Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentang Bacaan yg Dapat Dibaca Ketika Mendengar Suara Azan,
– Doa merupakan senjata umat muslim supaya harapannya dikabulkan Allah Swt. Namun, ada waktu-waktu tertentu supaya doa tersebut dikabulkan. Berdoa ketika mendengar suara azan misalnya.
Sebagaimana janji Allah Swt yg tertera dalam Al-Quran surah Ghafir ayat 60.
Artinya:“Berdoalah kepada-Ku, Aku mau kabulkan doa kalian. Sungguh orang-orang yg menyombongkan diri sebab enggan beribadah kepada-Ku, mau dimasukkan dalam neraka jahannam dalam keadaan hina dina.”(QS. Ghafir: 60)
Umat muslim disunahkan ketika mendengar suara azan berzikir dgn mengucapkan lafal yg dibacakan muazin, kecuali pada lafal Hayya ‘alal falaah, dianjurkan orang yg mendengarnya disunahkan mengucapkan:
“La haula wa laa quwwata illaa billaah.”
Artinya:“Tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali dgn kehendak Allah.”
Sedangkan, dalam kitab Ibnu Sunni dari Mu’awiyah Radiyallahu anha (RA), ia berkata:
“Jika Rasulullah ﷺ mendengar suara azan mengucapkan Hayya ‘alal falah, beliau membaca:
“Allaahummaj ‘alnaa minal muflihiin.”
Artinya:“Ya Allah, semoga Engkau jadikan kami termasuk orang-orang yg beruntung.”
Kemudian pada kalimat Ash-shalaatu khairum minan nawm, disunahkan bagi orang yg mendengarnya membaca:
“Shadaqta wa bararta.”
Artinya:“Engkau telah berkata dan telah berbuat baik.”
Namun, ada juga pendapat yg mengatakan dgn mengucapkan: Shadaqa rasulullaah, ada nada pula yg mengatakan Ash-shalatu khairum minan nawm.
Selanjutnya, ketika mendengar lafal, Asyhadu anna muhammadar rasuulullah, disunahkan mengucapkan:
“Wa anaa asyhadu anna muhammadar rasuulullah, radliitu billahi rabbaa, wa bi muhammadin shallallaahu ‘alaihi wa sallama rasuulan, wa bil islaami diinaa.”
Artinya:“Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad ialah utusan Allah, aku rida Allah sebagai Tuhanku, Nabi Muhammad ﷺ, sebagai nabiku dan agama Islam sebagai agamaku.”
Setelah selesai menjawab kalimat azan, dianjurkan membaca bacaan salawat nabi, kemudian membaca doa:
Artinya:“Ya Allah, Tuhan dari seruan yg sempurna, Tuhan dari salat yg didirikan ini, limpahkanlah kepada Nabi Muhammad kedudukan yg tinggi dan karunia, dan bangkitkanlah dia pada tempat-tempat terpuji sebagaimana yg Engkau janbilan.”
Adapun ketika mendengar lafal ikamah disunahkan mengucapkan: “Aqaamahallahu wa adaamahaa.”
Artinya:“Semoga Allah menegarkan dan selalu melanggengkannya.”
Usai membaca doa di atas, maka dianjurkan buat membaca doa-doa yg dimaukan.
Beberapa hal anjuran di atas tentu saja berdasarkan riwayat Abu Sa’id al-Khudry Radiyallahu anhu (RA), ia berkata bahwa Rasul ﷺ pernah bersabda: “Jika kalian mendengar azan, maka ucapkanlah sebagaimana perkataan muazin.”(HR. Bukhari Muslim)
Begitu pun dalam riwayat Umar bin Khattab Radiyallahu ahu (RA), berkata bahwa Rasul ﷺ bersabda:
“Jika kalian mendengar suara muazin, maka ucapkanlah seperti yg diucapkannya, kemudian bacalah salawat kepadaku, sebab seorang yg membaca salawat kepadaku sekali, maka Allah mau membalasnya sepuluh kebaikan, kemudian memohonlah kepada Allah supaya aku dianugerahi kedudukan yg tinggi, yaitu surga yg tak mau dicapai kecuali oleh orang-orang yg sungguh-sungguh dalam beribadah, dan aku berharap supaya aku memperolehnya, barang siapa yg memohonkan aku demikian, maka dia mau mendapat syafaatku.”(HR. Imam Muslim)
Sementara, dari Umar bin Khattab Radiyallahu anhu (RA), bahwa ia bersabda:
“Jika muazin mengucapkan kalimat Allahu akbar Allahu akbar, maka seseorang dari kalian mengucapkan, Allahu akbar Allahu akbar, maka kemudian bila dia mengucapkan Asyhadu an laa ilaaha illallaah, maka mengucapkan Asyhadu an laa ilaaha illallaah, bila dia mengucapkan Asyhadu anna muhammadar rasulullah, maka mengucapkan Asyhadu anna muhammadar rasulullah, bila dia mengucapkan Hayya ‘alash shalah, maka mengucapkan Laa hawla wa laa quwwata illa billaah, bila dia mengucapkan Hayya ‘alal falah, maka mengucapkan Laa hawla walaa quwwata illaa billaah, kemudian bila dia mengucapkan Allahu akbar Allahu akbar, maka mengucapkan Allaahu akbar allaahu akbar, kemudian bila dia mengucapkan Laa ilaha illallaah, maka mengucapkan Laa ilaha illallaah dari dalam lubuk hatinya, maka dia mau masuk surga.”(HR.Imam Muslim).
Sumber: Disarikan dari keterangan dalam Al-Adzkar an-Nawawiyah karya al-Imam Abi Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawaw
Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentang Bacaan yg Dapat Dibaca Ketika Mendengar Suara Azan . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.
Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentang Jangan Lakukan empat Hal Ini Ketika Salat,
Salat ialah salah satu jenis ibadah bagi para pemeluk agama Islam yg berbentuk perkataan dan perbuatan dgn diawali oleh gerakan takbir dan diakhiri gerakan salam.
Salat tak hanya menjadi amalan utama di akhirat kelak, tetapi gerakan-gerakan salat paling proporsional bagi anatomi tubuh manusia. Bahkan dari sudut medis, salat ialah gudang obat dari berbagai jenis penyakit.
Tetapi tak semua gerakan yg terlahir ketika salat menjadi pengobatan. Bahkan bila gerakan ini dilakukan, maka dapat membatalkan salat seseorang.
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami 'Ubaidullah bin Sa'id dan Syu'aib bin Yusuf dari Yahya bin Sa'id Al Qaththan dari Ibnu Abu 'Arubah dari Qatadah dari Anas bin Malik bahwasanya Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:
“Kenapa orang-orang mengangkat pandangan ke langit ketika salat?” Suara beliau meninggi ketika mengucapkan hal itu, hingga beliau berkata, “Berhentilah dari hal itu, atau pandangan mereka mau hilang.(HR. an-Nasa`i)
Berdasarkan hadis tersebut, diketahui bahwa dampak dari hal sepele yg berakibat fatal bila dilakukan. Oleh sebab itu, alangkah lebih baiknya kita hindari hal tersebut ketika salat supaya salat kita lebih khusuk.
2. Meludah
Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadis Riwayat Bukhari:
Artinya:Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair berkata, telah telah menceritakan kepada kami Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab dari Humaid bin 'Abdurrahman bahwa Abu Hurairah dan Abu Sa'id keduanya mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah melihat ludah pada dinding masjid, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengambil batu kerikil dan menggosoknya.
Kemudian beliau bersabda: “Jika salah seorang dari kalian meludah janganlah ia meludah ke arah kiblat atau ke sebelah kanannya, tapi hendaklah ia lakukan ke arah kiri atau di bawah kaki kirinya.(HR. Bukhari)
Hadis ini terdapat dalam bab yg melarang meludah ketika salat, apalagi mengarahkannya ke kiblat atau ke sebelah kanan. Jika tak tertahankan dapat meludah ke kiri atau bawah kaki kirinya. Namun, alangkah lebih baiknya menyelesaikan salat terlebih dahulu.
Artinya:“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajari kami supaya tak mendahului imam ketika ruku' dan sujud, bila ia bertakbir maka bertakbirlah, bila ia sujud maka bersujudlah, bila ia mengucapkan; WALADL DLAALLIIN (dan bukan -pula jalan- orang-orang yg sesat) maka ucapkanlah: AAMIIN (semoga Allah mengabulkan), sebab sesungguhnya bila ucapan itu berbarengan dgn ucapan malaikat mau diampuni orang yg ada di masjid.
