Membahas tentang Doa ketika Melihat Pertanda Buruk

Rasulullah saw mendidik sahabatnya supaya bersikap wajar ketika melihat sebuah pertanda buruk. Rasulullah mengajarkan doa yg menunjukkan bahwa kebaikan dan keburukan itu berada di tangan Allah, bukan ditentukan oleh sebuah pertanda buruk.

Rasulullah mengajarkan doa sebagai berikut ketika kita melihat sebuah pertanda buruk:

اللَّهُمَّ لَا يَأْتِي بِالحَسَنَاتِ إِلَّا أَنْتَ وَلَا يَذْهَبُ بِالسَّيِّئَاتِ إِلَّا أَنْتَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ

Allāhumma lā ya’tī bil hasanāti illā anta, wa lā yadzhabu bis sayyi’āti illā anta, wa lā hawla wa lā quwwata illā billāhi.

Artinya: “Ya Allah, tak ada yg dapat mendatangkan kebaikan kecuali Engkau, dan tak ada yg menghilangkan keburukan kecuali Engkau. Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali kekuatan Allah.”

Doa ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Abu Nuaim, dan Ibnus Sinni. (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz I, halaman 407).

 

Baca:

Imam An-Nawawi menyebutkan riwayat Ibnus Sinni dari Uqbah (Urwah) bin Amir Al-Juhani ra bercerita, suatu hari Rasulullah ditanya perihal pertanda buruk. Ia menjawab, “Paling benarnya ialah pertanda baik. Sedang pertanda buruk tak dapat menolak seorang muslim. Kalau kalian melihat pertanda (buruk) yg kalian tak sukai, hendaklah membaca, ‘Allāhumma lā ya’tī bil hasanāti illā anta, wa lā yadzhabu bis sayyi’āti illā anta, wa lā hawla wa lā quwwata illā billāhi,’ ” (An-Nawawi, Al-Adzkar, [Kairo, Darul Hadits: 2003 M/1424 H], halaman 300).

Dalam hadits tersebut, Rasulullah menegaskan bahwa sebuah pertanda buruk tak dapat menolak atau membelokkan dari maksud baik seorang muslim. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)

 

Membahas tentang Wajah Asli Manusia dalam Pandangan Ilmu Hakikat

Dalam ilmu tasawuf, terdapat hal yg bersifat eksoterik (pengetahuan yg dapat dimengerti oleh siapa saja) dan yg bersifat esoteris (pengetahuan yg dimengerti oleh sejumlah orang secara terbatas). Demikian juga wajah manusia, dalam pandangan ilmu hakikat, mau tampak aslinya.

Dalam ilmu hakikat, wajah manusia dilihat dari sifat batinnya, bukan tampilan fisik lahiriyahnya. Bila memiliki hati yg suci penuh dgn sifat terpuji, yaitu syukur, sabar, ridha, qana’ah, murah hati, lapang dada, pemaaf, dan sifat terpuji lainnya (qalbin salim), maka wajah asli orang tersebut menampakkan cahaya kesucian. 

Adapun orang yg berhati busuk berisi kedengkian, kemarahan, ketamakan, kesombongan, dan sifat tercela lainnya, maka ia hakikatnya memiliki wajah yg buruk rupa meski wajah lahiriyahnya rupawan.

Hal ini diisyaratkan oleh Rasulullah dalam hadits berikut ini:

لا تدخل الملائكة بيتا فيه كلب

 
Artinya,: “Malaikat tak masuk ke dalam rumah yg terdapat anjing di dalamnya,” (Muttafaq alaih dari Abu Thalhah Al-Anshari).

Imam Al-Ghazali mengakui bahwa kata “baytun” (rumah) pada hadits tersebut tak diterjemahkan secara harfiah sebagai batin manusia dan kata “kalbun” (anjing) sebagai dendam, tamak, marah, dan sifat tercela lainnya. Tetapi menurutnya, hadits ini memberikan isyarat lebih jauh buat menelisik wajah asli kita sebagai manusia.

Imam Al-Ghazali kemudian memandang wajah manusia secara ilmu hakikat. Menurutnya, wajah asli manusia ditentukan oleh sifat terpuji dan sifat tercela di dalam batin manusia. 

