Sikap Terhadap Orang yg Mengingkari Nabi Khidir & Para Wali

Sebagian orang tak mempercayai dunia sufisme termasuk di dalam soal keberadaan para wali, Nabi Khidhir, pembukaan rahasia Allah swt. Mereka kadang bukan orang awam juga. Mereka kadang terdiri dari ulama-ulama yg memiliki perhatian pada ilmu lahiriyah seperti fiqih.

Sebenarnya sejak lama pertentangan pandangan antara ulama fiqih/syariat dan para suif/spiritualis. Ulama fiqih/syariat memandang sesuai berdasarkan ukuran-ukuran syariat dan didukung oleh kelimuan syariat dan dalil-dalil lahiriyah. Sedangkan para sufi dan ulama-ulama hakikat lebih banyak berpatokan pada intuitif.

 

Adapun dalam merespons pengingkaran ahli fiqih atas ilmu dan dunia hakikat, kita perlu mengikuti pandangan ahli fiqih meski ahli fiqih itu menanggapi masalah yg berada di luar bidang pengetahuannya.

Sikap seperti ini merupakan salah satu adab para sufi terdahulu. Ketika berhadapan dgn ahli fiqih yg mengingkari dunia hakikat, para wali, dan karamatul auliya, salafus saleh terdahulu cenderung mengambil sikap harmoni sehingga mereka membenarkan pandangan ahli syariat yg sangat terbatas itu. 

موافقة الفقيه إذا أنكر شيئا من أحوال أهل الطريق أو أمرهم بشيء ولا يقيم أحدهم عليه الحجة إلا إن علم أنه يرجع إلى قوله وذلك لأن الفقيه في دائرة لا يعرف غيرها

Artinya, “(Salah satu akhlak orang-orang saleh ialah) menyetujui pandangan ahli fiqih yg mengingkari ihwal ahli tarekat atau perintah mereka perihal sesuatu. Sementara mereka tak dapat membangun argumentasinya kecuali dgn berpijak pada pendapatnya. Sedangkan ahli fiqih berada pada sebuah domain yg tak diketahui selain bidangnya,” (Abdul Wahhab As-Sya’rani, Tanbihul Mughtarrin, [Semarang, Thaha Putra: tanpa tahun], halaman 48).

 

Kita baiknya membenarkan dgn catatan ahli syariat yg mengingkari rijalul ghayb seperti wali quthub, wali autad, wali abdal, dan Nabi Khidir. Membenarkan dgn catatan sebab dunia para wali berada di luar domain pandangan ahli syariat.

فإذا قال إن القطب مثلا أو البدل أو الوتد لا حقيقة له فقل له نعم واقصد بذالك أنه ليس له حقيقة عنده وإذا قال الأولياء قد انقرضوا ولم يبق منهم أحد فقل له صدقت أي على معتقده هو وكذا إن قال الخضر لا وجود له فقل له نعم

Artinya, “Bila ahli fiqih mengatakan, ‘Sungguh, wali quthub, wali abdal, atau wali autad misalnya itu tak memiliki hakikat,’ jawablah, ‘Benar,’ tetapi niatkan bahwa ‘kebenaran’ itu berlaku menurutnya. Jika ahli fiqih itu mengatakan, ‘Era para wali telah selesai. Sekarang tak ada lagi wali Allah,’ maka jawablah ‘Pak ustadz benar,’ maksudnya benar menurut keyakinannya. Demikian juga ketika ahli fiqih mengatakan, ‘Nabi Khidir tak ada,’ jawablah ‘Benar,’” (As-Sya’rani: 48).

Dengan sikap harmoni demikian, kita tak menyalahi pandangan ahli syariat sekaligus tak mengingkari para wali Allah dgn masing-masing keramatnya yg bertebaran di muka bumi. Wallahu a’lam.

 

Alhafiz KurniawanRedaktur NU Online

​​​​​​​

Mengenal Imam Mazhab: Biografi Abu Hanifah & Kisah Kewarakannya

Sebuah fakta yg tak pernah luput dicatat dalam banyak kitab sejarah mazhab, bahwa Imam Abu Hanifah ialah akar pangkal transmisi keilmuan hukum Islam (fiqih). Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i termasuk orang pertama yg mengakui ini, dan hingga sekarang pandangan beliau terhadap Abu Hanifah masih sangat terang.

 

Adalah Syekh Muhammad Abu Zahrah (1898-1974 M) termasuk yg mengabadikan pengakuan as-Syafi’i tersebut. Dalam karyanya Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (juz 2, hal. 131) ia menulis:

 

فهو الذي قال فيه الشافعي رضي الله عنه: الناس في الفقه عيال على أبي حنيفة

 

Artinya, “Suatu ketika, as-Syafi’i pernah memuji Abu Hanifah. Ia berkata, ‘Transmisi keilmuan umat Islam dalam bidang fiqih berinduk kepada Abu Hanifah’.”

 

Fakta ini nyaris mustahil absen dari memori para santri dan kiai. Ini menjadi bukti bahwa pendiri mazhab Hanafi yg dikenal sebagai pimpinan kaum rasionalis (ahlu ar-ro’yi) itu bukan orang sembarangan. Ia tentu lahir dari keluarga yg tak biasa di hadapan Allah, dan pasti pernah mengukir jejak perjuangan yg tak remeh. Sehingga, Allah terangi keluarga itu sepanjang masa, mengabadikannya dalam sejarah peradaban Islam dunia.

 

Biografi Singkat Abu Hanifah

Abu Hanifah, yg bernama asli Nu’man bin Tsabit bin Zutha ialah seorang ulama besar pendiri mazhab Hanafi. Ia termasuk imam mazhab kawakan di antara tiga mazhab muktabar lainnya (mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan Hanbali). Lahir di kota Kufah, Irak pada tahun 80 H bertepatan dgn tahun 699 M, dan wafat di Baghdad pada 150 H atau tahun 767 M.

 

Mengutip Muhammad Ali as-Sayyis dalam Tarikh al-Fiqih al-Islami (hal. 104), bahwa sang promotor golongan rasionalis ini, namanya masuk dalam daftar atba’ at-tabi’in (pengikut para tabiin), generasi ketiga setelah Nabi. Sebab, kabarnya ia hanya sempat semasa—walaupun tak lama—dgn empat orang sahabat; Anas bin Malik yg tinggal di Bashrah, Abdullah bin Abi Aufa di Kufah, Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi di Madinah, dan sahabat Abu Thufail Amir bin Watsilah di Makkah. Tapi sayg, tak satu pun pernah ditemuinya.

 

Sedangkan, dalam riwayat lain-kendati tergolong lemah-Abu Hanifah masuk dalam daftar tabiin, santrinya para sahabat Nabi. Karena menurut riwayat ini, ia pernah bertemu dgn sahabat Anas bin Malik, dan meriwayatkan satu hadist tentang kewajiban menuntut ilmu darinya. Ditambah lagi, pada tahun 96 H, Nu’man remaja pernah dibawa ayahnya menunaikan ibadah haji. Saat di Masjidilharam, ia sempat bertemu dgn seorang sahabat bernama Abdullah bin al-Harst bin Juzu’ az-Zabidi, dan berhasil meriwayatkan satu hadist lagi.

 

Tanah Kufah menjadi tempat tinggal terlama bagi Abu Hanifah. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di sana. Sebelum masuk ke dunia santri, putra Nu’man ini ialah seorang wiraswasta. Hari-harinya selalu di pasar, membantu sang ayah berjualan sutra. Saat di rumah, ia sibuk memikirkan bagaimana memproduksi kain-kain sutra pilihan. Karena itu, wajar dirinya dikenal sebagai ulama entrepreneur.