Dan bila ia mengucapkan: SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH (semoga Allah mendengar pujian orang yg memuji-Nya) maka ucapkanlah: RABBANA LAKAL HAMDU (Ya Rabb, bagi-Mu segala pujian).”
4. Menguap
Menguap ialah salah satu tanda di mana seseorang sedang dihampiri setan. Seperti sabda Rasulullah ﷺ:
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hujr berkata; telah mengabarkan kepada kami Isma'il bin Ja'far dari Al 'Ala` bin Abdurrahman dari Ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Menguap dalam salat ialah dari setan, bila salah seorang dari kalian menguap maka handaklah ia menahan semampunya.” Ia berkata;
“Dalam bab ini juga ada riwayat dari Abu Sa'id Al Khudri dan kakeknya Adi bin Tsabit.” Abu Isa berkata; “Hadits Abu Hurairah ini derajatnya hasan shahih. Sebagian ahli ilmu memakruhkan menguap dalam salat. Ibrahim berkata: “Sungguh, aku menahan rasa mau menguap dgn berdehem. (HR. Tirmidzi)
Dalam hadis ini menguap dalam salat ialah makruh menurut sebagian ahli. Akan tetapi hadis ini juga menegaskan bahwa menguap dalam salat ialah ulah dari setan. Maka, hendaklah menahan semampunya.
Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentang Jangan Lakukan empat Hal Ini Ketika Salat . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.
Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentang Ayat Paling Agung, Inilah tiga Keutamaan Ayat Kursi,
– Ayat kursi merupakan salah satu ayat dalam surah Al Baqarah ke 255, dan ayat ini mengandung banyak sekali makna yg menygkut keimanan dan menjadi ayat yg paling Agung dalam Al-Quran.
Dalam suatu riwayat,Rasulullah ﷺ bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang ayat yg paling utama dalam Al-Quran, “Ayat apa yg paling utama di dalam Al-Quran?” Kemudian Ubay bin Kai menjawab, “Ayat paling utama dalam kitabullah ialah Ayat Kursi.” Dan Rasulullah ﷺ menepuk dada Ubay dgn pelan sambil berkata, “Wahai Abu Mundzir semoga engkau selalu bahagia dgn ilmu yg engkau miliki.” (HR Muslim).
“Allah, tak ada tuhan selain Dia. Yang Maha Hidup, Yang terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tak mengantuk dan tak tidur. Milik-Nya apa yg ada di langit dan apa yg ada di bumi. Tidak ada yg dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yg di hadapan mereka dan apa yg di belakang mereka, dan mereka tak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya melainkan apa yg Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Maha Tinggi, Maha Besar.”
Melansir dari berbagi sumber, mau memaparkan beberapa keutamaan dari ayat kursi:
1. Masuk surga
Mengamalkan ayat kursi setiap hari dan terutama setelah salat mau memberikan manfaat kepada kita kelak di hari akhir. Dalam sebuah riwayat dari Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa membaca ayat kursi di akhir setiap salat, maka tak yg menghalanginya buat masuk surga kecuali kematian”.(HR. an-Nasa’i dalam ‘Amalul Yaum Wal Lailah, no. 100)
2. Terlindung dari setan
Ayat kursi menjadi salah satu bacaan dzikir yg paling dianjurkan sebelum tidur supaya selama tertidur kita selalu dalam lindungan Allah dan dijauhi dari perbuatan setan terkutuk. Dalam salah satu hadis, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila engkau mendatangi tempat tidur (di malam hari), bacalah Ayat Kursi, niscaya Allah mau senantiasa menjagamu dan setan tak mau mendekatimu hingga waktu pagi”(HR. Al-Bukhari).
3. Membawa keberkahan
Dengan selalu mengamalkan ayat kursi setiap hari, maka datanglah manfaat berupa keberkahan dalam hidup dan dijauhkan dari kesulitan. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Ayat kursi merupakan ayat yg diberkahi, tak ada yg membukakan kesulitan, menyingkirkan bencana dan menghilangkan kesedihan lebih cepat ketimbang ayat kursi.” (HR. Imam Abu hamid Bin Muhammad Al-Ghazali).
Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentang Ayat Paling Agung, Inilah tiga Keutamaan Ayat Kursi . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.
Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat mengmaukan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayg terhadap orang-orang mukmin. (QS at-Taubah : 128)
Dikisahkan, ketika salah seorang sahabat beliau wafat, beliau bertanya kepada orang-orang di pemakaman apakah almarhum memilik utang? Nabi membacakan ayat di atas dan mengumumkan, siapa pun yg telah memberi pinjaman kepada almarhum supaya datang menemui beliau buat pelunasan utangnya.
Rasulullah saw sebagai sosok kebanggaan umat manusia ini selalu menghargai setiap orang. Dalam berbuat baik kepada orang lain, beliau tak memandang agama yg dianut oleh manusia.
Dikisahkan dalam sebuah riwayat bahwa setiap kali Rasulullah membuka pintu pagi-pagi buat menjalankan shalat Subuh di masjid, telah tertumbuk di ambang pintu rumah beliau kotoran. Nabi mengambil air dan membersihkan tempat itu dahulu, baru dapat meneruskan niatnya buat shalat subuh di masjid.
Keesokan harinya, bukan setumpuk kotoran manusia yg beliau dapatkan di muka pintu, malah dua tumpuk besar. Dan esok harinya, bertambah lagi hingga tingga gundukan besar. Demikianlah selanjutnya. (baca Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, 2007)
Namun Nabi tak mengeluh. Dengan sabar beliau bersihkan sendiri tempat bernajis itu tiap hari, sampai akhirnya orang jahat yg melakukan perbuatan keji itu merasa bosan sendiri dan menghentikan tindakannya menumpuk kotoran di depan pintu rumah Nabi Muhammad.
Begitulah teladan Rasulullah dalam menghadapi orang-orang yg jahat dan mau mencelakakannya. Beliau membalasnya dgn kebaikan. Air tuba dibalas air susu. Dan ini membuat musuh-musuhnya malu, insyaf, lalu meminta maaf, bahkan ada pula yg menerima risalah Rasulullah. Kecuali, tentu saja, Abu Jahal, sebab gembong kaum musyrikin ini, meski mengetahui kebenaran risalah Rasulullah, hatinya telah tertutup oleh kesombongannya.
Itulah teladan yg ditunjukkan oleh junjungan kita nabi besar Muhammad dalam membalas kejahatan orang lain yg ditimpakan kepada beliau. Kesabaran dan kasih sayg beliau justru kerap kali melunakkan hati para musuhnya.
Nabi Muhammad ialah manusia kasih sayg. Beliau sering kita sebut dalam dzikir-dzikir kita dgn sebutan: Habibullah. Alias kekasih Allah. Yang memiliki arti dia mencintai dan dicintai Allah. Para sufi seperti Imam Rabbani, Maulana Khalid dan Syah Waliyyullah Addahlawi mengatakan bahwa cinta ialah peringkat yg tertinggi.
Satu peristiwa lain yg berhubungan dgn cinta, belas kasih dan toleransi beliau yg luas kepada umat manusia terjadi selama Penaklukan kota Makkah (Fatkhu Makkah). Setelah penaklukan selesai, semua orang berkumpul di sekitar Nabi Muhammad dan menatap mata beliau, mereka mulai menunggu beliau membuat keputusan mengenai nasib mereka.
Sampai di saat-saat terakhir, sebuah kelompok kecil, yg di antaranya ialah anak Abu Jahal, Ikrimah, telah menghadang orang-orang muslim buat memasuki Makkah. Sekali lagi, rasa kekerasan dan dendam mereka meradang. Pada ketika kondisi dan suasana yg begitu tegang ini, Rasulullah saw bertanya kepada orang-orang Makkah yg menunggu dgn antisipasi dan kecemasan, “Apa yg dapat aku lakukan buat kalian?” tanya beliau.
Beberapa orang Makkah yg tahu benar betapa mulia, pemaaf dan kemurahan hati beliau, tak kuasa menahan diri dan menunjukkan perasaan dan berkata, “Engkau ialah orang yg paling murah hati dan paling mulia.” Tujuan Nabi Muhammad saw ialah bukan harta maupun kekayaan, bukan juga soal kekuasaan, bukan juga penaklukan. Tujuan beliau ialah buat menyelamatkan umat manusia.
