Banyak masyarakat yg resah dgn adanya varian baru ketika pandemi Covid-19. Baru-baru ini, muncul hasil mutasi virus penyebab Covid-19 yg bernama varian Omicron dan dianggap serius oleh para ahli sebab memiliki tingkat penularan lebih besar. Seolah berperang dgn manusia, virus tersebut menyusun strategi baru supaya tetap eksis di ketika upaya-upaya kesehatan berusaha meredamnya.
Sebagai bagian dari perubahan alam yg mengikuti sunnatullah, kejadian mutasi dari mikroba penyebab penyakit bukan terjadi ketika ini saja. Sejak munculnya pandemi di masa lalu, perubahan sifat mikroba penyebab penyakit telah lazim terjadi. Efeknya memang ada yg menyulitkan penanganan penyakit, tetapi ada pula yg menjadi lebih jinak sehingga mudah buat dihilangkan.
Bagaimana umat Islam menyikapi fenomena mutasi virus penyebab penyakit ketika pandemi? Adakah tuntunan dari ulama terdahulu yg perlu diterapkan dan masih relevan di masa sekarang? Apakah fenomena alamiah mutasi mikroba itu terekam dalam kitab klasik karya ulama Islam?
Imam as-Suyuthi ternyata telah mencermati adanya fenomena mutasi ketika pandemi dan menuliskannya. Dalam kitabnya yg berjudul al-Maqamah ad-Durriyah, Beliau mendokumentasikan fenomena pandemi yg dialami pada masa hidupnya. Kitab tersebut menjadi saksi bahwa mutasi mikroba penyebab pandemi ternyata telah terjadi sejak zaman dahulu meskipun mikrobanya sendiri belum dikenali oleh manusia pada masa itu.
Imam as-Suyuthi mengalami hidup pada masa pandemi yg terjadi secara global. Beliau waktu itu hidup di Mesir dan merekam dgn baik kejadian demi kejadian dalam rangkaian pandemi di Mesir dan sekitarnya. Fenomena itu Beliau ceritakan ketika membahas thaun pada tahun 897-898 H sebagai berikut:
“Telah diingatkan bahwa ada sesuatu yg terjadi dan hal ini berbeda dari kebiasaan thaun. Saat ini thaun menimbulkan kematian terhadap orang-orang yg sempat selamat dari thaun sebelumnya. Kebiasaan yg umum ialah orang yg sempat selamat itu tak mau meninggal sebab thaun, walaupun terkena kembali, maka orang tersebut mau selamat atau sembuh.” (Imam Suyuthi, al-Maqamah ad-Durriyah dalam Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Thaun, Penerbit Darul Qalam, Damaskus tanpa tahun: hal 216).
Dalam catatan kaki, penahkik kitab itu, yaitu dr. Muhammad Ali al-Bar, menjelaskan tulisan Imam as-Suyuthi tersebut:
“Telah menjadi pengetahuan umum bahwa orang yg pernah terkena cacar dan thaun kemudian selamat, maka penyakit tersebut tak mau menimpanya kembali sebab dia telah memiliki kekebalan dalam tubuhnya. Hal ini sesuai dgn kaidah kedokteran modern yaitu vaksin dan imunisasi. Kedua upaya tersebut memanfaatkan mikroba yg telah dilemahkan atau yg mati dan menyuntikkannya ke dalam tubuh supaya tubuh memiliki kekebalan. Akan tetapi, mikroba dapat mengubah antigen yg dimiliki (atau dikenal dgn mutasi) sehingga kekebalan yg telah ada sebelumnya pada orang yg pernah terpapar tak bermanfaat lagi. Dapat dinyatakan bahwa mikroba thaun pada tahun ini bersifat baru sehingga berbeda sifat-sifatnya apabila dibandingkan dgn tahun sebelumnya.” (Catatan kaki buat kitab Al-Maqamah ad-Durriyah dalam Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Thaun karya Imam Suyuthi, Penerbit Darul Qalam, Damaskus tanpa tahun: hal 216)
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa sifat mikroba penyebab pandemi yg terjadi pada tahun 898 H ternyata berbeda dgn penyebab pandemi di tahun sebelumnya yaitu 897 H. Meskipun hanya berselang satu tahun, ternyata mikroba penyebab pandemi dapat bermutasi menjadi lebih kebal.
Dalam bagian kitab selanjutnya di halaman 223, Imam as-Suyuthi melanjutkan penjelasannya dgn menulis:
“Sebagian besar yg terkena dan meninggal ialah penderita yg selamat pada serangan tahun lalu.”
Maksud dari pernyataan tersebut ialah korban meninggal dunia sebab pandemi pada tahun 898 H ialah orang-orang yg pada tahun 897 H terpapar thaun dan selamat. Pada tahun 898 H, orang-orang yg telah terpapar dan selamat itu terpapar kembali dgn pandemi yg sama sehingga meninggal dunia. Padahal menurut kaidah kedokteran pada waktu itu, orang yg pernah terpapar pandemi dan selamat, maka apabila terpapar kembali mau sembuh serta tak menimbulkan bahaya. Namun, kenyataan menunjukkan hasil yg berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa mutasi yg terjadi pada waktu itu membuat mikroba menjadi lebih kebal dan lebih ganas.
Meskipun ketika itu mutasi mikroba penyebab pandemi menyebabkan situasi menjadi lebih genting, Imam as-Suyuthi tetap memberikan saran supaya kaum Muslimin tenang menghadapinya. Beliau mengulang-ulang nasihatnya dgn bahasa-bahasa yg indah dalam sebagian besar isi kitab tersebut.
Pada halaman 218 dan 222 Beliau menuliskan doa dgn semangat optimisme sebagai berikut:
“Kita mohon perlindungan kepada Allah supaya pada tahun ini tak mengirimkan thaun kepada kita dan juga supaya melimpahkan kesehatan, meliputi kita dgn kelembutan-Nya yg mencukupi, yg menyembuhkan, yg luhur dan sempurna.”
Tidak lupa, Beliau juga memberikan nasihat yg sangat berharga buat kaum muslimin sebagai berikut:
“Ahli fikih mengatakan, sekarang waktu yg tepat buat bersyukur dgn benar dan hendaklah niat menyucikan diri dan menjauhi dosa selalu diingat. Maka sadarlah kalian dari kelalaian, tinggalkanlah bermain-main, berbuat sia-sia dan bersenang-senang yg tiada berguna. Jadilah kaum yg selalu berpuasa dan gemar bersedekah.” (Kitab Al-Maqamah ad-Durriyah dalam Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Thaun karya Imam Suyuthi, Penerbit Darul Qalam, Damaskus, tanpa tahun, hal. 224).
Energi doa yg dipanjatkan lengkap dgn tawasul amal saleh hendaknya juga diimbangi dgn upaya lahiriah berupa kewaspadaan. Imam as-Suyuthi tak lupa mengingatkan pentingnya sikap berhati-hati dalam menghadapi pandemi dgn syair yg tercantum di halaman 218 kitab tersebut:
“Terkadang orang yg berhati-hati itu mendapatkan beberapa hajatnya.
Terkadang bila disertai dgn ketergesa-gesaan, dia tergelincir.”
