Membahas tentangPerjuangan Jemaah Haji Demi Kemerdekaan RI

Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentangPerjuangan Jemaah Haji Demi Kemerdekaan RI,

Oase.id- Pekik “Merdeka!” telah terdengar di mana-mana. Gaung Proklamasi 17 Agustus 1945 pun telah menancap di sanubari rakyat Indonesia. Hanya saja, itu belum cukup. Butuh pengakuan negeri tetangga demi meneguhkan sebenar-benarnya kedaulatan negara.

Babak diplomasi dimulai. Namun, fase ini pun menemui tantangannya sendiri. Pemerintah Belanda tak tinggal diam. Mereka telah lebih cepat mengirimkan delegasi ke berbagai belahan dunia.

Penjajah mengumbar kabar bahwa kemerdekaan Indonesia ialah omong kosong belaka. Keberadaan Indonesia cuma rekayasa Jepang untuk mendirikan negara boneka. 

Sejarawan Belanda S.L. van der Waal dalam Officiele Bescheiden Betreffende de Nederlands-Indonesische Betrekkingen 1945-1950 (1988) menulis, beragam cara dilakukan Pemerintah Belanda demi menyetop misi diplomatik Pemerintah Indonesia.

Selain memasang kaki tangan ke negeri-negeri tujuan, mereka juga kian menggencarkan beasiswa lantaran sadar betul bahwa mahasiswa Indonesia di luar negeri ialah bom waktu yg dapat meletup kapan saja.

Terutama, di Mesir. Waal menyebut, pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Belanda makin giat mengucurkan uang tunjangan untuk mahasiswa Indonesia di kampus Al Azhar, Kairo.

“Pihak kedutaan berusaha memengaruhi mahasiswa Indonesia untuk tetap mengakui kedaulatan Belanda di Indonesia dgn imbalan uang tunjangan. Sampai akhir November 1945, pembayaran uang tunjangan untuk mahasiswa Indonesia tetap berlangsung tanpa masalah,” tulis Waal.

Akan tetapi, kata Waal, jiwa patriotisme mahasiswa Indonesia tak dapat dibeli. Per 1 Maret 1946, mahasiswa Indonesia di Al Azhar menolak mentah-mentah duit cuma-cuma yg diberikan Belanda.

“Mahasiswa tak mau lagi menerima bantuan sebab harus menandatangani kuitansi yg dikeluarkan Pemerintah Belanda. Mereka cuma mengakui keberadaan Pemerintah Republik Indonesia,” tulis Waal, masih dalam buku yg sama.

Misi haji

Tak cukup dgn menolak beasiswa yg biasa mereka diterima, sebelumnya, sebagian mahasiswa Al Azhar telah bergerak untuk membantu kelancaran misi diplomatik Indonesia.

Kalangan mahasiswa menyadari bahwa Mesir bukan satu-satunya tujuan Belanda. Lantas, para diaspora muda itu mulai menyebar ke negeri-negeri Arab lainnya.

Waal mengatakan, gerak-gerik mahasiswa Indonesia pun makin disoroti Belanda. Setiap kegiatan yg berhubungan dgn perjuangan mahasiswa Indonesia di Mesir menjadi laporan utama Duta Besar Belanda.

Baca: Begini Ekspresi Cinta Rasulullah kepada Tanah Air

 

“Pada 12 November 1945, dua anggota pengurus Perhimpunan Kemerdekaan Indonesia yg melakukan agitasi ke kalangan pelaut dan mengumpulkan uang dipergoki Belanda. Maka, para mahasiswa pun mengubah strategi dan bersembunyi di bawah alasan 'pergi haji' demi dapat lolos dan mampu melakukan propaganda lebih leluasa di Mekah,” tulis Waal.

Di Makkah, kelompok mahasiswa terus menyebarkan semangat keagamaan dan sentimen anti-Sekutu kepada jemaah haji dari berbagai belahan dunia. Kegiatan ini, didengar Pemerintah Mesir hingga akhirnya menghilangkan keraguan mereka terhadap perjuangan kemerdekaan RI.

 

Negara-negara yg tergabung dalam Liga Arab pun mulai turut memberikan simpati. Mereka mendukung 'misi haji' untuk mengadakan pertemuan Konferensi Panitia Pusat Kemerdekaan Indonesia di Makkah.