 

Setelah sekian lama menjadi wiraswasta, bahkan sampai menghabiskan separuh masa mudanya, Abu Hanifah pun akhirnya bertolak dari dunia pasar menuju dunia intelektual atas saran seorang ulama bernama as-Sya’bi. Wajar saja bila dia termasuk satu dari sekian ulama yg telat belajar. Namun, hal itu bukan persoalan besar di mata Abu Hanifah. Berkat ketekunan dan kecerdasan yg dimilikinya, mampu mengalahkan orang-orang yg belajar jauh sebelum dirinya. Terkait kisah lengkap Abu Hanifah tentang perpindahan dunianya dari tongkrongan pasar ke halakah ilmiah, mau dibahas di tulisan berikutnya. Insya Allah.

 

Guru-Guru Abu Hanifah

Setelah memutuskan buat mengikuti saran as-Sya’bi, meninggalkan hiruk pikuk dunia perdagangan dan mencurahkan lebih banyak simpati kepada para ulama, ‘santri baru’ itu telah mulai jarang tampak di pasar. Ia mulai menjauh dari kebisingan di tempat itu. Walaupun, sesekali juga menyempatkan diri menyambangi para pelanggan setia dan teman-temannya di sana. Tapi itu dapat dihitung jari. Dalam sepekan, mungkin sekali atau bahkan tak sama sekali. Kesehariannya sibuk dgn mengaji, menghadiri halakah demi halakah para ulama di Kufah.

 

Di antara para ulama, tempat simpuh Abu Hanifah mengambil hadist ialah imam ‘Atha’ bin Abi Rabah, imam Nafi’ (mantan budaknya Ibnu Umar), imam Qatadah, dan syekh Hammad bin Abi Sulaiman (tempat mulazamah terlama, selama 18 tahun). Dari syekh Hammad ini pula, ia belajar fiqih secara mendalam dgn transmisi keilmuan yg sampai pada Rasulullah. Sebab, gurunya itu merupakan murid dari Ibrahim al-Nakha’i dan al-Sya’bi, yg mana keduanya ialah santri tiga ulama besar; imam al-Qhadli, Alqamah bin Qais dan Masruq bin Ajda’. Mereka semua belajar fikih kepada Abdullah bin Mas’ud dan Imam Ali bin Abi Thalib, gerbang keilmuan baginda Nabi. Keterangan ini ditulis oleh Muhammad Ali as-Sayyis dalam Tarikh al-Fiqih al-Islami (hal. 104).

 

Kisah Warak Abu Hanifah

Suatu ketika, Jubarah bin al-Mughallis bercerita tentang dirinya yg pernah mendengar Qais bin ar-Rabi’ memuji Abu Hanifah. Qais berkata:

 

كان أبو حنيفة ورعا تقيا مفضلا على إخوانه

 

Artinya, “Abu Hanifah ialah seorang amat warak dan benar-benar taat beragama, ia juga gemar menebar kebaikan kepada sesama.”

 

Sebenarnya, ada banyak pengakuan serupa terkait kewarakan imam Nu’man bin Tsabit. Pengakuan itu juga muncul dari orang-orang elit, sekelas imam as-Syafi’i, imam Malik dan seterusnya. Belum lagi pengakuan yg muncul dari para murid dekatnya; orang-orang yg langsung mengaji, satu majelis dgn Abu Hanifah. Seperti imam Abu Yusuf al-Hanafi (wafat 183 H) dan Muhammad bin al-Hasan as-Syaibani (wafat 198 H).

Di antara kisah kewarakan Abu Hanifah yg ditulis imam al-Hafidh Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman ad-Dzahabi (wafat 748 H) dalam bukunya Manaqib al-Imam Abi Hanifah wa Shahibaihi; Abu Yusuf wa Muhammad bin al-Hasan (hal. 41), yaitu ketika Abu Hanifah menyedekahkan hasil penjualan baju yg dinilainya syubhat. Suatu ketika, ulama yg juga entrepreneur itu menyuruh salah seorang partner bisnisnya yg bernama Hafsh buat menjual baju komoditas miliknya. Tapi sayg, barang yg hendak dijual itu tak utuh, terdapat cacat pada bagian baju tersebut. Karena itu, Abu Hanifah berpesan:

 

إنّ في ثوب كذا عيبا فإذا بعته فَبَيِّن

 

Artinya, “Di baju ini terdapat cacat, kalau ada yg mau membelinya, beritahulah dahulu di mana bagian cacatnya.”

 

Namun sialnya, Hafsh ini malah lupa pesan Abu Hanifah. Ia langsung menjual baju itu tanpa menunjukkan celanya. Sedangkan, buat menemukan si pembeli tadi telah tak mungkin. Baygkan saja, di tengah pasar yg sangat ramai, dipadati orang-orang tak dikenal datang dari segala penjuru. Mengetahui hal itu, Abu Hanifah langsung menyedekahkan uang hasil penjualan baju tersebut. Kerennya, ia tak marah atas keteledoran itu. Jangankan sampai marah, komentar pun tidak. Malahan, Abu Hanifah menyikapinya dgn senyum ramah. Sungguh luar biasa, ia mampu meneladani akhlak baginda Nabi.

 

Semoga tulisan ini bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab.

 

Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Situbondo, dan pendiri Komunitas Lingkar Ngaji Lesehan di Lombok.






Saat Abu Hanifah Hijrah dari Dunia Pasar Menuju Halaqah Intelektual

“Sejak awal remaja, Abu Hanifah telah mendedikasikan hidupnya supaya menjadi seorang pebisnis ulung seperti ayahnya”. Statemen ini disampaikan oleh Syekh Wahbah bin Musthofa Az-Zuhayli dalam bukunya yg berjudul Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (juz 2, hal. 132).

Dari kalimat pendek ini, ia berusaha menjelaskan bagaimana kegetolan Abu Hanifah terhadap dunia pasar dan impiannya sebagai entrepreneur sukses yg jujur lagi amanah.

Puncaknya, ia pun berhasil mewujudkan mimpinya itu. Abu Hanifah tak hanya mewarisi keilmuan dan kebijaksanaan Nabi, tapi juga jiwa bisnisnya yg luhur. Ada sekian banyak cerita ihwal kejujuran dan prinsip bisnis Abu Hanifah. Salah satunya ialah keharusan memberi tahu pembeli bila terdapat aib pada barang yg hendak dijualnya. Nyaris tak ditemukan komoditas beraib yg laku terjual kecuali antara dirinya dan pembeli menyetujui kekurangan pada barang tersebut. Kalau memang ada, pasti bukan Abu Hanifah pelakunya.

Seperti yg diceritakan dalam tulisan yg lalu ketika ia meminta partner bisnisnya, Hafsh buat menjualkan suatu baju beraib milik Abu Hanifah. Itu pun, setelah diketahui, semua hasil penjualannya langsung disedekahkan. Indah sekali prinsip bisnis putra Tsabit ini.

Bukti keluhuran jejak bisnis imam Nu’man ini terekam rapi menghiasi buku-buku sejarah mazhab fiqih, walau mungkin tak semua. Dorongan para ulama dan peneliti buat melakukan semua itu, tentu setelah melihat background Abu Hanifah sebagai seorang ulama. Sebab, ia lebih tenar sebagai seorang alim, pendiri mazhab fiqih ketimbang seorang pebisnis ulung.

Setelah mengenal Abu Hanifah yg pernah bergelut di dunia pasar, pertanyaanya, bagaimana kisah hijrah Abu Hanifah dari dunia pasar menuju halaqah intelektual? Sejak kapan mulai menjauhi pasar dan mendekati para ulama? Apa dan siapa motif dari perubahan ini?