Dalam hukum positif, badan hukum diakui sebagai sebagai subjek hukum, selain manusia. Sebagaimana penjelasan ini disampaikan oleh Prof. Wirjono Prodjodikoro dan dikutip oleh P.N.H. Simanjuntak di dalam buku Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia(2009: 28-29). Menurutnya, badan hukum ialah suatu badan yg di samping manusia perorangan juga dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yg mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.
Penjelasan yg kurang lebih sama juga disampaikan oleh Profesor Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. Menurutnya, badan hukum ialah kumpulan dari orang-orang yg bersama-sama mendirikan suatu badan (perhimpunan) dan kumpulan harta kekayaan, yg ditersendirikan buat tujuan tertentu (yayasan).
Ada beberapa teori yg dijadikan landasan mengapa badan hukum itu dapat diberlakukan sebagai subjek hukum dalam ranah hukum positif. Dari semua teori itu, ada konsekuensi logis yg tak dapat dihindari. Apa saja konsekuensinya? Simak ulasan berikut ini!
Teori ini menyatakan bahwa subjek hukum yg sebenarnya ialah manusia. Sementara badan hukum ialah bukan manusia sehingga ada beberapa karakteristik manusia yg tak dimiliki oleh badan hukum. Badan hukum dijadikan subjek hukum sebab alasan penyerupaan atau pengandaian semata. Inilah inti dasar dari teori fiksi tersebut. Para sarjana muslim menyebutnya sebagai syakhshiyah i’tibariyah.
Adapun kelemahan dari teori fiksi (syakhshiyah i’tibariyah) ini ialah:
Teori ini tak mampu menjawab mengenai siapa yg wajib memenuhi gugatan hukum apabila ada pihak penggugat mengajukan gugatan atas badan hukum tersebut, baik secara pidana maupun perdata.
Teori ini juga tak mampu menjawab mengenai siapa yg wajib mengajukan gugatan atas pihak yg dinilai merugikan badan hukum.
2. Teori Organ
Menurut Otto von Gierke, badan hukum merupakan sebuah entitas sejati yg dapat melakukan pergaulan (muamalah) dalam tataran hukum guna mewujudkan kehendaknya melalui instrumen organ yg dimilikinya (pengurus).
Berbekal teori ini, apabila terjadi kasus merugikan pihak lain, maka organ (divisi bidang) yg melakukan tindak kerugian itulah yg dipandang bertanggungjawab melakukan ganti rugi. Oleh sebabnya, ia berhak dibubarkan dan pihak yg berada di divisinya siap buat dipecat atau dimutasikan.
Sebaliknya, apabila terjadi kasus yg merugikan divisi/organ tersebut, maka organ/divisi ini berhak buat melakukan penuntutan sehingga berlaku sebagai subjek hukum.
Alhasil, menurut teori ini, sebuah badan hukum dipandang sebagai wilayah/kekuasaan. Adapun pihak yg bertugas mengurusi wilayah/kekuasaan merupakan pihak yg bertindak sebagai penanggung jawab yg sebenarnya (subjek hukum) dari divisi yg diembannya, sehingga tak sebagaimana teori fiksi (syakhshiyah i’tibariyah) di atas.
3. Teori Kekayaan Tujuan
Menurut teori satu ini, berdirinya badan hukum tak dipandang sebagai akibat akumulasi hak pemegangnya. Badan hukum dipandang sebagai ada, sebab adanya tujuan bersama yg hendak dicapai. Tujuan bersama ini selanjutnya disebut sebagai hak. Oleh sebabnya, yg bertindak selaku subjek hukum di sini bukan atas nama perseorangan, melainkan kehendak bersama.
Jadi, berdasarkan teori ini, apabila terjadi kasus merugikan pihak lain, maka yg bertanggung jawab dalam menanggung kerugian ialah badan hukum itu sendiri yg cenderung bersifat temporal. Apabila badan hukum itu membubarkan diri setelah tercapai maksud dan tujuannya maka tak ada yg dapat dituntut buat mempertanggungjjawabkan kerugian tersebut.
Di Indonesia, badan hukum ini umumnya mewujud dalam bentuk aliansi-aliansi atau sebuah serikat tak bertuan. Mereka berkumpul sebab didorong oleh kepentingan bersama. Setelah suara kepentingan itu disampaikan, mereka kemudian membubarkan diri. Kasus-kasus penggalangan masa buat melakukan demonstrasi, ialah contoh termudah. Serikat semacam ini terbukti menyulitkan aparat penegak hukum buat melakukan penuntutan kasus kerugian yg ditimbulkan. Misalnya, kasus demonstrasi massa yg menyebabkan kerusakan fasilitas umum beberapa waktu yg lalu. Aparat penegak hukum hanya dapat mencari dalang di balik kerusuhan (provokator) tanpa dapat menuntut seluruh individu yg terlibat dalam aliansi tersebut guna mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Di Indonesia, sulitnya melakukan penuntutan ini sebenarnya juga berangkat dari dasar batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yg mengakui hak berserikat dan berkumpul masyarakat tersebut. Akibatnya, dalam setiap aksi demonstrasi, mau selalu muncul aliansi-aliansi yg mengatasnamakan persatuan hak dan kepentingan. Wallahu a’lam bish shawab.
Ustadz Muhammad Syamsudin, peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Berdasarkan hasil laporan sejumlah pelaku peternakan di lapangan, biaya produksi unggas di Indonesia terbilang mahal. Akibatnya, penjualan produk hasil peternakan juga mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu. Itu pun masih dibaygi informasi kerugian dari peternak perunggasan.
Masyarakat sendiri selaku konsumen, juga telah ada yg mengeluhkan harga produk ayam di pasaran terbilang mahal. Sudah pasti, mahalnya produk tersebut berbanding lurus dgn ongkos produksinya.
Pemerintah, lewat Kementerian Peternakan (Kementan), pernah menyampaikan bahwa mau ada produk daging impor dari Brazil ke Indonesia. Namun, belakangan hal itu direvisi lagi, mengingat permasalahan di WTO (World Trade Organization). Para peternak perunggasan juga telah lama menyerukan penolakan tersebut. Namun, kita hari ini tak membahas mengenai permasalahan jadi atau tidaknya impor daging dari Brazil, kita hanya mau mengulas mengenai sisi kehalalan produk daging impor.
Problem Kebijakan Impor Produk Daging
Negara mana yg tak melakukan hubungan bilateral ekspor-impor? Tak ada negara di dunia ini yg tak melakukannya. Bagaimanapun juga, setiap negara pasti memiliki kebijakan strategis buat melakukan ekspor impor. Tidak hanya berupa bahan industri, mau tetapi juga bahan-bahan makanan pun tak luput dari kebijakan ekspor-impor. Jadi, impor-ekspor ialah sebuah keniscayaan, dalam rumah tangga suatu negara.
Delik permasalahannya ialah ketika negara itu dihuni oleh mayoritas Muslim. Sementara, produk yg hendak diimpor ialah berupa produk daging hewan yg status halalnya harus melewati proses penyembelihan. Dilematisnya ialah siapa yg menyembelih hewan tersebut? Bagaimana produk daging itu diolah? Apakah telah memenuhi standar produk syariah? Pertanyaan pamungkas, siapa yg harus melakukan inspeksi ke lokasi pabrik dan memberi tahu sejak awal informasi produk?
Permasalahan ini telah pasti cukup menarik bagi kita semua khususnya masyarakat Muslim Indonesia. Ada beberapa penyebab, yaitu:
Indonesia merupakan negara berpenghuni mayoritas Muslim
Status impor produk ini tak ada sangkut pautnya dgn tingkat kedaruratan. Bahkan, misalnya buat produk daging unggas dan peternakan besar lainnya, stok produk peternakan dalam negeri kita masih terbilang mencukupi.
Kehalalan suatu produk bagi masyarakat Muslim ialah tak hanya berhenti pada jenis binatang yg dikonsumsi, melainkan juga cara penyembelihannya
Negara asal pengimpor daging unggas (sebut misanya: Brasil) ialah dihuni oleh kurang lebih 89% umat katolik dan protestan. 10,5%-nya terdiri dari penganut kepercayaan Spiritisme dan Budhisme. Dan hanya 0,01% terdiri dari penduduk Muslim.
