Membahas tentang Kisah Wafatnya Abu Thalib di Bulan Rajab & Status Keimanannya

Bulan Rajab mengingatkan kita duka lara yg sedang dirasakan oleh Nabi Muhammad saw ketika itu. Di tengah kekejaman kaum Quraisy yg semakin merajalela, orang-orang tercinta Nabi justru meninggal dunia, salah satunya Abu Thalib, seorang paman yg selalu membelanya penuh pengorbanan.

Pembelaan Abu Thalib terhadap Nabi

Sejak Abdul Muthalib (kakek Nabi) wafat, usia Nabi Muhammad masih kanak-kanak, yaitu baru delapan tahun dua bulan sepuluh hari. Pengasuhan Nabi kemudian diserahkan kepada Abu Thalib, sang paman. Seperti kakeknya dulu, kasih sayg Abu Thalib kepada Nabi juga begitu besar. Bahkan ia mendahulukan kepentingan Nabi dibanding anak-anaknya sendiri.

Kesetiaan dan kasih sayg Abu Thalib kepada keponakannya itu berlangsung cukup lama, yaitu selama lebih dari empat puluh tahun hingga ia wafat. Bahkan ia rela bila harus menyatakan musuh pada kerabat-kerabat yg berani menyakiti dan menentang Rasulullah.

Pernah suatu hari kaum Quraisy meneror Abu Thalib dan mengancam mau menghabisi nyawanya bila tak mau menghentikan aktivitas dakwah Nabi Muhammad. Ia sempat khawatir dgn ancaman itu sehingga meminta Rasulullah buat menyudahi kegiatan dakwah. Setelah dibujuk, ternyata Nabi tetap kuat buat melanjutkan misi risalahnya. Mendengar itu, Abu Thalib kembali tegar membelanya. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, Raḫîqul Makhtûm, [Beirut: Daru Ihya’it Turats, tt], h. 85)

Rupanya ancaman kaum Quraisy buat menghabisi Abu Thalib itu sebatas gertakan. Buktinya, begitu mereka tahu bahwa Rasulullah tetap melanjutkan kegiatan dakwah, mereka tak merealisasikan ancaman tersebut. Mereka kemudian memikirkan cara lain hingga akhirnya mendatangi Abu Thalib buat kedua kalinya.

Kedatangan mereka kali ini dgn membawa Ammarah bin Walid bin Mughirah, seorang pemuda Quraisy yg paling tampan. Mereka mau membujuk Abu Thalib buat menukar Ammarah dgn Nabi Muhammad buat dibunuh. Abu Thalib menolak tegas tawaran itu. Kaum Quraisy pun pulang dgn kecewa. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, h. 86)

Ringkas hikayat, Abu Thalib jatuh sakit. Kian hari semakin parah yg hingga tinggal menunggu saat-saat kematiannya. Akhirnya ia pun berpamit buat selamanya pada bulan Rajab tahun kesepuluh dari kenabian. Pendapat lain mengatakan bahwa ia wafat pada bulan Ramadhan, selang tiga bulan setelah wafatnya Siti Khadijah.

Saat detik-detik kematiannya, Rasulullah berada di sampingnya dan berkata, “Wahai paman, ucapkanlah lâ ilâha illallâh, satu kalimat yg dapat engkau jadikan hujah di sisi Allah.”

Sementara Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah al-Makhzumi yg juga berada di situ menyela, “Wahai Abu Thalib, apakah engkau tak menyukai agama Abdul Muthalib?” Keduanya terus mengulangi ucapan itu hingga kalimat yg keluar dari mulut Abu Thalib ialah tetap berada pada agama Abdul Muthalib. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, h. 103)

Status keimanan Abu Thalib

Mengenai status keimanan Abu Thalib sendiri ulama berbeda pendapat. Ada yg berpendapat Abu Thalib wafat dalam keadaan tak beriman sebab sampai detik terakhir kewafatan tak mengucapkan kalimat syahadat. Dari pemaparan di atas, Abu Thalib tetap berpegang pada agama Abdul Muthalib. Argumen ini juga dilandasi beberapa hadits Nabi, di antaranya sabda Nabi berikut:

عَنْ عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ نَفَعْتَ أَبَا طَالِبٍ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ كَانَ يَحُوطُكَ وَيَغْضَبُ لَكَ قَالَ نَعَمْ هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ لَوْلَا أَنَا لَكَانَ فِي الدَّرَكِ الْأَسْفَلِ مِنْ النَّارِ   (رواه البخاري و مسلم)