Pertemuan Abu Hanifah dan Imam As-Sya’bi

Syekh Abu Zahroh dalam Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (masih di juz dan halaman yg sama), menceritakan kisah pertemuan Abu Hanifah dgn imam as-Sya’bi, seorang ulama besar pakar hadist dari kalangan tabiin. Nama lengkapnya ialah Abu Amr Amir bin Syurahil al-Hamiri as-Sya’bi. Ia lahir di kota Kufah pada tahun 19 H, wafat dan dikebumikan di kota yg sama pada 103 H, dalam hitungan usia yg cukup senja, 84 tahun.

Pertemuan berkah inilah yg mengubah jalan hidup Abu Hanifah. Dan, sejak itu pula ia bertekad banting setir dari dunia pasar ke dunia para pelajar. Lumayan ampuh juga nasehat sang muhaddist kenamaan itu. Sebab, mampu memikat Abu Hanifah buat keluar dari kenikmatan dunia pasarnya dan memulai perjuangan baru di jalur intelektual.

Singkat kisah, suatu hari di tengah perjalanan menuju pasar, Abu Hanifah dipanggil oleh seorang berpakaian serba putih, bersurban rapi, tampak sangat berwibawa. Ternyata, dialah yg tenar disapa imam as-Sya’bi di Kufah.

Waktu itu, laki-laki berjenggot putih tersebut sedang duduk di tempat yg agak jauh dari jalan yg biasa dilalui Abu Hanifah. Tampaknya, ia memang sengaja menunggu putra sang saudagar sutra itu di sana.

Melihat Nu’man menuju pasar, ia pun memanggil dan bertanya:

إلى من تختلف؟

Artinya, “Anak muda, kau mau pergi ke mana?,” tanyanya santun bersahaja.

Nu’man remaja menjawab, Akhtalifu ila as-suq, “Aku hendak pergi ke pasar,” jawabnya penuh hormat. Mendengar jawaban Abu Hanifah, kakek tua itu pun langsung to the point. Memberi tahu apa maksud ia duduk menunggu di sana. As-Sya’bi mengatakan:

لم أعْنِ الإختلاف إلى السوق عنيت الإختلاف إلى العلماء

Artinya, “Anak muda, saya kurang setuju melihatmu bolak-balik ke pasar, saya berharap engkau punya simpati besar kepada para ulama, mengaji dan mengabdi kepada mereka.”

Kata-kata ini cukup membuat Abu Hanifah tercengang kaget. Sekonyong-konyong orang tak dikenal tadi menyarankannya meninggalkan dunia yg ia geluti dan senangi ketika ini. Terlebih, dunia itu ialah warisan dari leluhur, dan Nu’man telah bertekad buat menjadi seperti ayahnya.

Tak habis pikir, apa yg mau Nu’man katakan kepada orang itu. Akhirnya, dgn terbata-bata ia mengatakan, Ana qalilul ikhtilaf ila al-ulama, “Bagaimana mungkin, saya ini orang pasar, tak banyak bergelut dgn orang ‘langit’ semacam itu,” jawab Abu Hanifah merendah.

Lalu, imam Amir as-Sya’bi mengungkapkan apa yg membuatnya memberi saran demikian. Ternyata, ia memiliki firasat baik tentang pemuda yg satu itu. Tampaknya, as-Sya’bi telah mampu menerawang potensi besar yg tertanam dalam diri Abu Hanifah. Ulama besar itu mengatakan:

لا تفعل وعليك بالنظر في العلم ومجالسة العلماء فإني أرى فيك يقظة وحركة

Artinya, “Tolong jangan lakukan lagi! Kamu harus mulai bergelut di dunia intelektual dan banyak duduk dgn para ulama. Sebab, saya melihat potensi besar dan jiwa suci yg tumbuh dalam dirimu.”

Setelah itu, as-Sya’bi pun berlalu. Tinggal Abu Hanifah seorang diri, terpaku, dan tertunduk. Ia masih terngiang-ngiang dgn kata-kata seorang arif yg ditemuinya tadi. Abu Hanifah mengurung niatnya ke pasar. Ia memilih kembali lantaran gejolak batinnya yg tak menentu.

Beberapa hari kemudian, ia pun akhirnya memutuskan buat mulai membuka lembaran barunya. Sejak itulah ia menjadi seorang santri yg taat dan tekun belajar, tak pernah alpa dari pengajian para kiai di Kufah.

Suatu ketika, Abu Hanifah menceritakan kisah pertemuannya itu dgn as-Sya’bi. Di akhir cerita ia mengatakan:

فوقع من قلبي من قوله فتركت الإختلاف إلى السوق وأخذت في العلم فنفعني الله بقوله

Artinya, “Karena kata-kata as-Sya’bi itu, hari-hariku dirundung gelisah luar biasa. Akhirnya, dgn tulus kulepaskan dunia pasar dan mulai berkecimpung di dunia intelektual. Karena nasihat as-Sya’bi juga, Allah menyiramiku penuh manfaat,” kata Abu Hanifah mengenang masa lalunya.

Rupanya, inilah faktor mengapa Abu Hanifah begitu cepat meninggalkan dunia lamanya, sebab tak tahan dgn gundah gulana yg merundung hari-harinya.

Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis shawwab.

Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Situbondo, dan pendiri Komunitas Lingkar Ngaji Lesehan di Lombok NTB.

Badan Hukum dalam Perspektif Fiqih

Gelaran acara Muktamar Ke-34 NU telah usai. Salah satu materi yg dibahas dalam salah satu sidang komisi bahtsul masailnya ialah berkenaan dgn syakhshiyah i’tibariyah dgn konteks badan hukum. Apa sih makna dari syakhshiyah i’tibariyah itu?

 

Syakhshiyah i’tibariyah dalam konteks badan hukum bermakna sebagai sekumpulan manusia atau harta yg berkumpul buat mengadakan suatu ikatan kerja sama buat mencapai tujuan bersama. Jadi, dgn berdasar definisi ini maka yayasan, koperasi, perusahaan, organisasi kemasyarakatan, negara, baitul maal, badan waqaf, seluruhnya masuk dalam bagian yg dicakup oleh definisi syakhshiyah i’tibariyah. Oleh sebab itu, dalam konteks fiqih turats, maka syakhshiyah i’tibariyah ini ialah bagian dari cabang (furu’) akad buyu’ (jual beli), syirkah (kemitraan), musaqah. qiradl, mudharabah, atau bahkan musabaqah (perlombaan), ijarah (sewa-menyewa), bai’, tijarah (perniagaan), dan lain sebagainya.

 

Konsekuensi dari satu rumpun dgn akad buyu’, maka segala ketentuan yg berlaku dalam syakhshiyah i’tibariyah, ialah meniscayakan terpenuhinya syarat dan rukun akad muamalah. Tidak terpenuhinya salah satu rukun, dapat menjadikan suatu perkumpulan ialah bathil (tidak sah) secara syariat.

 

 

Rukun Syakhshiyah I’tibariyah

Karena syakhshiyah i’tibariyah dalam konteks badan hukum ialah gambaran dari serikat, dan serikat itu sendiri ialah cabang dari akad jual beli, maka rukun penyusun syakhshiyah i’tibariyah ialah terdiri dari hal-hal sebagai berikut:

 

شروط أركان البيع الثلاثة، التي هي العاقد، والمعقود عليه، والصيغة.

 

“….beberapa syarat rukun bai’ yg tiga, yaitu adanya dua pihak yg berakad, adanya objek akad, dan shighat akad” (al-Bakri Al-Dimyathy bin Syatha’, I’anatu al-thalibin ‘ala hilli Alfadhi Fathi al-Mu’in, juz 3, h. 9).

 

Adapun dalam konteks syirkah, maka rukun penyusunnya ialah sebagai berikut:

 

وأرْكانُها ثَلاثَةٌ: العاقِدانِ، والمَعْقُودُ عَلَيْهِ، وهُوَ المالُ فِي شَرِكَةِ التَّجْرِ، والعَمَلُ فِي شَرِكَةِ الأبْدانِ والصِّيغَةُ

 

“Rukun syirkah dagang ada tiga, yaitu (1) adanya dua pihak yg berakad, (2) adanya objek akad baik berupa harta, niaga, atau amal (jenis pekerjaan) khususnya dalam syirkah abdan, dan (3) shigah akad.” (al-Nafrawy, al-Fawakih al-Dany ‘ala Risalati Ibn Zaid al-Qairuwany, juz 2, h. 119).