Syair tersebut sangat pas dgn kondisi pandemi ketika ini. Melandainya kasus Covid-19 perlu dijaga dgn tetap menerapkan protokol kesehatan dan vaksinasi. Ulama telah mengajarkan optimisme kepada umat Islam dalam menghadapi pandemi. Sebagai seorang Muslim yg mencintai ulama terdahulu, selayaknya kita meneladani sikap yg telah diajarkan oleh Imam as-Suyuthi dgn tak lupa bahagia supaya imun tetap terjaga, tetap waspada, berdoa dan beramal saleh.
Yuhansyah Nurfauzi, Apoteker dan Peneliti di Bidang Farmasi
Membahas tentangSyirik Terbagi Dua, Yuk Simak!
Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentangSyirik Terbagi Dua, Yuk Simak!,
– Perbuatan yg paling dibenci Allah Swt ialah syirik, atau perilaku menyekutukan Allah. Hal ini jelas mau mendatangkan kemudharatan bagi siapapun yg melakukannya. Yang paling menyeramkan dari perbuatan syirik ialah, Allah tak mau mengampuni dosanya.
Allah Swt berfirman,
اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغۡفِرُ اَنۡ يُّشۡرَكَ بِهٖ وَيَغۡفِرُ مَا دُوۡنَ ذٰ لِكَ لِمَنۡ يَّشَآءُ ۚ وَمَنۡ يُّشۡرِكۡ بِاللّٰهِ فَقَدِ افۡتَـرٰۤى اِثۡمًا عَظِيۡمًا
“Sesungguhnya Allah tak mau mengampuni (dosa) sebab mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yg selain (syirik) itu bagi siapa yg Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yg besar.” (QS. An-Nisa: 48)
Macam-macam Syirik
Perbuatan syirik ternyata terbagi menjadi dua. Mungkin tanpa disadari dapat saja kita melakukan perbuatan dosa ini. Melansir dari beberapa sumber, berikut penjelasan macam-macam perbuatan syirik, yuk simak!
1. Syirik besar-nyata (syirik kabir-jaliy)
Perbuatan syirik besar yaitu suatu perbuatan yg jelas dan nyata yg beranggapan bahwa ada tuhan selain Allah dan mempercayai bahwa ada hal lain yg dapat mengubah takdir manusia. Contoh dari syirik besar, berikut ini :
- Syirik dalam doa: Berdoa kepada benda atau makam yg dianggap mampu mengabulkan kemauan atau hajatnya.
- Syirik dalam niat: Melakukan ibadah namun ditujukan bukan kepada Allah Swt tetapi kepada makhluk lainnya dan bukan buat meraih rida Allah melainkan buat memperoleh ganjaran duniawi, seperti kekayaan dan jabatan.
2. Syirik kecil-tersembunyi (syirik shaghir-khafiy)
Syirik kecil muncul dari suatu perkataan yg secara tersirat atau samar, dan sesuatu yg dapat melebihi kuasa dari Allah. Atau, kekaguman kepada makhluk Allah yg melebihi batas tapi tak sampai pada tingkat penyembahan. Contoh syirik kecil, sebagai berikut :
- Perkataan: Perkataan yg masuk dalam syirik kecil, “Berobat ke dokter ini saja, dia hebat sekali saya langsung sembuh”, “Kemarin saya pake obat ini langsung sembuh dan sampai sekarang tak sakit lagi”. Hal ini tentu dapat dihindari dgn menambahkan kalimat “dgn izin Allah atau atas pertolongan Allah”.
- Riya: Riya atau pamer masuk dalam kategori perbuatan syirik kecil yg mungkin sering dianggap sepele. Contoh riya yg sering kita jumpai yaitu menggunakan pakaian jubah supaya terlihat atau dipandang seperti orang alim, memanjangkan sujud supaya dianggap khusyuk, dan bentuk lainnya.
Allah Swt melarang hamba-nya buat berbuat riya, sebagaimana dalam firman-Nya:
وَلَا تَكُوۡنُوۡا كَالَّذِيۡنَ خَرَجُوۡا مِنۡ دِيَارِهِمۡ بَطَرًا وَّرِئَآءَ النَّاسِ وَ يَصُدُّوۡنَ عَنۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِؕ وَاللّٰهُ بِمَا يَعۡمَلُوۡنَ مُحِيۡطٌ
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yg keluar dari kampung halamannya dgn rasa angkuh dan mau dipuji orang (riya) serta menghalang-halangi (orang) dari jalan Allah. Allah meliputi segala yg mereka kerjakan”. (QS. Al-Anfal: 47)
Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentangSyirik Terbagi Dua, Yuk Simak! . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.
terima kasih
Membahas tentangMenyoal Nazar, Macam-macam & Bagaimana Hukumnya dalam Islam
Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentangMenyoal Nazar, Macam-macam & Bagaimana Hukumnya dalam Islam,
– Dalam kehidupan sehari-hari pastinya kita sering menjumpai orang yg mengucapkan nazar atau berjanji tentang suatu hal. Terkadang kita sering kali tak mengindahkan sebuah bentuk nazar yg telah diucapkan dan bagaimana hukumnya dalam Islam.
Bernazar berarti mewajibkan diri sendiri buat melaksanakan perkara tertentu yg sebenarnya tak wajib, dan nazar seseorang dianggap berlaku atau sah bila diucapkan dgn lisan. Contoh kalimat nazar yg biasa kita dengar seperti berikut, “Jika hari ini dinyatakan lulus seleksi A, saya bernazar mau berpuasa selama satu bulan.”
Banyak ulama yg melarang seorang muslim buat bernazar, hal ini berpacu kepada beberapa hadis sebagai berikut:
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
نَهَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَنِ النَّذْرِ قَالَ « إِنَّهُ لاَ يَرُدُّ شَيْئًا ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang buat bernazar, beliau bersabda: ‘Nazar sama sekali tak dapat menolak sesuatu. Nazar hanyalah dikeluarkan dari orang yg bakhil (pelit)’.” (HR. Bukhari no. 6693)
Dan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ النَّذْرَ لاَ يُقَرِّبُ مِنِ ابْنِ آدَمَ شَيْئًا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ قَدَّرَهُ لَهُ وَلَكِنِ النَّذْرُ يُوَافِقُ الْقَدَرَ فَيُخْرَجُ بِذَلِكَ مِنَ الْبَخِيلِ مَا لَمْ يَكُنِ الْبَخِيلُ يُرِيدُ أَنْ يُخْرِجَ
“Sungguh nazar tidaklah membuat dekat pada seseorang apa yg tak Allah takdirkan. Hasil nazar itulah yg Allah takdirkan. Nazar hanyalah dikeluarkan oleh orang yg pelit. Orang yg bernazar tersebut mengeluarkan harta yg sebenarnya tak dimaukan buat dikeluarkan.” (Muslim no. 1640)
Namun, bila seseorang telah terlanjur mengucapkan nazarnya dgn lisan maka wajib hukumnya buat menunaikan atau menyelesaikan nazar tersebut. sebagaimana dalam firman-Nya,
ثُمَّ لۡيَـقۡضُوۡا تَفَثَهُمۡ وَلۡيُوۡفُوۡا نُذُوۡرَهُمۡ وَلۡيَطَّوَّفُوۡا بِالۡبَيۡتِ الۡعَتِيۡقِ
“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran (yg ada di badan) mereka, menyempurnakan nazar-nazar mereka dan melakukan thawaf sekeliling rumah tua (Baitullah).” (QS. Al-Hajj : 29)
Dalam sebuah hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
“Barangsiapa yg bernazar buat taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut. Barangsiapa yg bernazar buat bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya.” (HR. Bukhari no. 6696)
Dalam sebuah hadis menyebutkan bahwa ada 2 macam nazar, yaitu:
- Nazar taat
- Nazar maksiat
“Nazar itu ada dua macam. Jika nazarnya ialah nazar taat, maka wajib ditunaikan. Jika nazarnya ialah nazar maksiat -sebab syaitan-, maka tak boleh ditunaikan dan sebagai gantinya ialah menunaikan kafarah sumpah.” (HR. Ibnu Jarud)
Lalu bagaimana bila seseorang tak mampu melaksanakan kewajiban menyelesaikan nazar taat, maka nazar tersebut tak wajib ditunaikan. Namun, diganti dgn menunaikan kafarat sumpah, sebagaimana dalam surat Al-Maidah, ayat 89. Kafarat ialah denda yg wajib dibayar seseorang sebab melanggar beberapa larangan Allah.