واعلم أن القلب المشحون بالغضب والشره إلى الدنيا والتكلب عليها الحرص على التمزيق لأعراض الناس كلب في المعنى وقلب في الصورة فنور البصيرة يلاحظ المعاني لا الصور

Artinya: “Ketahuilah, batin manusia yg penuh dendam-kemarahan, ketamakan duniawi, keranjingan dunia, dan hasrat merusak kehormatan orang lain hakikatnya ialah anjing meski tampilan fisiknya ialah hati manusia. Sedangkan cahaya bashirah (mata batin) memandang hakikat, bukan bentuk fisiknya,” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz I, halaman 68).

Kulit, artifisial, tampilan fisik, segala hal yg lahiriyah, dan kasatmata di dunia lebih dominan ketimbang substansi dan hakikat. Adapun hakikat tersembunyi di dalamnya. Sedangkan di akhirat nanti segala yg lahiriyah itu tunduk pada sifat asli manusia yg terdapat di dalam batinnya. Oleh sebabnya, setiap orang kelak mau dikumpulkan dalam bentuk aslinya yg hakiki. (Al-Ghazali, 2018 M/1439-1440 H: I/68).

فيحشر الممزق لأعراض الناس كلبا ضاريا والشره إلى أموالهم ذئبا عاديا والمتكبر عليهم في صورة نمر وطالب الرياسة في صورة 

Artinya: “Orang yg merusak kehormatan orang lain mau dikumpulkan di akhirat sebagai anjing predator, orang yg tamak atas harta orang lain sebagai serigala buas, orang yg arogan sebagai macan tutul, orang yg gila kekuasaan sebagai singa,” (HR Ats-Tsa’labi).

Menurut Imam Al-Ghazali, anjing dan binatang buas lain dipandang hina bukan sebab fisiknya. Anjing dan binatang buas lainnya dipinjam sebagai simbol keburukan sebab sifat kebuasan dan unsur “najisnya” (sifat dendam, tamak, serakah) yg mencemari batin manusia. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)

Membahas tentang Bacaan Rasulullah Ketika Masuk Rumah & Kelancaran Rezeki

Membahas tentang rezeki, maka sama halnya membahas perihal suatu bagian yg tak terpisahkan dari siklus ketetapan, siklus penciptaan, serta bagian-bagian yg telah diatur oleh Allah swt dan tercatat di Lauhil Mahfudz, yg semuanya berkaitan dgn takdir.

Sebagai umat Islam, yg harus dipercaya dan diyakini pertama kali ialah janji Allah yg telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, bahwa semua makhluk yg ada di muka bumi telah memiliki jaminan masing-masing tentang rezeki.

Dalam ajaran Islam, rezeki sama sekali tak selalu berhubungan dgn materi. Ia murni sebagai nikmat dari Allah yg wajib disyukuri, baik berupa harta, sehat jasmani dan rohani, serta dapat hidup dgn taat kepada-Nya, semuanya ialah rezeki.

Hanya saja, beberapa orang masih memandang bahwa rezeki ialah tentang kekayaan dan uang yg melimpah, yg hal itu hanya dapat dirasakan oleh beberapa pihak saja.

Kaya dgn memiliki uang yg sangat banyak, tak lantas dapat dinikmati secara menyeluruh, begitu juga dgn hidup miskin, tak lantas membuatnya tak dapat menikmati apa yg dapat dirasakan oleh orang kaya.

Semuanya sama-sama berhak dan niscaya, hanya saja latar belakang miskin terkadang sering dijadikan alasan bahwa mereka tak mau pernah menikmati apa yg dirasakan orang kaya.

Jika kaya ialah suatu keniscayaan bagi manusia, maka miskin juga demikian, ia menjadi sesuatu keniscayaan yg dapat dirasakan oleh siapa saja. Semuanya berhak buat kaya, dan juga niscaya buat fakir dan miskin. Akan tetapi, hidup kaya dgn serba berkecukupan menjadi suatu kemauan setiap manusia.

Hidup dgn tak bergantung kepada orang lain merupakan dambaan setiap makhluk hidup, termasuk manusia.