Misi haji sekaligus konferensi itu diwakili mahasiswa-mahasiswa Indonesia di luar negeri, yakni Fuad Mohammad Fakhruddin dan Said Mahjuddin (Kairo), Syafi’i Abdul Karim (Baghdad), dan Ja’far Jaenuddin, Nur Encik dan Abdul Latif Sijanten (Saudi Arabia).

Waal menceritakan, dalam konferensi tersebut disepakati bahwa setiap anggota berkewajiban melobi setiap orang yg sedang berhaji dari seluruh dunia untuk menjadi penghubung di negeri mereka masing-masing demi mendukung perjuangan kemerdekaan RI dan mendorong pemerintah setempat untuk mengakui kedaulatan RI.

“Misi tersebut membagikan brosur-brosur kepada jemaah haji yg berisi penerangan tentang situasi sebenarnya yg terjadi di Indonesia, bantahan bahwa RI ialah Made in Jepang, dan Soekarno-Hatta ialah boneka-boneka yg digerakkan militer Jepang,” tulis Waal.

Baca juga: Batal Haji sebab Pandemi? Jangan Sedih. Inilah Amalan dgn Pahala Setara Beribadah di Tanah Suci

 

M. Zain Hassan dalam Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri (1980) menjelaskan, Panitia Kemerdekaan Indonesia ialah kelompok mahasiswa yg berkedudukan di Kairo dan secara de facto menjadi semacam perwakilan sementara Pemerintah RI di Mesir.

“Perjuangan Panitia mendapatkan tanggapan dan bantuan yg sangat berharga dari bangsa Mesir. Rencana kerja Panitia di antaranya berusaha menciptakan de facto kebebasan warga Indonesia di luar negeri dari perwalian Belanda, serta mendapatkan pengakuan de facto dan de jure bagi RI yg merdeka,” tulis M. Zein.

Dicontek Belanda

Pada akhirnya, Belanda merasa keteteran. Mereka pun ambil jalan pintas dgn mengcopy-paste siasat serupa.

Di Indonesia, Belanda mengambil kebijakan membuka kesempatan berhaji. Kedatangan jemaah haji yg disokong ini diharap dapat mengkonsolidasikan negara-negara boneka yg mereka ciptakan.

Pengumuman pelaksanaan haji dimunculkan di banyak surat kabar. Belanda juga berupaya membujuk tokoh-tokoh Islam untuk naik haji. Namun, jumlah jemaah haji yg digalang hanya mampu sebanyak 100 orang.

“Pada 1946 terjadi kegiatan militer yg sangat kuat di Indonesia dan situasinya tak mendukung untuk mengirim banyak jemaah haji. Lagipula awalnya sebagian besar wilayah Indonesia berada di bawah kontrol Inggris dan Belanda, terutama di lepas pantai,” tulis Ismail Hakki Goksoy dalam Dutch Policy towards the Indonesian Hajj 1946-1949 (1998).

Hingga 1950, Pemerintah Republik Indonesia tak menangani urusan haji. Pemerintah Indonesia lebih mengkonsentrasikan untuk dapat mengirimkan delegasi ke negara-negara Arab. Apalagi sejak 1946, Liga Arab telah mendukung dan menganjurkan semua negara anggotanya supaya mengakui Indonesia sebagai negara yg berdaulat.

“Misi Republik ke Mesir dan Arab Saudi dipimpin H Agus Salim, H Muhammad Rasjidi, dan anggota lain dalam tahun-tahun berikutnya,” tulis Ismail.

Sejarawan Islam Ahmad Mansyur Suryanegara dalam Api Sejarah (2009) menceritakan, memilih H Agus Salim sebagai salah satu pelobi ialah bukan hal yg salah kaprah. Ulama asal Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat ini dianggap berhasil memainkan seni diplomasi lantaran kemampuan berbahasa Arabnya cukup baik.

Terlebih, jalan perundingan kian mulus berkat sumbangsih banyak pihak. Termasuk, para mahasiswa Mesir yg menyelundup ke Tanah Suci.

“Akhirnya, Indonesia mendapat pengakuan de jure dan de facto berturut-turut dari Mesir pada 10 Juni 1947, Suriah 2 Juli 1947, Irak 16 Juli 1947 Afganistan 23 September 1947, dan Arab Saudi 21 November 1947,” tulis Ahmad Mansyur.

(SBH)

Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentangPerjuangan Jemaah Haji Demi Kemerdekaan RI . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.

terima kasih





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.