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللّٰهُ بِاللَّغۡوِ فِىۡۤ اَيۡمَانِكُمۡ وَلٰـكِنۡ يُّؤَاخِذُكُمۡ بِمَا عَقَّدْتُّمُ الۡاَيۡمَانَ ۚ فَكَفَّارَتُهٗۤ اِطۡعَامُ عَشَرَةِ مَسٰكِيۡنَ مِنۡ اَوۡسَطِ مَا تُطۡعِمُوۡنَ اَهۡلِيۡكُمۡ اَوۡ كِسۡوَتُهُمۡ اَوۡ تَحۡرِيۡرُ رَقَبَةٍ ؕ فَمَنۡ لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ ؕ ذٰ لِكَ كَفَّارَةُ اَيۡمَانِكُمۡ اِذَا حَلَفۡتُمۡ ؕ وَاحۡفَظُوۡۤا اَيۡمَانَكُمۡ ؕ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَـكُمۡ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُوۡنَ
“Allah tak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yg tak disengaja (buat bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yg kamu sengaja, maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yg biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Barangsiapa tak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu supaya kamu bersyukur (kepada-Nya).”
Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentangMenyoal Nazar, Macam-macam & Bagaimana Hukumnya dalam Islam . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.
terima kasih
Membahas tentangNaudzubillah min Dzalik! Ini tiga Azab yg mau Diterima Orang Syirik
Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentangNaudzubillah min Dzalik! Ini tiga Azab yg mau Diterima Orang Syirik,
– Syirik merupakan perbuatan menyekutukan Allah Swt dan merupakan perkara yg harus dihindari supaya kita umat Islam tak termasuk dalam golongan orang-orang yg dibenci Allah Swt. Jika seseorang wafat dalam keadaan syirik maka Allah tak mau menghapuskan dosanya yg termasuk dalam golongan dosa besar.
Allah berfirman dalam surat An-Nisa Ayat 48 yg berbunyi;
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tak mau mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yg selain dari (syirik) itu, bagi siapa yg dikehendaki-Nya. Barangsiapa yg mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yg besar.”
Dosa syirik mau menimbulkan azab yg pedih bagi siapapun buat melakukannya. Kali ini mau membahas 3 azab yg mau diterima orang yg berbuat syirik, yuk simak!
1. Bertempat di Neraka dan diharamkan surga
Allah swt berfirman,
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yg berbuat syirik terhadap Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun” (QS. Al Maidah: 72).
2. Dipandang sebagai najis
Orang-orang yg melakukan dosa syirik, Allah Swt samakan mereka dgn segumpal najis yg tak perlu didekati. Sebagaimana firman-Nya :
يٰۤاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِنَّمَا الۡمُشۡرِكُوۡنَ نَجَسٌ فَلَا يَقۡرَبُوا الۡمَسۡجِدَ الۡحَـرَامَ بَعۡدَ عَامِهِمۡ هٰذَا ۚ وَ اِنۡ خِفۡتُمۡ عَيۡلَةً فَسَوۡفَ يُغۡنِيۡكُمُ اللّٰهُ مِنۡ فَضۡلِهٖۤ اِنۡ شَآءَ ؕ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيۡمٌ حَكِيۡمٌ
“Wahai orang-orang yg beriman! Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (kotor jiwa), sebab itu janganlah mereka mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini. Dan bila kamu khawatir menjadi miskin (sebab orang kafir tak datang), maka Allah nanti mau memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, bila Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 28)
3. Tidak boleh dipilih sebagai pasangan
Orang-orang yg syirik dilarang oleh Allah buat dipilih sebagai pasangan buat sebuah pernikahan. Sebagaimana dalam firman-Nya:
وَلَا تَنۡكِحُوا الۡمُشۡرِكٰتِ حَتّٰى يُؤۡمِنَّؕ وَلَاَمَةٌ مُّؤۡمِنَةٌ خَيۡرٌ مِّنۡ مُّشۡرِكَةٍ وَّلَوۡ اَعۡجَبَتۡكُمۡۚ وَلَا تُنۡكِحُوا الۡمُشۡرِكِيۡنَ حَتّٰى يُؤۡمِنُوۡا ؕ وَلَعَبۡدٌ مُّؤۡمِنٌ خَيۡرٌ مِّنۡ مُّشۡرِكٍ وَّلَوۡ اَعۡجَبَكُمۡؕ اُولٰٓٮِٕكَ يَدۡعُوۡنَ اِلَى النَّارِ وَاللّٰهُ يَدۡعُوۡٓا اِلَى الۡجَـنَّةِ وَالۡمَغۡفِرَةِ بِاِذۡنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَذَكَّرُوۡنَ
“Dan janganlah kamu menikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yg beriman lebih baik ketimbang perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dgn perempuan yg beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yg beriman lebih baik ketimbang laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dgn izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah: 221)
Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentangNaudzubillah min Dzalik! Ini tiga Azab yg mau Diterima Orang Syirik . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.
terima kasih
Kisah Nabi Muhammad Menindak Tegas Pelaku Zina
Kita tak dapat menafikan bahwa Rasulullah saw ialah sosok pemimpin yg lemah lembut terhadap umatnya. Namun di sisi lain ia juga merupakan pribadi yg tegas dan objektif dalam mengambil keputusan. Banyak catatan sejarah yg berbicara soal ini, salah satunya ialah ketika Rasulullah merajam pelaku zina yg bernama Ma’iz bin Malik, dgn tanpa mengurangi belas kasih dalam dirinya.
Sebelum mengisahkan seperti apa detail kisah Rasulullah bersikap tegas menindak Ma’iz bin Malik, terlebih dahulu penulis singgung bahwa zina merupakan dosa yg sangat besar. Banyak sekali ayat Al-Qur’an maupun hadits yg secara tegas mengharamkan perbuatan zina. Salah satunya ialah firman Allah swt berikut,
وَلُوطًا آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ تَعْمَلُ الْخَبَائِثَ ۗ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمَ سَوْءٍ فَاسِقِينَ
Artinya: “Dan kepada Luth, Kami telah berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami selamatkan dia dari (azab yg telah menimpa penduduk) kota yg mengerjakan perbuatan keji. Sesungguhnya mereka ialah kaum yg jahat lagi fasik.” (QS. Al-Anbiya [21]: 74)
Penggunaan kata al-khaba’its buat menyebut perbuatan zina merupakan bukti yg jelas bahwa zina ialah perbuatan keji. Secara bahasa, kata al-khaba’its sendiri berarti kotoran atau najis. Hukuman bagi pelaku zina dalam Islam pun sangat berat. Jika pelakunya telah memiliki istri (muhshan), hukumannya dirajam sampai meninggal. Sementara bila pelakunya belum menikah (ghairu muhshan), hukumannya dicambuk sebanyak 100 kali.
