enam Tempat Riya’ Perspektif Imam Al-Ghazali

Menghindar dari jebakan riya’ atau pamer amal ibadah bukanlah hal yg mudah dilakukan. Orang yg melawan jebakan riya’ sejatinya sedang berperang melawan dorongan dari dalam diri sendiri. Satu energi besar yg bercampur baur, sukar dipisahkan antara positif dan negatifnya. Persis seperti orang yg sedang menjalani misi besar yg harus melewati hutan penuh ranjau. Satu sisi, ia dituntut buat terus berjalan, tak boleh berhenti apalagi kembali. Di sisi lain, ia seolah didorong mundur oleh sekian banyak ranjau yg tersembunyi. 

Demikian halnya ibadah. Jebakan riya’ sangat banyak. Belum lagi perangkap kesombongan, gila popularitas (sum’ah), cari perhatian (tamalluq), dan semisalnya. Tetapi, hal itu bukan alasan buat menghentikan ibadah. Ibadah harus tetap dijalankan perlahan seraya membenahinya secara bertahap. Nah, buat pembenahan ini, perlu kiranya mengenal dari mana saja potensi riya’ dapat muncul. Bukankah absurd berhasil membersihkan diri dari sesuatu yg tak dikenal akar-pangkalnya? Imam al-Ghazali berkata:

فمن لا يعرف الشر ومواقعه لا يمكنه أن يتقيه

Artinya, “Buta dari mengenal seluk-beluk benalu amal membuat kita mustahil dapat menghindarinya.” (Abu Hamid al-Ghazali, Kitab al-Arba’in fi Ushul ad-Din, halaman 102).

 

Dalam Kitab al-Arba’in halaman 100-101 Imam al-Ghazali (wafat 505 H/1111 M) menjelaskan secara rinci 6 tempat yg sangat berpotensi menumbuhkan riya’.

Pertama, dalam bentuk badan dan raut muka. Al-Ghazali menyebut beberapa contoh terkait ini. Seperti ‘menampakkan’ badan yg kerempeng dan lemah misalnya, supaya orang-orang melihatnya tampak seperti seorang ahli ibadah, ahli riyadhah, puasa, dan semisalnya. Termasuk juga memperlihatkan raut muka sedih, supaya terlihat seperti orang yg punya pengamatan mendalam ihwal kehidupan dan kehinaan dunia. Semua itu bagian dari riya’ yg diwanti-wanti al-Ghazali.

Kedua, dalam penampilan. Contoh kecil, seperti mencukur kumis supaya terlihat lebih menawan dan mempesona sehingga banyak orang terpukau, menundukkan kepala ketika berjalan, bergerak dan melangkah secar elegan supaya tampak lebih berwibawa,  menampakkan bekas sujud di dahi supaya tak diragukan kualitas sujudnya, dan hal-hal serupa.

  
Ketiga, dalam style pakaian. Seperti mengenakan pakaian lengan panjang dgn lengan baju yg terlipat, tiada tujuan lain kecuali supaya terlihat lebih keren, misalnya. Berbaju lusuh dgn beberapa tambalan juga termasuk salah satunya, bila tujuannya supaya terlihat sebagai seorang sufi besar lagi bersahaja.

Keempat, riya’ dgn ucapan. Hal ini termasuk yg kerapkali menjebak para dai. Jadi, sebaiknya berhati-hati. Karena, orang alim pun tak terlepas dari penyakit riya’. Wajar saja bila baginda Nabi Muhammad saw bersabda dalam hadist riwayat Mu’âdz bin Jabal, Min fitnatil âlim, an yakunal kalam ahabba ilaihi min al-istima’, “Termasuk ujian besar seorang alim, yaitu ketika ia lebih suka berbicara ketimbang mendengar”. (Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ’ Ulumuddin, juz I, halaman 62).

Kelima, riya’ dalam perbuatan. Seperti memperlama rukuk dan sujud, misalnya, sedekah, puasa, haji, dan lain sebagainya. Semua itu sangat potensial buat memunculkan riya’. Bahkan, gerak-gerik tubuh kita pun ketika melenceng dari niat luhur kerapkali terjerumus dalam penyakit hati ini.

Keenam, riya’ juga dapat tumbuh sebab banyaknya murid, teman, dan guru yg dapat dipamerkan. Seperti orang yg sering berkunjung kepada para gurunya, sehingga ia memiliki branding diri yg baik di mata umat: misalnya dekat dgn orang alim, sering bertabaruk, dan seterusnya. 

Membaca sekilas penjelasan al-Ghazali tentang 6 tempat riya’, seolah buat beramal shaleh orang menjadi sangat ribet. Beramal lillahi ta’ala, murni sebab Allah semata memang tak mudah. Bukan sebab Allah mempersulit akses menuju ke sana, tetapi sebab hati mnusia penuh oleh nuansa syaithani, egoisme, dan mabuk dunia, sehingga ia sulit menemukan kemurnian ibadah yg sebenarnya. 

Sebagai hamba Allah, tentu orang tak boleh berkecil hati. Orang harus terus berupaya sedikit demi sedikit membenahi hati dgn cara apa pun. Seperti banyak membaca, mengaji kepada para ustadz, kiai, atau tuan guru yg dapat meningkatkan kualitas spiritualnya. Kuncinya, ialah tak sampai berhenti sebab terjangkit riya’ ketika beramal pertama, kedua, atau bahkan ketiga kalinya. Namun amal ibadah tetap harus terus dilanjutkan sampai hati menjadi stabil dan tak butuh dilihat lagi oleh manusia lainnya. Wallahu a’lam bisshawab.

 

Ust. Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur. 

 

 

Menyikapi Polarisasi Politik Antara Ali & Muawiyah

Sebelum menjelaskan bagaimana suasana politik pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, terlebih dahulu penulis jelaskan bagaimana atmosfir politik pada masa Khalifah Utsman bin Affan (khalifah sebelum Ali). Karena bagaimana pun, instabilitas pemerintahan masa Utsman menjadi pekerjaan rumah besar bagi khalifah setelahnya.

Imam Suyuti dalam Tarikhu Khulafa menjelaskan dgn detail, Utsman bin Affan menjabat sebagai kepala negara selama dua belas tahun. Enam tahun pertama ia begitu cakap menjalankan amanah kekhalifahan. Pemerintahannya cukup stabil. Bahkan sifat Utsman yg lebih lembut dibanding khalifah sebelumnya (Umar bin Khattab) menjadi daya tarik tersendiri bagi rakyatnya, tak ada satu pun yg menunjukkan ketidaksukaan terhadapnya.

Sungguh disaygkan, enam tahun terakhir masa kekhalifahannya tak secakap dulu. Utsman dinilai lamban dan tak tegas dalam menjalankan roda pemerintahannya. Seperti enggan memecat pejabat-pejabat negara yg tak berkompeten bahkan lalim. Lebih parah lagi, ia melakukan praktik nepotisme atau mengangkat pejabat negara dari kalangan keluarga sendiri.

Ia juga memberikan harta Baitul Mal (kas negara) kepada kerabat-kerabatnya sendiri. Instabilitas politik begitu terasa di masa pemerintahannya. Sejak ketika itu, beberapa sahabat mulai menunjukkan ketidakpuasan terhadap Utsman.

Ringkas kisah, Utsman dibunuh oleh dua pemberontak yg identitasnya masih belum jelas. Dalam catatan As-Suyuti, Utsman terbunuh pada Jumat, 18 Dzulhijjah tahun 35 H. Jenazahnya dikebumikan di Baqi’ pada malam Sabtu, antara waktu Maghrib dan Isya. Ialah orang pertama yg dimakamkan di area yg kelak banyak keluarga Nabi dimakamkan di tempat itu.

