Membahas tentang Apakah Istri Harus Sembunyikan KDRT yg Dilakukan Suami?

Umum dipahami bahwa di antara ciri istri salehah ialah mampu menyembunyikan aib suami. Anjuran Islam terhadap istri supaya menutupi aib suami terlihat dalam sikap Nabi saw yg tak senang terhadap istri yg suka mengadukan aib suami kepada orang lain. Demikian juga sebaliknya. Dalam hal ini Nabi saw bersabda:

إِنِّي لَأُبْغِضُ الْمَرْأَةَ تَخْرُجُ مِنْ بَيْتِهَا تَجُرُّ ذَيْلَهَا تَشْكُو زَوْجَهَا

Artinya, “Sungguh aku tak menyukai perempuan yg keluar rumahnya dgn menyeret ujung pakaiannya dan mengadukan (aib) suaminya (kepada orang lain),” (HR At-Thabrani dgn sanad daif).

Sabda Nabi saw ini mengisyaratkan bahwa di antara akhlak istri terhadap suami ialah tak mengadukan—apalagi mengumbar—aib suami kepada orang lain, kepada sesama wanita, keluarga sendiri atau keluarga suami, kepada hakim dan semisalnya. Aib suami sedapat mungkin disimpan rapat-rapat oleh Istri. Merujuk penjelasan Al-Hafizh Al-Munawi dalam Kitab Faidhul Qadîr, bila istri nekat melakukannya maka hukumnya makruh.

Namun apakah anjuran menyimpan aib suami ini berlaku secara mutlak? Bagaimana pula bila suami melakukan tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)? Apakah juga harus disimpan rapat-rapat?

Secara substansial Al-Hafidz Al-Munawi menjelaskan, memang hukum asal mengadukan aib suami terhadap orang lain ialah makruh. Namun perlu diingat, dalam Islam terdapat prinsip umum yg menyatakan “lâ thâ’ata li makhlûqin fi ma’shiyatil khâliq”, atau tak ada ketaatan terhadap makhluk dalam maksiat terhadap Allah, sehingga bila suami melakukan hal-hal yg melanggar syariat dan tak mau berhenti kecuali dgn diadukan kepada orang lain, istri boleh-boleh saja mengadukan tindakan. (Abdurrauf al-Munawi, Faidhul Qadîr, [Beirut, Dârul Kutub Ilmiyyah: 1415/1994], juz III, halaman 27).

 

 

Dari sini menjadi jelas bahwa bila suami aib suami itu ialah KDRT terhadap istri, seperti menyerangnya secara fisik, menampar dan memukul; mengintimidasi secara psikis dgn kata-kata atau perbuatan yg melecehkan istri, dan semisalnya, maka istri boleh mengadukannya kepada orang lain supaya suami jera. Sebab KDRT suami terhadap istri termasuk perbuatan maksiat.

Dalam konteks hukum positif, istri yg menjadi korban KDRT memunyai hak perlindungan buat melaporkan KDRT suami kepada kepolisian, sebagaimana UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pasal 26 menyatakan: 

(1) Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.

(2) Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain buat melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.

Walhasil, KDRT suami bukan termasuk aib yg harus disimpan rapat-rapat oleh istri. Istri yg mengadukan KDRT suami kepada orang lain supaya jera, juga tak masuk dalam kategori istri yg tak disukai Nabi saw dalam hadits di atas. Atau dapat dikatakan, tindakan istri mengadukan KDRT suami tak mengeluarkannya dari kategori istri salehah. Wallâhu a’lam.

 

 

Ustadz Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda dan Redaktur Keislaman NU Online.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.