Berkaitan ayat di atas, Ibnul Qayyim al-Jauziyah menjelaskan, alasan mengapa perbuatan zina (termasuk praktik sodomi) pada ayat di atas menggunakan kata al-khaba’its ialah sebab perbuatan tersebut dinilai sebagai dosa yg paling besar di bawah level dosa syirik atau menyekutukan Allah (dosa syirik merupakan dosa yg tak terampuni).
Ibnul Qayyim melanjutkan, alasan zina mendapat predikat dosa paling besar di bawah perbuatan syirik ialah sebab zina dapat merusak hati dan melemahkan keimanan seorang Muslim. Jika najis zahir (yg tampak) dapat mengotori tubuh, maka perbuatan zina sebagai najis ma’nawai dapat merusak hati. (Muhammad Hamdun Abdullah, Al-Manjahul Akhlaqi fil Qur’anil Karim, h. 249-250)
Kisah Ma’iz bin Malik
Sebagai seorang Nabi yg amanah, beliau mau menegakkan hukum seadil-adilnya. Kendati hal itu terjadi pada orang yg beliau sendiri mengasihinya. Seperti kisah Ma’iz bin Malik yg berbuat zina. Rasulullah sebenarnya tak begitu tega merajam sahabat yg satu ini, belum lagi sebab keberanian dan kejujurannya dgn menyerahkan diri ke Rasulullah atas dosa yg telah dilakukannya. Tapi bagaimana pun, hukum harus ditegakkan.
Diriwayatkan dari Buraidah, M’aiz bin Malik datang menemui Rasulullah saw dan berkata, “Sucikanlah aku wahai Rasulullah!” Rasulullah menjawab, “Apa-apan kamu ini! Pulang dan mintalah ampun serta bertaubat kepada Allah!” Ma’iz pun pergi, belum lama kemudian dia kembali dan berkata, “Sucikanlah aku wahai Rasulullah!” Rasulullah menjawab sebagaimana jawaban yg pertama.
Hal itu terjadi berulang-ulang, sampai pada keempat kalinya Rasulullah bertanya, “Dari apa kamu harus aku sucikan?” Ma’iz menjawab, “Dari dosa zina.”
Rasulullah pun bertanya kepada sahabat lain yg ada di situ, “Apakah Ma’iz ini mengindap penyakit gila?” Lalu dijawab bahwa Ma’iz tak gila. Beliau bertanya lagi, “Apakah Ma’iz meminum khamr?” Salah seorang kemudian berdiri buat mencium bau mulutnya, namun tak ada bau khamr. Beliau kemudian bertanya kepada Ma’iz, “Betulkah telah berbuat zina?” Ma’iz menjawab, “Ya, benar.”
Kemudian, Rasulullah menyuruh para sahabat buat ditegakkan hukum rajam terhadap Ma’iz hingga akhirnya ia meninggal. Pasca kewafatannya, orang-orang terpecah dalam dua pendapat mengenai kesan terhadap Ma’iz. Sebagian orang mengatakan bahwa Ma’iz telah celaka akibat dosa yg telah diperbuatnya.
Sementara sebagian yg lain memiliki kesan positif bahwa Ma’iz merupakan orang yg beruntung sebab telah bertaubat dgn taubat yg sangat baik, yaitu dgn mendatangi Rasulullah, mengakui kesalahannya dan ikhlas buat menjalani hukuman rajam.
Sampai selang tiga hari pasca kematian Ma’iz, kedua kubu itu masih dalam pendapatnya masing-masing. Hingga akhirnya Rasulullah meminta mereka buat memohon ampunan kepada Ma’iz. Lalu beliau bersabda, “Sungguh Ma’iz telah bertaubat dgn sempurna, dan seandainya taubatnya dapat dibagi buat satu kaum, pasti taubatnya mau mencukupi seluruh kaum tersebut.”
Hikmah kisah
Dari kisah Ma’iz di atas, kita dapat mengambil banyak pelajaran atas ketegasan Rasulullah terhadap pelaku zina. Pertama, meskipun hati beliau begitu lembut, apalagi kepada seorang Muslim yg mau secara terang-terangan mengakui kesalahannya seperti yg dilakukan Ma’iz, tetapi Rasulullah tetap berkomitmen buat memberlakukan hukum seadil-adilnya.
Kedua, dalam menjatuhi hukuman, tetaplah mengedepankan sikap kasih sayg. Sebelum Rasulullah menegakkan hukum rajam pada Ma’iz, terlebih dulu beliau bertanya kepada para sahabat buat memastikan bahwa Ma’iz benar atas pengakuannya. Ini membuktikan bahwa Rasulullah tetap mengedepankan belas kasihan, sekalipun terhadap seorang pelaku zina.
Ketiga, sebesar apapun kesalahan orang lain, tetap harus kita maafkan bila si pelaku telah meminta maaf. Jangan sampai sebab dendam, membuat kita enggan memaafkan. Sikap Nabi dalam memaafkan Ma’iz yg telah melakukan dosa besar memiliki pesan moral bahwa sebesar apapun kesalahan seseorang, tetap harus kita maafkan. Bahkan Nabi sendiri menegaskan bahwa taubat Ma’iz merupakan pertaubatan yg sangat baik.
Muhamad Abror, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek-Cirebon dan Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta
Ketika Sahabat Rasul Terpesona pada Kecantikan & Ketampanan
Sebagai umumnya orang, kita sering terpesona dalam pandangan pertama pada kecantikan atau kegantengan lawan jenis yg kebetulan kita jumpai, kita lihat dan kita pandang. Bahkan gambar dan video seksi di smartphone dalam berbagai platform yg sering kita buka pun sangat menarik buat ditelisik. Terkadang kita ingat buat segera mengalihkan pandangan, dan terkadang pula kita menuruti kemauan diri buat melihatnya lebih jauh. Begitulah kecenderungan manusiawi sejak dahulu hingga sekarang.
Kisah Dua Sahabat Terpesona pada Pandangan Pertama
Dahulu, ada dua manusia berparas cantik dan ganteng tak sengaja saling beradu pandang dan saling terpesona pada pandangan pertama. Ketika itu, usai mengikuti haji Wada’ bersama Rasulullah saw kaum muslimin berkumpul mau meminta fatwa kepada beliau. Rasulullah saw sendiri ketika itu memboncengkan al-Fadhlu bin Abbas ra, anak pertama pamannya Abbas ra yg terkenal berparas ganteng, di atas onta bagian belakang.