Pambaiatan Ali bin Abi Thalib

Kondisi politik yg carut marut membuat masyarakat harus segera mengangkat kepala negara demi menjaga stabilitas. Orang-orang pun meminta Ali bin Abi Thalib buat bersedia dibaiat menjadi pengganti Utsman. Alasan para sahabat memilih Ali ialah sebab ia termasuk sahabat yg terlebih dulu masuk Islam dan paling dekat dgn Rasulullah.

Dengan tawadhu, Ali merasa belum layak buat menerima penawaran itu. “Jangan begitu, aku lebih pantas menjadi seorang menteri ketimbang seorang kepala negara,” komplain Ali keberatan.

Ali meminta saran terebih dahulu pada ketiga sahabat yg terlibat Perang Badar, yaitu Thalhah, Zubair bin Awwam, dan Sa’ad bin Abi Waqash. Ketiga sahabat itu setuju bila Ali maju menjadi khalifah. Mereka pun membaiat Ali. Berikutnya, sahabat-sahabat yg lainnya juga ikut berbaiat. 

Tapi ada beberapa sahabat yg tak setuju dgn keputusan ini dan enggan buat berbaiat, di antaranya ialah Muawiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Syam (Suriah) yg juga masih keluarga Utsman.

Alasan Muawiyah enggan membaiat Ali ialah sebab permintaan Muawiyah terhadap Ali buat segera menuntut balas (qisash) atas pembunuh Utsman tak terpenuhi.

Selain itu, Ali juga bermaksud mencopot jabatan Muawiyah selaku gubernur di Syam sebagai langkah sterilisasi negara dari aparatur lama yg tak satu visi. Muawiyah tak setuju dan berargumen, yg berhak menentukan jabatan pemerintah bukan orang Madinah saja, mengingat semakin luasnya kekuasaan politik Islam.

Sampai pada puncaknya, meletuslah pertempuran antara Ali dan Muawiyah yg disebut Perang Shiffin pada bulan Shafar tahun 37 H. Dari peristiwa ini, umat terpecah menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok yg setia dgn Ali dan kemudian dinamakan sebagai Syi’ah. Kedua, kelompok yg setia kepada Muawiyah. Ketiga, kelompok sempalan dari tentara Ali yg kemudian dikenal dgn Khawarij.

Dari polarisasi politis segi tiga ini, berujung pada terbunuhnya Ali bin Abi Thalib pada tahun kelima kekhalilfahannya oleh Ibnu Muljam, seorang pengikut Khawarij.

Utamakan prasangka baik

Melihat situasi politik yg cukup panas pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, hingga terjadi peperangan antara dua kubu Ali dan Muawiyah, tak menuntut kemungkinan menyisakan tanda tanya besar. Dari dua kubu itu, siapa yg benar dan siapa pula yg salah? Mengapa sekelas sahabat Nabi dapat melakukan perang sesama Muslim? Apakah ini menodai citra sahabat yg digaungkan sebagai generasi terbaik?

Pada posisi seperti ini, sikap yg harus kita kedepankan ialah tetap berperasangka baik pada kedua kubu. Jangan sampai kita terburu-buru menyimpulkan sehingga mencela sahabat Nabi. Rasulullah saw sendiri pernah bersabda,

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

Artinya: “Janganlah kalian mencela para sahabatku, demi Dzat yg jiwaku berada di tangan-Nya, sekiranya salah seorang dari kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tak mau menyamai (pahala) satu mud atau setengahnya sekalipun dari sedekah salah seorang dari mereka.” (HR Bukhari)

Mengacu pada hadits di atas, Lembaga Fatwa Mesir dalam salah satu fatwanya menegaskan, haram hukumnya mencela sahabat Nabi sebab kekeliruan ijtihad yg dilakukan oleh mereka. Jika pun ijtihad mereka keliru, dimaaafkan dan tetap memperoleh satu pahala.

Perkaranya menjadi jelas, kasus konflik Ali dan Muawiyah ialah perbedaan hasil ijtihad yg kemudian mengakibatkan tarik ulur buat menuntut balas atas kematian Utsman. Pihak Muawiyah berpendapat bahwa Ali berkewajiban buat segara menuntut balas (qisash). Jika tidak, hemat Muawiyah, maka Ali termasuk orang yg zalim dan belum layak dibaiat sebagai khalifah.

Di sisi lain, ijtihad Ali berbeda dan lebih bijak. Baginya, kondisi negara yg sedang carut marut tak dapat gegabah mengambil tindakan cepat buat mengeksekusi pembunuh Utsman. Butuh suasana kondusif dan satu suara dari berbagai pihak. Belum lagi identias pembunuh Utsman yg belum jelas. Atas pertimbangan ini, Ali memutuskan buat tak bersikap buru-buru.

Muawiyah menganggap sikapnya telah tepat dan Ali salah. Demikian juga Ali, sikap Muawiyah salah dan dirinya yg benar. Sikap yg berhadap-hadapan ini kemudian memicu ketegangan yg pada puncaknya memicu peperangan. (Dr. Inas Husni al-Bahji, Tarikhud Daulah al-Umawiyah, h. 98)

Menyikapi peristiwa Perang Shiffin, Imam An-Nawawi berkomentar, pertumpahan darah yg terjadi antara sahabat tak masuk dalam ancaman hadits Nabi yg mengatakan, “Ketika dua Muslim bertemu (buat berperang) saling menghunus pedang, maka baik yg membunuh dan yg terbunuh sama-sama masuk neraka.” (HR Bukhari). Mazhab Ahlusunnah mengedepankan buat tetap berperasangka baik kepada para sahabat. 

Dalam mazhab Ahlusunnah, ijtihad yg benar berada di pihak Ali. Dengan begitu, sikap Muawiyahlah yg salah. Meski begitu, sebab ini ijtihad, pelaku ijtihad yg salah dimaafkan dan tetap mendapat satu pahala, tak mendapat dosa. Sementara Ali mendapat dua pahala sebab ketepatan hasil ijtihadnya. (An-Nawawi, Syarah Muslim, juz XVIII, h. 11)

Muhamad Abror, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma’had Saidusshiddiqiyah Jakarta

Khutbah Jumat: Islam & Hak Dasar Manusia

Naskah khutbah Jumat ini menjelaskan tentang hak-hak dasar yg harus diterima manusia. Hak-hak dasar ini menjadi landasan hukum Islam dan kebijakan pemerintah. Hak dasar ini merupakan merupakan misi risalah para nabi dan rasul yg diutus oleh Allah.

Teks khutbah Jumat berikut ini berjudul “Khutbah Jumat: Islam dan Hak-hak Dasar Manusia.” Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini (pada tampilan dekstop). Semoga bermanfaat! (Redaksi)

Khutbah I

اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِىْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدىْ وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْكَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لآإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى خَاتَمِ اْلاَنْبِيَآءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ مُحَمَّدٍ وَّعَلى آلِهِ وَصَحْبِهِ أجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah.

Di awal khutbah ini, mari kita tingkatkan ketakwaan terhadap Allah dgn sebenar-benarnya, dgn berupaya secara optimal menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. 

Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah.

Di antara wujud nyata peningkatan ketakwaan terhadap Allah ialah pemenuhan atas hak-hak dasar manusia dalam Islam. Al-Quran dalam Surat Al-Isra ayat 70 telah menegaskan kehormatan manusia yg harus dilindungi.

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا 

Artinya, “Sungguh telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yg baik-baik dan Kami lebihkan mereka dgn kelebihan yg sempurna atas kebanyakan makhluk yg telah Kami ciptakan.” (Surat Al-Isra’ ayat 70).

Ayat ini kemudian diturunkan menjadi lima hak dasar yg dijamin oleh Islam (ad-dharuriyyatul khams), yaitu hifzhun nafs (jaminan keselamatan jiwa), hifzhul aql (kebebasan berpendapat), hifzhud din (jaminan keberlangsungan agama), hifzhul mal (hak atas kepemilikan), dan hifzhul irdh (jaminan atas nama baik dan kehormatan nonmaterial).