Jika memandang fenomena semacam ini, pertanyaan lanjutannya ialah: halalkah produk daging ayam impor dari Brasil tersebut dikonsumsi oleh masyarakat kita? Ada sebuah catatan menarik yg barangkali kita juga dapat turut menyertakannya, yaitu impor produk daging hasil peternakan seperti Brasil ini, tak hanya dinikmati di Indonesia, melainkan juga negara-negara di wilayah Asia Tengah, bahkan Saudi Arabia dan notabene negeri Muslim lainnya.
Untuk menjawab masalah ini semua, maka dalam hal ini penting bagi kita menyuguhkan beberapa batas-batas kehalalan suatu produk daging impor dari sisi fikihnya.
Batasan Halal-Haram Produk Daging Impor
Ada beberapa ketentuan yg telah tertuang di dalam kutub al-turats mengenai sejumlah batasan produk daging impor. Beberapa batasan tersebut ialah sebagai berikut:
Pertama, Kunci Kehalalan Produk
Di dalam kitab Tuhfatu al-Muhtaj bi Syarhi al-Minhaj, juz 3 halaman 326, disampaikan mengenai kemafhuman halal haramnya sebuah produk daging, sebagai berikut:
وتحرم مذبوحة ملقاة، وقطعة لحم بإناء إلا بمحل يغلب فيه من تحل ذكاته، وإلا إن أخبر من تحل ذبيحته، ولو كافرا بأنه ذبحها
“Haram hukumnya: temuan berupa buangan daging hewan yg disembelih, atau potongan daging hewan yg disembelih dan ditaruh dalam suatu wadah, kecuali di tempat tersebut hidup seseorang yg halal sembelihannya. Paling tidak, bila ada informasi bahwa daging tersebut disembelih oleh orang yg halal sembelihannya, meskipun pemberi informasi itu seorang kafir.”
Berdasarkan ibarat ini, bahwa kunci kehalalan produk sebuah daging itu, dapat ditentukan apabila:
Di wilayah daging itu berasal, hidup pihak-pihak yg halal sembelihannya
Kepastian adanya pihak yg halal sembelihannya ini, cukup hanya berdasarkan informasi. Artinya, bukan tayaqqunan (secara yaqin) melainkan cukup secara dhannan (dugaan).
Kedua, Sumber Informasi yg dapat digunakan buat menyatakan Kehalalan Produk
Syekh Abdurrahman Ba’alawy menyampaikan di dalam kitab Bughyatu al-Mustarsyidin, halaman 37 mengenai sumber informasi yg dapat dijadikan rujukan kehalalan produk, yaitu:
فائدة : لا يقبل خبر الفاسق إلا فيما يرجع لجواب نحو دعوى عليه ، أو فيما ائتمنه الشرع عليه ، كإخبار الفاسقة بانقضاء عدتها ، أو إخباره بأن هذه الشاة مذكاة فيحكم بجواز أكلها ، وكذا بطهارة لحمها تبعاً ، وإن كان لا يقبل خبره في تطهير الثوب وتنجيسه وإن أخبر عن فعل نفسه ، اهـ لكن اعتمد ابن حجر والشيخ زكريا ، قبول قوله طهرت الثوب لا طهر
“Faedah: Khabar orang fasiq tak dapat dijadikan rujukan kecuali dalam beberapa hal, yaitu: buat menjawab dakwaan, atau menjawab informasi yg dibutuhkan terkait dgn perkara syara yg dipercayakan kepadanya, misalnya informasi perempuan fasiq mengenai selesainya masa iddahnya, atau informasi mengenai seekor kambing, bahwa kambing tersebut telah disembelih secara syar’i sehingga boleh dikonsumsi. Hal yg sama berarti juga berlaku atas sucinya daging kambing tersebut, sebab mengikut pada asal. Namun, informasi dari pihak fasiq ini tak dapat diterimabila isinya ialah 1) berkaitan dgn sucinya pakaian atau sebaliknya najisnya pakaian. Atau 2) dia menginformasikan mengenai perbuatan yg telah ia lakukan. Ada catatan bahwa Syekh Ibnu Hajar al-Asyqalany dan Syekh Zakaria al-Anshary menyatakan dapat diterimanya ucapanya orang fasiq dalam hal sucinya pakaian, sebaliknya tak diterima perihal penyuciannya pakaian.
Kandungan yg dapat kita ambil dari ibarat ini bila dikaitkan dgn konteks daging impor ialah:
Butuh adanya pihak yg memberi informasi mengenai cara penyembelihan, pelaku penyembelihan hewan yg halal dikonsumsi oleh Muslim tersebut.
Kebenaran informasi yg disampaikan tak harus bersifat tayaqqunan (benar-benar meyakinkan), melainkan dhannan (dugaan kuat). Hal ini berangkat dari mafhum dalil mengenai sisi kefasiqan pihak pemberi informasi
Ketiga, Jenis Informasi Kehalalan Hewan yg diimpor
Di dalam kitab Hasyiyah I’anatu al-Thalibin, juz 1 halaman 125, Syekh Abdurrahman Bakri bin Syatha’ menjelaskan:
ولو شك أنه لبن مأكول أو لحم مأكول أو غيره، أو وجد شاة مذبوحة ولم يدر أن ذابخها مسلم أو مجوسي، أو نباتا وشك أنه سم قاتل أم لا، حرم التناول، ولو أخبر فاسق أو كتابي بأنه ذكاها قبل
“Jika terjadi keraguan mengenai informasi asal susu atau daging hewan yg ma’kul al-lahmi (dapat dikonsumsi) atau tidak, misalnya ada seekor kambing yg telah disembelih, namun tak diketahui siapa penyembelihnya, apakah Muslim atau majusy (penyembelah api), atau ada sebuah tumbuhan, namun tak diketahui apakah tumbuhan itu beracun yg dapat membunuh atau tidak, maka haram hukumnya menkonsumsi itu semua. Akan tetapi, bilamana terdapat seorang fasiq yg memberikan informasi (misalnya) bahwa hewan itu telah ia sembelih maka informasi itu dapat diterima.”
Kandungan yg dapat dipetik dari ibarat ini ialah bahwa kehalalan suatu produk daging impor ialah bergantung pada:
Butuh keberadaan pihak yg mau menjadi informan mengenai cara penyembelihan dan pelaku penyembelihan hewan yg halal dikonsumsi oleh Muslim.
Kebenaran informasi yg disampaikan tak harus bersifat tayaqqunan, melainkan dhannan. Hal ini berangkat dari mafhum dalil mengenai sisi kefasiqan pihak pemberi informasi
Keempat, Kriteria Penyembelih Produk Hewan yg Diimpor
Berdasarkan penjelasan dari kitab Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, juz 13, halaman 298, disampaikan mengenai kriteria informasi tentang penyembelih sebagai berikut:
لو وجدت شاة مذبوحة فقال ذمي : ذبحتها حلت، على أن قولهم لو وجد قطعة لحم في إناء أو خرقة ببلد لا مجوس فيه أو والمسلمون فيه أغلب فطاهرة لأنه يغلب على الظن أنها ذبيحة مسلم يقتضي تصديق المسلم إليه مطلقا لتأييد دعواه بغلبة الظن المذكورة
“Andaikata ditemukan adanya kambing yg disembelih, lalu seorang kafir dzimmy mengaku bahwa ia telah menyembelihnya, maka halal kambing sembelihan itu. Hal ini berdasarkan pendapat para ulama bahwa bila suatu ketika ditemukan adanya sekerat daging dalam suatu wadah, atau dibungkus dalam suatu kemasan, dan terdapat di suatu negeri yg penduduknya bukan kaum majusi (ubadatu al-ashnam), atau di negeri itu ada warga Muslim yg menduduki mayoritas, maka daging tersebut dihukumi suci sebab alasan kuatnya dugaan (ghalabat al-dhan) bahwa itu ialah sembelihannya orang Muslim. Sasaran dari qaul ini sebenarnya ialah penyandaran kebenaran atas orang Muslim secara mutlaq, demi menjaga dakwahnya supaya terus berjalan. Oleh sebabnya, ditetapkan batasan ghalabat al-dhan sebagaimana yg telah dituturkan.”
Mahfum dari ibarat ini ialah:
Bahwa dalil asal sembelihan yg sah secara syara’ ialah sembelihannya orang Muslim
Sembelihannya kafir kitaby hukumnya ialah halal, berdasarkan istishab. Tujuan dari istishab ini ialah buat menjaga supaya dakwah Muslim tetap berjalan di negara daging impor itu berasal.
