Pandangan Para Ulama Terhadap Ilmu Hikmah

Pada dasarnya ilmu hikmah berasal dari keyakinan seseorang yang memanfaatkan berbagai doa, wirid, amalan yang bersumber dari kitab suci dengan tujuan tertentu. Doa-doa, dzikir, wirid, atau bacaan yang bersumber dari Al-Quran atau kalimat berbahasa arab memberikan manfaatkan bagi para pengamalnya jika digunakan untuk kebaikan.

Ilmu hikmah yang merebak dan dipelajari oleh banyak orang bukan berarti tidak ada perbedaan pandangan di kalangan para ulama’ dalam menanggapinya. Tentu saja ada beberapa ulama’ yang berbeda pendapat dan tidak mengakui keberadaannya karena hal itu bisa tergolong syirik, yaitu menyekutukan Allah dengan meyakini hal-hal lain selain Allah.

Seperti yang dijelaskan dalam QS Annisa’: 48, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni dosa selain syirik itu bagi siapa yang dikehendkai-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka ia telah berbuat dosa yang besar.”

Amalan hikmah lebih condong pada bacaan-bacaan yang dibuat oleh manusia yang sebagian besar disusun oleh para ulama’. Ajaran itu pun tidak dicontohkan oleh rasul pada masanya dan digolongkan sesuatu yang bid’ah.

Ilmu hikmah yang di dalamnya terdapat beberapa ajaran dengan tujuan untuk memperoleh maksud tertentu dianggap tidak sesuai dengan syariat Islam. Seperti amalan hizib, asma’, ilmu khodam, berbagai macam sholawat, dan amalan-amalan lain yang tidak diajarkan pada masa Nabi sehingga amalan tersebut tidak sesuai dengan tuntunan pada zaman beliau.

Sebagian ulama’ beranggapan bahwa amalan ilmu hikmah bukanlah sebuah ajaran dari Rasulullah dan merupakan sebuah susunan kalimat berbahasa arab yang dibuat oleh seorang ulama’ sehingga bukanlah sebuah ajaran murni dari rasul. Terkadang bacaan kalimat tersebut diambil dari acuan sumber Al-Quran yang disusun secara runtut agar dapat diambil fungsinya. Bukankah Al-Quran itu merupakan kalam ilahi yang sudah tersusun dengan baik atas kehendak Allah? Mengapa banyak orang yang mengambil bagian demi bagian untuk dijadikan sebagai kebutuhan duniawi belaka?

Selain itu, banyak sekali ilmu hikmah yang mengajarkan melakukan tawasul (perantara) melalui orang-orang soleh. Padahal, ada sebagian yang berpendapat bahwa bertawasul tidak diperkenankan. Ada juga yang berpendapat bahwa tawasul diperbolehkan asal dengan amal kebaikan sendiri, bukan melalui mediasi orang.

Seperti pada sebuah hadis sahih yang sangat populer. Diceritakan ada tiga orang yang terperangkap di dalam gua sehingga mereka tidak bisa keluar. Dalam kisah tersebut, ketiga orang yang terperangkan di dalam gua melakukan tawasul dengan masing-masing amal yang telah mereka lakukan. Orang pertama bertawasul kepada Allah SWT atas amal baiknya terhadap kedua orang tuanya. Orang kedua bertawasul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang selalu menjauhi perbuatan tercela meskipun ada kesempatan untuk melakukannya. Orang ketiga bertawasul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang mampu menjaga amanat terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh. Dengan tawasul melalui amalan kebaikan mereka, akhirnya Allah SWT memberikan jalan keluar bagi mereka bertiga.

Bertawasul dengan mengharap dari keberkahan seseorang, bukan dari sebuah amal perbuatan itu sendiri menjadi perbedaan di kalangan para ulama’. Akan tetapi, sebagian besar ulama’ mengatakan bertawasul melalui kesalehan orang-orang yang dikasihi Allah bukanlah hal yang menjadi masalah. Hal itu diperbolehkan.