Muhammad At-Thahir bin Asyur (1892-1973 M/1310-1393 H) dari mazhab Maliki menaruh perhatian terkait prinsip hifzhun nafs/hifzhun nufus dalam bidang kesehatan. Bin Asyur menunjuk manifestasi prinsip hifzhun nafs/hifzhun nufus pada dimensi preventif kesehatan sebagai upaya penyelamatan jiwa manusia.

Bin Asyur tak menafikan dimensi represif-kuratif pada bidang hukum. Tetapi ia mengingatkan bahwa pendekatan pengendalian sosial melalui represif-kuratif berada pada level terakhir dari konsep hifzhun nafs/hifzhun nufus itu sendiri.

Menurut Bin Asyur, jaminan atas keselamatan jiwa dalam konsep hifzhun nafs juga harus mencakup upaya pencegahan atas penyebaran virus mematikan yg mengancam nyawa manusia dan upaya penanggulangannya.

Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah.

Pandangan ini diperkuat dgn gagasan Nuruddin Mukhtar Al-Khadimi (1963 M-…) yg memakai pendekatan sosiologis Ibnu Khaldun (1332-1406 M) supaya warga negara saling membantu buat memenuhi hajat mereka termasuk dalam bidang kesehatan.

وضرورة الدفاع عن النفس وحمايتها من الأخطار التي تهدد حياة الانسان  وتنذر بإبطال النوع البشري  من أساسه

Artinya, “Kebutuhan dasar (primer) penyelamatan dan perlindungan jiwa dari bahaya yg mengancam kehidupan manusia dan mengingatkan bahaya kepunahan jenis manusia sama sekali,” (Nuruddin Mukhtar Al-Khadimi, Fiqhut Tahadhdhur-Ru’yah Maqashidiyyah, [Kairo, Darus Salam: 2014 M/1435 H], halaman 50).

Pada bukunya yg lain, Al-Khadimi mengatakan bahwa kebutuhan primer yg harus dijamin pemenuhannya dalam syariat Islam juga mencakup lingkungan yg sehat, ketersediaan obat-obatan (termasuk vaksin) di samping pemenuhan gizi bagi masyarakat.

Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah.

Demikian sejumlah keterangan terkait hak dasar manusia yg berkaitan dgn jaminan keselamatan jiwa dalam Islam supaya kita tak menyia-nyiakan makhluk bernyawa. Semoga khutbah Jumat ini dapat menjadi bekal itu buat meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt dgn sebenar-benarnya. Amin. 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ. وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3). بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ بِاْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَالْآيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأَسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ، إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم

 

Khutbah II

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ. أَشْهَدُ أَنْ لآ إلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ لَا نَبِيّ بعدَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ

فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يٰأَ يُّها الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ سَيِّدَنَا مُحَمَّدٍ

اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ، اَلْأَحْياءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ. اَللّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْغَلَاءَ وَاْلوَبَاءَ والرِّبَا وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتَنِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا إِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عامَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ.

فَيَا عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَعَزَّ وَأَجَلَّ وَأَكْبَرْ

Alhafiz Kurniawan, Redaktur Keislaman NU Online.

 

 

Khutbah Jumat: Tolonglah Saudaramu, Allah Akan Menolongmu

Materi khutbah di bawah ini mengajak kita semua buat kembali kepada fitrah manusia sebagai makhluk sosial yg mau menolong mereka yg sedang dalam kesusahan. Islam sangat menganjurkan sikap ini.

 

 

Teks khutbah Jumat berikut ini berjudul “Khutbah Jumat: Tolonglah Saudaramu, Allah Akan Menolongmu”. Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini (pada tampilan dekstop). Semoga bermanfaat! (Redaksi)


Khutbah I

 

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي أَكْمَلَ لَنَا الدِّيْنَ وَأَتَمَّ عَلَيْنَا النِّعْمَةَ، وَجَعَلَ أُمَّتَنَا وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ خَيْرَ أُمَّةٍ، وَبَعَثَ فِيْنَا رَسُوْلًا مِّنَّا يَتْلُوْ عَلَيْنَا آيَاتِهِ وَيُزَكِّيْنَا وَيُعَلِّمُنَا الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ، أَحْمَدُهُ عَلَى نِعَمِهِ الْجَمَّةَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلٰهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْــــكَ لَهُ شَهَادَةً تَكُوْنُ لـِمَنِ اعْتَصَمَ بِـهَا خَيْرَ عِصْمَةٍ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَرْسَلَهُ لِلْعَالـَمِيْنَ رَحْمَةً، وَفَرَضَ عَلَيْهِ بَيَانَ مَا أَنْزَلَ إِلَيْنَا فَأَوْضَحَ لَنَا كُلَّ الْأُمُوْرِ الـْمُهِمَّةِ، فَأَدَّى الْأَمَانَةَ وَنَصَحَ الْأُمَّةَ، صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أُوْلِي الْفَضْلِ وَالْهِمَّةِ 

أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْـمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْ نَفْسِيْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَظِيْمِ، الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلٰى مَيْسَرَةٍۗ وَاَنْ تَصَدَّقُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ (البقرة: ٢٨٠)

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Mengawali khutbah pada siang hari yg penuh keberkahan ini, khatib berwasiat kepada kita semua terutama kepada diri khatib pribadi buat senantiasa berusaha meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wata’ala dgn melakukan semua kewajiban dan meninggalkan seluruh yg diharamkan.
 

Hadirin jama’ah shalat Jumat rahimakumullah,

Musibah akibat letusan gunung berapi dan banyaknya bantuan yg datang buat para korban yg terdampak mengingatkan kita mau sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

 

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ (رواه مسلم)

 

Maknanya: “Barang siapa meringankan suatu kesulitan dunia dari seorang mukmin, maka Allah ringankan darinya kesulitan di antara kesulitan-kesulitan di hari kiamat. Barang siapa memudahkan bagi orang yg kesulitan, maka Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)

 

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

 

“Barang siapa meringankan suatu kesulitan dunia dari seorang mukmin, maka Allah ringankan darinya kesulitan di antara kesulitan-kesulitan di hari kiamat.” Hal ini kembali kepada kaedah bahwa balasan yg diberikan kepada seseorang itu sejenis dgn amal yg ia lakukan. Banyak nash-nash semakna dgn hadits di atas, seperti hadits:

 

إنَّمَا يَرْحَمُ اللهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ (رواه البخاري)

 

Maknanya: “Sesungguhnya Allah menyaygi di antara para hamba-Nya orang-orang yg penyayg” (HR. al Bukhari)

 

Begitu pula hadits:

 

إنَّ اللهَ يُعَذِّبُ الَّذِيْنَ يُعَذِّبُوْنَ النَّاسَ فِي الدُّنْيَا (رواه مسلم)

 

Maknanya: “Sesungguhnya Allah mau menyiksa orang-orang yg menyiksa orang lain di dunia” (HR. Muslim)

 

Kurbah yg disebutkan dalam hadits di atas ialah kesulitan besar yg menyebabkan seseorang dirundung kebingungan dan kesedihan. Tanfiis (naffasa) ialah meringankan beban seseorang dari kesulitan tersebut. Sedangkan tafriij (farraja) lebih besar dari itu, yaitu menghilangkan kesulitan dari seseorang sehingga sirna kegundahan dan kesedihannya. Jadi balasan dari tanfiis ialah tanfiis dan balasan dari tafriij ialah tafriij.