Yang mengundang permasalahan kita ialah kehalalan itu masih ada hubungannya bila kondisi Muslim masih digambarkan sebagai yg mayoritas. Namun, setidaknya ada penegasan bahwa sembelihannya kafir dzimmy (kitaby) ialah halal.
Kelima, Jenis Hewan yg dijadikan Produk Impor
Penting buat kita ketahui bahwa dalil ashal kehalalan suatu produk ialah bergantung pada jenis asal hewan yg diproduksi. Jika berasal dari jenis hewan halal, maka secara umum, produk tersebut ialah halal. Bila berasal dari hewan haram, maka haram.
Imam Nawawi rahimahullah, dgn mengutip pandanga Imam al-Mutawally rahimahullah, menyampaikan dalam kitab Majmu’ Syarah al-Muhadzzab, juz 1, halaman 210, sebagai berikut:
(فرع) هذا الذى ذكرناه كله فيما علم أن أصله الطهارة وشك في عروض نجاسته أما ما جهل أصله فقد ذكر المتولي فيه مسائل يقبل منه بعضها وينكر بعض فقال لو كان معه إناء لبن ولم يدر أنه لبن حيوان مأكول أو غيره أو رأى حيوانا مذبوحا ولم يدر أذبحه مسلم أم مجوسي أو رأى قطعة لحم وشك هل هي من مأكول أو غيره أو وجد نباتا ولم يدر هل هو سم قاتل ام لا فلا يباح له التناول في كل هذه الصور لانه يشك في الاباحة والاصل عدمها هذا كلام المتولي
“Permasalahan Cabang: Semua yg telah kita tuturkan ini, pada dasarnya berangkat dari pengetahuan bahwa ashal (daging hewan yg disembelih, dapat dipastikan) ialah berasal dari hewan suci. Keraguan terjadi terhadap penilaian sisi kenajisan, khususnya apabila daging itu tak diketahui asal hewannya. Imam al-Mutawalli menyampaikan, pada kasus tak diketahuinya asal daging semacam ini terdapat beberapa masalah. Di satu sisi, ada indikasi dapat diterima kehalalannya, namun di sisi lain tak dapat diterima. Selanjutnya, al-Mutawalli menyampaikan: “andaikata ada sebuah wadah berisi susu sebelanga, namun tak diketahui asa muasal susu itu, apakah dari binatang ma’kul al-lahmi atau tidak, atau ada seekor hewan yg telah disembelih, dan tak diketahui siapa penyembelihnya, apakah Muslim atau majusi, atau dilihat adanya sekerat daging yg diragukan apakah ia berasal dari hewan yg halal dikonsumsi atau tidak, atau ada tumbuhan yg diragukan apakah beracun atau tidak, maka dalam kondisi keraguan semaacam ini, tak dibenarkan mengkonsumsi itu semua dgn alasan syak (keraguan) terhadap status kebolehannya. Sebagaimana kaidah: al-ashlu adamuha (Dalil asal mengkonsumsi sesuatu ialah ketidakbolehannya (sebab adanya keraguan)). Ini ialah pernyataan Syekh al-Mutawalli.”
Berdasarkan penjelasan dari ibarat ini, maka kita dapat memutuskan hukum dari produk daging impor dari wilayah mayoritas non Muslim, sebagaimana Brazil itu sebagai berikut:
Daging impor dari Brasil atau negara lainnya yg mayoritas non-Muslim itu, harus terdiri dari hewan yg secara dhahir merupakan ma’kul al-lahmi (halal dikonsumsi dagingnya oleh Muslim).
Jika kriteria pertama ini telah terpenuhi, maka selanjutnya berlaku hukum asal mengkonsumsi daging hewan ma’kul al-lahmi tersebut ialah boleh.
Kehalalan produk dapat diperkuat dgn data bahwa di wilayah negara asal daging itu diproduksi (misalnya: Brasil), terdapat ketegasan, bahwa a) mayoritas penduduknya beragama Kristen Katolik dan Protestan, yg secara umum dikelompokkan dalam kafir kitaby, dan b) Ada penduduk Muslim yg tinggal di sana, meskipun tak menempati mayoritas.
Penutup
Satu hal yg penting buat diberikan catatan ialah bahwa semua hal di atas masih memiliki kerangka yg erat hubungannya dgn keberadaan suplai informasi. Untuk itu, perlu adanya lembaga yg dapat memberikan informasi dan berkompeten dalam produk halal itu, dibanding kita mendapatkan informasi dari kalangan yg fasiq (misalnya). Alhasil, pendirian lembaga itu sebagai menempati posisi krusial bagi Muslim Indonesia. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Sirah Nabawiyah (sejarah hidup Nabi Muhammad saw) merupakan kajian sejarah Islam yg sangat penting. Sebab, dgn mempelajarinya, seorang Muslim dapat mengetahui sosok Nabi Muhammad sebagai teladan utama sekaligus ideal dalam semua aspek kehidupan. Oleh sebab itu, sumber-sumber buat mengaksesnya juga tak boleh sembarangan, supaya memperoleh data historis yg sahih.
Berikut penulis sebutkan sumber-sumber pokok dalam mempelajari sirah nabawiyah beserta penjabaran urgensi masing-masing sumber tersebut berdasarkan penjelasan Syekh Musthafa as-Siba’i dalam As-Sirah an-Nabawiyah Durus wa ‘Ibar.
Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber paling primer dalam semua cabang keilmuan dalam Islam, termasuk di antaranya ialah sirah nabawiyah. Sebab, semua penjelasan yg terkandung di dalamnya bersumber dari wahyu yg jelas memiliki nilai orisinilitas sangat kredibel dan kualitas periwayatan yg cukup kuat (mutawatir), sehingga tak mungkin diragukan kesahihannya.
Sebagai kitab yg juga memuat sejarah hidup Rasulullah saw, Al-Qur’an banyak menyinggung kehidupan Nabi, seperti masa kecil Nabi sebagaimana disebutkan berikut:
Artinya: ‘Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yg bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.’ (QS. Ad-Duha [93]: 6-7)
Kemuduian, Al-Qur’an juga menyinggung soal akhlak Nabi Muhammad:
Al-Qur’an juga menyinggung hal-hal yg Nabi alami dalam menjalankan misi dakwahnya, seperti mengalami berbagai penindasan dari orang-orang kafir Quraisy. Beberapa di antaranya seperti upaya orang kafir buat menciptakan citra buruk kepada Nabi dgn menuduhnya sebagai tukang sihir dan pengidap gangguan jiwa.
Dijelaskan pula tentang peristiwa hijrah umat Muslim dan beberapa peperangan penting yg terjadi setelahnya, seperti perang Badar, Uhud, Ahzab (Khandaq), Hunain, Peranjian Hudaibiyah, dan penaklukan kota Makkah. Beberapa mukjizat Nabi juga disinggung, seperti peristiwa isra dan mi’raj.
Syekh Muhammad Ridha dalam kitabnya, Muhammad Rasulullah, mengelompokkan ayat-ayat Al-Qur’an yg berkaitan dgn Nabi Muhammad. Seperti surat An-Nisa ayat 80 yg menjelaskan kewajiban taat kepada Nabi, surat Al-Qalam ayat 4 yg menjelaskan keluhuran moralnya, surat Saba’ ayat 56 yg menjelaskan diutusnya Nabi buat semesta alam, surat Al-Hujurat ayat 2 yg menjelaskan kewajiban beretika ketika berada di sisi Nabi, dan sejumlah ayat lainnya.
Hanya saja, kendati Al-Qur’an banyak menyinggung sejarah hidup Nabi Muhammad saw, penjelasan di dalamnya masih bersifat global, tak dijelaskan detail-detail peristiwanya, tapi lebih pada nilai-nilai moral yg dapat dijadikan teladan (‘ibrah). Seperti ketika menyinggung soal peperangan, tak dijelaskan faktor yg melatarbelakanginya, berapa jumlah pasukan tentara Muslim dan Kafir, berapa jumlah yg terbunuh, dan berapa yg menjadi tawanan perang.
Dengan begitu, Al-Qur’an belum cukup digunakan sebagai sumber tertulis buat menguraikan detail kehidupan Nabi Muhammad saw.
Hadits sahih
Sumber sejarah Nabi Muhammad berikutnya ialah hadits-hadits sahih yg terdapat dalam enam kitab hadits (kutubus sittah), yaitu kitab himpunan hadits karya Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Nasa’i, Imam Tirmidzi, Imam Ibnu Majah. Menyusul setelahnya ialah kitab Muwattha karya Imam Malik dan Musnad karya Imam Ahmad.