 

Di dalam akad produksi semacam akad musaqah, qiradl dan mudlarabah, maka rukun yg wajib terpenuhi, ialah:

  1. Adanya pihak rabbu al-maal (pemilik modal), yg digambarkan sebagai pemilik tanah dan pemodal
  2. Adanya ‘amil, yaitu pihak yg bekerja dan menjalankan modal atau menggarap lahan
  3. Adanya ma’qud ‘alaih berupa kesepakatan bagi hasil mengelola modal dgn nisbah yg disepakati.
  4. Adanya shighah akad, apakah berlaku sebagai akad ijarah (sewa jasa), pengelolaan lahan (musaqah, mukhabarah, atau muzara’ah), ataukah qiradl dan mudlarabah.

 

Di dalam badan hukum seperti amil zakat atau badan wakaf, maka syarat yg berlaku ialah:

  1. Adanya waqif (pihak pewakaf), atau muzakki (penunai zakat)
  2. Adanya pihak yg menerima wakaf atau amil. Dua-duanya inii termasuk muta’aqidain.
  3. Adanya objek wakaf, berupa sebidang tanah, atau objek zakat semisal zakat fitrah atau zakat maal
  4. Adanya tujuan dari wakaf itu sendiri kemana hendak disalurkan, atau zakat kemana hendak ditasarufkan.
  5. Adanya shighah wakaf atau shighah zakat yg disampaikan dalam bentuk lafadh atau isyarah.

 

Baik pihak pewaqif atau amil, seluruhnya wajib memenuhi kriteria selaku ahli taukil dan tawakkul. Kriteria ini, dapat diketahui secara umum di bawah ini.

 

Peserta Syakhshiyah i’tibariyah

Al-Nafwawy (w. 1126 H) menjelaskan mengenai syarat keanggotaan (muta’aqidain) dari suatu badan hukum, antara lain sebagai berikut:

 

فَشَرْطُ العاقِدِ أهْلِيَّةُ التَّوْكِيلِ والتَّوَكُّلِ؛ لِأنَّ كُلَّ واحِدٍ وكِيلٌ، ومُوَكِّلٌ، فَيُشْتَرَطُ فِي كُلٍّ البُلُوغُ والرُّشْدُ، فَلا تَصِحُّ شَرِكَةُ عَبْدٍ غَيْرِ مَأْذُونٍ، ولا صَبِيٍّ ولا سَفِيهٍ، كَما يُؤْخَذُ مِن كَلامِ خَلِيلٍ وابْنِ الحاجِبِ لِعَدَمِ صِحَّةِ تَوَكُّلِ المَحْجُورِ عَلَيْهِ كَما قالَهُ اللَّخْمِيُّ وغَيْرُهُ، خِلافًا لِابْنِ رُشْدٍ القائِلِ بِالصِّحَّةِ؛ لِأنّا نَشْتَرِطُ وُجُودَ شَرْطِ صِحَّةِ التَّوْكِيلِ والتَّوَكُّلِ مَعًا فِي الشَّرِكَةِ، ولِذَلِكَ أوْرَدُوا عَلى كَلامِهِما شَرِكَةَ العَدُوِّ لِعَدُوِّهِ، وشَرِكَةَ الذِّمِّيِّ لِمُسْلِمٍ لِصِحَّةِ شَرِكَتِهِما عَلى المُعْتَمَدِ

 

“Syarat ‘aqid (anggota badan hukum) ialah terdiri dari pihak yg memenuhi kriteria cakap dalam mewakilkan atau menerima perwakilan, sebab antar peserta satu dgn yg lain ialah berlaku sebagai wakil atau menjadi mewakilkan. Oleh sebab itu, syarat yg harus dipenuhi ialah baligh, cerdas (akalnya telah berkembang). Oleh sebab itu, tak sah perkumpulannya para budak, anak atau safih (tidak sehat akalnya) sebagaimana penjelasan Imam Khali dan Ibn Hajib, sebab illat ketiadaan sahnya perwakilan pihak mahjur ‘alaih. Demikian ini juga disampaikan oleh al-Lukhmy dan para ulama lainnya, khilaf dgn Ibnu Rusyd yg menyampaikan kebalikannya mengenai sahnya akad syirkah pihak mahjur alaih. Karena kita, telah menetapkan syarat bahwa sahnya syirkah ialah apabila pihak anggota memenuhi kriteria dapat mewakilkan (ahi taukil) atau menerima perwakilan (ahli tawakkul) secara bersama-sama maka adanya khilaf dari para ulama tersebut ialah dimaksudkan kebolehan perkumpulan musuh buat menghadapi musuhnya, perkumpulan ahli dzimmah terhadap orang muslim. Kedua jenis syirkah ini ialah sah menurut qaul yg mu’tamad.” (al-Nafrawy, al-Fawakih al-Dany ‘ala Risalati Ibn Zaid al-Qairuwany, juz 2, h. 119).

 

Lalu Apa itu Syakhshiyah I’tibariyah?

Berangkat dari penjelasan di atas maka makna dari syakhshiyah i’tibariyah dalam konsepsi fiqih turats, sejatinya ialah telah didefinisikan oleh para ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin, berdasarkan jenis akad yg dilakukan. Jika akadnya ialah kemitraan, maka syakhshiyah i’tibariyah itu mengikuti definisi dari akad syirkah. Jika akadnya ialah investasi, maka definisi dari syakhshiyah i’tibariyah itu mengikuti akad qiradl, mudlarabah, musaqah, dan sejenisnya. Jika akadnya ialah tabarru’, maka definisi syakhshiyah i’tibariyah itu ialah mengikuti ushul (landasan) di mana akad itu dicabangkan. Adapun definisi syakhshiyah i’tibariyah menurut kalangan ulama mu’ashirin sebagai perhimpunan orang-orang atau sekumpulan dana yg dibentuk dgn tujuan tertentu dan diberikan kepribadian hukum sejauh yg diperlukan buat mencapai tujuan itu, ialah definisi umum dan telah mencakup kriteria dan definisi dari para ulama mutaqaddimin (klasik) dan mutaakhirin (kontemporer). Misalnya, ialah definisi sebagai berikut:

 

الشَّخْصُ الإِعْتِبَارِيُّ هُوَ مَجْمُوعَةٌ مِنَ الأَشْخَاصِ أَوْ الأَمْوَالِ تَرْمَى إِلَى تَحْقِيقِ غَرَضٍ مُعَيَّنٍ وَيُمْنَحُ الشَّخْصِيَّةَ القَانُونِيَّةَ بِالْقَدرِ اللَّازِمِ لِتَحْقِيقِ هَذَا العَرَضِ

 

“Al-syakhsh al-i’tibari ialah perhimpunan orang-orang atau sekumpulan dana yg dibentuk dgn tujuan tertentu dan diberikan kepribadian hukum sejauh yg diperlukan buat mencapai tujuan itu.” (Khalid ‘Abd al-‘Aziz bin Ibrahim al-Juraid, al-Syakhshiyyah al-I’tibariyyah, h. 67 Jurnal al-‘Adl edisi 29 Muharram 1427 H).