Seperti yang dikatakan oleh nabi “Dari Anas bin malik bahwa Umar bin Khattab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu Umar berkata: “Ya Allah, kami telah bertawasul dengan Nabi kami SAW dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami bertawasul dengan Paman Nabi kita SAW, maka turunkanlah hujan..”. maka hujanpun turun.” (HR. Bukhori)

Imam Syaukani menyebutkan bahwa tawasul kepada Nabi Muhammad SAW ataupun kepada orang lain (orang shaleh), baik pada masa hidupnya maupun setelah meninggal adalah merupakan ijma’ para sahabat. “Ketahuilah bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau orang yang hidup, tetapi berperantara kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah SWT, sesekali bukanlah manfaat dari manusia, tetapi dari Allah SWT yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi hamba yang shalih, hidup atau mati tak membedakan atau membatasi kekuasaan Allah SWT, karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah SWT tetap abadi walau mereka telah wafat.”

Memohon dan meminta untuk segala kebutuhan seseorang merupakan sebuah ibadah dengan bersandar kepada Allah SWT dan itu merupakan sebuah doa yang bernilai ibadah. Karena Allah menyuruh hamba-Nya untuk berdoa agar tidak dikategorikan orang yang sombong. Karena doa adalah sebuah ikhitiar secara batin setelah usaha lahiriah yang usai ditempuh.

Cara berdoa sangatlah beragam yakni dapat melalui berbagai amalan, wiridz, dzikir, atau hal-hal yang semacamnya yang ditujukan dan diniatkan hanya kepada Allah. Sedangkan amalan, wirid, dzikir, itu adalah sebuah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karena pada dasarnya ilmu hikmah adalah sebuah ilmu spiritual yang berisi beragam amalan dan doa untuk bertabaruk kepada Allah. Ketika seseorang dekat dengan Allah secara otomatis segala keinginan yang diharapkan dapat terwujud.

Permasalahan yang dihadapi oleh seseorang jika tidak segera diatasi tentu akan menjadi buruk baginya. Hal ini akan mempersulit dan menjerumuskannya pada perasaan putus asa. Tentu Allah sangat membenci orang-orang yang putus asa karena masalahnya yang belum tuntas terselesaikan. Maka dari itu, perlu berbagai upaya dalam menghadapi segala persoalan hidup yang diderita, salah satunya dengan menggunakan ilmu hikmah.

Allah pun tidak akan memberikan sebuah solusi jika orang tersebut tidak mau berusaha. Seperti dalam firmannya dalam QS. Ar-Ro’du: 11, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka. ”

Berusaha untuk mencapai sebuah tujuan tertentu adalah suatu kewajiban bagi setiap insan. Usaha ini tentunya secara lahir maupun batin. Ketika seseorang telah mengupayakan usaha secara lahiriah, untuk menopang dan menguatkan hasilnya tentu disertai dengan usaha batin, yaitu berdoa dan meminta kepada Allah dengan cara dan metode yang diyakininya.

Adapun berbagai amalan dalam ilmu hikmah merupakan sebuah usaha batiniah yang dapat dilakukan bagi siapa pun dengan tetap memohon kepada Allah melalui berbagai amalan yang diajarkan dalam website ini. Bagi kami, ilmu hikmah bukan merupakan sumber pemecah segala persoalan, melainkan hanya sebagai sebuah sarana untuk membantu memudahkan seseorang dalam mengatasi segala permasalahan kehidupan yang dihadapi. Sedangkan Allah yang sebenarnya pemberi pertolongan dan pemberi kekuatan.

Berdoa merupakan suatu kewajiban seorang hamba karena Allah telah memerintahkan akan hal itu. Adapun berdoa memiliki tata cara yang beragam dengan bacaan-bacaan yang bermacam-macam pula. Di antaranya dengan berdzikir, membaca wirid, membaca sholawat, membaca kalimat-kalimat toyyibah (kalimat yang baik), melakukan amalan tertentu, dan sebagainya. Untuk itu, sangat dianjurkan untuk membaca doa-doa yang telah diajarkan oleh para nabi dan orang-orang setelahnya termasuk juga para ulama’ yang diyakini memiliki kesalehan luar biasa.





Artikel, ILMU HIKMAH

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.