Oleh sebabnya, dalam catatan sejarah, tak sedikit para sahabat yg mengadukan nasibnya kepada Rasulullah perihal kehidupan mereka yg mengalami kesulitan, hidup fakir miskin dan penuh kekurangan perihal materi.

Rasulullah juga tak menutup mata dan membiarkan mereka terus menerus hidup dalam kekurangan. Beliau memberikan beragam cara dan tips-tips supaya para sahabat terhindar dari kefakiran dan kemiskinan.

Kisah-kisah itu oleh para ulama diabadikan dalam suatu kitab karangan mereka, menjadi suatu bab secara khusus yg hanya menjelaskan tentang cara-cara supaya terhindar dari kemiskinan.

Misalnya, Sayyid Muhammad bin Ali Khirrid al-Alawi al-Husaini at-Tarimi, dalam salah satu kitab karyanya menceritakan tentang suatu riwayat dari sahabat Sahal bin Sa’ad tentang seorang laki-laki yg hidup dalam kefakiran dan kemiskinan.

Salam dan Al-Ikhlas sebelum Masuk Rumah

Dalam kitab tersebut, Sayyid Muhammad bin Ali menceritakan bahwa suatu ketika datang kepada Rasulullah seorang laki-laki, dgn tujuan buat mengadukan nasibnya.

Dalam pertemuannya, laki-laki itu menceritakan kepada Rasulullah bahwa dirinya tumbuh menjadi seorang fakir miskin yg hidupnya tak memiliki penghasilan sedikit pun, kebiasaannya sehari-hari selalu bergantung kepada orang lain; terkadang meminta, kadang juga berutang.

Mendengar kisah kehhidupan laki-laki tersebut, Rasulullah kemudian memberikan tips supaya terhindar dari hidup dalam keadaan fakir miskin. Rasulullah bersabda,

اِذَا دَخَلْتَ مَنْزِلَكَ فَسَلِّمْ، اِنْ كَانَ فِيْهِ أَحَدٌ، وَاِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ أَحَدٌ فَسَلِّمْ عَلَيَّ وَاقْرَأَ (قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ) مَرَّةً وَاحِدَةً

Artinya, “Apabila engkau memasuki rumahmu maka (ucakanlah) salam bila di dalamnya ada satu orang, dan bila tak ada seorang pun di dalamnya, maka (ucapkanlah) salam kepadaku (assalamu alaika ya Rasulallah) dan bacalah (qul huwa Allahu Ahad) satu kali.” (Sayyid Muhammad bin Ali Khirrid, al-Wasailusy Syafiyah fil Adzkarin Nafi’ah wal Auradil Jami’ah [cetakan pertama: 1405 H], halaman 471).

Sebagai umat Islam, ketika laki-laki tersebut mendengar penjelasan Rasulullah, ia sangat bangga dan bersedia buat melakukan apa yg telah dijarakah oleh nabi akhir zaman itu.

Ia pun pulang dgn sangat lega, meski materi berupa uang dan sesamanya tak ia terima dari Rasulullah, mau tetapi dgn bacaan itu telah melebih materi berupa dunia dan isinya.

Sampai di rumah, laki-laki itu langsung mengamalkan apa yg ia terima dari Rasulullah, bahkan ia dgn istiqamah membaca salam ketika hendak masuk ke dalam rumahnya, bila ia tahu di dalam ada orang, dan membaca salam kepada Rasulullah bila tak ada seorang pun, kemudian dilanjut dgn membaca surat Al-Ikhlas. Alhasil, Allah memberikan rezeki melebihi apa yg dimaukan sebelumnya,

فَأَدَرَّ اللهُ عَلَيْهِ الرِّزْقَ، حَتَّى أَفَاضَ عَلَى جِيْرَانِهِ وَقَرَابَاتِهِ

Artinya, “Maka Allah mengatur (memberi) kepadanya rezeki, hingga melimpah kepada tetangga dan kerabatnya.” (Muhammad bin Ali Khirrid: 471).