 

الشَّخْصُ الإِعْتِبَارِيُّ هُوَ مَجْمُوعٌ مِنَ الأَشْخَاصِ أَوْ مَجْمُوعٌ مِنَ الأَمْوَالِ يُسْتَهْدَفُ بِهِ تَحْقِيقُ غَرَضٍ مُعَيَّنٍ وَيَعْتَرِفُ القَانُونُ لَهُ بِالشَّخْصِيَّةِ القَانُونِيَّةِ وَبِالتَّالِي يُصْبِحُ قَابِلًا لِأَنْ تَثْبُتَ لَهُ الحُقُوقُ وَتَجِبُ لَهُ الوَاجِبَاتُ وَيُنْظَرُ مُجَرَّدًا عَنِ الأَشْخَاصِ الْمُؤَسِّسَةِ لَهُ أَوِ الاَمْوَالِ الْمُكَوِّنَةِ لَهُ

 

“Badan hukum ialah sekelompok orang atau sekumpulan harta yg dibentuk guna mencapai tujuan tertentu yg diakui undang-undang sebagai kenyataan yuridis, buat kemudian dapat ditetapkan hak dan kewajiban atasnya tanpa melihat orang atau pribadi-pribadi yg mendirikan atau harta yg membentuknya.” (‘Abd al-Nashir al-‘Aththar, Madkhal li Dirasah al-Qanun wa Tathbiq al-Syariah, h. 314, Dar al-Sa’adah: Kairo, Mesir)

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peserta Bahtsul Masail Komisi Maudluiyah di Muktamar Ke-34 NU di Bandar Lampung


Membahas tentangWajib Tahu! Ini enam Syarat Sah Menjadi Wali atau Saksi Akad Nikah

Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentangWajib Tahu! Ini enam Syarat Sah Menjadi Wali atau Saksi Akad Nikah,

 Menikah merupakan ibadah yg hukumnya wajib bagi laki-laki dan perempuan yg telah mampu buat membangun rumah tangga. Selain mendapatkan keturunan, menikah juga dapat membantu seseorang buat berbuat zina yg sangat dilarang dalam Islam.

Anjuran menikah tertuang dalam hadis berikut, Rasulullah ﷺ bersabda : “Wahai para pemuda, bila kalian telah mampu, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menentramkan mata dan kelamin. Bagi yg belum mampu, maka berpuasalah sebab puasa dapat menjadi tameng baginya.” (HR. Bukhari No. 4779)

Hal ini berkaitan dgn menikah yg merupakan ibadah, sebagai halnya hadis berikut:

وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: {مَنْ تَزَوَّجَ فَقَدْ أُعْطِيَ نِصْفَ الْعِبَادَةِ}.

Dari Anas Bin Malik RA, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yg menikah maka sungguh ia telah diberi setengahnya ibadah,” (HR Abu Ya’la).

Melansir dari beberapa sumber, Akad nikah tak mau sah kecuali disertai dgn wali yg adil. Dalam kitab Fathul Qorib karangan Ibnu Qosim Al Ghazi menjelaskan ada enam syarat buat menjadi Wali atau saksi dalam akad memiliki syarat yg harus dipenuhi, yuk simak!

ولا يصح عقد النكاح إلا بولي وشاهدي عدل ويفتقر الولي والشاهدان إلى ستة شرائط الإسلام والبلوغ والعقل والحرية والذكورة والعدالة إلا أنه لا يفتقر نكاح الذمية إلى إسلام الولي ولا نكاح الأمة إلى عدالة السيد

“Tidak sah akad nikah tanpa wali dan dua saksi yg adil, dan wali dan dua saksi tak memenuhi enam syarat Islam, baligh, akal, kebebasan, kejantanan, dan keadilan, kecuali nikah seorang dzimmi tak kekurangan Islam. wali, atau perkawinan suatu bangsa dgn keadilan tuannya”

Berikut 6 syarat menjadi wali atau saksi akad nikah:

  1. Islam, dalam akad wali dan saksi harus beragama islam.
  2. Sudah Baligh, tak sah bila wali dan saksi diwakili anak kecil atau mereka yg belum memenuhi syarat Baligh.
  3. Berakal, tak sah bila wali dan saksi memiliki gangguan jiwa.
  4. Merdeka
  5. Laki-laki, wali dan saksi baik dari pihak perempuan dan laki-laki wajib diwakili oleh laki-laki tak sah bila digantikan oleh perempuan walaupun itu ibu dari pengantin.
  6. Adil.

Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentangWajib Tahu! Ini enam Syarat Sah Menjadi Wali atau Saksi Akad Nikah . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.

terima kasih





Membahas tentang2 Ayat Mustajab buat Melancarkan Rezeki

Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentang2 Ayat Mustajab buat Melancarkan Rezeki,

Al-Quran difirmankan langsung oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad ﷺ melalui Malaikat Jibril, dgn cara berangsur-angsur. Peristiwa ini dimulai sejak tanggal 17 Ramadan, ketika Nabi Muhammad ﷺ berumur 40 tahun hingga wafat pada tahun 632 M.

Sebagai sebuah mukjizat terbesar Nabi Muhammad ﷺ, Al-Quran ialah salah satu tanda dari kenabian, dan merupakan puncak dari seluruh pesan suci (wahyu) yg diturunkan oleh Allah sejak Nabi Adam dan diakhiri dgn Nabi Muhammad. Banyak fadhilah atau keutamaan yg terdapat dalam Al-Quran. 

Tak terkecuali dalam QS. Al Baqarah ayat 285-286 yg dapat memudahkan manusia mendapatkan rezeki halal dan berkah dari Allah Swt.

Pastinya manusia sangat mengmaukan buat dimudahkan rezekinya. Ada sebuah hadis yg diriwayatkan oleh Muslim menjelaskan bahwa dgn mengamalkan akhir dari surat al-Baqarah ini, maka kemauannya mau dikabulkan.

Berikut bunyi hadis tersebut:

حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ الرَّبِيعِ وَأَحْمَدُ بْنُ جَوَّاسٍ الْحَنْفِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ عَنْ عَمَّارِ بْنِ رُزَيْقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عِيسَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
بَيْنَمَا جِبْرِيلُ قَاعِدٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ نَقِيضًا مِنْ فَوْقِهِ فَرَفَعَ رَأْسَهُ فَقَال هَذَا بَابٌ مِنْ السَّمَاءِ فُتِحَ الْيَوْمَ لَمْ يُفْتَحْ قَطُّ إِلَّا الْيَوْمَ فَنَزَلَ مِنْهُ مَلَكٌ فَقَالَ هَذَا مَلَكٌ نَزَلَ إِلَى الْأَرْضِ لَمْ يَنْزِلْ قَطُّ إِلَّا الْيَوْمَ فَسَلَّمَ وَقَالَ أَبْشِرْ بِنُورَيْنِ أُوتِيتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبْلَكَ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ وَخَوَاتِيمُ سُورَةِ الْبَقَرَةِ لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا إِلَّا أُعْطِيتَهُ
 

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Rabi' dan Ahmad bin Jawwas Al Hanfi keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwash dari Ammar bin Ruzaiq dari Abdullah bin Isa dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Abbas ia berkata; 

Ketika malaikat Jibril sedang duduk di samping Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tiba-tiba ia mendengar suara pintu dibuka dari arah atas kepalanya. Lalu malaikat Jibril berkata:

“Itu ialah suara salah satu pintu langit yg dibuka, sebelumnya ia belum pernah dibuka sama sekali kecuali pada hari ini.” Lalu keluarlah dari padanya malaikat. Jibril berkata: “Ini ialah malaikat yg hendak turun ke bumi, sebelumnya ia belum pernah turun ke bumi sama sekali kecuali pada hari ini saja.”

Lalu ia memberi salam dan berkata: “Bergembiralah atas dua cahaya yg diberikan kepadamu dan belum pernah diberikan kepada seorang Nabi pun sebelummu, yaitu pembuka Al Kitab (surat Al Fatihah) dan penutup surat Al Baqarah. Tidaklah kamu membaca satu huruf dari kedua surat itu kecuali pasti mau diberikan kepadamu.” (HR Muslim).

