tiga Makna Doa dalam Kajian Tasawuf

Doa merupakan salah satu jenis ibadah yg luar biasa. Permohonan manusia kepada Allah dihitung juga sebagai ibadah. Pada saat yg bersamaan, doa meski praktiknya sama saja dimaknai secara berbeda oleh manusia sesuai dgn tingkat spiritual mereka.

أما في الدعاء فالخلق فيه ثلاث طبقات: عامة، وخاصة، وخاصة الخاصة

Artinya, “Terkait doa, manusia terbagi menjadi tiga kelompok: awam, khawas, dan khawashul khawash,” (Syekh Ali bin Abdullah bin Ahmad Baras, Syifa’us Saqam wa Fathu Khaza’inil Kalim fi Ma’nal Hikam, [Beirut, Darul Hawi: 2018 M/1439 H], halaman 132).

Syekh Ali Baras menerangkan secara rinci tiga jenis manusia yg dimaksud dalam kaitannya dgn doa.

1. Orang awam (pada umumnya) memandang doanya sebagai alat pengabulan permohonan mereka. Mereka menjadikan terwujudnya permintaan mereka sebagai puncak dan tujuan akhir doa mereka. Jelas lapisan orang awam berada pada kelalaian, kerendahan himmah, dan sedikit adab di hadapan Allah.

2. Orang khawash (orang tertentu) memaknai doa sebagai perwujudan kehambaan. Mereka mengartikan doa sebagai ibadah belaka, bahkan murni ibadah semata. Kelompok ini mendapat rahmat Allah sebab Allah mendorong mereka melalui doa buat beribadah sebagai puncak kemauan dan kesenangan mereka. Mereka senantiasa bermunajat dgn Allah melalui pemaknaan mereka atas doa.

3. Orang khawashul khawash (hamba Allah paling istimewa) memandang doa sebagai sambutan dan keramahan Allah SWT terhadap mereka di mana Allah menjawab “Labbayka yā abdī” atas seruan mereka “Yā rabbī.”

Suatu hari Nabi Musa AS pernah bermunajat, “Wahai Tuhanku.”

“Labbayka,” jawab Allah dgn kehangatan.

“Tuhanku, apakah sambutan keramahan ini khusus buatku atau umum buat hamba-hamba-Mu?” tanya Nabi Musa AS.

“Untuk setiap orang yg memanggil-Ku dgn seruan tersebut (Yā rabbi),” kata Allah.

Orang khawashul khawash tak memiliki tujuan, permintaan, permohonan perlindungan apapun dalam doa mereka. Mereka dgn doa hanya menyukai jawaban atau talbiyah Allah, senang “berdampingan” dgn-Nya, dan menikmati “perbincangan” dgn-Nya. (Syekh Ali Baras, 2018 M: 134).

Keterangan ini diangkat ketika Syekh Ali Baras menerangkan salah satu butir hikmah Al-Hikam berikut ini:

لا يكُنْ تَأخُّرُ أَمَد العَطاء مَعَ الإلْحاح في الدّعَاءِ موجبَاً ليأسِك فهو ضَمِنَ لَكَ الإجابَةَ فيما يختارُهُ لكَ لا فيما تختاره لنَفْسكَ وفي الوقْتِ الذي يريدُ لا في الوقْت الذي تُريدُ 

Artinya, “Jangan sampai penundaan ijabah atau pemberian Allah yg disertai dgn keseriusan doa membuatmu putus asa. Allah telah menjamin ijabah-Nya pada sesuatu yg Dia pilihkan buatmu, bukan pada apa yg kaupilihkan buat dirimu, dan pada waktu yg Dia kehendaki, bukan pada waktu yg kaumaukan.” (Syekh Ibnu Athaillah, Al-Hikam).

Syekh Ali Baras terkait hikmah ini berpesan supaya umat Islam menjauhkan diri dari sikap putus asa sebab misalnya doa yg menurut ukuran mereka belum terkabul. Pasalnya, putus asa ialah sifat orang kafir, orang ingkar, dan orang yg durhaka kepada Allah. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.