h. 52).

Juga perlu diketahui, shalat Tahiyatul Masjid harus dilakukan sebelum duduk. Artinya, ketika seseorang memasuki masjid dan langsung duduk tanpa mengerjakan shalat sunnah tersebut, maka hilanglah kesunnahan Tahiyatul Masjid baginya, kecuali bila ia duduk disebabkan tak tahu kesunnahan shalat tersebut, atau lupa dan waktu duduknya tak dianggap lama, maka ia masih mempunyai kesempatan buat melakukan shalat sunnah Tahiyatul Masjid.

Tidak Dianjurkan dalam 3 Kondisi Ini
Sebagaimana penjelasan di atas, shalat sunnah Tahiyatul Masjid mempunyai hukum sunnah. Hanya saja, hukum sunnah ini dapat berubah ketika ada beberapa faktor yg dapat mempengaruhi pada hukum tersebut. Setaknya, ada tiga faktor yg dapat mengubah hukum asalnya (menjadi tak dianjurkan), yaitu:

  1. Ketika memasuki masjid sedangkan imam shalat fardhu telah memulai shalat jamaah, atau telah mendekati pelaksanaan shalat jamaah, misalnya ketika iqamah telah dikumandangkan
  2. Ketika memasuki Masjidil Haram (Makkah) maka tak dianjurkan buat sibuk dgn melakukan shalat Tahiyatul Masjid mau tetapi lebih dianjurkan melakukan thawaf
  3. Saat hari Jumat dan pembacaan khutbah hampir selesai. (Syekh Waliyuddin Abu Zara’ah al-Qahiri asy-Syafi’i, Tahrirul Fatawa, [Bairut: Darul Ihya’, Mamlakah Arabiah, 2004], juz 1, h. 316).

Wallahu a’lam.

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan Jawa Timur.
 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.