Zakat Perusahaan: Ketentuan & Cara Menghitungnya

Hukum asal zakat ialah berlaku atas harta niaga yg dapat dikembangkan (al-nama’). Dengan demikian, setiap adanya ra’su al-mal (modal niaga) yg mengalami perputaran buat tujuan pengembangan, maka berlaku ketentuan wajib zakat baginya ketika telah mencapai haul (1 tahun Hijriah) dan nishab (standar dgn nishab emas dan perak).

 

Adapun maksud dari perputaran ini dapat bermacam-macam: adakalanya diniagakan lagi secara langsung atau adakalanya buat proses produksi dgn tujuan akhir diniagakan, sebagaimana berlaku atas perusahaan (shina’ah). Sebuah hadits dari Samurah bin Jundub mengatakan:

 

إن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم كان يأمرنا أن نُخرِج الصدقةَ مِن الذي نُعِدُّ للبيع

 

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan kita buat mengeluarkan zakat dari harta yg disiapkan buat niaga”(HR Abu Dawud).

 

Pertanyaannya: bagaimana cara penghitungan zakat perusahaan ini?

 

Sebuah perusahaan, kadang didirikan melalui modal sendiri, dan kadang pula didirikan dgn modal syirkah alias modal patungan.

 

Zakat Perusahaan Modal Pribadi

Jika perusahaan itu berasal dari modal sendiri maka yg harus dicari tahu terlebih dulu ialah apakah pemiliknya merupakan pihak yg wajib zakat atau tak. Sebab salah satu syarat wajib zakat ialah bila pemilik perusahaan ialah seorang mukallaf, yg berarti dia harus seorang muslim.

 

Untuk pemilik yg bukan muslim maka harta yg dikeluarkan oleh perusahaannya tak dapat disebut sebagai zakat, kendati diatasnamakan sebagai zakat. Terus sebagai apa? Sudah barang pasti masuk dalam rumpun bantuan sosial, pemberian, dan lain sebagainya. Yang pasti, tak dapat dikelompokkan sebagai zakat, atau bahkan sedekah, sebab keduanya harus diawali dgn niat ibadah.

 

Berikutnya ialah menghitung ‘urudl al-tijarah (harta niaga). Maksud dari urudl al-tijarah ini ialah:

 

ولا يصير العرض للتجارة إلا بشرطين أحدهما: أن يملكه بعقد فيه عوض كالبيع والإجارة والنكاح والخلع والثاني: أن ينوي عند العقد أنه تَمَلَّكَه للتجارة

 

“Tidak dihitung sebagai harta niaga kecuali adanya dua syarat: pertama, bila harta itu dimiliki melalui akad pertukaran dgn wasilah harga, seperti jual beli, nikah, dan khulu’. Kedua, bila harta itu dimiliki dgn niat buat niaga” (Abu Ishaq al-Syairazy, al-Madzhab fi al-Fiqhi al-Syafii, Damaskus: Dar al-Fikr, tt., juz 6, h. 48).

 

Hampir senada, Al-Hajawi al-Hanbali di dalam al-Iqna’ menjelaskan bahwa syarat harta masuk dalam kategori urudl al-tijarah ialah:

 

فشروط زكاة عروض التجارة ثلاثة: أن يكون المال مكتسبًا بمعاوضة، وأن يكون تَمَلُّكُه بغرض بيعه، وأن يكون بيعُه بغرض الربح فيه أو المنفعة التجارية

 

“Syarat urudl tijarah ada tiga, yaitu (1) bila harta itu diperoleh melalui akad pertukaran, (2) buat mendapatkan harta itu, ada tujuan buat menjualnya kembali, dan (3) bila penjualannya disertai tujuan buat mendapatkan keuntungan atau manfaat darinya.” (al-Hajawy, al-Iqna’, Kairo: Dar al-Ma’rifah, tt., juz 1, h. 275).

 

Jika mencermati dua ketentuan di atas, maka harta yg dapat dikategorikan sebagai ‘urudl al-tijarah dalam operasional perusahaan ialah mencakup:

 

  1. Semua bahan hasil proses produksi perusahaan yg telah meliputi barang jadi sehingga penghitungannya meliputi harga jual jadi kepada pihak konsumen
  2. Semua bahan baku produksi perusahaan yg diniatkan buat diolah, dan dihitung berdasar hasil harga beli bahan
  3. Semua laba yg diperoleh oleh perusahaan selama satu tahun proses produksi
  4. Semua piutang lancar perusahaan yg masuk kategori dapat ditagih dan diharapkan kepastiannya, ialah masuk bagian dari harta yg wajib dizakati. Adapun buat piutang tak lancar, maka hal itu dikecualikan dari bagian ‘urudl al-tijarah sebab sifat lemahnya kepemilikan
  5. Semua utang perusahaan yg berkaitan dgn proses produksi merupakan yg dihitung sebagai pengurang urudl al-tijarah di muka.

 

Baca juga: Penjelasan tentang Harta Dagangan yg Wajib Dizakati

 

Perusahaan Modal Bersama

Jika sebuah perusahaan didirikan atas dasar syirkah, maka yg perlu dilakukan pertama kali ialah mengidentifikasi peserta syirkah tersebut, adakah yg bukan termasuk wajib zakat.

 

Pertama, bila ternyata ada salah satu peserta syirkah yg bukan wajib zakat, maka penghitungan zakat perusahaan bagi peserta wajib zakat ialah dinilai berdasar nisbah modal/saham yg dimiliki oleh anggota yg wajib zakat. Misalnya, pihak wajib zakat itu mengakuisisi modal 60%, dan total harta produksi perusahaan (urudl al-tijarah) mencapai 20 miliar, maka besaran zakat yg harus dikeluarkan oleh pihak wajib zakat itu ialah 2.5% dari 60%-nya 20 miliar.

 

Kedua, adapun bila seluruhnya merupakan pihak wajib zakat, maka teknik penghitungannya mengikuti teknik penghitungan perusahaan dgn modal mandiri. Alhasil, tak ada keraguan mengenai penghitungannya.

 

Ketiga, bagaimana bila perusahaan itu didirikan oleh pihak yg bukan wajib zakat? Dalam hal ini, kembali pada pengertian bahwa zakat itu merupakan ibadah, sehingga pelakunya harus pihak yg wajib zakat. Adapun pihak yg bukan wajib zakat, maka pengeluaran harta darinya, tak dapat dikategorikan sebagai zakat. Wallahu a’lam bish shawab.

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

 


 

Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.