Hadis lain juga menyebutkan tentang keberkahan yg mau didapat bila mengamalkan dua ayat tersebut. Yaitu terdapat dalam hadis Riwayat Bukhari:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَرَأَ بِالْآيَتَيْنِ و حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

مَنْ قَرَأَ بِالْآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ فِي لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ
وَقَالَ عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ وَكَّلَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ فَأَتَانِي آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنْ الطَّعَامِ فَأَخَذْتُهُ فَقُلْتُ لَأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَصَّ الْحَدِيثَ فَقَالَ إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِيِّ لَنْ يَزَالَ مَعَكَ مِنْ اللَّهِ حَافِظٌ وَلَا يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ ذَاكَ شَيْطَانٌ

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir Telah mengabarkan kepada kami Syu'bah dari Sulaiman dari Ibrahim dari Abdurrahman dari Abu Mas'ud dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: “Barangsiapa yg membaca dua ayat..”

Dan Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Manshur dari Ibrahim dari Abdurrahman bin Yazid dari Abu Mas'ud radliallahu 'anhu ia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yg membaca dua ayat terakhir dari surat Al Baqarah pada suatu malam, niscaya kedua ayat itu mau mencukupinya.”

Utsmana bin Al Haitsam berkata; Telah menceritakan kepada kami 'Auf dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu, ia berkata; “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menugaskanku buat menjaga harta zakat. Lalu pada suatu hari ada seseorang yg menyusup hendak mengambil makanan, maka aku pun menyergapnya seraya berkata, “Aku benar-benar mau menyerahkanmu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam..”

Lalu ia bercerita dan berkata, “Jika kamu hendak beranjak ke tempat tidur maka bacalah ayat kursi, niscaya Allah mau senantiasa menjagamu dan setan tak mau mendekatimu hingga pagi.” Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: “Ia telah berkata benar padamu, padahal ia ialah pendusta. Si penyusup tadi sebenarnya ialah setan.” (HR. Bukhari)

Sesuai hadis tersebut, selain mendapatkan kecukupan di dunia, bagi yg mengamalkan juga mau mendapat kecukupan di akhirat. Serta Allah juga mau memberikan perlindungan dari segala marabahaya yg mau menimpa.

Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentang2 Ayat Mustajab buat Melancarkan Rezeki . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.

terima kasih





Membahas tentangDoa Ketika Tertimpa Musibah

Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentangDoa Ketika Tertimpa Musibah,

Kehidupan manusia tak mau lepas dari cobaan. Karena salah satu yg menjadi suratan takdir yg sulit buat dielakkan ialah datangnya musibah. Baik berupa diberikannya penyakit, PHK dari pekerjaan, adanya yg meninggal dunia dan lain sebagainya.

Meskipun demikian, besar atau kecilnya musibah yg didapat, sejatinya semua itu ialah cobaan dari Allah yg memiliki hikmah tanpa kita sadari. Oleh sebab itu, sebagai manusia hendaklah mensyukuri dari setiap apa yg diberikan oleh Allah, meskipun itu berat.

Karena sebagai makhluk Allah hendaklah selalu mengingat pada-Nya dgn cara berdoa, dan memohon pertolongan buat menghadapi musibah tersebut.

Berikut doa yg dapat diamalkan Ketika tertimpa musibah, dan doa ini juga tercantum dalam hadis Riwayat Muslim:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ وَابْنُ حُجْرٍ جَمِيعًا عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ ابْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ أَخْبَرَنِي سَعْدُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ كَثِيرِ بْنِ أَفْلَحَ عَنْ ابْنِ سَفِينَةَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّهَا قَالَتْ

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ

{ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ }
اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلَّا أَخْلَفَ اللَّهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا قَالَتْ فَلَمَّا مَاتَ أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ أَيُّ الْمُسْلِمِينَ خَيْرٌ مِنْ أَبِي سَلَمَةَ أَوَّلُ بَيْتٍ هَاجَرَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ إِنِّي قُلْتُهَا فَأَخْلَفَ اللَّهُ لِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ أَرْسَلَ إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَاطِبَ بْنَ أَبِي بَلْتَعَةَ يَخْطُبُنِي لَهُ فَقُلْتُ إِنَّ لِي بِنْتًا وَأَنَا غَيُورٌ فَقَالَ أَمَّا ابْنَتُهَا فَنَدْعُو اللَّهَ أَنْ يُغْنِيَهَا عَنْهَا وَأَدْعُو اللَّهَ أَنْ يَذْهَبَ بِالْغَيْرَةِ

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah dan Ibnu Hujr semuanya dari Isma'il bin Ja'far – Ibnu Ayyub berkata- telah menceritakan kepada kami Isma'il telah mengabarkan kepadaku Sa'd bin Sa'id dari Umar bin Katsir bin Aflah dari Ibnu Safinah dari Ummu Salamah bahwa ia berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

“Tidaklah seorang mukmin tertimpa musibah lalu ia membaca apa yg telah diperintahkan oleh Allah, 'INAA LILLAHI WAINNAA ILAIHI RAAJI'UUN ALLAHUMMA`JURNII FII MUSHIIBATI WA AKHLIF LII KHAIRAN MINHAA (Sesungguhnya kami ialah milik Allah dan mau kembali kepada Allah. Ya Allah, berilah kami pahala sebab mushibah ini dan tukarlah bagiku dgn yg lebih baik ketimbangnya).' melainkan Allah menukar baginya dgn yg lebih baik.”

Ummu Salamah berkata; Ketika Abu Salamah telah meninggal, saya bertanya, “Orang muslim manakan yg lebih baik ketimbang Abu Salamah? Dia ialah orang-orang yg pertama-tama hijrah kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Kemudian akupun mengucapkan doa tersebut. Maka Allah pun menggantikannya bagiku Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.”

Ummu Salamah mengisahkan; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengutus Hatib bin Abu Balta'ah melamarku buat beliau sendiri. Maka saya pun menjawab, “Bagaimana mungkin, aku telah mempunyai seorang anak wanita, dan aku sendiri ialah seorang pencemburu.” Selanjutnya beliau pun menjawab: “Adapun anaknya, maka kita do'akan semoga Allah mencukupkan kebutuhannya, dan aku mendo'akan pula semoga Allah menghilangkan rasa cemburunya itu.” (HR. Muslim)

Hadis di atas menjelaskan bahwa, ketika tertimpa masalah niscaya Allah Swt mau memberinya pahala dalam musibahnya tersebut. Allah Swt juga mau memberi ganti yg lebih baik ketimbang musibah tersebut.

Doa tersebut juga mengajarkan manusia buat berserah diri pada Allah sebab sejatinya semua mau Kembali pada-Nya. Serta yakin dan percaya mau karunia-Nya. Serta berdoa juga mau membimbing hati buat tetap bersabar. Karena dgn bersabar Allah mau memberikan pertolongan dan menyertai setiap Langkah yg mau kita ambil.

Seperti yg tercantum dalam QS. Al-Baqarah ayat 153 yg berbunyi:

يٰۧااَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِۗ إنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ

Artinya: “Wahai orang-orang yg beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dgn sabar dan salat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yg sabar.” (QS. Al-Baqarah ayat 153)

Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentangDoa Ketika Tertimpa Musibah . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.

terima kasih





Mengenal Imam Mazhab (1): Biografi Abu Hanifah & Kisah Kewarakannya

Sebuah fakta yg tak pernah luput dicatat dalam banyak kitab sejarah mazhab, bahwa Imam Abu Hanifah ialah akar pangkal transmisi keilmuan hukum Islam (fiqih). Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i termasuk orang pertama yg mengakui ini, dan hingga sekarang pandangan beliau terhadap Abu Hanifah masih sangat terang.