 

Al-Baihaqi meriwayatkan dari hadits Anas secara marfu’ bahwa suatu ketika salah seorang penghuni surga di hari kiamat melihat ke arah penduduk neraka. lalu salah seorang penghuni neraka berseru memanggilnya: “Wahai fulan, apakah engkau mengenaliku?” Penghuni surga pun menjawab: “Tidak, aku tak mengenalimu, siapakah engkau?” Penghuni neraka itu lalu berkata: “Aku yg pernah bertemu dgnmu di dunia dan engkau meminta seteguk air dariku lalu aku memberikannya kepadamu.” Penghuni surga itu kemudian menjawab: “Ya, aku kenal.” Lalu penghuni neraka itu pun berkata: “(Jika begitu) mohonkanlah pertolongan dari Allah buatku.” Nabi bersabda: “Lalu ia memohon kepada Allah dan berkata: “Jadikanlah aku pemberi syafaat buatnya.” Maka diterimalah syafa’atnya buat penghuni neraka itu sehingga diperintahkan kepada para malaikat buat mengeluarkan orang tersebut dari neraka.”

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Kesulitan di antara kesulitan-kesulitan di hari kiamat.” Hal ini disebabkan berbagai kesulitan dunia dibandingkan dgn kesulitan-kesulitan di akhirat tak ada apa-apanya. Dalam Shahih al-Bukhari dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

يَعْرَقُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَذْهَبَ عَرَقُهُم فِي الْأَرْضِ سَبْعِيْنَ ذراعًا، وَيُلْجِمُهُمْ حَتَّى يَبْلُغَ آذَانَهُمْ (رواه البخاري)

 

Maknanya: “Banyak orang yg bercucuran keringat di hari kiamat hingga menetes di tanah setinggi 70 hasta dan mengekang mereka hingga tingginya mencapai telinga-telinga mereka” (HR. al-Bukhari)

 

Dalam Shahih Muslim dari al-Miqdad ibn al-Aswad berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

تُدْنِي الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْخَلْقِ حَتَّى تَكُوْنَ مِنْهُمْ كَمِقْدَارِ مِيْلٍ فَيَكُوْن النَّاسُ عَلَى قَدْرِ أَعْمَالِهِمْ فِي الْعَرَقِ فَمِنْهُمْ مَنْ يَكُوْنُ إِلَى كَعْبَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُوْنُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُوْنُ إِلَى حَقْوَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ الْعَرَقُ إِلْجَامًا (رواه مسلم)

 

Maknanya: “Pada hari kiamat, matahari mau mendekat kepada para hamba sehingga jaraknya dari mereka sekitar satu mil, maka orang-orang mau bercucuran keringat sesuai dgn amal mereka, di antara mereka ada yg keringatnya mencapai kedua mata kaki, ada yg mencapai dua lutut, ada yg mencapai dada dan ada yg terkekang mulutnya dgn keringatnya” (HR. Muslim)

 

Hadirin jama’ah shalat Jumat rahimakumullah,

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Barang siapa memudahkan bagi orang yg kesulitan, maka Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat.” Hal ini menunjukkan bahwa kesulitan mau terjadi di akhirat. Allah telah menegaskan tentang hari kiamat bahwa hari itu ialah hari yg sulit dan tak mudah bagi orang-orang kafir. Kemudahan di hari itu hanya berlaku buat selain orang kafir. Allah ta’ala berfirman:

 

وَكَانَ يَوْمًا عَلَى الكَافِرِينَ عَسِيرًا (الفرقان: 26)

 

Maknanya: “Dan itulah hari yg sulit bagi orang-orang kafir” (QS. Al-Furqan: 26)

 

Memudahkan orang yg kesulitan di dunia dalam segi harta ialah dgn salah satu dari dua hal:

 

Pertama, dgn memberikan waktu penundaan hingga mendapatkan kemudahan (mampu membayar hutangnya). Hukumnya wajib berdasarkan firman Allah ta’ala:

 

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إلَىَ مَيْسَرَةٍ (البقرة: ٢٨٠)

 

Maknanya: “Dan bila (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan” (QS. Al-Baqarah: 280)

 

Atau kedua, dgn membebaskannya dari tanggungannya bila orang yg memberi kemudahan ialah orang yg menghutanginya. Jika bukan, maka dgn memberikan harta yg menghilangkan kesulitannya tersebut. Dua hal ini memiliki keutamaan dan pahala yg agung.

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

كَانَ تَاجِرٌ يُدَايِنُ النَّاسَ فَإِذَا رَأَى مُعْسِرًا قَالَ لِفِتْيَانِهِ تَجَاوَزُوْا عَنْهُ لَعَلَّ اللهَ يَتَجَاوَزُ عَنَّا فَتَجَاوَزَ اللهُ عَنْهُ (رواه البخاري ومسلم)

 

Maknanya: “Ada seorang pedagang yg menghutangi orang-orang, maka bila ia melihat orang yg kesulitan membayar hutang, ia berkata kepada para pembantunya: Biarkan dan bebaskan dia, mudah-mudahan Allah mengampuni dan membebaskan kita, maka Allah pun mengampuni pedagang tersebut” (HR. al Bukhari dan Muslim)

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

 

مَاتَ رَجُلٌ فَقِيْلَ لَهُ بِمَ غَفَرَ اللهُ لَكَ؟ فَقَالَ كُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ فَأَتَجَّوَزُ عَنِ المُوْسِرِ وَأُخَفِّفُ عَنِ المُعْسِرِ (رواه البخاري ومسلم)

 

Maknanya: “Suatu ketika ada seorang laki-laki yg meninggal, maka ditanyakan kepadanya: dgn sebab apa Allah mengampuni dosa-dosamu?. Maka ia menjawab: Aku berdagang dan berjual beli dgn banyak orang, maka aku mempermudah terhadap orang-orang yg berkecukupan dan meringankan orang yg kesulitan” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

 

Dalam hadits yg lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

مَنْ أَرَادَ أَنْ تُسْتَجَابَ دَعْوَتُهُ وَأَنْ تكُشَفَ كُرْبَتُهُ فَلْيُفَرِّجْ عَنْ مُعْسِرٍ (رواه أحمد)

 

Maknanya: “Barang siapa yg mau dikabulkan doanya dan diangkat kesulitannya, hendaklah ia membebaskan orang yg kesulitan” (HR. Ahmad)

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

 

Demikian khutbah singkat pada siang hari yg penuh keberkahan ini. Semoga bermanfaat dan membawa barakah bagi kita semua. Dan kita doakan mudah-mudahan saudara-saudara kita yg terkena dan terdampak musibah gunung Semeru, diberi ketabahan dan kesabaran serta jalan keluar dan kemudahan.

 

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

 

Khutbah II

 

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

 

Ustadz Nur Rohmad, Katib Syuriyah MWCNU Dawarblandong, Mojokerto dan Pengasuh Majelis Ta’lim Nurul Falah, Mojokerto


Baca naskah khutbah lainnya:

 


 

​​​​​​​

 

Ikhlas Beramal Tak Mesti Berarti Menolak Kompensasi

Salah kaprah, bila masih memahami bahwa ikhlas selalu bertali kelindan dgn menolak kompensasi. Sungguh salah besar. Itu seperti pengertian orang bahwa makan harus selalu dgn tangan telanjang, padahal tak demikian, dapat menggunakan sarung tangan latex, sendok, sumpit, dan lain-lain. Maknanya, mendapatkan kompensasi dari hal baik yg kita lakukan tak menjadi konsekuensi dari ketidakikhlasan kita. Karena itu dua hal yg jauh berbeda.

 

Masyarakat awam kita tak sedikit yg gagal paham terkait ini. Misalnya, seusai melakukan aktivitas sosial, membantu tetangga, teman atau yg lain, ada beberapa orang yg enggan menerima kompensasi; entah dalam bentuk uang ataupun natura. Padahal, dapat saja ketika itu mereka membutuhkannya. Tapi sayg, sahabat-sahabat kita ini terkungkung budaya ‘malu’, khawatir diduga tak tulus membantu. Mau atau tidak, mereka harus menolak sedapat mungkin. Satu sisi, ini adab yg baik, setidaknya belajar buat tak mengharap apa-apa dari orang lain. Sialnya, bila motif penolakan tersebut tak demikian, tapi sebab malu dan takut diduga tak tulus. Rugi dua kali, telah jatuh malah tertimpa tangga.

