Membahas tentang Di Balik Kisah Hijrah Rasulullah & Para Sahabat

Tekanan dari orang-orang musyrik semakin garang seiring keberhasilan dakwah Rasulullah saw di Makkah. Pada puncaknya, Allah swt mengizinkan Rasulullah bersama seluruh umat Muslim di Makkah buat migrasi (hijrah) ke Yatsrib (Madinah). Langkah ini dilakukan sebagai upaya buat menghindari kekerasan musuh yg telah di luar batas, selain buat membentuk ekosistem dakwah baru yg lebih mendukung.

Persiapan hijrah

Sebelum melakukan hijrah ke Yatsrib, Rasulullah telah menyiapkan banyak hal, termasuk melakukan konsolidasi basis kekuatan Muslim di kota tujuan. Jauh hari sebelum hijrah, Rasulullah telah mengislamkan beberapa penduduk Yatsrib. Pertama, pada tahun kesebelas dari nubuwah atau tepat ketika musim haji, sebanyak enam orang Yatsrib memeluk Islam.  

Kembali ke Yatsrib, keenam orang itu turut mengajak penduduk setempat buat memeluk agama Islam. Usaha mereka membuahkan hasil. Pada musim haji berikutnya, dua belas orang datang ke Makkah buat berjuma Rasulullah. Setelah menemui Rasulullah di Mina, mereka melakukan baiat. Inilah yg dinamakan Baiat Aqabah Pertama. 

Seperti yg dilakukan enam orang sebelumnya, sekembali di Yatsrib dua belas orang itu mengajak penduduk setempat buat memeluk Islam. Usaha mereka juga berhasil, bahkan lebih banyak menggalang masyarakat buat mengikuti ajaran Rasulullah. Terbukti, pada musim haji tahun ke-13 dari nubuwah atau tepat pada bulan Juni 622 M, sebanyak 70 Muslim dari Yatsrib bersambang ke Makkah buat menunaikan ibadah haji.

Kedatangan mereka tak hanya buat haji, tetapi juga buat berjumpa Rasulullah saw dan melaksanakan baiat. Ringkas hikayat, mereka bertemu Rasulullah meski dgn cara sembunyi-sembunyi. Peristiwa ini kemudian dinamakan sebagai Baiat Aqabah Kedua atau Baiat Aqabah Kubra. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, Raḫîqul Makhtûm, [Riyadh: Muntada ats-Tsaqafah, 2013], h. 133-141)

Memulai hijrah

Semenjak peristiwa baiat aqabah kubra, Rasulullah dinilai telah berhasil memancangkan fondasi kokoh yg tak hanya dilakukan di Makkah, tetapi juga di Yatsrib. Sejak ketika itu pula, Allah mulai mengizinkan orang-orang Muslim buat melakukan hijrah ke Yatsrib guna menghindari tekanan-tekanan orang musyrik sekaligus membangun ekosistem baru yg lebih menjanbilan buat membesarkan Islam.

Kendati begitu, keputusan hijrah memiliki konsekuensi sangat besar. Selain harus meninggalkan semua aset kekayaan Muslim di Makkah, juga harus bersiap-siap menerima respons berbahaya dan cukup berisiko dari kaum musyrik. Safyurrahman al-Mubarakfuri dalam Raḫîqul Makhtûm menjelaskan:

ولم يكن معنى الهجرة إلا إهدار المصالح، والتضحية بالأموال، والنجاة بالشخص فحسب، مع الإشعار بأنه مستباح منهوب، قد يهلك في أوائل الطريق أو نهايتها، وبأنه يسير نحو مستقبل مبهم، لا يدري ما يتمخض عنه من قلاقل وأحزان.

Artinya: “Hijrah ini bukan sebatas buat mengabaikan kepentingan, mengorbankan harta benda, dan menyelamatkan nyawa pribadi, setelah hak-hak mereka banyak yg dirampas, mau tetapi mereka juga harus siap bila harus binasa di awal hijrah atau pada akhirnya. Hijrah ini juga menggambarkan masa depan yg belum jelas, mereka tak tahu duka lara apa saja yg kelak menimpa setelah itu. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, h. 142)

Parlemen Darun Nadwah

Benar saja, setelah Rasulullah berhasil menghijrahkan para sahabat ke Yatsrib, kaum musyrik naik pitam bukan kepalang. Peristiwa hijrah ini telah berhasil membuat orang musyrik merasa khawatir. Sebab, dgn langkah ini berarti kelompok Muslim telah semakin militan, belum lagi Yatsrib yg digunakan sebagai lokasi hijrah ialah tempat yg sangat strategis, termasuk dalam segi ekonomi sebab menjadi jalur kafilah dagang yg melewati pesisir Laut Merah menuju ke Syam. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, h. 142)

Penting dicatat, ketika itu seluruh orang Muslim telah berhasil hijrah ke Madinah, kecuali beberapa yg berhasil ditahan oleh orang musyrik. Posisi Rasulullah, Abu Bakar, dan Ali juga masih di Makkah, menunggu restu dari Allah buat turut hijrah. (Abdussalam Harun, Tahdzibus Sîrah Ibni Hisyâm, [Bairut: Muassasah ar-Risalah, 1985], h. 110)

Pada hari Kamis 26 Shafar tahun 14 dari nubuwah, atau bertepatan 12 September 622 M (kira-kira dua bulan setelah peristiwa Baiat Aqabah Kubra), kaum musyrik mengadakan pertemuan anggota Parlemen Makkah di Darun Nadwah yg dihadiri oleh tokoh-tokoh perwakilan setiap kabilah dari suku Quraisy. Berikut ialah nama tokoh-tokoh tersebut:

 

1. Abu Jahal bin Hisyam dari kabilah Bani Makhzum

2. Jubair bin Muth’im dan Thu’aimah bin Adi serta Al-Harits bin Amir dari Bani Naufal bin Abdi Manaf.

3. Syaiban bin Utbah, anak Rabi’ah serta Abu Sufyan bin Harb dari Bani Abdi Syams bin Abdi Manaf.

4. An-Nadhr bin Al-Harits dari Bani Abdid-Dar, yatu orang yg pernah menimpukkan isi perut hewan yg telah disembelih kepada Nabi Muhammad.

5. Abul Bakhtari bin Hisyam, Zam’ah bin Al-Aswad dan Hakim bin Hizam dari Bani Asad bin Abdul Uzza.

6. Nubih dan Munabbih, anak Al-Hajjaj dari Bani Sahm.

7. Umayyah bin Khalaf dari Bani Jumah.

Hasil pertemuan itu memutuskan supaya masing-masing drai kabilah menunjuk seorang pemuda yg gagah perkasa, berdarah bangsawan, dan mampu menjadi penengah. Setelah pemuda-pemuda tersebut berhasil membunuh Muhammad, maka Bani Abdi Manaf (pendukung Muhammad) tak mau sanggup melawan sebab bila melawan maka sama saja Bani Abdi Manaf harus melawan semua kabilah. 

Tibalah waktunya orang musyrik buat menghabisi Rasulullah. Malam hari tepat biasa Rasulullah telah tertidur di ranjangnya, mereka telah mengepung dan siap buat menikam di tempat tidurnya. Sayg sekali, atas bisikan Jibril, Rasulullah telah mengetahui rencana busuk ini. 

Begitu detik-detik menjelang penikaman, Ali telah berada di ranjang menggantikan Rasulullah dgn ditutup selimut. Aksi kaum musyrik pun gagal. Sementara Rasulullah sendiri berhasil menyelinap kabur dgn mengelabuhi pandangan musuh dgn menaburi debu ke kepada mereka sambil membaca ayat Al-Qur’an:

وَجَعَلۡنَا مِنۢ بَيۡنِ أَيۡدِيهِمۡ سَدّٗا وَمِنۡ خَلۡفِهِمۡ سَدّٗا فَأَغۡشَيۡنَٰهُمۡ فَهُمۡ لَا يُبۡصِرُونَ  

Artinya: “Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tak dapat melihat.” (QS. Yasin [36]: 9) (Safyurrahman al-Mubarakfuri, h. 142-147)

Penulis: Muhamad Abror

Editor: Fathoni Ahmad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.