 

Adalah Syekh Muhammad Abu Zahrah (1898-1974 M) termasuk yg mengabadikan pengakuan as-Syafi’i tersebut. Dalam karyanya Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (juz 2, hal. 131) ia menulis:

 

فهو الذي قال فيه الشافعي رضي الله عنه: الناس في الفقه عيال على أبي حنيفة

 

Artinya, “Suatu ketika, as-Syafi’i pernah memuji Abu Hanifah. Ia berkata, ‘Transmisi keilmuan umat Islam dalam bidang fiqih berinduk kepada Abu Hanifah’.”

 

Fakta ini nyaris mustahil absen dari memori para santri dan kiai. Ini menjadi bukti bahwa pendiri mazhab Hanafi yg dikenal sebagai pimpinan kaum rasionalis (ahlu ar-ro’yi) itu bukan orang sembarangan. Ia tentu lahir dari keluarga yg tak biasa di hadapan Allah, dan pasti pernah mengukir jejak perjuangan yg tak remeh. Sehingga, Allah terangi keluarga itu sepanjang masa, mengabadikannya dalam sejarah peradaban Islam dunia.

 

Biografi Singkat Abu Hanifah

Abu Hanifah, yg bernama asli Nu’man bin Tsabit bin Zutha ialah seorang ulama besar pendiri mazhab Hanafi. Ia termasuk imam mazhab kawakan di antara tiga mazhab muktabar lainnya (mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan Hanbali). Lahir di kota Kufah, Irak pada tahun 80 H bertepatan dgn tahun 699 M, dan wafat di Baghdad pada 150 H atau tahun 767 M.

 

Mengutip Muhammad Ali as-Sayyis dalam Tarikh al-Fiqih al-Islami (hal. 104), bahwa sang promotor golongan rasionalis ini, namanya masuk dalam daftar atba’ at-tabi’in (pengikut para tabiin), generasi ketiga setelah Nabi. Sebab, kabarnya ia hanya sempat semasa—walaupun tak lama—dgn empat orang sahabat; Anas bin Malik yg tinggal di Bashrah, Abdullah bin Abi Aufa di Kufah, Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi di Madinah, dan sahabat Abu Thufail Amir bin Watsilah di Makkah. Tapi sayg, tak satu pun pernah ditemuinya.

 

Sedangkan, dalam riwayat lain-kendati tergolong lemah-Abu Hanifah masuk dalam daftar tabiin, santrinya para sahabat Nabi. Karena menurut riwayat ini, ia pernah bertemu dgn sahabat Anas bin Malik, dan meriwayatkan satu hadist tentang kewajiban menuntut ilmu darinya. Ditambah lagi, pada tahun 96 H, Nu’man remaja pernah dibawa ayahnya menunaikan ibadah haji. Saat di Masjidilharam, ia sempat bertemu dgn seorang sahabat bernama Abdullah bin al-Harst bin Juzu’ az-Zabidi, dan berhasil meriwayatkan satu hadist lagi.

 

Tanah Kufah menjadi tempat tinggal terlama bagi Abu Hanifah. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di sana. Sebelum masuk ke dunia santri, putra Nu’man ini ialah seorang wiraswasta. Hari-harinya selalu di pasar, membantu sang ayah berjualan sutra. Saat di rumah, ia sibuk memikirkan bagaimana memproduksi kain-kain sutra pilihan. Karena itu, wajar dirinya dikenal sebagai ulama entrepreneur.

 

Setelah sekian lama menjadi wiraswasta, bahkan sampai menghabiskan separuh masa mudanya, Abu Hanifah pun akhirnya bertolak dari dunia pasar menuju dunia intelektual atas saran seorang ulama bernama as-Sya’bi. Wajar saja bila dia termasuk satu dari sekian ulama yg telat belajar. Namun, hal itu bukan persoalan besar di mata Abu Hanifah. Berkat ketekunan dan kecerdasan yg dimilikinya, mampu mengalahkan orang-orang yg belajar jauh sebelum dirinya. Terkait kisah lengkap Abu Hanifah tentang perpindahan dunianya dari tongkrongan pasar ke halakah ilmiah, mau dibahas di tulisan berikutnya. Insya Allah.

 

Guru-Guru Abu Hanifah

Setelah memutuskan buat mengikuti saran as-Sya’bi, meninggalkan hiruk pikuk dunia perdagangan dan mencurahkan lebih banyak simpati kepada para ulama, ‘santri baru’ itu telah mulai jarang tampak di pasar. Ia mulai menjauh dari kebisingan di tempat itu. Walaupun, sesekali juga menyempatkan diri menyambangi para pelanggan setia dan teman-temannya di sana. Tapi itu dapat dihitung jari. Dalam sepekan, mungkin sekali atau bahkan tak sama sekali. Kesehariannya sibuk dgn mengaji, menghadiri halakah demi halakah para ulama di Kufah.

 

Di antara para ulama, tempat simpuh Abu Hanifah mengambil hadist ialah imam ‘Atha’ bin Abi Rabah, imam Nafi’ (mantan budaknya Ibnu Umar), imam Qatadah, dan syekh Hammad bin Abi Sulaiman (tempat mulazamah terlama, selama 18 tahun). Dari syekh Hammad ini pula, ia belajar fiqih secara mendalam dgn transmisi keilmuan yg sampai pada Rasulullah. Sebab, gurunya itu merupakan murid dari Ibrahim al-Nakha’i dan al-Sya’bi, yg mana keduanya ialah santri tiga ulama besar; imam al-Qhadli, Alqamah bin Qais dan Masruq bin Ajda’. Mereka semua belajar fikih kepada Abdullah bin Mas’ud dan Imam Ali bin Abi Thalib, gerbang keilmuan baginda Nabi. Keterangan ini ditulis oleh Muhammad Ali as-Sayyis dalam Tarikh al-Fiqih al-Islami (hal. 104).

 

Kisah Warak Abu Hanifah

Suatu ketika, Jubarah bin al-Mughallis bercerita tentang dirinya yg pernah mendengar Qais bin ar-Rabi’ memuji Abu Hanifah. Qais berkata:

 

كان أبو حنيفة ورعا تقيا مفضلا على إخوانه

 

Artinya, “Abu Hanifah ialah seorang amat warak dan benar-benar taat beragama, ia juga gemar menebar kebaikan kepada sesama.”

 

Sebenarnya, ada banyak pengakuan serupa terkait kewarakan imam Nu’man bin Tsabit. Pengakuan itu juga muncul dari orang-orang elit, sekelas imam as-Syafi’i, imam Malik dan seterusnya. Belum lagi pengakuan yg muncul dari para murid dekatnya; orang-orang yg langsung mengaji, satu majelis dgn Abu Hanifah. Seperti imam Abu Yusuf al-Hanafi (wafat 183 H) dan Muhammad bin al-Hasan as-Syaibani (wafat 198 H).

 

 

Di antara kisah kewarakan Abu Hanifah yg ditulis imam al-Hafidh Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman ad-Dzahabi (wafat 748 H) dalam bukunya Manaqib al-Imam Abi Hanifah wa Shahibaihi; Abu Yusuf wa Muhammad bin al-Hasan (hal. 41), yaitu ketika Abu Hanifah menyedekahkan hasil penjualan baju yg dinilainya syubhat. Suatu ketika, ulama yg juga entrepreneur itu menyuruh salah seorang partner bisnisnya yg bernama Hafsh buat menjual baju komoditas miliknya. Tapi sayg, barang yg hendak dijual itu tak utuh, terdapat cacat pada bagian baju tersebut. Karena itu, Abu Hanifah berpesan:

 

إنّ في ثوب كذا عيبا فإذا بعته فَبَيِّن

 

Artinya, “Di baju ini terdapat cacat, kalau ada yg mau membelinya, beritahulah dahulu di mana bagian cacatnya.”