Membaca Shalawat

Masih dalam kitab yg sama, halaman yg sama, dan kisah yg juga sama, yaitu sama-sama fakir miskin. Namun kisah ini berasal dari sumber yg berbeda.

Sayyid Muhammad bin Ali Khirrid menceritakan kisah Imam al-Qasthalani yg dalam hidupnya juga berbanding lurus dgn kisah laki-laki di atas. Ia juga salah satu ulama yg sejarahnya juga hidup dalam keadaan fakir dan miskin. Sandang pangan sangat sulit baginya disebabkan tak adanya penghasilan sedikit pun dalam kesehariannya.

Demikian Imam al-Qasthalani dalam setiap harinya, hingga umurnya yg telah mendekati senja masih saja dalam hidup yg serba kekurangan. Akan tetapi, suatu ketika ia bermimpi didatangi oleh Rasulullah mimpinya.

Tanpa basa-basi, al-Qasthalani langsung menceritakan hidupnya yg sangat melarat kepada nabi pemberi syafaat itu. Rasulullah kemudian mengatakan kepadanya buat membaca shalat berikut:

اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَهَبْ لَنَا مِنْ رِزْقِكَ الْحَلَالِ الطَّيِّبِ الْمُبَارَكِ مَا تَصُوْنُ بِهِ وُجُوْهَنَا عَنِ التَّعَرُّضِ اِلَى أَحَدٍ مِنْ خَلْقِكَ

Artinya, “Ya Allah limpahkanlah kesejahteraan kepada Nabi Muhammad, dan berilah kepada kami dari rezeki-Mu yg halal, baik, diberkahi, yg dgn rezeki itu dapat menjaga wajah-wajah kami dari bergantung kepada seorang dari makhluk-Mu.”

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa dalam ajaran Islam juga diajarkan tentang cara menjadi orang-orang yg terhindar dari fakir miskin (kaya). Islam tak pernah menutup mata dan membiarkan pemeluknya hidup dalam keadaan melarat. Hanya saja, tolok ukurnya memiliki beberapa cara; ada yg dgn bekerja dan berusaha, dan ada juga yg bekerja disertai dgn zikir-zikir buat meningkatkan spiritual kepada pemberi rezeki, yaitu Allah.

Cara yg terakhir ini harus kembali ditumbuhkan dalam diri setiap muslim, bahwa rezeki tak selalu tentang usaha dan bekerja. Ada juga yg oleh Allah diberikan dgn cara membaca amalan-amalan tertentu dan bacaan khusus sebagaimana yg telah diajarkan Rasulullah kepada laki-laki dan Imam al-Qasthalani di atas.

Ustadz Sunnatullah, pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan, Kokop, Bangkalan, Jawa Timur.

Membahas tentang lima Ayat Al-Quran Tentang Perintah Salat lima Waktu

Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentang lima Ayat Al-Quran Tentang Perintah Salat lima Waktu,

Salat diartikan sebagai ibadah yg diawali dgn niat dan takbir, lalu diakhiri salam sambil memanjatkan doa kepada Allah. Perintah salat 5 waktu ini turun sejak Rasulullah melakukan perjalanan Isra' Mi'raj pada tanggal 27 Rajab.

Sejak terjadinya peristiwa tersebut, umat muslim diwajibkan melakukan salat 5 waktu sehari semalam dgn waktu yg telah ditentukan oleh Allah Swt.

Sebagaimana firman Allah Swt dalam penggalan Al-Quran Surah An-Nisa ayat 103:

اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا

Artinya: Sungguh, salat itu ialah kewajiban yg ditentukan waktunya atas orang-orang yg beriman.

Begitu banyak ayat Al-Quran yg menyebutkan tentang perintah salat. Tapi pada kali ini hanya merangkum 5 ayat dari beberapa sumber, di antaranya:

1. Al-Baqarah ayat 43

وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرْكَعُوا۟ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ

Artinya: Dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yg rukuk.

2. Al-Baqarah ayat 45

وَٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى ٱلْخَٰشِعِينَ

Artinya: Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yg demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yg khusyuk.

3. Al-Baqarah ayat 110

وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا۟ لِأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Artinya: Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yg kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu mau mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yg kamu kerjakan.