Artinya: Dari Abbas bin Abdul Mutthalib dia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah anda dapat memberi manfaat kepada Abu Thalib, sebab dia telah mengasuhmu dan terkadang marah (buat memberikan pembelaan) kepadamu.” Beliau menjawab: “Ya, ia berada di bagian neraka yg dangkal, dan kalaulah bukan sebab diriku, niscaya berada di dasar neraka.” (HR Bukhari dan Muslim)

Kemudian hadits berikut:

لَعَلَّهُ تَنْفَعُهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ القِيَامَةِ، فَيُجْعَلُ فِي ضَحْضَاحٍ مِنَ النَّارِ يَبْلُغُ كَعْبَيْهِ، يَغْلِي مِنْهُ أُمُّ دِمَاغِهِ

Artinya: “Semoga syafaatku berguna baginya pada hari kiamat, sehingga dia tak diletakkan dalam neraka yg dalam, yg tingginya sebatas kedua mata kakinya, namun itu pun menjadikan ubun-ubun kepalanya mendidih.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Selain itu juga hadits yg mengatakan Abu Thalib masuk neraka dgn mendapat siksa neraka paling ringan.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَهْوَنُ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا أَبُو طَالِبٍ 

Artinya: “Dari Ibnu Abas bahwa Rasulullah saw bersabda: “Penduduk neraka yg siksanya paling ringan ialah Abu Thalib.” (HR Muslim)

Sementara kelompok ulama yg meyakini Abu Thalib wafat dalam keadaan beriman ialah dari kalangan Asy’ariyah. Bahkan seorang Mufti Makkah Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan menulis kitab khusus yg membantah tuduhan Abu Thalib wafat dalam keadaan kafir. Kitab tersebut berjudul Asnal Mathâlib fî Najâti Abî Thâlib.

Dalam paparannya, Syekh Ahmad banyak menggunakan argumen Syekh Al-Barzanji, seorang mufti bermadzhab Syafi’i di Madinah. Berikut penulis jabarkan ringkasan argumennya.

Syekh Al-Barzanji mengaku bahwa kualitas ketiga hadits di atas sahih. Memang bila dipahami sekilas, hadits-hadits tersebut menyatakan bahwa Abu Thalib wafat dalam keadaan beriman, tetapi bila dipahami lebih teliti, maka mau menemukan makna sebaliknya, yaitu Abu Thalib wafat dalam keadaan beriman.

Menurut Al-Barzanji, keengganan Abu Thalib mengucapkan kalimat syahadat pada detik-detik kewafatannya sebab khawatir mau keselamatan Nabi Muhammad, mengingat pada ketika itu ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah al-Makhzumi, dua tokoh kafir Quraisy yg cukup berpengaruh.

Hanya saja, lanjut Al-Barzanji, ada kemungkinan Abu Thalib mengucapkan kalimat syahadat. Sebab, ketika Abu Thalib menjelang wafat, seorang sahabat Nabi bernama Abbas melihat Abu Thalib menggerak-gerakkan mulutnya mengucapkan kalimat syahadat. Kesaksian Abbas ini kemudian dikabarkan kepada Nabi.

Berikutnya, Al-Barzanji juga mengomentari bahwa dalam beberapa hadits, Abu Thalib dijelaskan memperoleh syafaat Nabi, hal ini jelas ia wafat dalam keadaan beriman. Sebab, syafaat hanya dapat diperoleh orang mukmin.

Selain itu, Al-Barzanji juga menegaskan bahwa hadits yg menjelaskan bahwa Abu Thalib mendapat siksa neraka paling ringan bukan sebab kemusyrikannya, tapi sebatas dosa maksiat. Sebab, bila statusnya kafir, tak mungkin ia mendapat siksa paling ringan sebab levelnya mau membawahi siksa seorang mukmin yg bermaksiat. Secara teori, seharusnya siksa orang kafir lebih berat dibanding seorang mukmin ahli maksiat.

Walhasil, Al-Barzanji berkesimpulan, pihak yg mengatakan Abu Thalib wafat dalam keadaan tak beriman hanya berdasar interpretasi literal dari hadits-hadits Nabi. Tapi sejatinya, bila ditelaah lebih dalam, justru mau dipahami sebaliknya. (Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan, Asnal Mathâlib fî Najâti Abî Thâlib, [Amman: Darul Imam an-Nawawi, 2007], h. 69-90)

Penulis: Muhamad Abror

Editor: Fathoni Ahmad





Uncategorized