 

Imam Abdullah bin Dhaifillah ar-Rohili dalam Thariquka ila al-Ikhlas wa al-Fiqh fi ad-Din (hal. 20-25) menulis panjang ihwal dua contoh yg legal dalam syariat dan masuk pada kajian ini, bahwa ikhlas tak mesti menolak imbalan.

 

Harta Ghanimah: Imbalan Materi buat para Mujahid

Benar memang, harta ghanimah itu urusan duniawi, tentang harta kekayaan. Tapi juga tak tepat bila menolak harta ghanimah atas nama keikhlasan berperang. Karena khawatir merusak niat tulusnya menegakkan agama Allah. Sahabat Abu Musa radhiyallahu ’anhu pernah berkisah tentang seorang sahabat yg mengadu kepada baginda Nabi terkait ragam motif para mujahid yg turut serta berperang, memperjuangkan Islam.  Seperti motif buat dapat ghanimah, ketenaran, dan seterusnya.

 

Berikut redaksinya dalam Thariquka ila al-Ikhlas wa al-Fiqh fi ad-Din (hal. 20):

 

عَنْ أَبِي مُوسَى رضي الله عنه قال: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقال: الرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلْمَغْنَمِ، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلذِّكْرِ، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ؛ فَمَنْ فِي سَبِيلِ اللهِ؟ قال: مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ

 

Artinya, “Abu Musa berkisah, suatu hari seorang laki-laki menghadap Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Ia bermaksud melapor ihwal motif para pejuang medan perang menghadapi musuh-musuh Allah. Ia berkata, ‘Dari sekian pejuang, ada yg berperang buat mendapat ghanimah, memperoleh popularitas, dan supaya orang melihat kecakapannya mengayun pedang. Siapakah di antara mereka yg berjuang di jalan Allah?,” tanyanya serius. Nabi menjawab, “Semuanya di jalan Allah selama mengibarkan panji Allah sebagai tujuan utamanya’,” jawab Nabi tak kalah serius.

 

Di sana, ar-Rohili mengutip seorang mufasir besar abad keempat Hijriah, Muhammad Ibnu Jarir at-Thabari (w. 310 H) yg berbunyi:

 

وبذلك صَرّح الطبري فقال: إذا كان أصل الباعث هو الأول لا يضره ما عَرَض له بعد ذلك

 

Artinya, “At-Thabari berkata, ‘Kalau memang motif utamanya ialah yg pertama (mengibarkan panji Allah), maka tak jadi soal ada niat lain atau tidak’.”

 

Dalam kajian fiqh, ini yg disebut dgn tasyrik an-niyyah (satu kerja banyak niat). Namun, dalam persoalan ini masih ada silang pendapat. Kendati, pendapat imam at-Thabari ialah pendapat ‘centang biru’, paling banyak diikuti.  Silang pendapat ini ditengarai oleh riwayat Abu Umamah—yg berbeda dgn hadits di atas—perihal seorang sahabat yg bertanya pada Nabi:

 

يا رسول الله؛ أرأيت رجلاً غزا يلتمس الأجر والذكر، ما له؟

 

Artinya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pandangan engkau tentang seseorang yg berperang tak hanya mengharap apresiasi ukhrawi, tapi juga popularitas?”

 

Rasulullah menjawab:

 

لا شيء له، فأعادها ثلاثاً، كلُّ ذلك يقول: لا شيء له، ثم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن الله لا يقبل من العمل إلا ما كان له خالصاً، وابتُغي به وجهه

 

Artinya, “‘Nihil. Tak dapat apa-apa’, kata Nabi. Sampai si penanya tadi mengulangi pertanyaannya tiga kali, namun jawaban Nabi tetap juga sama. Lalu, lanjut bersabda, ‘Sungguh Allah hanya menerima amal yg dilakukan dgn ikhlas, dan mengharap rida-Nya’.” (Thariquka ila al-Ikhlas wa al-Fiqh fi ad-Din, hal. 22-23)

 

Anjuran Saling Membalas Kebaikan

Normalnya, dalam hidup bersosial, kebaikan harus dibalas dgn kebaikan. Satu tingkat di atasnya, dibalas dgn imbalan yg lebih baik. Dan, yg tertinggi yaitu ketika kezaliman dibalas dgn senyuman. Tapi tak berarti boleh membiarkan kemungkaran, tak sama sekali. Kemungkaran harus segera diselesaikan dan dicegah. Karena yg disenyumi ialah empunya, bukan kezalimannya. Pertanyaannya, apakah menerima balasan kebaikan itu berarti ketidakikhlasan? Tentu tidak, seperti keterangan sebelumnya. Allah berfirman:

 

وَاِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِاَحْسَنَ مِنْهَآ اَوْ رُدُّوْهَا ۗ  اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيْبًا

 

Artinya, “Dan, apabila kamu dihormati dgn suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dgn yg lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu, yg sepadan) dgnnya. Sungguh, Allah memperhitungkan segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’[4]:86)

 

Imam Ar-Rohili berkata:

 

فِعْل المعروف المتبادَل بين المسلم وأخيه المسلم فهو أمرٌ مباح، بل هو مما أمر الله به المسلمين

 

Artinya, “Saling balas jasa antar sesama dalam kebaikan itu boleh-boleh saja, bahkan diperintahkan agama.” (Thariquka ila al-Ikhlas wa al-Fiqh fi ad-Din, hal. 24).

 

 

Alhasil, tak setiap kompensasi atau imbalan dari kebaikan yg kita lakukan merupakan warna ketidakikhlasan. Jangan pernah ragu mengambil kompensasi, selain sebab itu rezeki, secara tak langsung kita sedang membantu menyalurkan kebaikan saudara-saudara kita.

 

Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab.

 

Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur


 

Khutbah Jumat: empat Resep Hidup Bahagia

Materi khutbah Jumat ini memaparkan bahwa kebahagiaan yg menjadi tujuan hidup manusia dapat terwujud sebab beberapa hal, di antaranya rezeki yg halal, qanaah, taat kepada Allah sekaligus bias merasakan manisnya ketaatan itu.

 

Teks khutbah Jumat berikut ini berjudul “Khutbah Jumat: 4 Resep Hidup Bahagia”. Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini (pada tampilan dekstop). Semoga bermanfaat! (Redaksi)


Khutbah I

 

الْحَمْدُ لِلّٰهِ الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ هَدَانَا سُبُلَ السّلَامِ، وَأَفْهَمَنَا بِشَرِيْعَةِ النَّبِيّ الْكَريمِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلٰهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، ذُو الْجَلَالِ وَالْإكْرَامِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ، اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمّدٍ وَعَلَى اٰلِه وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإحْسَانٍ إلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

أَمَّا بَعْدُ: فَيَايُّهَا الْإِخْوَانِ، أوْصُيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي اْلقُرْاٰنِ اْلكَرِيمْ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ: يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًاۙ، يُّصْلِحْ لَكُمْ اَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْۗ وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا. وَقَالَ تَعَالَى: يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. صَدَقَ اللهُ العَظِيمُ

Jamaah shalat Jumat hafidzakumullah,

Setelah kita menjalankan shalat fardhu lima waktu, kita terbiasa berdoa:

 

رَبَّنا آتِنَا فِي الدُّنْيا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

 

“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.”

