Membahas tentang Fiqih Industri & Ruang Lingkup Kajiannya

Industri seringkali dimaknai sebagai sebuah kegiatan ekonomi buat menghasilkan produk berupa barang (ain) atau jasa (manfaat) yg bernilai lebih tinggi dibanding bahan bakunya.

 

Sebagai bagian dari kegiatan ekonomi maka rukun industri pada dasarnya ada 5, yaitu:

 

  1. Adanya aktivitas pengolahan bahan baku menjadi barang jadi atau barang setengah jadi sehingga harganya lebih mahal dibanding aslinya
  2. Adanya pihak karyawan yg bekerja (‘ummal) sesuai dgn standar operating procedure (SOP) yg telah ditetapkan oleh pemilik modal (rabbu al-maal)
  3. Adanya modal yg disertakan oleh pemiilik modal, baik berupa bahan baku industri atau bahkan lokasi industri itu sendiri
  4. Adanya hasil berupa produk industri yg terdiri dari barang atau jasa.
  5. Adanya sistem bagi hasil (mudharabah) atau sistem pengupahan (ijarah), prestasi (ju’alah), dan sejenisnya.

 

Saat diksi industri ini dilekatkan dgn diksi fiqih, maka ada pengertian baru yg muncul di sana. Apa itu?

 

Sebagaimana kita ketahui, bahwa fiqih ialah sebuah ilmu yg berbicara mengenai hukum-hukum syara’ (al-ilmu bil ahkami al-syar’iyyah) yg digali lewat dalil-dalil tafshily (rinci) dgn mekanisme ijtihad.

 

Berangkat dari penggabungan dua diksi itu maka yg dimaksud sebagai fiqih industri, telah barang tentu memiliki wilayah cakupan ruang kajian yg terdiri dari hukum-hukum syara’ dgn objek hukumnya (mahkum bih) terdiri dari aktivitas perindustrian. Alhasil, kelima rukun industri di atas, secara tak langsung menjadi objek garapan pembahasannya.

 

Berangkat dari sini, maka pertanyaan yg seyogianya harus ditelaah dan dikupas berkaitan dgn fiqih industri ialah meliputii hal-hal yg secara tertib urutannya sebagai berikut:

  1. Apakah proses pengolahan bahan baku menjadi barang jadi telah memenuhi standar pengolahan sesuai syara’?
  2. Apakah relasi karyaawan dan pemodal telah memenuhi standar akad yg telah dilegalkan oleh syara’?
  3. Apakah tujuan dasar dari kegiatan industri ini merupakan yg legal dan dibenarkan oleh syara’?
  4. Apakah produk yg dihasilkan oleh industri itu telah memenuhi standar produk sesuai syara’?
  5. Apakah sistem bagi hasil dari industri ini telah sesuai dgn ikatan / relasi akad yg dibangun?

 

Kemampuan menelaah dan melakukan perincian terhadap kelima pertanyaan ini, secara tak langsung menjadi tugas utama guna menghadirkan fiqih produksi ke hadapan masyarakat umum secara luas, sehingga menjadi tepat sasaran dan tepat guna.

 

Namun, sebab ruang lingkup kajiannya ialah bab fiqih namun dgn background utama ialah dunia industri, maka alangkah lebih baik apabila susunan pengkajian menyesuaikan dgn tertib urutan fiqih muamalah yg selama ini telah kita kaji bersama. Apa saja?

 

Pertama, shighah akad yg memungkinkan berlaku dan terjadi dalam dunia industri antara sesama para investor, antara investor dgn karyawan produksi, antara investor dgn mitra lainnya, seperti toko retail, dan sejenisnya

 

Kedua, muta’aqidain (dua pihak yg berakad). Objek yg menjadi kajian telah pasti berkaitan dgn sah tidaknya kedua pelaku sebagai ahli tasharruf (pengelola) harta. Apabila akadnya berbasis kemitraan, maka objek yg dikajii ialah sah atau tidaknya kedua pihak yg berakad tersebut sah berlaku sebagai syarik, sebagai ‘amil qiradl, sebagai mudharib atau bahkan ‘amil murabahah.

 

Ketiga, objek kegiatan industri. Yang dikaji dalam wilayah ini telah pasti berkaitan dgn jenis-jenis kegiatan produksinya. Misalnya, industri itu bergerak di bidang perdagangan, ekspor impor, atau kegiatan produksi khamr, obat-obatan, racun serangga, kosmetik, dan lain sebagainya. Wilayah-wilayah pendistribusian, dan sumber pengambilan bahan mentah yg diwujudkan buat dijual, merupakan bagian dari objek garapan jenis kegiatan industri tersebut.

 

Keempat, produk industri itu sendiri. Misalnya Grab atau Gojek, maka produk yg dijanbilan ialah jasa transportasi. Jikalau produk itu berupa barang, apakah barangnya telah masuk kategori barang yg sah diperjualbelikan atau tidak.

 

Kelima, ialah sistem bagi hasil deviden, sistem pemberian kompensasi ganti rugi kerusakan terhadap lingkungan, sosial dan etika, yg secara tak langsung merupakan imbas terjadinya akad.

 

Demikianlah sekadar pengantar buat masuk dalam ruang yg lebih jauh guna membahas fiqih industri tersebut. Insyaallah, kita mau gali sedikit demi sedikit terkait dgn hal-hal yg telah penulis sebutkan di atas tadi.

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.