Ketika Rasulullah saw berhenti buat memberi kesempatan orang-orang meminta fatwa kepadanya, seketika itu pula al-Fadhlu beradu pandang dgn perempuan cantik kabilah Khats’am dari negeri Yaman. Keduanya saling terpesona melihat kecantikan dan kegantengan orang yg dipandangnya
Rasulullah saw pun menoleh, dan ketika melihat peristiwa itu beliau segera menjulurkan tangannya memegang janggut al-Fadhlu, lalu menyerongkannya ke arah lain supaya tak terus-menerus memandang perempuan cantik itu. Kisah ini dapat disimak dalam beberapa riwayat hadits, semisal riwayat al-Bukhari, Muslim, Ibnu Hibban dan selainnya.
Memang demikian, setiap orang secara alami senang melihat wajah cantik dan ganteng, senang melihat keindahan. Begitu pula al-Fadhlu dan perempuan cantik dari Yaman itu secara alami terpesona melihat keindahan wajah orang yg tak sengaja saling pandang dgnnya.
Hikmah Tindakan Rasulullah saw Saat Dua Sahabat Saling Terpesona
Adapun tindakan Rasulullah saw yg langsung memalingkan wajah al-Fadlhu supaya tak terus-menerus memandang perempuan cantik itu bermaksud supaya ia tak mengikuti kecenderungan manusiawinya hingga menuruti hawa nafsu, sekaligus supaya al-Fadhlu kembali mematuhi tuntunan akhlak yg diajarkan agama Islam. (Muhammad bin Abdul Baqi bin Yusuf az-Zarqani, Syarhul Zarqâni ‘alâ Muwattha’-il Imâmi Malik, [Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah: 1411 H], juz II, halaman 389).
Para Sahabat yg Diperingatkan supaya Tidak Menuruti Pandangan Pertama
Tidak sekali ini saja Rasulullah saw memperingatkan para sahabat, seperti sahabat Jarir, Ali dan Jabir bin Abdillah ra, supaya tak mengikuti kecenderungan alami memandang wajah cantik yg tak halal bagi mereka, sebagaimana dalam beberapa riwayat berikut.
عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى. رواه مسلم
Artinya, “Diriwayatkan dari Jarir bin Abdillah ra ia berkata: ‘Aku bertanya kepada Rasulullah saw tentang pandangan yg terjadi secara tiba-tiba di luar kesengajaan, lalu beliau memerintahkan kepadaku supaya memalingkan pandanganku’.” (HR Muslim)
عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لِعَلِىٍّ: يَا عَلِىُّ لاَ تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ، فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الآخِرَةُ. هذا حديث صحيح على شرط مسلم و لم يخرجاه
Artinya, “Diriwayatkan dari Ibnu Buraidah, dari Ayahnya, ia berkata: ‘Rasulullah saw bersabda kepada: ‘Wahai Ali, jangan ikuti suatu pandangan dgn pandangan lain, sebab sungguh bagimu pandangan pertama dan tak diperbuatkan kepadamu pandangan selainnya’.” (HR al-Hakim dan ia berkata: “Ini hadits shahih sesuai syarat Imam Muslim, namun ia bersama Imam al-Bukhari tidak mentakhrijnya.”).
عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَعْجَبَتْ أَحَدَكُمْ الْمَرْأَةُ فَلْيَعْمِدْ إِلَى امْرَأَتِهِ فَلْيُوَاقِعْهَا فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مِنْ نَفْسِهِ. رواه أحمد
Artinya, “Diriwayatkan dari Jabir ra, sungguh Rasulullah saw bersabda: ‘Ketika ada perempuan membuat terpesona salah seorang dari kalian, hendaklah ia segera mendatangi istrinya, lalu segera menyetubuhinya, sebab hal itu dapat menolak gejolak nafsunya’.” (HR Ahmad).
Kontekstualisasi Akhlak ketika Terpesona Gambar dan Video Seksi
Tuntunan akhlak yg Rasulullah saw ajarkan kepada umatnya supaya tak menuruti pandangan terhadap lawan jenis yg menarik secara seksual semestinya dapat dikontekstualisasikan dalam era digital seperti sekarang. Tidak hanya ketika melihatnya secara nyata saja, namun juga ketika melihat gambar dan video seksi di smartphone dalam berbagai platform yg kita buka.
Bila tak segera dialihkan, tentu dorongan buat menuruti pandangan nafsu mau semakin menjadi-jadi. Bukankah hal ini yg manusia modern alami sehari-hari, tanpa pandang bulu. Laki-laki maupun perempuan, tua apalagi muda. Wallâhu a’lam.
Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda dan Redaktur Keislaman NU Online
Kontribusi Ibnu Ishaq & Ibnu Hisyam dalam Penulisan Sirah Nabawiyah
Jika kita mau mempelajari sejarah hidup Rasulullah saw, ada satu kitab yg cukup otoritatif buat dijadikan salah satu referensi, yaitu Sirah Nabawiyah yg ditulis oleh Ibnu Hisyam. Tapi, ada hal penting yg tak boleh kita lupakan. Kitab tersebut sebenarnya bukan murni tulisan Ibnu Hisyam, tetapi ringkasan dari kitab Sirah Nabawiyah karya Ibnu Ishaq.
Hanya saja, kitab milik Ibnu Ishaq tak lagi dikaji dalam pembelajaran sejarah Nabi. Sebab, selain keberadaannya tak ditemukan lagi, kitab ringkasannya juga lebih sistematis dari kitab asalnya.
Sirah Ibnu Ishaq
Sebelum penulis kemukakan apa yg melatarbelakangi Ibnu Ishaq menulis Sirah Nabawiyah, penting penulis singgung satu hal. Kendati kitab Ibnu Ishaq dinilai sebagai sumber sejarah hidup Nabi Muhammad yg memiliki kualitas riwayat yg cukup kuat, tetapi dia bukanlah sejarawan Muslim pertama yg menulis kitab Sirah Nabawiyah. Sebelumnya, telah muncul beberapa generasi ulama yg memiliki konsentrasi terhadap penulisan kitab serupa.
Hidup di kalangan para ulama pada abad kedua, membuat Ibnu Ishaq tumbuh menjadi sosok yg memiliki kompetensi keilmuan yg mumpuni, termasuk soal sejarah. Kecerdasannya ini kemudian menarik Khalifah Al-Manshur buat mengundangnya ke Baghdad (tempat sang khalifah) dan memintanya buat menulis sejarah dari zaman Nabi Adam sampai masa ia hidup sekarang. Ada pula yg mengatakan bahwa sang khalifah bukan di Baghdad, tapi di Hirah.
Rencananya, sang khalifah mau memberikan kitab ini buat putranya, Al-Mahdi. Selesai kitab ditulis, ternyata pembahasannya terlalu luas. Al-Manshur pun meminta Ibnu Ishaq buat meringkasnya. Konon, kitab itu diletakkan di lemari milik Al-Manshur. Dalam versi yg lain mengatakan bahwa Ibnu Ishaq bukan menulis kitabnya bukan atas perintah Khalifah Al-Manshur, bukan pula di Baghdad atau di Hirah, tetapi di Madinah sebelum ia berdomisili di kalangan Dinasti Abbasiyah.
Berdasarkan keterangan para ulama, seperti Ibnu Hisyam, Ibnu Jarir ath-Thabari, dan lainnya, kitab Ibnu Ishaq ini terdiri dari tiga juz. Pada tiap-tiap juznya terdapat pembahasan-pembahasan yg diurut secara periodik.