Kitab-kitab tersebut, terkhusus karya Imam Bukhari dan Imam Muslim, merupakan daftar rujukan paling otoritatif sebab kesahihan, kekuatan riwayat, dan orinisilitasnya. Sementara kitab-kitab selainnya, tak sepenuhnya bermuatan hadits-hadits sahih, melainkan ada juga hadits hasan, bahkan sebagian terdapat hadits dha’if.
Berbeda dgn Al-Qur’an yg secara teks memuat sekilas, kitab-kitab di atas dinilai memuat sebagian besar data sejarah hidup Rasulullah saw. Dengan merujuknya, kita dapat memperoleh data yg cukup komprehensif, meski dalam beberapa kasus juga masih ada yg belum lengkap.
Faktor penting yg menjadikan hadits sahih sebagai sumber otoritatif sejarah Nabi Muhammad ialah sebab hadits tersebut diriwayatkan dgn sanad yg bersambung (muttashil) kepada para sahabat Nabi. Kita tahu, para sahabat Nabi merupakan Muslim generasi terbaik sebab hidup sezaman dgn Nabi, mendapat didikan langsung darinya, dan turut memperjuangkan agama Allah ketika itu.
Dalam diskursus ilmu hadits, setiap riwayat yg bersumber dari Rasulullah dgn sanad yg bersambung (muttashil), wajib kita terima sebagai data yg valid dan tak boleh diragukan kebenarannya.
Syair-Syair Arab
Setelah Al-Qur’an dan hadits, rujukan penting berikutnya ialah syair-syair bangsa Arab yg semasa dgn hidup Nabi Muhammad saw. Sebagai bangsa yg memiliki tradisi sastra cukup kental, bangsa Arab juga terkenal dgn syair-syairnya.
Dengan syair-syair itu, orang kafir juga menggunakannya buat menghalangi dakwah Nabi. Di sisi lain, pihak Muslim juga memiliki penyair-penyair andal buat membela agama Islam, seperti Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah, dan sejumlah penyair lain.
Syair tersebut banyak ditemui dalam kitab-kitab sastra Arab (adab) dan beberapa kitab sirah nabawiyah yg memuatnya. Melalui syair tersebut, kita dapat mengetahui kondisi sosial masyarakat pada ketika Nabi hidup dan bagaimana dinamika dakwah Islam ketika itu. Berikut penulis contohkan syair yg pernah digubah oleh Hasan bin Tsabit yg ditunjukkan kepada orang kafir dalam rangka membela Nabi.
Barangkali kita sering mendengar dari para dai, mubalig, penceramah, dan lain sebagainya yg menyampaikan bahwa ketika kita wafat dan meninggalkan dunia ini, tak ada harta sekecil apapun yg dapat dibawa ke akhirat. Mungkin harta tersebut dapat dimasukkan ke dalam kuburan, namun tak ke alam selanjutnya.
Berbicara mengenai alam akhirat pasca kematian, ia ialah sesi final dari perjalanan hidup seorang manusia, apakah yg menyambutnya nanti malaikat penjaga pintu surga atau, na’uzubillah, penjaga pintu neraka. Tidak ada yg tahu mengenai hasil akhirnya kecuali Allah Swt. Kita hanya diperintahkan buat sebanyak-banyaknya beramal ketika di dunia, khususnya ialah salat yg kelak dihisab pertama kali di akhirat, sebagaimana sabda Nabi:
Artinya, “Sungguh amalan pertama yg dihisab pada hari kiamat nanti ialah salat”. (HR. Tirmidzi).
Hadits di atas jelas sekali menegaskan bahwa salat ialah amalan pertama yg dihitung di akhirat. Setelah salat, ada beberapa amalan lain yg sangat sentral, yaitu zakat, puasa, naik haji dan ibadah-ibadah sunah baik bersifat individual maupun sosial.
Namun, ada satu bekal akhirat yg sangat penting bagi setiap muslim, ia terlihat remeh dan kasat mata, namun menjadi kunci keselamatan di akhirat nanti. Dia ialah hati yg bersih atau selamat, yg dalam bahasa Al-Quran biasanya disebut Qalbun Salȋm atau dalam hadits Nabi disebut dgn Salȃmatus Shadr, keduanya memiliki makna yg sama.
Mengenai hati yg bersih, Allah menyebutkan kata qalbun salim dalam Al-Quran surah al-Syu’ara:
Artinya, “(Janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, yaitu di hari harta dan anak-anak laki-laki tak berguna (hari kiamat), kecuali orang-orang yg menghadap Allah dgn hati yg bersih).” (Al-Syu’ara: 87-89).
Ayat di atas berlatar belakang tentang doa Nabi Ibrahim AS supaya kelak di hari kiamat tak dihinakan. Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam karyanya At-Tafsir al-Munir menyebutkan makna kata qalbun salim dalam ayat tersebut:
Artinya, “Yang dimaksud ‘qalbun salim’ ialah hati yg bersih dari akidah yg rusak, akhlak tercela dan kecenderungan melakukan maksiat, yg puncaknya ialah kufur, syirik dan nifak. (Syekh Wahbah al-Zuhaili, At-Tafsir al-Munir, Beirut: Dar el-Fikr, 1418, juz 19, hlm. 174)
Syekh Wahbah menjelaskan hati yg bersih, tak lain ialah bersih dari penyakit-penyakit hati yg disebutkan di atas, dan kekufuran, kemunafikan, juga syirik ialah penyakit hati yg paling parah. Sa’id al-Musayyib menjelaskan perihal qalbun salim, perkataan ini dikutip Syekh Wahbah dalam tafsirnya”
Artinya, “Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah menyebutkan, qalbun salim ialah hati yg sehat, yaitu hati seorang mukmin, sebab hati orang kafir dan munafik itu sakit, Allah Ta’ala berfirman: “Dalam hati mereka terdapat penyakit,” (Surat Al-Baqarah: 10). (Syekh Wahbah al-Zuhaili, At-Tafsir al-Munir, juz 19, halaman 174).
Beberapa tafsir menyebutkan hal yg sama, yaitu bersihnya hati dari kekufuran dan kemunafikan, pun demikian dgn Tafsir Al-Misbah karya Pak Quraish Shihab, “Kecuali bagi mereka yg beriman dan mengharap Allah dgn jiwa yg bersih dari kekufuran, kemunafikan dan sikap pamer”.
Mengenai kebersihan hati, terdapat kisah dalam hadis Nabi mengenai seorang sahabat yg masuk surga sebab kebersihan hati. Hadis ini terdapat dalam beberapa kitab hadis seperti al-Muwattha, Musnad Ahmad, Sunan al-Nasa’i dan lain-lain. Dalam Sunan An-Nasa’i kisah ini diriwayatkan oleh Anas bin Malik sebagai sahabat yg menyaksikan langsung peristiwa tersebut.
Suatu hari, Anas bin Malik bersama sahabat lainnya sedang duduk berbincang bersama Rasulullah saw. Tiba-tiba Rasulullah saw. berkata, “Sebentar lagi mau datang seorang ahli surga”. Kemudian muncullah seorang dari kalangan Anshar, di jenggotnya tampak tetesan bekas air wudunya, sendalnya ia tenteng di tangan kirinya.
Keesokan harinya, Rasulullah saw. menyebutkan hal yg sama, dan laki-laki dari Anshar itu pun datang dgn kondisi yg sama sebagaimana hari pertama Rasulullah mengatakannya. Hingga keesokan harinya pun sama, Rasulullah menyebut-nyebut ahli surga itu kepada para sahabatnya.
Tatkala Rasulullah saw. pergi, Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash yg mengetahui perihal tersebut dan mengikuti perbincangannya pergi mengikuti orang Anshar tersebut.
“Aku sedang mengalami hubungan yg tak baik dgn ayahku, lalu aku pun bersumpah buat tak menginap di rumahnya tiga malam, aku berpikir buat menginap saja di rumahmu hingga habis masa sumpahku,” ujar Abdullah kepada orang Anshar tersebut.
“Ya, silakan” ujarnya
Anas bin Malik menceritakan, “Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash ketika itu menginap di rumah orang Anshar yg disebut Nabi sebagai ahli surga. Selama itu, Abdullah tak sama sekali melihatnya bangun malam buat beribadah kecuali setiap malam menjelang waktu tidurnya, ia berzikir menyebut Allah dan mengucapkan takbir hingga menjelang subuh ia berwudu. Selain itu,” kata Abdullah, “Aku tak mendengar ia berkata-kata kecuali hal-hal yg baik”.