 

Pertanyaannya, bagaimana cara menggapai hidup bahagia? Tentu kita mau menjawabnya sesuai dgn tuntunan Allah swt dan Rasulullah Nabi Muhammad saw. Dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 97 Allah berfirman:

 

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

 

Artinya: “Barangsiapa mengerjakan kebabilan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti mau Kami berikan kepadanya kehidupan yg baik dan mau Kami beri balasan dgn pahala yg lebih baik dari apa yg telah mereka kerjakan” (QS an-Nahl: 97).

 

Imam al-Qurtubi menjelaskan di dalam kitabnya Tafsir al-Qurtubi  juz 10 halaman 174 bahwa terdapat beberapa tanda hidup bahagia:

 

Pertama ialah rezeki yg halal. Rezeki yg halal membuat hidup menjadi bahagia dan berkah, segala urusan menjadi mudah, keluarga penuh sakinah, mawaddah, dan rahmah, putra-putrinya saleh dan salehah, jiwa raga semangat buat ibadah, harta melimpah ruah, dapat digunakan buat haji dan umrah ke Makkah, serta ziarah Nabi Muhammad saw di Madinah, dan meninggal dalam keadaan husnul khatimah. Âmîn.

 

Rezeki yg halal menjadi pertanda seseorang hidup bahagia di dunia ini. Hal ini terbukti bila kita melihat beberapa contoh dalam kehidupan nyata: sebuah keluarga yg serba pas-pasan, membesarkan putra putrinya dgn serba kekurangan, namun dgn harta yg halal, alhmdulillah berkah dan dapat buat mengarungi kehidupan. Walaupun bila dirumuskan dgn matematika manusia, tak mau cukup. Namun matematika Allah dapat mencukupinya. Bagaimana tidak, bila sebulan penghasilan kurang dari satu juta, harus menghidupi 5 anaknya, namun dapat cukup. Tidak hanya itu, sebab berkah rezeki halal, anak-anaknya juga menjadi orang yg dapat dibanggakan. Rezeki yg halal merupakan tanda hidup bahagia.

 

Kedua, qanaah, ridha dgn pemberian Allah, dalam bahasa Jawa disebut nerimo ing pandum (menerima terhadap bagian yg diberikan Allah SWT). Seseorang yg memiliki uang banyak, jabatan yg tinggi, harta yg melimpah ruah, namun tak memiliki sifat qanaah, ia mau selalu kurang, serakah, rakus, dan tentunya hidupnya tak bahagia. Nabi Muhammad saw bersabda  dalam hadits Riwayat Imam Muslim dalam Shahih Muslim juz 2 halaman 730:

 

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ

Artinya: “Sungguh beruntung orang yg masuk Islam, diberi kecukupan rezeki, dan diberikan qanaah oleh Allah atas apa yg diberikan kepadanya.

 

Bagaimana supaya kita dapat qanaah? Nabi bersabda dalam sebuah hadis yg diriwayatkan oleh Imam Muslim:

 

انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ

 

Artinya: “Lihatlah orang yg ada di bawah kalian, jangan melihat seseorang yg ada di atas kalian, hal tersebut supaya kalian tak meremehkan nikmat Allah kepada kalian (HR. Muslim).

 

Sebagai contoh, seseorang yg memiliki mobil harus bersyukur sebab masih banyak orang yg naik motor dan tak mampu membeli mobil. Mereka yg naik motor harus bersyukur sebab masih banyak yg naik sepeda dan tak mampu membei motor. Orang yg naik sepeda juga wajib bersyukur, sebab masih ada yg berjalan kaki dan tak mampu membeli sepeda. Begitu juga orang yg berjalan, harus bersyukur sebab masih ada yg tak dapat berjalan, dan begitu seterusnya”. Orang yg memiliki sifat qanaah menunjukkan hidupnya Bahagia dan tak susah.

 

Ketiga, taufiquhu ilath-thâ‘at, yakni mendapatkan pertolongan Allah buat melakukan kebaikan, ibadah, dan taat kepada Allah swt.  Bagaimana supaya kita mendapatkan pertolongan Allah? Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Muhammad ayat 7:

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ تَنْصُرُوا اللّٰهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ اَقْدَامَكُمْ

 

Artinya: “Hai orang-orang mukmin, bila kamu menolong (agama) Allah, niscaya Allah mau menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”

 

Menurut Imam Ath-Thabari dalam Tafsir Jamiul Bayan juz 21 halaman 191, Allah mau menolong orang yg beramal sesuai dgn apa yg dicintai dan diridhoi Allah swt, yaitu orang yg berjuang di jalan Allah. Seperti orang yg menuntut ilmu, mengajar di lembaga keilmuan, orang yg memakmurkan masjid, dan sesamanya.  Merekalah orang yg mau mendapatkan pertolongan Allah dan hidupnya mau diwarnai dgn kebahagiaan.

 

Keempat, halâwah thâ‘ât, yaitu merasakan manisnya ibadah dan taat kepada Allah swt. Nabi bersabda dalam sebuah hadis yg diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari, juz 1 halaman 12:

 

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُوْنَ اللّٰهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

 

Artinya: “Ada tiga orang yg dapat menemukan manisnya keimanan: (1) orang yg lebih mencintai Allah dan Rasul dibanding selainnya, (2) orang yg mencintai seseorang sebab Allah, (3) orang yg membenci buat kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci dimasukkan ke neraka.  

 

Dari sini dapat disimpulkan bahwa anjuran Rasulullah supaya kita menggapai kebahagiaan ialah memperoleh rezeki yg halal, qanaah (menerima) apa yg telah diberikan Allah, mendapat pertolongan Allah dalam ketaatan, dan dapat merasakan nikmatnya keimanan. Semoga kita semua selalu mendapatkan rahmat Allah supaya kita menjadi manusia yg bahagia hidup di dunia dan akhirat. Amin.

 

باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ وذِكْرِ الحَكِيْمِ.  إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ

 

Khutbah II

 

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِي إلَى رِضْوَانِهِ. اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا

 

أَمَّا بَعْدُ فَيَا اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّٰهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيّ وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

 

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ الْاَحْيَآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللّٰهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلَامَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اللّٰهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلَاءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلَازِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خَآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عَآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَر

 

Rustam Ibrahim, dosen UIN Raden Mas Said Surakarta


Baca naskah khutbah Jumat lainnya:


 

Khutbah Jumat: Hari Guru Nasional, Mari Jadi Guru Teladan!

Materi khutbah Jumat mengajak kepada seluruh jamaah buat bersama-sama memajukan pendidikan di Indonesia. Keteladanan guru menjadi kunci penting keberhasilan belajar peserta didik. Namun, tentu saja perbaikan bukan hanya menyasar pada pengajar, tapi juga pelajar, dan para orang tua, lembaga pendidikan, dan sistem pendidikan secara umum.
 

Teks khutbah Jumat berikut ini berjudul “Khutbah Jumat: Hari Guru Nasional, Mari Menjadi Guru yg Teladan”. Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini (pada tampilan dekstop). Semoga bermanfaat! (Redaksi)


Khutbah I

 

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا يُوَافِي نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَه، يَا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِي لِجَلَالِ وَجْهِكَ الْكَرِيْمِ وَلِعَظِيْمِ سُلْطَانِك. سُبْحَانَكَ اللّٰهُمَّ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَصَفِيُّهُ وَخَلِيْلُهُ. خَيْرَ نَبِيٍّ أَرْسَلَهُ. أَرْسَلَهُ اللهُ إِلَى الْعَالَمِ كُلِّهِ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا. اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَاةً وَسَلَامًا دَائِمَيْنِ مُتَلَازِمَيْنِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْن. أَمَّا بَعْدُ فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ: شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِۚ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

 

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Di hari yg mulia ini, khatib menyeru kepada jamaah sekalian buat senantiasa menjaga dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah dgn semaksimal mungkin, takwa dalam artian menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Dengan ketakwaan, amal ibadah yg kita lakukan dapat diterima di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

 

Jamaah yg dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala,

Setiap tanggal 25 November kita baru saja memperingati hari guru nasional. Peringatan ini bertujuan buat mengenang, menghargai dan mengapresiasi jasa para guru di Indonesia. Tema hari guru nasional 2021 ialah “Bergerak dgn Hati, Pulihkan Pendidikan”. Melihat tema ini, maka kita sebagai warga Indonesia memiliki tugas buat memulihkan kualitas pendidikan Indonesia, tentunya bukan hanya murid saja yg dituntut buat diperbaiki, namun semua elemen pendidikan, yaitu guru, murid, dan orang tua murid.

