Membahas tentang Enggan Ibadah & Zikir sebab Belum Bisa Khusyuk

Di antara alasan sebagian orang yg enggan buat melakukan ibadah, zikir, membaca shalawat dan lainnya ialah merasa bahwa dirinya belum dapat khusuk. Mereka beranggapan bahwa dalam beribadah harus khusuk. Tanpanya, semua ibadah dan zikir tak memiliki nilai apa-apa dan tak mendapatkan pahala.

Sebelum membahas lebih dalam tentang hal ini, perlu diketahui bahwa anggapan di atas dapat benar, tapi tak sepenuhnya benar dan dapat diterapkan dalam konteks sosial masyarakat secara umum. Sebab, membahas tentang khusuk dalam beribadah merupakan salah satu pembahasan rumit yg tak dapat dilakukan oleh semua orang.

Orang-orang yg memiliki kedekatan secara khusus dgn Allah swt, seperti para nabi, orang-orang saleh, dan ulama mau lebih mudah buat khusuk dalam beribadah, berzikir, bermunajat dan lainnya, sebab dalam hati mereka telah tertanam hidayah dan taufik dari-Nya, sehingga dgn mudah buat khusuk dalam meningkatkan spiritual ketika mendekatkan diri kepada-Nya.

Namun, apa yg dapat dirasakan para nabi, orang saleh dan para ulama di atas, tak dapat dgn gampang dirasakan oleh orang biasa, khususnya orang awam dalam hatinya masih jauh dari taufik dan hidayah, masih tersekat oleh dunia dan segala keindahannya. Oleh sebabnya, term-term seperti “beribadah harus khusuk” tak sepenuhnya benar. Sebab, masih banyak orang-orang yg harus beribadah, berzikir dan bermunajat kepada Allah, kendati pun belum dapat khusuk.

Benar memang, beribadah dgn khusuk dan tak tetap lebih baik yg khusuk. Akan tetapi, bila barometer buat beribadah, berzikir, bermunajat, berdoa dan lainnya, harus dgn khusuk, maka mau ada banyak orang yg belum dapat mencapai tingkatan itu tak melakukan ibadah. Oleh sebabnya, khusuk tak seharusnya dijadikan alasan buat meninggalkan ibadah dan amal saleh lainnya.

Dalam Al-Qur’an, ketika Allah swt membahas tentang takwa (menjalankan perintah dan menjauhi larangan), Ia tak memerintah umat Islam buat takwa kepada-Nya melebihi batas yg manusia mampu, Akan tetapi Allah memberikan dispensasi sebatas apa yg mereka dapat, sebagaimana disebutkan,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Artinya, “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan infakkanlah harta yg baik buat dirimu. Barangsiapa dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yg beruntung.” (QS At-Thaghabun [64]: 16).

Imam Abu Ja’far ath-Thabari (wafat 310 H) dan mayoritas ulama ahli tafsir mengatakan bahwa diturunkannya ayat ini buat menghapus (nasakh) ayat sebelumnya yg yg mengharuskan orang-orang beriman untk takwa kepada Allah dgn hakikat takwa, yaitu:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ

Artinya, “Wahai orang-orang yg beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya.” (Surat Ali ‘Imran ayat 102).

Lebih lanjut, Imam ath-Thabari menjelaskan bahwa hikmah di balik penghapusan ayat di atas ialah Allah mengetahui kondisi makhluk-Nya yg sangat lemah. Artinya, bila seandainya Allah memberikan kewajiban yg sama, antara yg satu dgn lainnya, maka tentunya hanya sebagian orang saja yg mau mampu, sementara sebagian yg lain tidak. (Imam Ath-Thabari, Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an, [Muassasah ar-Risalah, cetakan pertama: 2000, tahqiq: Syekh Muhammad Syakir], juz VII, halaman 69).

Dari sini penting buat ditegaskan kembali, bahwa barometer dalam melakukan kewajiban, seperti melakukan ibadah, misalnya, bukan tentang khusuk dan tidaknya. Tetapi perihal upaya seseorang buat dapat melakukan ibadah tersebut. Pada ayat di atas, Allah tak membebani siapa pun buat melakukan apa saja yg tak mereka mampu, begitu juga dgn “khusuk” dalam beribadah. Mereka yg belum dapat harus tetap melakukan ibadah.

Begitu juga dgn zikir, misalnya, ada beberapa orang yg enggan berzikir kepada Allah dgn alasan tak dapat khusuk. Lagi-lagi “khusuk” menjadi alasan buat meninggalkan zikir. Padahal, orang-orang saleh yg telah dapat khusuk, juga berawal dari keadaan yg sama. Tanpa ada usaha dan upaya, siapa pun tak dapat meraih derajat itu. Dari sini penting kiranya mengingat pesan Imam Ibnu Athaillah tentang orang-orang yg berzikir, namun belum dapat khusuk. Beliau mengatakan,

لَا تَتْرُكِ الذِّكْرَ لِعَدَمِ حُضُوْرِكَ مَعَ اللهِ فِيْهِ لِأَنَّ غَفْلَتَكَ عَنْ وُجُوْدِ ذِكْرِهِ أَشَدُّ مِنْ غَفْلَتِكَ فِي وُجُوْدِ ذِكْرِهِ

Artinya, “Janganlah engkau meninggalkan zikir (mengingat Allah) hanya sebab ketidakhadiran hatimu kepada-Nya ketika berzikir. Sebab, kelalaianmu dari kelalaianmu dari adanya mengingat Allah, lebih buruk ketimbang kelalaianmu di ketika berzikir kepada-Nya.” (Imam Ibnu Athaillah, Syarah Hikam, [Darul Hawi, 2015], halaman 55).

 

Pada penjelasan selanjutnya, Imam Ibnu Athaillah memberikan spirit inspirasi kepada orang-orang yg berzikir namun tak dapat khusuk. Menurutnya, dapat jadi Allah mau mengangkat derajat seseorang dgn berzikir yg disertai kelalaian (tidak khusuk), menuju zikir yg disertai kesadaran; dari zikir yg disertai kesadaran menuju zikir yg diserati hadirnya hati; dari zikir yg disertai hadirnya hati menuju zikir yg mengabaikan selain yg diingat (Allah).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa buat mencapai derajat mengabaikan semuanya kecuali Allah, atau dalam istilah tasawuf dikenal dgn term maqam fana’, terlebih dahulu harus melalui zikir yg tak khusuk. Artinya, harus ada tahapan yg harus dilewati oleh semua umat Islam. Dengan kata lain, orang yg enggan berzikir dgn alasan tak dapat khusuk, maka sama halnya ia tak mengmaukan khusuk dalam dirinya sendiri.

Demikian gambaran seorang salik (orang yg menuju Allah). Ia tak dapat secara langsung memiliki derajat istimewa dan dekat dgn Tuhannya. Tahapan demi tahapan harus dapat dilewati; mulai dari yg paling rendah, hingga dapat berada di tingkatan yg paling tinggi. Akan tetapi, sebagaimana yg dijelaskan di atas, bila tak memulai, bagaimana mungkin dapat mencapai puncak spiritualitas buat memiliki kedekatan dgn-Nya.

 

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam, Durjan, Kokop, Bangkalan, Jawa Timur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.