Selang tiga malam, hampir saja Abdullah menganggap remeh amalan orang Anshar itu, “Wahai engkau, sungguh aku dan ayahku sebenarnya tak memiliki masalah dan aku pun tak melakukan sumpah sebagaimana yg aku ceritakan kepadamu itu. Hanya saja, aku mendengar Rasulullah saw. menyebutkan, ‘Akan datang seorang ahli surga’, dan ketika itu pun engkau datang, hal itu beliau ulang sebanyak tiga kali di tiga pertemuan, dan selalu saja engkau yg muncul ketika Rasulullah berkata demikian.”
“Saat tahu bahwa engkau ialah seorang ahli surga, aku penasaran, akun pun berinisiatif buat menginap di rumahmu, mau tahu apa sebenarnya amalan yg engkau kerjakan sehingga menjadikanmu ahli surga. Akan tetapi, aku sama sekali tak melihatmu melakukan amalan yg besar. Jadi, apa sebenarnya yg menjadikanmu ahli surga hingga Rasulullah saw. langsung menceritakannya kepada para sahabat?” ujar Abdullah sambil bertanya.
“Tidaklah yg aku lakukan kecuali apa yg engkau lihat”. jawab lelaki Anshar itu dgn singkat.
Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash pun pamit buat pulang. Tak lama beberapa langkah dari rumahnya, lelaki Anshar memanggilnya kembali, ia menegaskan,
“Wahai Abdullah, tak ada ibadah yg aku lakukan kecuali apa yg telah engkau lihat, hanya saja aku tak mendapati dalam diriku dendam dan kedengkian terhadap seorang pun dari kaum muslimin, aku tak menyimpan hasad atas apa yg telah dikaruniai Allah kepada mereka”.
Abdullah bin ‘Amru berkata, “Ternyata inilah amalan yg membuatmu mencapai derajat ahli surga! Itulah amalan yg berat bagi kami”.
Dari kisah ini, terdapat pelajaran berharga, yaitu kebersihan hati ialah bagian dari kunci surga. Ia menghantarkan sang pemilik hati menuju ke haribaan Allah dgn tenang dan selamat. Dalam riwayat lain yg serupa, dinukil dari Kitab Jȃmi al-‘Ulȗm wa al-Hikam disebutkan:
Artinya, “Asad bin Musa meriwayatkan: Abu Ma’syar telah mengabarkan kami dari Muhammad bin Ka’ab, ia berkata: Rasulullah saw. menyebutkan: “Orang pertama yg mendatangi kalian itu ialah seorang ahli surga”. Kemudian datanglah Abdullah bin Salam. Orang-orang yg ada ketika itu pun berdiri menyambutnya, mereka mengabarkan pada Abdullah bin Salam bahwa ia ialah ahli surga. Mereka berkata pada Abdullah, “Beri tahu kami tentang amalanmu yg paling utama!”. Abdullah bin Salam menjawab, “Sungguh! Amalanku sangat lemah. Aku hanya mengandalkan kebersihan hati [dari penyakit hati] dan meninggalkan sesuatu yg tak bermanfaat bagiku”. (Imam Ibn Rajab al-Hanbali, Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001/1422, juz 1, hlm. 294)
Ayat dan hadis di atas mengingatkan kita kembali, bahwa selain amalan wajib dan sunah yg kita lakukan setiap hari, ada amalan lain yg lebih penting, yaitu menjaga kebersihan hati kita. Kebersihan hati ialah sesuatu yg semestinya ada dalam diri seorang muslim, bahkan setiap orang di muka bumi.
Dari bersihnya hati, mau ada perkataan yg baik, sopan, ramah dan jauh dari menyakiti dan mencela orang lain. Tidak ada lagi sifat iri, dengki, benci dan dendam kepada orang lain. Kebersihan hati mau berpengaruh pada lisan. Sebab lisan ialah cerminan dari hati. Jika hatinya kotor, tidaklah yg keluar dari lisannya kecuali sesuatu yg buruk.
Begitu pula, bersihnya hati mau menimbulkan perilaku dan etika yg baik. Dengan demikian, selain menjadikan seseorang sebagai hamba Allah yg mulia, kebersihan hati juga turut berperan dalam menjaga kedamaian sosial di tengah masyarakat, bahkan kedamaian alam semesta dan penghuninya. Wallahu a’lam.
Ustadz Amien Nurhakim, pegiat kajian hadits di Ciputat.
Sayyidina Umar bin Khattab ra, khalifah kedua yg meneruskan estafet Rasulullah saw setelah Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq, pernah mengatakan, “Hisablah diri kalian sebelum dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang dan berhiaslah buat menghadapi hari penampakan yg agung.” (Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Beirut, Darul Ma’rifah, tanpa tahun], juz IV, halaman 396).
Nasihat dan ungkapan di atas menjadi sangat penting buat diingat kembali sekaligus menjadi bahan intropeksi buat diri sendiri selama satu tahun, mengingat tahun baru beberapa hari lagi mau datang buat menggantikan tahun sebelumnya, sementara tahun ketika ini mau segera menghilang.
Momentum Tahun Baru
Tahun baru menjadi salah satu momentum bagi semua masyarakat buat merayakannya dgn beragam cara di setiap penghujung tahun. Misalnya, cahaya kembang api selalu berbinar dan bertaburan seolah menjelma menjadi sebuah “keharusan” sebagai hajatan akbar yg berspektrum internasional. Tak terkecuali di Indonesia, gegap gempita dgn beragam selebrasi mau mudah ditemukan hingga ke pelosok desa. Semua ikut merayakannya, tanpa peduli mana yg muda dan yg telah tua.
Untuk merayakan tahun baru, ada banyak cara yg digelar oleh masyarakat Indonesia sebagai bangsa yg begitu plural buat menyambut pergantian tahun ini, umat Islam misalnya, sebagian dari mereka ada yg menyambut tahun baru dgn acara yg menurutnya lebih sejuk, yaitu dgn menggelar acara zikir, istighasah bersama pada malam itu.
Selain itu, mereka juga bertafakkur, merenungi, dan mengoreksi semua yg telah dilakukan pada hari-hari kemarin dan apa yg mesti direncanakan tahun depan. Hal ini menjadi hal penting yg tak boleh ditinggalkan guna memperbaiki tahun selanjutnya.
Sebagaimana pesan dan nasihat Sayyidina Umar di atas, tentu saja kegiatan seperti itu sangat baik dan dianjurkan. Sebab, dalam muhasabah (intropeksi), seseorang sedang mengoreksi dirinya perihal apa saja yg mereka lakukan selama satu tahun. Mereka juga “membaca” perbuatan-perbuatan yg dilakukan dalam mengisi hidup dalam setiap harinya. Akan tetapi, selain dilakukan di acara tahunan, intropeksi seharusnya juga dilakukan dalam setiap hari, bahkan setiap waktu.
Sayyid Bilal Ahmad al-Bistani ar-Rifa’i al-Husaini, seorang sufi terkemuka dalam salah satu kitabnya mengatakan, telah seharusnya umat Islam melakukan intropeksi sepanjang umurnya, maka ia harus berpikir tentang apa yg mau dilakukan pada pagi, siang, sore, hingga malam hari, sebagaimana yg beliau katakan,
Artinya, “(Maka berpikir [merenung]lah atas apa yg kamu kerjakan, apabila engkau menemukan ketaatan (dalam pekerjaan itu), maka bersyukurlah kepada Allah, dan apabila engkau menemukan maksiat (di dalamnya) maka celalah dirimu. (Sayyid Bilal, Farhatun Nufus bi Syarhi Tajil ‘Arus al-Hawi li Tahzibin Nufus, [ Beirut, Darul Kutub ‘Ilmiah, cetakan kedua: 2015 M], halaman 17).
Dari penjelasan di atas, merayakan tahun baru dgn cara mengintropeksi diri atas segala pekerjaan dan perbuatan yg dilakukan selama satu tahun menjadi “perayaan” yg sangat penting dan tentunya juga sangat baik.
Intropeksi tentunya harus dilakukan setiap waktu, yaitu setelah melakukan kesalahan sekecil apapun dan setiap kali menyelesaikan amal kebabilan. Tentu tak perlu menunggu satu tahun, apalagi menunggu adanya acara intropeksi tahunan.