 

Namun sialnya, Hafsh ini malah lupa pesan Abu Hanifah. Ia langsung menjual baju itu tanpa menunjukkan celanya. Sedangkan, buat menemukan si pembeli tadi telah tak mungkin. Baygkan saja, di tengah pasar yg sangat ramai, dipadati orang-orang tak dikenal datang dari segala penjuru. Mengetahui hal itu, Abu Hanifah langsung menyedekahkan uang hasil penjualan baju tersebut. Kerennya, ia tak marah atas keteledoran itu. Jangankan sampai marah, komentar pun tidak. Malahan, Abu Hanifah menyikapinya dgn senyum ramah. Sungguh luar biasa, ia mampu meneladani akhlak baginda Nabi.

 

Semoga tulisan ini bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab.

 

Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Situbondo, dan pendiri Komunitas Lingkar Ngaji Lesehan di Lombok.


Membahas tentangBenarkah Meninggal di Hari Jumat Tergolong Husnul Khatimah?

Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentangBenarkah Meninggal di Hari Jumat Tergolong Husnul Khatimah?,

Hari Jumat merupakan salah satu hari yg dianggap istimewa bagi umat muslim. Di mana banyak sekali keutamaan yg terdapat pada hari tersebut. Salah satunya keberkahan yg berlimpah.

Hal ini tak hanya terpaku pada orang yg masih hidup. Karena keberkahan yg pasti mau didapat juga berlaku pada orang yg telah meninggal dunia pada hari itu.

Meskipun pada dasarnya kematian tak dapat diprediksi, dan kematian merupakan salah satu misteri yg dirahasiakan oleh Allah Swt.D

Di dalam agama Islam, terdapat beberapa tanda seorang muslim meninggal dunia dalam keadaan husnul khatimah, di antaranya yaitu wafat ketika hari atau malam Jumat.

Keutamaan wafat di hari Jumat ditegaskan oleh beberapa hadis Nabi, di antaranya hadis riwayat Imam al-Tirmidzi:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ وَأَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ سَعِيدِ بْن أَبِي هِلَالٍ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ سَيْفٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلَّا وَقَاهُ اللَّهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ

قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ قَالَ وَهَذَا حَدِيثٌ لَيْسَ إِسْنَادُهُ بِمُتَّصِلٍ رَبِيعَةُ بْنُ سَيْفٍ إِنَّمَا يَرْوِي عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَلَا نَعْرِفُ لِرَبِيعَةَ بْنِ سَيْفٍ سَمَاعًا مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو 

Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi dan Abu ‘Amir Al ‘Aqadi berkata; telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Sa’id dari Sa’id bin Abu Hilal dari Rabi’ah bin Saif dari Abdullah bin ‘Amr berkata;

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seorang muslim meninggal pada hari Jum’at atau malam Jum’at, kecuali Allah mau menjaganya dari fitnah kubur.”

Abu Isa berkata; “Ini merupakan hadis gharib.” (Abu Isa At Tirmidzi) berkata; “Hadits ini sanadnya tak muttasil. Rabi’ah bin Saif meriwayatkan dari Abu Abdurrahman Al Hubuli dari Abdullah bin ‘Amr dan kami tak mengetahui kalau Rabi’ah bin Saif pernah mendengar Abdullah bin ‘Amr. (HR. al-Tirmidzi)

Hadis al-Tirmidzi ini tergolong gharib, sebab sanadnya tak bersambung, dan tak pernah diketahui bahwa Rabi`ah mendengar dari Ibnu Amr. Tetapi menurut al-Thabrani menyatakan hadist tersebut muttashil.

Al-Thabrani meriwayatkannya dari Rabi’ah bin ‘Iyadl dari ‘Uqbah dari Ibnu Amr bin Ash, demikian pula diriwayatkan oleh Abu Ya’la, al-Hakim al-Tirmidzi dgn status muttashil, Abu Nu’aim juga meriwayatkannya dari Jabir dgn status Muttashil.

Meski bersambung sanadnya, menurut al-Hafizh al-Mundziri, hadits tersebut tergolong dla’if (Syekh Abdurrauf al-Manawi, Faidl al-Qadir, juz 5, hal. 637).

Meskipun hadis tersebut tak tergolong hadis shahih, tetapi tetap dapat digunakan sebab berkaitan dgn keutamaan amaliyyah (fadlail al-a’mal).

 

Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentangBenarkah Meninggal di Hari Jumat Tergolong Husnul Khatimah? . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.

terima kasih





Membahas tentangDoa Ketika Masuk Pasar

Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentangDoa Ketika Masuk Pasar,

Pasar merupakan tempat akad jual beli. Tempat terjadinya pertukaran uang dgn barang atau jasa antara penjual dan pembeli. Di sisi lain, pasar juga merupakan tempat yg paling dibenci Allah Swt. Mengapa demikian?

Karena, pasar menjadi tempat setan menggoda manusia buat berbuat kecurangan. Seperti, melakukan penipuan, berbohong, mengurangi takaran timbangan, dan lain sebagainya.

Selaras apa yg disebutkan dalam hadis riwayat Muslim, Ahmad, dan Hakim, yakni sebagai berikut:

“Tempat yg paling disukai Allah ialah masjid-masjidnya, sedangkan tempat yg paling dibenci Allah ialah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim, Ahmad, dan Hakim)

Namun, ketika mendesak harus pergi ke pasar, ada doa buat menghindarinya supaya senantiasa terlindungi dari segala kecurangan dan kerugian yg terjadi di pasar. 

Berikut merangkum doa yg hendak dibaca ketika masuk pasar.

Diriwayatkan dalam kitab Tirmidzi dan lainnya dari Umar bin Khattab Radiyallahu anhu (RA), Rasul ﷺ bersabda: 

“Barang siapa masuk pasar, maka hendaknya membaca: Laailaaha illallahu wahdahu laa syariikalah, lahul mulku walahul hamdu yuhyii wa yumiitu wa huwa hayyun laa yamuut, bi yadihil khairu wa huwa ‘alaa kulli syain qadiir.”

Artinya:
“Tidak ada Tuhan yg berhak di sembah kecuali Allah, Yang tak ada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala puji. Dia yg menghidupkan dan mematikan (makhluk) dan Dia maha hidup lagi tak mau mati. Atas kekuasaan-Nya segala kebaikan dan Dia atas segala sesuatu Maha kuasa.”

Ujar Rasul ﷺ dalam hadis yg diriwayatkan oleh Imam Hakim dalam kitab al-Mustadrak ‘alaa Sahihain menyebutkan, “Maka Allah mau menetapkan baginya berjuta-juta kebaikan, mau menghapuskan berjuta-juta kesalahan dan mau mengangkat berjuta-juta derajatnya.”

Bahkan, dari jalur perawi yg banyak, pada sebagian jalur perawi ditambahkan: “Dan dia mau dibangunkan istana di surga”.

Selanjutnya, dari Buraidah Radiyallahu Anhu (RA), bahwa ia mengatakan, bila Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam (SAW) mau memasuki pasar beliau membaca:

“Bismillaahi Allaahumma innii as-aluka khaira haadzihis suuqi wa khaira maa fiiha, wa a’uudzzubika min syarriha wa syarii aa fiiha, Allaahumma innii a’uudzubika an ushiiba fiihaa yamiinan faajiratan shafqatan khaasiratan.”

Artinya:
“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah aku memohon kepada-Mu kebaikan dari pasar ini dan kebaikan apa yg ada di dalamnya, dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan apa yg ada di dalamnya, ya Allah sungguh aku berlindung kepada-Mu dari sumpah palsu dan hasil yg merugikan.”

Sumber: Disarikan dari keterangan dalam Al-Adzkar an-Nawawiyah karya al-Imam Abi Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi

Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentangDoa Ketika Masuk Pasar . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.

terima kasih