Juz pertama (mubtada) berisi tentang sejarah beberapa utusan sebelum Nabi Muhammad, sejarah bangsa Yaman pada masa jahiliyah, kebilah-kabilah Arab serta cara mereka beribadah, dan sejarah kota Makkah serta nenek moyg Rasulullah saw. Pada juz kedua (mab’ats), berisi tentang kehidupan Rasulullah saw baik di Makkah ataupun ketika telah di Madinah. Pada juz ketiga (al-maghazi), berisi tentang kehidupan Rasulullah di Madinah.
Sirah Ibnu Hisyam
Kitab Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam merupakan salah satu kitab penting dan termasuk kitab generasi pertama dalam kajian sejarah hidup Nabi Muhammad saw. Ibnu Hisyam meriwayatkan kitab Sirah Nabawiyah karya Ibnu Ishaq setelah mendapat ijazah dari Ziad al-Bakka’i. Berikutnya, di tangah Ibnu Hisyam, kitab Ibnu Ishaq ini mengalami editing, peringkasan, penambahan, kadang-kadang disertai kritik, dan disuguhkan riwayat ulama lain sebagai pembanding.
Dalam kitabnya, Ibnu Hisyam menghapus beberapa bagian yg terdapat di dalam kitab Ibnu Ishaq. Seperti semua riwayat sebelum sejarah Nabi Ismail, anak-anak Ismail, riawayat-riwayat yg tak memiliki kaitan dgn sejarah, dan sekian banyak syair-syair yg masih diragukan kesahihannya.
Menurut Abdussalam Muhammad Harun dalam Tadzhib Sirah Ibnu Hisyam menjelaskan, kitab Ibnu Hisyam memiliki andil penting dalam memperkenalkan kitab milik Ibnu Ishaq. Bahkan Ibnu Ishaq sendiri dikenal berkat kehadiran kitab Ibnu Hisyam.
Jika kita membaca Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, mau banyak menemukan riwayat yg oleh penulisnya selalu menyertakan nama Ibnu Ishaq. Yang terakhir ini sangat membantu sekali buat mengenalkan Ibnu Ishaq.
Mengutip Ibnu Khalkan, Abdussalam menuliskan, “Ibnu Hisyam inilah orang yg mengumpulkan sirah Rasulullah saw dari kitab Al-Maghazi dan As-Siyar karya Ibnu Ishaq. Kemudian beliau menyusul hasil koreksi dan ringkasannya. Inilah kitab sirah yg ada di tangan publik dan dikenal dgn judul Sirah Ibnu Hisyam.”
Kajian terkait Sirah Ibnu Hisyam banyak ditekuni ulama dgn bukti hadirnya kitab-kitab yg menjadi syarah. Seperti Abdul Qasim Abdurrahman as-Suhaili yg menulis syarah dgn judul Ar-Rauhatul Anf, Abu Dzar al-Khusyani yg menulis sedikit kritik buat Sirah Ibnu Hisyam yg berjudul Syahrus Sirah an-Nabawiyah, dan Badarudin Muhammad bin Ahmad al-Aini menulis kitab syarah berjudul Kasyful Lisan fi Syarhi Siratibni Hisyam.
Perhatian ulama atas Sirah Ibnu Hisyam tak hanya dilakukan dgn pembuatan kitab-kitab syarah, tetapi juga dalam wujud pembuatan ringkasan kitab (mukhtashar). Seperti Burhanuddin bin Muhammad yg menulis Ibnul Marhal asy-Syafi’i dan Abu Abbas Ahmad bin Ibrahim bin Abdurrahman al-Wasithi yg menulis kitab dgn judul Mukhtashar Siratibni Hisyam.
Selain bentuk syarah dan mukhtashar, ada pula ulama yg menuliskannya dalam bentuk syair, yaitu Abu Muhammad Abdul Aziz bin Muhammad bin Said ad-Dumairi dan Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim.
Baik Ibnu Ishaq maupun Ibnu Hisyam, keduanya memiliki kontribusi penting dalam penulisan kitab Sirah Nabawiyah. Ibnu Ishaq dgn kualitas periwayatan kitabnya yg cukup kuat membuat karyanya dijadikan rujukan penting dalam pembelajaran Sirah Nabawiyah. Pun Ibnu Hisyam, berkat kitab ringkasannya, mampu menyabilan Sirah Nabawiyah dgn baik, selain juga berhasil memperkenalkan Ibnu Ishaq lebih luas yg kitabnya telah tak ditemukan lagi.
Muhamad Abror, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek-Cirebon dan Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta
Penjelasan tentang Makhluk Bernama Malaikat
Pakar Tafsir terkemuka asal Indonesia Prof Muhammad Quraish Shihab (2018) mengungkapkan, dzikir dan shalawat secara berjamaah merupakan media yg dapat mengumpulkan malaikat sekaligus selain manusia. Begitu mulianya manusia yg tlaten buat menghadiri setiap majelis dizkir, shalawat, dan ilmu.
Sebab apa? Menurut Quraish Shihab berdasarkan riwayat Imam Bukhari, malaikat-malaikat hadir di majelis dzikir. Setelah selesai, malaikat-malaikat menuju Allah, menyampaikan bahwa “kami (malaikat, red) habis hadir di majelis dzikir”.
Kemudian, Allah berfirman, limpahkan rahmat bagi mereka semua. Ampuni mereka semua. Tetapi malaikat berkata, “Ya Allah, ada orang yg hadir tapi tujuannya bukan berdzikir”. Allah kembali berfirman, “ampuni mereka, sebab mereka mendekat kepada orang yg berdzikir”.
Riwayat singkat tersebut menggambarkan bahwa makhluk bernama malaikat begitu dekat dgn segala lini kehidupan manusia. Hal ini sesuai dgn tujuan mereka diciptakan oleh Allah. Seorang Muslim pun wajib mempercayai adanya malaikat sesuai rukun iman kedua.
Sebagai seorang Muslim yg wajib mempercayai keberadaan malaikat, penting bagi manusia mengenal makhluk yg diciptakan Allah dari cahaya ini. Namun, tentu mengenal Allah menjadi hal utama bagi seorang hamba. Dalam hal ini, malaikat yg turut berinteraksi langsung dalam realitas kehidupan manusia dapat menjadi pemandu mengenal Allah lebih jauh.
Mengenal malaikat, tak terlepas dari makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yg diimani oleh semua agama. Menukil Bertrand Russel, Quraish Shihab mengungkapkan, filosof Inggris peraih nobel (1872-1970) itu menyatakan dua pandangan atau dorongan yg sangat berbeda dari manusia.
Pertama, dorongan yg mengantar seseorang buat memandang wujud dgn pandangan seorang sufi, yg biasanya menangap sesuatu secara langsung tanpa pendahuluan atau premis-premis. Kedua, dorongan yg memandang wujud dgn pandangan keilmuan yg mengandalkan akal dan analisis.
Simpul yg dapat ditarik dari kedua argumen tersebut ialah ilmu. Pertama, ilmu yg didapat secara laduni, kalangan pesantren menyebut ilmu ini diturunkan oleh Allah langsung sebab keistimewaan manusia. Kedua, ilmu yg diperoleh dari proses kerja keras sehingga menemukan kebenaran dari pemgembaraan tersebut.