Kenapa demikian? Sebab karakteristik waktu ialah berjalan begitu cepat tanpa manusia sadari ternyata telah ada di penghujung tahun buat menggantikan lembaran-lembaran lama menjadi lembaran baru. Hal ini sebagaimana diafirmasi oleh Allah swt dalam Al-Qur’an,
Artinya, “Pada hari ketika mereka melihat hari Kiamat itu (sebab suasananya hebat), mereka merasa seakan-akan hanya (sebentar saja) tinggal (di dunia) pada waktu sore atau pagi hari.” (Surat An-Nazi’at ayat 46).
Dari beberapa ulasan di atas, apabila kita korelasikan dgn beberapa kenyataan yg terjadi di Indonesia, banyaknya tragedi dan musibah yg kerap terjadi merupakan iktibar (renungan) buat menjadikan tahun-tahun selanjutnya dijalani dgn penuh kehati-hatian, serta mempersiapkan cara yg tepat, efisien, dan lebih bermanfaat.
Dengan cara itulah seseorang mau dapat memanfaatkan tahun baru yg mau datang. Sebab, bila tak demikian, mau dimanfaatkan oleh waktu yg ada dalam tahun itu sendiri, sebagaimana dalam salah satu kalam bijak bestari, yg dikutip oleh Imam Al-Manawi,
Artinya, “Waktu ialah pedang. Jika kau tak (pandai) memainkannya, maka ia mau memotongmu.” (Imam Al-Manawi, Faidhul Qadir, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah, cetakan pertama: 1994 M1415 H], juz IV, halaman 670).
Pada kalam hikmah di atas, bila dalam tahun mendatang seseorang tak menggunakannya dgn hal-hal positif, seperti ibadah dan kebabilan lainnya, maka tahun itu sendiri mau menggunakan seseorang buat memperlakukannya terhadap hal-hal yg negatif.
Tentu, dalam poin kedua merupakan pekerjakan yg tak dimaukan oleh semua orang, termasuk penulis. Sebab, di antara kerugian yg sangat besar, ialah lewatnya hari-hari, bahkan sampai satu tahun tanpa manfaat yg dapat didapatkan di dalamnya.
Ungkapan di atas sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Zainuddin Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab bin Hasan As-Sulami Al-Baghdadi Ad-Dimisyqi (wafat 795 H),
Artinya, “Bukankah termasuk kerugian, bila malam-malam berlalu tanpa ada manfaat padahal juga dihitung (jatah) umurku?” (Ibnu Rajab, Ghada’ul Albab Syarah Manzumatil Adab, [Dar Ibnu Hazm lit Thab’ah wan Nasyr, cetakan pertama: 2004], juz II, halaman 348).
Dengan penjelasan di atas, semoga kita dapat memanfaatkan tahun baru yg sebentar lagi mau datang dan mampu menempuh satu tahun ke depan dgn pekerjaan-pekerjaan baik dan positif, serta dapat mengambil manfaat di dalamnya. Amin!
Ustadz Sunnatullah, pengajar pada Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam, Durjan, Kokop, Bangkalan, Jawa Timur.
Naskah khutbah Jumat kali ini mengajak kepada khalayak buat merefleksikan diri atas masa yg telah lewat dan menyiapkan masa yg mau datang. Dengan ini diharapkan kita semua mampu menyongsong masa depan dgn penuh persiapan.
Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini (pada tampilan dekstop). Semoga bermanfaat! (Redaksi)
Di antara kewajiban yg harus dilakukan seorang khatib dalam khutbah Jumatnya ialah senantiasa mengingatkan, mengajak, dan berwasiat kepada jamaah buat senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. Wasiat takwa ini menjadi rukun khutbah Jumat yg apabila ditinggalkan oleh khatib maka tak sah khutbah Jumat yg disampaikannya. Sementara para ulama mendefinisikan takwa itu sendiri sebagai
Yakni melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya baik dalam keadaan sepi maupun ramai, lahir dan juga batin.
Oleh sebabnya pada kesempatan Jumat kali ini, mari kita bersama-sama menguatkan komitmen buat meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. Takwa ini sendiri mau menjadi pembeda bagi orang yg dimuliakan di sisi Allah. Orang yg bertakwa mau mendapat prioritas kemuliaan di sisi Allah sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an Surat Al Hujurat ayat 13:
اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ اَتْقٰىكُمْ
Artinya: “Sesungguhnya yg paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yg paling bertakwa”.
Dalam Al-Qur’an, perintah buat bertakwa kepada Allah swt sangatlah banyak. Perintah ini juga banyak yg dipadukan dgn berbagai perintah buat terus memperkuat diri dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah swt dalam rangka menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Di antaranya seperti disebutkan dalam Surat Al-Hasyr ayat 18:
Artinya: “Wahai orang-orang yg beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yg telah diperbuatnya buat hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yg kamu kerjakan.”
Ayat ini mengingatkan kita buat senantiasa bertaqwa kepada Allah sekaligus terus melakukan evaluasi, muhasabah atau introspeksi diri dgn melihat apa yg telah kita perbuat di masa lalu dan mempersiapkan masa depan supaya lebih baik dari hari ini. Langkah ini dapat menjadi wujud syukur atas karunia yg telah diberikan Allah kepada kita sebab kita masih diberi kesempatan buat hidup di dunia ini sampai dgn penghujung tahun ini. Mudah-mudahan dgn syukur ini, nikmat Allah mau terus ditambahkan kepada kita berupa karunia dipanjangkan umur kita oleh Allah sehingga kita mau dapat terus beribadah dan berbuat baik dalam kehidupan di dunia.
Dalam ayat ini juga disebutkan bahwa termasuk orang-orang yg bertakwa ialah mereka yg selalu memperhitungkan perbuatannya sendiri, apakah sesuai dgn ajaran agama atau tidak. Sehingga bila kita lebih banyak melanggar larangan Allah, maka hendaklah kita berusaha menutupnya dgn amal-amal saleh. Ayat ini memerintahkan manusia supaya selalu mawas diri, memperhitungkan segala yg telah dan mau diperbuatnya sebelum Allah menghitungnya di akhirat nanti.
Ayat ini pun ditutup dgn sebuah peringatan buat bertaqwa kembali kepada Allah, sebab Dia mengetahui semua yg dikerjakan hamba-hamba-Nya, baik yg tampak maupun yg tak tampak, yg lahir maupun yg batin, tak ada sesuatu pun yg luput dari pengetahuan-Nya.
Oleh sebab itu, sebagai insan yg bertaqwa, mari kita senantiasa melihat masa lalu kita di tahun ini dan mengkalkulasi, apakah lebih banyak kebaikan yg telah kita lakukan dibanding dgn keburukan? Atau malah sebaliknya, banyak hal-hal yg buruk kita lakukan sehingga kebaikan kita tertutup oleh keburukan di tahun ini? Introspeksi ini mau menjadi modal bagi kita buat mempersiapkan masa depan supaya hal-hal yg buruk tak terjadi lagi.
Nabi Muhammad saw pun mengingat kepada kita semua supaya terus melakukan perubahan-perubahan menuju kebaikan sehingga menjadi orang-orang beruntung. Jangan sampai kita menjadi orang yg merugi apalagi sampai menjadi golongan orang celaka dgn tak memperbaiki masa depan ke arah yg lebih baik:
Artinya: “Barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yg beruntung, Barang siapa yg hari ini sama dgn hari kemarin dialah tergolong orang yg merugi dan Barang siapa yg hari ini lebih buruk dari hari kemarin dialah tergolong orang yg celaka.” (HR. Al Hakim).
Saatnya di penghujung tahun ini kita juga mengamalkan pesan Khalifah Umar bin Khatthab:
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا
Artinya: “Hitung-hitunglah dirimu sebelum kamu dihitung”
Dalam hal ini, mengapa Sayyidina Umar menilai bahwa evaluasi diri lebih dini mau menguntungkan kita pada kehidupan kelak? Karena dgn mengevaluasi diri sendiri, kita mau mengenali kekurangan-kekurangan kita yg diharapkan dapat diperbaiki sesegera mungkin. Kondisi ini mau meminimalkan kesalahan sehinga tanggung jawab dalam kehidupan kita di akhirat nanti menjadi lebih ringan. Semoga kita senantiasa diberikan rahmat oleh Allah swt supaya masa depan kita di tahun yg mau datang dapat lebih baik dari tahun ini. Amin.