 

Terkait guru, Islam ialah agama yg memposisikan seorang guru di tempat yg mulia. Guru merupakan orang yg berilmu, yg patut dicontoh oleh murid-muridnya. Oleh sebab itu, seorang guru haruslah senantiasa menjaga perilaku dan etikanya supaya dapat menjadi contoh bagi murid-muridnya. Guru ialah seorang yg berilmu, sedang orang yg beriman dan berilmu mau Allah tinggikan derajatnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Al-Quran surah al-Mujialah ayat 11:

 

يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

 

Artinya: “Allah mau meninggikan orang-orang yg beriman di antaramu dan orang-orang yg diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS al-Mujialah: 11).

 

Jamaah yg dimuliakan Allah subahanahu wa ta’ala

Menjadi guru yg teladan merupakan sebuah keharusan, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Mengenai keteladanan seorang guru, terdapat kisah antara Imam Syafi’i dan guru dari anak-anak Khalifah Harun Arrasyid. Kisah ini tertulis dalam kitab Miatu Qishhah wa Qishhah min Hayati Imam al-Syafi’i karya Syekh Shiddiq al-Minsyawi.

 

Suatu hari Imam al-Syafi’i mengunjungi Amirul Mukminin Harun Arrasyid. Beliau meminta izin buat masuk ke rumahnya. Sampai di sana, Imam Syafi’i ditemani pembantu Harun Arrasyid buat menemui Abu ‘Abdul Shamad, guru yg mengajari anak-anak Khalifah Harun.

 

Si pembantu berkata kepada Imam Syafi’i, “Wahai Imam, ini ialah anak-anak Khalifah Harun dan itu ialah guru mereka, barangkali engkau berkenan memberikan nasihat kepada mereka.”

 

Imam Syafi’i pun dgn senang hati memberikan nasihat berharga kepada Abdul Shamad:

 

“Hal pertama yg perlu diperhatikan dalam mendidik seorang murid ialah memperbaiki dirimu terlebih dahulu. Sungguh, pandangan mereka tertuju kepadamu. Mereka mau mengikuti kamu dalam memandang baik buruknya sesuatu. Maka ajarilah mereka Al-Quran. Jangan kamu paksa mereka sehingga mereka jadi bosan buat belajar, jangan juga kamu terlalu lalai sehingga mereka meninggalkan pelajaran. Kemudian ajarilah mereka syair dan hadis supaya jiwa mereka menjadi baik dan mulia. Dan janganlah kamu bawa mereka dari satu pelajaran ke pelajaran lainnya, sebelum mereka benar-benar menguasai pelajaran tersebut. Sebab, banyaknya pembicaraan yg masuk ke pendengaran, dapat membuat sesat pemahaman”

(Muhammad Shiddiq al-Minsyawi, 100 Qishshah wa Qishshah min Hayat al-Syafi’i, Kairo: Qataf Linnasyr wa al-Tawzī’, 2015, hal. 18)

 

Jamaah salat Jumat yg dirahmati Allah subahanu wa ta’ala

Dari nasihat Imam Syafi’i tersebut, banyak poin-poin penting yg dapat dijadikan pedoman bagi seorang guru. Yaitu, hendaknya seorang guru menjadi teladan bagi seorang murid, teladan dalam arti guru turut dalam mencontohkan perbuatan-perbuatan baik, tak hanya menyuruh murid buat melakukannya.

 

Misalnya, di sekolah ada peraturan buat melaksanakan salat sunah duha berjamaah, maka selayaknya guru-guru di sekolah tersebut ikut dalam pelaksanaannya, sehingga para murid antusias dalam kegiatan salat duha berjamaah. Misal lainnya ialah dalam menanamkan minat baca, seorang guru harus memulai dari dirinya terlebih dahulu, barulah kemudian menganjurkan kepada murid-muridnya. Termasuk dalam hal kerapihan dan kebersihan.

 

Poin selanjutnya ialah, ajarilah Al-Quran dan hadis kepada para murid, juga ajarkan mereka ilmu-ilmu kebahasaan. Terakhir, ketika mengajarkan materi kepada anak, guru harus menggunakan cara efektif sehingga murid tak bosan, jangan juga berpindah-pindah dari satu materi ke materi lainnya sebelum dia benar-benar memahaminya.

 

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.

Demikianlah nasihat Imam Syafi’i kepada guru. Guru ialah profesi yg mulia, mereka bertugas menyebarkan ilmu kepada murid-muridnya, mengajarkan etika dan norma yg baik sekaligus menjadi contoh dan panutan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللّٰهِ صلَّى اللّٰهُ عليْهِ وسلَّمَ إنَّ اللّٰهَ وَمَلَائِكتَهُ وأَهلَ السَّماوَاتِ وَالأَرْضِ حَتَّى النَّمْلةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الحُوْتَ لِيُصَلُّونَ عَلى مُعَلِّمِ النَّاسِ الخيرَ

 

Artinya: Keutamaan seorang yg berilmu atas ahli ibadah ialah seperti keutamaanku atas orang yg paling rendah di antara kalian. Sungguh Allah, malaikat, penduduk langit, dan bumi, bahkan semut di sarangnya, juga ikan paus, mereka semua mendoakan orang yg mengajarkan manusia kepada kebaikan.

 

بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هٰذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم

 

Khutbah II

 

الْحَمْدُ لِلّٰهِ وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ، ثُمَّ الْحَمْدُ لِلّٰهِ. أَشْهَدُ أنْ لآ إلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ لَا نَبِيّ بعدَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ.

 

أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يٰأَيُّها الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ سَيِّدَنَا مُحَمَّدٍ. اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ، اَلْأَحْياءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ والقُرُوْنَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتَنِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا إِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عامَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ

 

اللّٰهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ

 

عٍبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَر

 

 

Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Luhur Ilmu Hadits Darus-Sunnah dan Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Baca naskah khutbah Jumat lainnya:


 

Khutbah Jumat: Cara Menghadirkan Rasulullah

Khutbah Jumat ini memberikan cara bagaimana menghadirkan Rasulullah saw dalam kehidupan kita. Dengan kehadirannya, maka Allah swt tak mau menurunkan adzab kepada kita. Bagaimana cara kita menghadirkan Rasulullah dalam kehidupan kita ketika ini? berikut caranya dalam khutbah Jumat berjudul: Khutbah Jumat: Cara Menghadirkan Rasulullah


Khutbah I

الْحَمْدُللهِ الْقَوِيّ سُلْطَانُهْ. اَلْوَاضِحِ بُرْهَانُهْ. اَلْمَبْسُوْطِ فِى الْوُجُوْدِ كَرَمُهُ وَاِحْسَانُهْ. تَعَالَى مَجْدُهُ وَعَظُمَ شَانُهْ. خَلَقَ الْخَلْقَ لِحِكْمَهْ. وَطَوَى عَلَيْهَاعِلْمَهْ. وَبَسَطَ لَهُمْ مِنْ فَائِضِ الْمِنّةِ مَاجَرَتْ بِهِ فِى اَقْدارِهِ الْقِسْمَهْ. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَه. اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ.
اَمَّا بَعْدُ فَيَاأَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ. أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ. وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمۡ وَأَنتَ فِيهِمۡۚ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ مُعَذِّبَهُمۡ وَهُمۡ يَستَغفِرُونَ

Ma’asyiral muslimin Jamaah Jumat rahimakumullah,
Alhamdulillah pada kesempatan Jumat yg mulia ini, kita masih diberikan rahmat, hidayah, serta inayah oleh Allah swt sehingga kita masih dapat mengungkapkan rasa syukur dgn melaksanakan rangkaian ibadah shalat Jumat di masjid ini dalam keadaan sehat wal ‘afiat.