Dari penjelasan singkat tersebut, Quraish Shihab berupaya menerangkan bahwa hanya orang-orang istimewalah yg dapat merasakan langsung kehadiran malaikat. Hal ini terjadi ketika Muhammad yg ketika itu berumur 40 tahun merasakan kehadiran makhluk ketika dirinya berkontemplasi di Gua Hira. Saat itu malaikat jibril menghampiri Muhammad dgn membawa wahyu pertama dari Allah.
Dalam bahasa Arab, Quraish Shihab menjelaskan, malaikat merupakan bentuk jamak dari malak. Ada ulama yg berpendapat bahwa kata malak terambil dari kata alaka, malakah yg berarti mengutus atau perutusan/risalah. Malaikat ialah utusan-utusan Tuhan buat berbagai fungsi.
Mengenai jumlah malaikat, Quriash Shihab dalam Yang Halus dan Tak Terlihat: Malaikat dalam Al-Qur’an (2013) memaparkan bahwa jumlah malaikat tak terhitung, kecuali Allah sendiri yg mengetahui. Namun, sejumlah riwayat hanya memberikan gambaran jumlah malaikat di sebuah tempat. Seperti hadits shahih yg diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim berikut:
“Neraka Jahannam pada hari kiamat memiliki tujuh puluh ribu kendali, setiap kendali ditarik oleh tujuh puluh ribu malaikat.” (HR. Muslim)
Imam Bukhari dalam riwayat lain menjelaskan, ketika Nabi Muhammad SAW bertanya kepada malaikat Jibril tentang Baitul Ma’mur, malaikat penyampai wahyu itu mengungkapkan:
“Ini ialah Baitul Ma’mur. Setiap hari tujuh puluh ribu malaikat shalat di sana dan yg telah shalat tak lagi kembali setelahnya.” (HR. Bukhori)
Penulis Tafsir Al-Misbah tersebut juga mengurai rinci terkait ciri, sifat, kemampuan malaikat. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia kerap diperlihatkan ketakjuban dan keajaiban yg datang pada diri seseorang. Dalam kehidupan, tak jarang pula manusia terbungkus dalam berbagai bentuk. Seseorang tak mau tahu rahasia di balik semua itu. Yang jelas, salah satu kemampuan malaikat dapat mengubah diri menjadi manusia.
Sebab itu, dalam sebuah kesempatan, KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) menekankan kepada manusia, jangan pernah meremehkan orang lain apapun kondisi dan rupanya. Gus Mus mempertegas pesannya, siapa tahu seseorang yg kita remehkan sebetulnya malaikat berwujud manusia.
Quraish Shihab juga mengungkapkan hubungan malaikat dgn Nabi Adam as. Keterangan dan informasi yg ada di dalamnya penting dipahami mengingat Nabi Adam merupakan manusia pertama. Hubungan tersebut dijelaskan lebih lanjut dgn bahasan malaikat dan manusia secara umum. Dan seperti apa komunikasi malaikat dgn manusia pertama yg diturunkan di muka bumi?
Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Muchlishon
Tanya Bu, Apakah Memang Semua Agama Itu Benar?
Di dunia ini terdapat berbagai macam ajaran agama. Kita dapat menilai berbagai macam ajaran agama tersebut. Kita juga dipersilakan buat memilih salah satunya sesuai pertimbangan pikiran kita mana yg terbaik dan paling maslahat buat kita.
“Jika ada yg menghidangkan kepadamu bermacam-macam minuman, katakanlah teh, kopis, susu, cokelat, perasan jeruk, atau apa saja, dan mempersilakan kamu memilih salah satunya, maka tentu yg kamu pilih ialah yg terbaik menurut pendapatmu. Bisa jadi ada yg memilih susu, yg lain lagi memilih perasan jeruk, masing-masing menganggap pilihannya yg terbaik. Demikian juga dgn pilihan menygkut agama,” (Quraish Shihab, Menjawab Pertanyaan Anak tentang Islam, [Tangsel, Lentera Hati: 2014 M], halaman 162-163).
Mereka yg memilih agama Islam tentu meyakini bahwa agama Islam lebih bagi dari agama lain seperti Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha, atau Konghucu (dan keyakinan lainnya). Sedangkan mereka yg memeluk agama Yahudi pasti merasa bahwa ajaran Yahudi lebih baik dari ajaran agama lainnya. Hal yg sama juga dirasakan oleh pemeluk agama selain Islam dan Yahudi. Mereka meyakini pilihannya sebagai agama terbaik.
Umat Islam sendiri sangat yakin dgn agama pilihannya. Umat Islam mau mengatakan, Islam ialah agama terbaik. Umat Islam mau merujuk pandangannya pada Surat Ali Imran ayat 19.
اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ
Artinya, “Sungguh, agama di sisi Allah ialah Islam,” (Surat Al-Maidah ayat 19).
Umat lain juga demikian. Mereka berpandangan bahwa agama mereka yg terbaik tentu dgn berbagai dalil dan argumentasi yg diajukan.
Jadi kita tak perlu terkejut atas perbedaan pilihan agama umat manusia di dunia ini. Kita hanya butuh hidup rukun dan saling menghargai pilihan keyakinan orang lain supaya tak terjadi pertengkaran satu sama lain hanya sebab perbedaan pilihan keyakinan.
Yang dibutuhkan selain itu ialah kepatuhan pada kaidah toleransi sehingga kita tak terjerumus pada penghinaan atas agama atau keyakinan orang lain. Misalnya, kita tak perlu mengukur baik dan buruk ajaran agama lain dari kacamata agama kita sebab memang memiliki pijakan berbeda.
“Jadi kita tak perlu bertengkar atau mencaci keyakinan atau agama lain sebagaimana selera kita yg berbeda dalam memilih teh, kopi, perasan jeruk, air jahe, susu, cokelat, atau air putih dmau. Kita cukup hidup berdampingan dan kerja sama dalam urusan sosial tanpa perlu merendahkan selera minuman orang lain,” kata seorang ibu kepada anaknya yg bertanya soal pilihan agama.
“Coba perhatikan Surat Al-An’am ayat 108 yg melarang kita buat merendahkan tuhan agama lain sebab kita juga tak suka umat agama lain merendahkan Tuhan kita.” (Alhafiz Kurniawan)
*Konten ini hasil kerja sama NU Online dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI.
Aliran Mu’tazilah: Pemikiran & Sanggahannya
Sekte Mu’tazilah ialah sebuah sekte yg mulai berkembang di awal abad kedua Hijriah. Sekte ini diajarkan oleh Washil bin Atha’, seorang murid al-Hasan al-Bashri yg memilih buat menyimpang dari ajaran guru-gurunya. Di kemudian hari, sekte yg ia dirikan dijuluki dgn sekte Mu’tazilah yg diambilkan dari lafadz i’tazal (menyendiri/menyimpang) sebab telah menyimpang dari paham mayoritas umat Islam.
Pada mulanya, Mu’tazilah yg diajarkan Washil bin Atha’ hanya menyimpang dgn penetapan empat kaidah saja, yaitu:
Pertama, menafikan semua sifat dzat Allah yg telah termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadits seperti ilm, qudrah, iradah, dan sesamanya. Misalnya, mereka menganggap ilmu Allah tak mungkin Qadim (dahulu) sebab seandainya ilmu Allah dahulu niscaya mau ada dua hal yg dahulu yaitu Allah dan ilmu Allah. Hal ini mustahil sebab tak mungkin ada yg menyamai Allah dalam sifat Qadim (dahulu).
