Tren Childfree dalam Pandangan Islam

Memutuskan buat menikah tanpa mau memiliki keturunan atau childfree kini menjadi trending topic di beberapa  media sosial di Indonesia, di twitter maupun platform online lainnya. Istilah ini digunakan bagi orang yg enggan memiliki keturanan tanpa adanya gangguan alat reproduksi. Childfree sebenarnya bukanlah istilah yg baru lahir, sebab tren ini telah sejak lama berkembang di negara barat seiring dgn meluasnya liberalisme. Di Indonesia prinsip ini memang dirasa aneh oleh banyak kalangan bahkan menuai kontroversi.

Ada banyak alasan yg melatarbelakangi komunitas yg mengaku diri sebagai Childfree Commonity, di antaranya ialah kekhawatiran genetik, faktor finansial, mental yg tak siap menjadi seorang ibu, bahkan alasan lingkungan. Lalu apakah prinsip ini dapat dibenarkan menurut kacamata Islam, ataukah sebaliknya?

Sebagaimana diketahui, ajaran agama Islam menganjurkan penganutnya buat melangsungkan pernikahan, di mana tujuan pernikahan tersebut tak hanya buat memenuhi kebutuhan biologis manusia, namun juga sebab beberapa hikmah lainnya, Imam as-Sarkhasi (wafat 483 H) menjelaskan dalam kitabnya al-Mabsûth:

ثم يتعلق بهذا العقد أنواع من المصالح الدينية والدنيوية. من ذلك حفظ النساء و القيام عليهن. ومن ذلك صيانة النفس من الزنا. ومن ذلك تكثير عباد الله تعالى وأمة رسول الله صلى الله عليه وسلم وتحقيق مباهات الرسول صلى الله عليه وسلم بهم

Artinya “Akad nikah ini berkaitan dgn berbagai kemaslahatan, baik kemaslahatan agama atau kemaslahatan dunia. Di antaranya melindungi dan mengurusi para wanita, menjaga diri dari zina, di antaranya pula memperbanyak populasi hamba Allah dan umat Nabi Muhammad saw, serta memastikan kebanggaan rasul atas umatnya.” (Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl as-Sarakhsi, al-Masbshût, [Beirut, Dârul Fikr, 1421 H/2000 M], juz IV, halaman 349-350).

Dapat dipahami, tujuan pernikahan ialah kemaslahatan dan kebaikan bagi kedua pasangan, baik yg bersifat duniawi maupun ukhrawi. Hasan Sayyid Hamid Khitab dalam kitabnya, Maqâsidun Nikâh yg mengutip pendapat Ibnul Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya I’lâmul Muwaqqi’in menjelaskan tujuan pernikahan:

وكذلك فى النكاح مقصوده حفظ نوع البشري و انجاب الولد الصالح. وهي أيضا علة حقيقة لشريعته. فلا يمكن تصور ولد الصالح بدون النكاح. فالنكاح سبب يتوصل اليه، والولد الصالح مقصود للشرع وللمكلف وإذا لم يوجد الزواج لم يوجد الولد الصالح

Artinya “Begitu pula dalam pernikahan, tujuannya ialah menjaga keberlangsungan jenis manusia, dan melahirkan keturunan yg saleh. Alasan ini secara hakikat juga menjadi alasan disyariatkannya pernikahan. Karenanya tak mungkin terbayg adanya anak saleh tanpa pernikahan, sehingga menikah ialah sebab yg menjadi perantaranya. Anak saleh merupakan maksud syariat dan orang berakal. Jika tak ada pernikahan, maka tak mau ada anak saleh.” (Hasan Sayyid Hamid Khitab, Maqâsidun Nikâh wa Atsarihâ Dirâsatan Fiqhiyyatan Muqâranatan, (Madinah: 2009) halaman 9).

Pentingnya memiliki keturunan dalam pernikahan pun telah tergambar dari sabda Nabi saw tentang anjuran menikah dgn wanita yg subur dan sabda Nabi saw tentang anak saleh ialah investasi yg tak terputus meski orang tuanya meninggal. Imam al-Ghazali memaparkan:

وفى التواصل الى الولد قربة من اربعة وجوه هي الاصل فى الترغيب فيه عند امن من غوائل الشهوة حتى لم يحب احد ان يلقي الله عزبا الاول موافقة الله بالسعي فى تحصيل الولد الثانى طلب محبة الرسول صلى الله عليه وسلم في تكثير من به مباهته الثالث طلب التبرك بدعاء ولد الصالح بعده الرابع طلب الشفاعة بموت الولد الصغير اذا مات قبله

“Upaya buat memiliki keturunan (menikah) menjadi sebuah ibadah dari empat sisi. Keempat sisi tersebut menjadi alasan pokok dianjurkannya menikah ketika seseorang aman dari gangguan syahwat sehingga tida ada seseorang yg senang bertemu dgn Allah dalam keadaan jomblo atau tak menikah. Pertama, mencari ridha Allah dgn menghasilkan keturunan. Kedua, mencari cinta Nabi saw dgn memperbanyak populasi manusia yg dibanggakan. Ketiga, berharap berkah dari doa anak saleh setelah dirinya meninggal. Keempat, mengharap syafaat sebab meninggalnya anak kecil yg mendahuluinya.” (Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûmiddin, (Jeddah, al-Haramain:), juz II, halaman 25).

Adapun menikah tanpa mau memiliki keturunan atau childfree dgn alasan kekhawatiran dalam kemampuan finansial, alasan ini tak cukup kuat buat menjadi alasan enggan memiliki keturunan. Bakan alasan tersebut bila dicermati menggambarkan ketakyakinan seseorang terhadap kebaikan Tuhannya. Syekh Uwais Wafa bin Muhammad Al-Arzanjani menyebutkan dalam ilustrasinya tentang hubungan manusia dgn pekerjaan:

ومنها، أي من تلك الوجوه، سوء ظنه بخالقه أنه لا يرزقهم الا من جهته

Artinya “Di antara (penyebab kurangnya harta) ialah adanya prasangka buruk makhluk terhadap Tuhannya, bahwa Tuhan tak mau memberi mereka rezeki kecuali dari makhluk.” (Uwais Wafa Muhammad bin Ahmad bin Khalil bin Dawud al-Arzanjani, Minhâjul Yaqîn ‘alâ Syarhi Adâbid Dunyâ wad Dîn, [Jeddah, al-Haramain: 1910], halaman 382).

Walhasil menurut penulis, dilihat dari kuatnya anjuran, keutamaan, serta urgensitas keberadaan anak saleh dari suatu pernikahan, serta pertimbangan yg tak prinsipil buat tak memiliki keturunan, maka alasan memilih nikah tanpa memiliki keturunan atau childfree sebagaimana kasus di atas hendaknya tak dilakukan. Sebab hal tersebut tak sesuai dgn anjuran agama, serta menyalahi makna filosofis dari pernikahan. Wallâhu a’lam.

 

Ning Shofiyatul Ummah, Pengajar di PP Nurud-Dhalam Sumenep Madura





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.