Sebagai wujud rasa syukur kita kepada Allah swt, marilah kita senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita dgn sebenar-benar keimanan dan sebaik-baik ketakwaan, minimal dgn cara imtitsâlu awâmirillâh wajtinâbu nawâhîhi, yaitu menjalankan apa pun yg diperintahkan oleh Allah swt dan berupaya dgn sungguh-sungguh menjauhi apa pun yg dilarang-Nya. Sebab dgn jalan takwa inilah Allah menjanbilan kemuliaan bagi hamba-hamba-Nya, sebagaimana terfirman dalam al-Qur’an:

 إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Artinya: “Sesungguhnya orang yg paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yg paling takwa diantara kamu” (QS Al-Hujurat: 13)

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Diantara nikmat agung yg dianugerahkan Allah dan barangkali banyak dari kita yg tak menyadari wujud nikmat itu ialah kita dipilih oleh Allah swt sebagai umat Rasulullah saw.

Keistimewaan menjadi umat Rasulullah yg tak diberikan kepada ummat Nabi sebelumnya yaitu Allah tak mau memberikan adzab kepada umat Rasulullah selagi beliau berada di lingkungannya. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surah al-Anfal ayat 33:

وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمۡ وَأَنتَ فِيهِمۡۚ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ مُعَذِّبَهُمۡ وَهُمۡ يَستَغفِرُونَ

Artinya: “Dan Allah sekali-kali tak mau mengadzab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah mau mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun”

Menurut salah satu riwayat yg dikemukakan oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya, ayat ini diturunkan sehubungan dgn Abu Jahal melantunkan doa:

ٱللَّهُمَّ إِن كَانَ هَٰذَا هُوَ ٱلحَقَّ مِنۡ عِندِكَ فَأَمطِرۡ عَلَينَا حِجَارَةٗ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ أَوِ ٱئتِنَا بِعَذَابٍ أَلِيم

Artinya: “Ya Allah, bila betul (Al Quran) ini, dialah yg benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dgn batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yg pedih”.

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dgn mengutip perkataan Ibnu Abbas ra., bahwa Allah swt tak mau menurunkan adzab-Nya kepada suatu kaum, sedangkan nabi-nabi mereka berada di antara mereka, hingga Allah mengeluarkan nabi-nabi itu dari kalangan mereka.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Ayat ini memberikan gambaran kepada kita, bila kita dapat menghadirkan Rasulullah dalam kehidupan kita, maka Allah swt tak mau menurunkan adzab kepada kita. Lalu pertanyaannya, bagaimana cara kita menghadirkan Rasulullah dalam kehidupan kita ketika ini?

Pertama ialah dgn istiqamah menghidupkan sunnah-sunnahnya. Dalam hadits yg diriwayatkan oleh imam at-tirmidzi, Rasulullah bersabda:

من أحيا سنّتي فقد أحياني ومن أحياني كان معي في الجنّة

 
Artinya: “Barangsiapa menghidupkan sunnahku, maka ia benar-benar menghidupkan aku, dan barangsiapa menghidupkan aku, maka ia bersamaku di surga.” (HR. At-Tirmidzi)

Kata “menghidupkan aku” dalam teks hadits ini tentu yg dimaksud bukanlah secara zhahir Rasulullah saw kembali hidup secara kasat mata di hadapan kita. Akan tetapi secara maknawi Beliau selalu tergambar sebagai teladan dalam segala bentuk dan gerak aktivitas keseharian kita. Maka dgn kita menghidupkan sunnah-sunnahnya sama dgn sedang menghadirkan Rasulullah saw dalam kehidupan kita.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Kemudian cara menghadirkan Rasulullah yg kedua ialah dgn memperbanyak ucapan salam penghormatan kepada beliau. Sebagaimana yg diperintahkan dalam al-Qur’an:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Artinya: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat buat Nabi. Hai orang-orang yg beriman, bershalawatlah kamu buat Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS: Al-Ahzab ayat 56)

Selain keutamaan shalawat yg begitu besar, ucapan salam juga memiliki keutamaan luar biasa sebagaimana disabdakan dalam sebuah hadits:

مَا مِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ إِلَّا رَدَّ اللَّهُ عَلَيَّ رُوحِي حَتَّى أَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ

Artinya: “Tidaklah seseorang memberikan salam kepadaku melainkan Allah mau mengembalikan nyawaku hingga aku membalas salamnya.” (HR. Abu Daud No.1745)

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw setelah wafatnya masih dapat memberikan salam yg merupakan doa kepada umatnya. Sehingga kalau kita cermati, setiap redaksi salam, lebih banyak menggunakan dhamir mukhatab (orang yg diajak bicara) yg menyiratkan kedekatan Beliau dgn kita. Seperti ketika duduk tahiyat dgn ucapan salam “Assalamu ‘Alaika Ayyuhan Nabi” atau redaksi nasyid “Ya Nabi Salam ‘Alaika” atau “Assalamu ‘Alaik Zainal Anbiya”.

Hal ini juga yg menjadi landasan keyakinan bahwa Rasulullah saw senantiasa hadir dalam majelis-majelis maulid yg diisi dgn bacaan shalawat dan salam buat Beliau dan kita berdiri menyambutnya.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Semoga Allah swt senantiasa memudahkan kita buat menghidupkan sunnah-sunnah nabi-Nya dan Allah membersamakan kita dgn Rasulullah di surga-Nya. Amin Ya Rabbal ‘Alamin

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْأنِ اْلعَظِيْم، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلأيَاتِ وَالذِّكْرِ اْلحَكِيْم، وَتَقَبَّلْ مِنِّي وَمِنْكُم تِلاَوَتَهُ ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ، أَعُوْذُ بِاللّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. وَالْعَصْرِ. إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ. إِلَّا الّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّالِحَاتِ وَتَوَا صَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْر، أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah II

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذي وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الصِّدْقِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
 أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Burhan Ali Setiawan, Wakil Ketua Lembaga Dakwah NU PCNU Kota Semarang


Baca naskah khutbah Jumat lainnya:


Membahas tentangTokoh Masyarakat & Ulama Jawa Timur Gelar Istigasah Kubra Secara Daring

Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentangTokoh Masyarakat & Ulama Jawa Timur Gelar Istigasah Kubra Secara Daring,

Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Ketua DPRD Jawa Timur Kusnadi dan Forkopimda Jatim mengikuti Istighatsah Kubro Dalam Jaringan (Daring) di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Rabu, 8 April 2020.

Istigasah yg digelar secara daring dari tiga tempat yakni Gedung Negara Grahadi (Surabaya), Kantor PWNU Jatim (Surabaya) dan Ponpes Lirboyo (Kediri) tersebut buat mohon supaya pandemi Covid-19 segera berakhir. ANTARA Foto/Moch Asim

(SBH)

Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentangTokoh Masyarakat & Ulama Jawa Timur Gelar Istigasah Kubra Secara Daring . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.

terima kasih





Membahas tentangNada & Dakwah ala Kikan eks Cokelat

Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentangNada & Dakwah ala Kikan eks Cokelat,

Setelah hengkang dari Cokelat, Kikan Namara menyibukkan diri di Komunitas Musisi Mengaji (Komuji). Seperti apa kegiatannya?

(SBH)

Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentangNada & Dakwah ala Kikan eks Cokelat . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.

terima kasih