Al-Qadhi Abdul Jabbar menambahkan, “Seandainya Allah memiliki ilmu niscaya Allah dapat diukur sejauh mana ilmunya sebagaimana manusia yg dapat diukur tingkat keilmuannya. Dan seandainya Dia memiliki ilmu maka ilmu tersebut mau sirna sebab tak ada yg abadi kecuali Dzat Allah. Seandainya Allah memiliki ilmu niscaya Dia mau membutuhkan anggota tubuh sebagai tempat menyimpan ilmu sebagaimana manusia yg membutuhkan otak dan hati sebagai tempat menyimpan ilmu. Seandainya Allah membutuhkan ilmu-Nya yg ia ciptakan buat mengetahui niscaya Ia ialah Dzat yg membutuhkan kepada ciptaan-Nya dan ini semua tak mungkin secara akal.” Walhasil, mayoritas sekte Muktazilah meyakini Allah mengetahui dgn dzatnya yg abadi tanpa melalui perantara ilmu (al-Qadhi Abdul Jabbar, al-Mukhtashar fi Ushul ad-Din, Kairo: Maktabah al-Wahbah Kairo, 1996, h. 212).
Pendapat ini disanggah oleh Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa ilmu Allah ialah bersifat Qadim (dahulu) sebab seandainya ilmu Allah tak bersifat Qadim niscaya Allah awalnya tak mengetahui kemudian menciptakan pengetahuan sebagaimana manusia yg terlahir bodoh tak mengetahui apa-apa kemudian ia belajar dan memiliki ilmu. Hal ini tentu tak mungkin sebab pendapat Mu’tazilah ini menetapkan sifat Naqish (kurang) kepada Allah.
Kedua, menetapkan bahwa kehendak Allah hanya seputar perkara yg baik menurut akal manusia. Mereka meyakini bahwa Allah tak boleh menghendaki keburukan kepada makhluk-Nya sebab hal tersebut bertentangan dgn sifat Maha Penyayg dan Maha Pengasih yg dimiliki Allah. Selain itu, Allah juga harus mengutus nabi dan rasul sebagai pengingat manusia atas perintah dan larangan Allah serta balasan yg mereka dapatkan di hari kiamat. Sedangkan seluruh keburukan yg dilakukan ataupun menimpa manusia ialah akibat dari perbuatan mereka tanpa sedikit pun ada campur tangan dari Allah.
Al-Qadhi Abdul Jabbar menambahkan, “Allah hanya menghendaki perkara yg baik sebab Dia telah melarang seluruh perkara maksiat. Bagaimana mungkin Allah marah dan menghukum orang-orang yg bermaksiat di hari kiamat sedangkan Dia sendirilah yg menghendaki perbuatan maksiat tersebut terwujud selama di dunia? Bagaimana mungkin Allah mengutus para nabi dan rasul supaya menyeru manusia meninggalkan maksiat sedangkan maksiat tersebut Allah sengaja wujudkan sendiri?” (al-Qadhi Abdul Jabbar, al-Mukhtashar fi Ushul ad-Din, 1996: 233).
Pendapat ini disanggah oleh Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa seluruh takdir yg baik dan buruk ialah dari Allah serta perbuatan makhluk tak lepas dari izin kehendak-Nya. Seandainya ada perbuatan maksiat yg tak dikehendaki Allah terjadi niscaya Allah memiliki sifat lemah sebab tak mampu menggagalkan maksiat yg tak Dia kehendaki wujud. Oleh sebab itu di sini perlu dibedakan antara ridha dan kehendak-Nya. Ahlussunnah wal Jama’ah mencontohkan, ada hal yg diridhai dan dikehendaki Allah terjadi seperti imannya sahabat Abu Bakar dan ada hal yg tak diridhai Allah tetapi dikehendaki Allah buat terjadi seperti kafirnya Abu Jahal.
Ketiga, menetapkan bahwa orang yg fasiq dan durhaka kepada Allah tak termasuk golongan orang yg beriman dan juga bukan termasuk golongan orang kafir. Mereka berpendapat bahwa orang fasik dan ahli maksiat tak dapat disebut sebagai orang beriman. Karena hanya orang yg baik dan menjauhi maksiat yg pantas disebut orang beriman. Di sisi lain, orang yg fasik dan ahli maksiat juga bukan dari golongan orang kafir sebab mereka telah membaca syahadat dan masih beriman kepada Allah. Akan tetapi, nantinya orang yg fasik dan ahli maksiat yg tak mau bertaubat mau dihukum kekal di neraka dgn siksa yg lebih ringan ketimbang yg didapatkan oleh orang-orang kafir. Sekte Muktazilah menyebut kaidah ini dgn al-manzilah baina manzilatain. Mereka mengambil dalil pendapat ini dari redaksi ayat:
بَلٰى مَنْ كَسَبَ سَيِّئَةً وَّاَحَاطَتْ بِهٖ خَطِيْۤـَٔتُهٗ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
“Bukan demikian! Barang siapa berbuat keburukan, dan dosanya telah menenggelamkannya, maka mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya” (QS Al-Baqarah ayat 81).
Padahal, menurut mayoritas ulama ahli tafsir redaksi perbuatan dosa (sayyi’ah) yg dimaksud ayat ini ialah dosa kekafiran bukan sekadar perbuatan dosa besar (Syekh Muhammad Thahir Ibnu Asyur, At-Tahrir wa at-Tanwir, Tunisia: Dar Sahnun, 1997, vol. I, h. 581).
Keempat, menetapkan bahwa salah satu dari dua kelompok sahabat Nabi yg bertikai di perang jamal sebagai orang fasik yg mau kekal di neraka selama mereka tak mau bertaubat dan menyesali perbuatannya. Mereka berpendapat bahwa tak ada dua kebenaran yg wujud dalam satu pertikaian. Pasti ada satu kelompok yg salah dan berdosa dan ada satu kelompok yg benar. Selain itu, mereka juga meyakini salah satu di antara dua golongan yg bertikai di antara pengikut Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyyah sebagai orang yg tak pantas sebagai pemimpin umat Islam. Oleh sebab itu, mereka tak mendukung salah satu dari keduanya sebagai pemimpin umat Islam. (Lihat kitab al-Milal wa an-Nihal karya Abu Fattah Muhammad Abdul Karim asy-Syahrasytani, Kairo: Muassasah al-Halabi, 1968, vol. I, h. 49).
Tentu hal ini tak sesuai dgn pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah yg meyakini para sahabat sebagai orang-orang yg mulia sebab dari pengajaran para sahabatlah guru-guru kita terdahulu mempelajari agama Islam. Menuduh para sahabat seperti sahabat Ali bin Abi Thalib dan sahabat Mu’awiyah sebagai orang fasik berakibat fatal sebagaimana dalam Hadits disebutkan
قال رسول الله لا تسبوا أصحابي لعن الله من سب أصحابي
Rasulullah bersabda, “Jangan kalian mencaci para sahabatku, Allah melaknat orang yg mencaci para sahabatku” (HR ath-Thabrani).
Muhammad Tholhah al Fayyadl, mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo