Membahas tentang Perawatan Jenazah Perempuan

Seiring viralnya wasiat Dorce Gamalama yg mau dimakamkan seperti perempuan, muncul pertanyaan, sebenarnya cara memakamkan jenazah perempuan itu bagaimana, apakah berbeda dgn jenazah laki-laki? 

Sebagai agama yg sempurna Islam mengajarkan umatnya buat menghormati orang, baik yg masih hidup maupun meninggal. Penghormatan Islam terhadap orang yg meninggal di antaranya tercermin dalam kewajiban perawatan jenazah, mulai dari memandikan, mengafani, menshalati, dan memakamkan. Kewajiban perawatan jenazah ini bersifat fardhu kifayah bagi orang-orang yg berada di sekitar tempat wafatnya. Bila tak ada yg melakukannya, atau semua mengabaikannya maka semuanya berdosa.    
 

Sebenarnya tak ada perbedaan mendasar antara perawatan jenazah laki-laki dan jenazah perempuan. Hanya beberapa detailnya saja yg berbeda sebagaimana catatan berikut:

Memandikan Jenazah Perempuan

Dalam hal ini yg perlu diperhatikan ialah terkait siapa yg berhak memandikan jenazah perempuan. Jenazah perempuan hanya boleh dimandikan kecuali oleh perempuan, kecuali suami dan laki-laki yg mempunyai hubungan mahram dgnnya.

 

Bila tak ada perempuan, suami, atau laki-laki mahram, maka merujuk pendapat al-Ashah dalam mazhab Syafi’i maka jenazah perempuan tersebut tak dimandikan, namun ditayamumi sebagai ganti dari memandikannya; sementara menurut pendapat muqabilul ashah jenazah perempuan tersebut tetap dimandikan dgn lebih hati-hati buat menjaga kehormatannya, yaitu dgn cara sebagai berikut:

 

(1) Jenazah perempuan tetap tertutup rapat dgn bajunya; 

(2) Laki-laki yg memandikannya menggunakan alas tangan, tak menyentuh jenazah secara langsung; dan 

(3) Optimal dalam menjaga pandangannya, hanya boleh memandang jenazah dalam kondisi darurat atau seperlunya. (Muhammad bin Ahmad al-Mahalli, Syarah Al-Mahalli dicetak bersama Hâsyiyatâni Qulyûbi wa ‘Umairah, [Singapura-Jedah-Indonesia: Al-Haramain], juz I, halaman 379-380).

Mengafani Jenazah Perempuan

Dalam mengafani jenazah perempuan, ada tiga level sebagimana berikut:

(1) Batas minimal kafan bagi jenazah perempuan ialah kain yg menutupi seluruh tubuh; 

(2) Tiga lapis kain yg masing-masing dapat menutupi seluruh tubuh;

(3) Paling sempurna ialah lima lapis kain, yg terdiri dari (a dan b) dua lapis kain yg masing-masing dapat menutupi seluruh tubuh, (c) izâr yaitu kain yg menutup bagian tengan tubuh dari pusar hingga lutut, (d) gamis, dan (e) kerudung yg menutup kepala. (Ibrahim al-Bajuri, Hâsyiyah al-Bâjuri, juz I, halaman 248-249).

Menshalati Jenazah Perempuan

Siapa saja boleh menyolati jenazah perempuan, baik laki-laki apalagi perempuan. Namun ada beberapa detail yg perlu diperhatikan sebagaimana berikut:

(1) Niat dan doa-doa di dalam shalat jenazah semestinya disesuaikan dgn jenis kelamin jenazah, yaitu perempuan. Semisal pelafalan niat menjadi: Ushalli ‘ala hâdzihil mayyitati ar-ba’a takbirâtin fardhal kifâyati lillâhi ta’âla … Demikian pula pelafalan doa menjadi: Allâummaghfirlahâ war hamhâ wa ‘âfihâ wa’fu ‘anhâ

(2) Imam atau orang yg shalat jenazah sendirian (munfarid), berdiri tepat di arah pantat jenazah. (Sulaiman bin Umar al-‘Ajili, Hâsyiyatul Jamâl, [Beirut, Dârul Fikr], juz II, halaman 188).

Memakamkan Jenazah Perempuan

Tidak ada perbedaan dalam tata cara pemakamkan jenazah perempuan dan jenazah laki-laki. Batas minimalnya ialah galian lobang yg dapat mencegah baunya keluar dari dalam kubur, sehingga tak tercium orang hidup atau digali oleh binatang buas. Adapun sunnahnya ialah dgn lebar satu hasta lebih satu jengkal (kira-kira 72 cm atau lebih mudah 1 m), panjang sesuai ukuran tinggi jenazah, dan kedalaman seukuran orang berdiri dgn mengangkat tangannya ke atas (kira-kira 2 m). (Musthafa al-Khin dkk, al-Fiqhul Manhaji, [Damaskus, Dârul Qalam: 1413/1992], juz I, halaman 256). 

Adapun tentang siapa yg menurunkannya ke lubang kubur maka laki-laki, sebab umumnya wanita tak mampu melakukannya. Adapun yg paling utama melakukannya ialah suami, kemudian laki-laki yg punya hubungan mahram dgnnya, yaitu ayah, kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki, saudara laki-laki, kemudian pamannya dari ayah. Orang yg memasukkannya ke dalam kubur disunnahkan berjumlah ganjil, tiga atau selebihnya sesuai kebutuhan. (Al-Mahalli, Syarh Al-Mahalli, juz I, halaman 398-399).

 

Ustadz Ahmad Muntaha AM, pengasuh Aswaja Muda.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.