4. Al-Isra ayat 78

أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِدُلُوكِ ٱلشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ ٱلَّيْلِ وَقُرْءَانَ ٱلْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْءَانَ ٱلْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

Artinya: Dirikanlah salat dari setelah matahari tergelincir sampai gelap malam dan dirikanlah salat Subuh. Sesungguhnya salat Subuh itu disaksikan oleh malaikat.

5. Hud ayat 114

وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ طَرَفَىِ ٱلنَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ ٱلَّيْلِ ۚ إِنَّ ٱلْحَسَنَٰتِ يُذْهِبْنَ ٱلسَّيِّـَٔاتِ ۚ ذَٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّٰكِرِينَ

Artinya: Dan dirikanlah salat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan ketimbang malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yg baik itu menghapuskan dosa perbuatan yg buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yg ingat.

Perintah salat memang tak selalu disebutkan secara gamblang dalam Al-Quran. Namun, tak diragukan lagi bahwa perintah salat lima waktu sehari semalam memang ada. Dan sebagai umat muslim hendaklah kita melaksanakannya tanpa ragu dan khusyuk.

Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentang lima Ayat Al-Quran Tentang Perintah Salat lima Waktu . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.

terima kasih





Membahas tentang Bulan Rajab, Kisah Diturunkannya Perintah Salat lima Waktu

Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentang Bulan Rajab, Kisah Diturunkannya Perintah Salat lima Waktu,

Sudah sekitar satu minggu umat Islam menjalani bulan Rajab. Bulan yg disebut sebagai bulan Allah SWT. Ada beberapa peristiwa yg terjadi pada bulan ini, salah satunya ialah Isra Mi'raj.

Isra Mi'raj terjadi pada tanggal 27 Rajab, sebelum Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah. Dalam Isra, Nabi Muhammad diberangkatkan oleh Allah Swt dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan Mi'raj, Nabi Muhammad dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha, yaitu tempat tertinggi (langit ke tujuh).

Kisah Diturunkannya perintah salat 5 waktu

Pada peristiwa perjalanan Nabi Muhammad ﷺ dalam menjemput perintah salat dari Allah Swt, Nabi Musa bertanya tentang jumlah waktu salat yg diwajibkan. Lalu beliau menjawab bahwa Allah memerintahkan salat 50 kali sehari semalam.

Mendengar jawaban Nabi Muhammad ﷺ, Nabi Musa meminta Rasulullah buat kembali lagi kepada Allah Swt buat meminta keringanan. Karena menurutnya umat Nabi Muhammad ﷺ juga tak mau sanggup melaksanakan 50 kali sehari semalam seperti Bani Israil.

Setelah Rasulullah kembali dan bertemu lagi dgn Nabi Musa, pertanyaan yg sama muncul. Kali ini Rasulullah membawa perintah salat 10 kali. Mendengar itu Nabi Musa memerintahkan Rasulullah buat kembali lagi meminta keringanan kepada Allah Swt. Pada akhirnya Rasulullah membawa perintah salat 5 waktu sehari semalam.

Meskipun Nabi Musa masih memerintahkan Rasulullah buat kembali meminta keringanan, tetapi Rasulullah menolaknya sebab rasa malu terhadap Allah. Seperti sabda Rasulullah:

“Aku telah berulang kali kembali kepada Tuhanku dan memohon kepada-Nya sampai aku merasa malu. Aku tak mau melakukannya lagi.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dan perintah salat 5 waktu pada ketika Rasulullah ﷺ melakukan Isra Mi'raj tertulis dalam salah satu hadis HR. Bukhari yg berbunyi:

هِيَ خَمْسٌ، وَهِيَ خَمْسُونَ، لاَ يُبَدَّلُ القَوْلُ لَدَيَّ”. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى، فَقَالَ: رَاجِعْ رَبَّكَ. فَقُلْتُ: اسْتَحْيَيْتُ مِنْ رَبِّي

Artinya: “Lima waktu itu setara dgn lima puluh waktu. Tak mau lagi berubah keputusan-Ku.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Aku kembali bertemu dgn Musa. Ia menyarankan, 'Kembalilah menemui Rabbmu'. Kujawab, 'Aku malu pada Rabbku'.” (HR Bukhari).

Dari dua dalil di atas telah terlihat bahwa Allah dan Rasul-Nya sangat mempertimbangkan sekali bila mau memerintahkan sesuatu kepada umat-Nya. Hal ini demi tak memberatkan dan mudah dalam melaksanakannya.

Semoga melalui kisah ini, sebagai umat Muslim dapat taat dalam menjalani perintah-Nya.

Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentang Bulan Rajab, Kisah Diturunkannya Perintah Salat lima Waktu . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.

terima kasih





Membahas tentang Urgensi Penambangan Batu di Desa Wadas dalam Kaidah Fiqih

Hak dirampas, kesejahteraan dipangkas, kekayaan dikuras, ketenangan diberantas, keadilan ditindas, kebebasan ditebas buat penambangan batu. Itulah gambaran keadaan sekarang yg dialami oleh warga Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Sejauh mana urgensi penambangan batu dalam kaidah fiqih, nanti kita mau bahas.

Lingkungan hidup mereka mau disulap menjadi tambang andesit yg menunjang pembangunan waduk Bener. Saygnya, pihak aparat malah berlaku keras dan di luar batas kepada warga Wadas yg tak setuju dgn lahannya yg mau dibebaskan jadi area proyek. Warga yg tak setuju beranggapan bahwa pembangunan tambang mau merusak lingkungan dan sumber air yg selama ini menjadi penopang hidup mereka.

Melihat posting-an yg beredar di media sosial, warga Wadas benar-benar tertindas demi sebuah proyek yg keuntungannya masih dalam angan-angan belaka. Sederhananya aparat pemerintah meraih keuntungan dgn cara merugikan pihak lain. Kisah warga Wadas ini mengingatkan saya pada sebuah pelajaran kaidah fiqih Kitab Faraidul Bahiyah karya Syekh Abi Bakar Al-Ahdali Al-Yamani.

Tepatnya di penjelasan kaidah keempat yg berbunyi الضّرر يزال “bahaya harus dihilangkan”

Santri tingkat Madrasah Aliyah pasti tahu betul kaidah yg berangkat dari hadits nabi,لا ضرر ولا ضرار ini, yg berarti ”tidak boleh melakukan tindakan yg membahayakan diri sendiri maupun orang lain.”

Nah berangkat dari kaidah dan hadits di atas, yg dilakukan aparat ini tentu dapat menimbulkan bahaya besar. Tidak hanya warga yg kehilangan tempat tinggal namun juga terhadap kerusakan lingkungan. Akan tetapi pemerintah telah memikirkan matang mengenai pembangunan tambang tadi? Bukankah itu mau menjadi manfaat bagi warga negara? 

Nah, niat pemerintah sebenanya telah bagus, namun ada pihak yg dirugikan apalagi warga yg dirugikan tadi diberlakukan di luar akal waras. Di sisi lain pembangunan negara ini juga harus terus berlangsung. Lalu bagaimana menyikapinya? Apakah proyek ini perlu diteruskan? 

Saya masih teringat lagi lanjutan kaidah di atas, Syekh Yasin Isa Al-Fadani dalam Kitab Fawaidul Janiyah-nya pernah merumuskan lima kondisi sebagai pertimbangan sebelum bertindak:

Pertama, Darurat: Sebuah kondisi bila tak dilakukan mau menimbulkan kematian atau bahaya yg lebih besar, semisal hanya ada satu-satunya makanan yaitu bangkai. Kalau kita tak makan bangkai, kita mau mati. Maka memakan bangkai tadi dapat halal sebab darurat.

Kedua, Hajat: Kondisi di mana bila tak menerjang perkara haram masih dapat hidup namun mengalami kesulitan. Contohnya tak berpuasa pada bulan Ramadhan. Bila puasa, ditakutkan mau memperparah penyakit. Maka tak puasa tak menjadi masalah. 

Ketiga, Manfaat: Kondisi yg berangkat dari kemauan hati menikmatinya.

Keempat, Zinah;Sebuah kondisi yg tujuannya hanya sebatas pelengkap seperti orang menambah garam pada sayur, menambah gula pada kue, dan semisalnya.

Kelima, Fudhul: Yakni kondisi yg bersifat keleluasaan seperti orang yg hendak berpesta dgn berbagai makanan dari yg haram atau yg syubhat.

Nah dari batasan di atas, kita dapat menilai sendiri pembangunan tambang dan waduk ada di kondisi mana? Sudah daruratkah? Belum! Sangat jauh dari kata darurat, tanpa adanya waduk ini warga masih dapat hidup lestari gemah ripah loh jinawi.

Hajatkah? Juga tak hajat, bila tak membangun tambang dan waduk, masyarakat tak mau terlalu mengalami kesulitan pangan dan kebutuhan lainnya. Lagi-lagi tak perlu membangun dua proyek di atas. 

Manfaat-kah? Nah pembangunan tambang dan waduk ini masih dapat dikatakan tahap manfaat. Namun bila dibangun warga dan lingkungan yg terkena dampaknya. Tidak semata-mata ada manfaat, melainkan ada pihak yg dirugikan. Padahal ada kaidah fiqih lain درء المفاسد مقدم علي جلب المصالح “Menolak kerusakan didahulukan atas perkara yg mendatangkan manfa’at.” Maka pembatalan membangun proyek ini lebih baik, bila menimbang kerusakan yg dihasilkan. 

Atau proyek ini malah masuk kategori kelima yaitu fudhul? Bilamana proyek ini anggarannya dapat disalahgunakan. Bahkan mau dibuat pariwisata itu justru malah berfoya-foya di atas penderitaan manusia atau makhluk lain.

Artinya pembangunan tambang dan waduk ini masih jauh dari kata hajat apalagi darurat, maka lebih baik dihentikan dulu. Toh tanpa kedua proyek ini warga masih dapat hidup. Atau kalau memang sangat terpaksa minimalnya pemerintah yg berkaitan dapat menangani dgn rukun, musyawarah mufakat, tanpa menindas rakyat, disikapi dgn waras tak ujug-ujug langsung bertindak keras.

Kalau memang hitung-hitungan potensi keuntungan materi, dapat saja se-bumi pertiwi ini jadi area tambang semua. Boro-boro batu andesit, kerikil dilempar saja jadi kedelai. Mari kita nikmati kehidupan di bumi ini ala kadarnya. Tanpa merugikan pihak lain, apalagi berlebih-lebihan. Sekian Wallahu a’lam.

Ahmad Nahrowi

Membahas tentang Apakah Pahala & Dosa Dilipatgandakan di Bulan Rajab?

Keputusan PBNU perihal awal bulan Rajab menjadi kabar yg sangat ditunggu oleh umat Islam, khususnya nahdliyin. Sebab, bulan Rajab merupakan salah satu bulan yg sangat sakral dan sangat diagungkan dalam Islam.

Selain sebagai bulan haram, bulan Rajab ini menjadi awal buat menyongsong bulan-bulan mulia selanjutnya, yaitu bulan Sya’ban dan Ramadhan. Tidak hanya itu, keagungan bulan Rajab ini diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur’an, yaitu:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلاَ تَظْلِمُواْ فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

Artinya, “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yg lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yg empat) itu,” (Surat At-Taubah ayat 36).

Pada ayat di atas, Allah menegaskan bahwa terdapat dua belas bulan dalam satu tahun, dan di antara yg dua belas itu terdapat empat bulan haram yg sangat dimuliakan, yaitu yaitu; (1) Zulqa’dah; (2) Zulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.

Tidak hanya itu, setelah Allah menyatakan terdapat empat bulan yg sangat mulia, Dia juga menegaskan larangan kepada manusia supaya tak merusak nilai-nilai kemuliaan dan keagungan yg terdapat dalam bulan haram, termasuk bulan Rajab, dgn menzalimi diri mereka sendiri. Akan tetapi, apa yg dimaksud menzalimi diri sendiri pada ayat di atas? Mari simak penjelasan para ulama tafsir berikut.

Jangan Zalimi Diri Sendiri

Imam Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi (wafat 516 H), yg memiliki gelar muhyis sunnah (penghidup sunnah), dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa yg dimaksud dgn larangan Allah kepada manusia buat tak menzalimi diri sendiri pada ayat di atas, ialah dgn tak merusak kemuliaan bulan haram dgn melakukan maksiat, dan meninggalkan taat. Hal ini tak lain sebab semua nilai pekerjaan pada bulan ini dilipatgandakan oleh Allah swt,

العَمَلُ الصَّالِحُ أَعْظَمُ أَجْرًا فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ، وَالظُّلْمُ فِيْهِنَّ أَعْظَمُ مِنَ الظُّلْمِ فِيْمَا سِوَاهُنَّ

Artinya, “Amal saleh lebih agung (besar) pahalanya di dalam bulan-bulan haram (Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram, dan Rajab). Sedangkan zalim pada bulan tersebut (juga) lebih besar dari zalim di dalam bulan-bulan selainnya.” (Imam al-Baghawi, Ma’alimut Tanzil fi Tafsiril Qur’an, [Beirut, Darul Ihya’ at-Turats, cetakan keempat: 1417 H/1997 M], juz IV, halaman 44).

Selain penafsiran di atas, Imam al-Baghawi juga mengutip beberapa penafsiran ulama lain, seperti Imam Ibnu Abbas yg mengatakan bahwa yg dimaksud dgn menzalimi diri sendiri, ialah dgn menghalalkan setiap sesuatu yg telah dinyatakan haram dalam Islam, dan mengharamkan setiap yg halal, seperti merampok pada bulan tersebut. (al-Baghawi, Ma’alimut Tanzil: IV/45).

Dari penjelasan al-Baghawi di atas, dapat kita pahami bahwa sakralitas bulan haram, termasuk bulan Rajab ialah dgn memperbanyak melakukan kebaikan dan ketaatan, sedangkan tindakan yg merusak nilai-nilai sakral tersebut ialah melakukan kemaksiatan dgn berbagai macam bentuknya. Oleh sebab itu, pada bulan ini telah selayaknya mengistirahatkan diri buat tak melakukan kemaksiatan kepada Allah swt dan fokus beribadah kepada-Nya.

 

Alasan Larangan Menzalimi Diri Sendiri

Syekh Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili dalam kitab tafsirnya memberikan alasan di balik larangan Allah buat melakukan pekerjaan zalim pada bulan tersebut. Menurutnya, bulan haram memiliki nilai-nilai sakralitas dan identik dgn kemuliaan yg tak dapat ditemukan pada bulan-bulan lainnya. Maka, semua balasan dari amal kebaikan dan kejelekan dilipatgandakan oleh Allah pada bulan-bulan tersebut,

وَالْمُرَادُ النَّهْيُ عَنْ جَمِيْعِ الْمَعَاصِي بِسَبَبٍ مَا لِهذِهِ الْأَشْهُرِ مِنْ تَعْظِيْمِ الثَّوَابِ وَالْعِقَابِ فِيْهَا

Artinya, “Yang dimaksud (dari ayat larangan menzalimi diri sendiri), ialah larangan dari semua bentuk maksiat dgn sebab apa pun pada bulan-bulan haram ini, (hal itu) disebabkan besarnya pahala dan siksaan di dalamnya.” (Syekh Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fil Aqidati was Syari’ati wal Manhaji, [Damaskus, Beirut, Darul Fikr], juz X, halaman 202).

Syekh Wahbah Zuhaili memosisikan larangan menzalimi diri sendiri pada bulan haram di atas sebagai bentuk “kasih sayg” supaya umat Islam tak disiksa dgn siksaan yg berlipat ganda oleh Allah kelak di hari kiamat. Oleh sebabnya, bulan ini menjadi bulan ketaatan dan kebaikan, yg semua pahala yg didapatkan darinya melebihi nilai pahala dari bulan yg lain.

Jika ditanya, “Kenapa Allah hanya melipatgandakan pahala kebaikan dan siksa dari kemaksiatan hanya pada bulan tersebut?” Maka jawabannya, sebenarnya Allah juga memberikan pahala atas kebaikan dan ketaatan yg dilakukan di selain bulan haram, juga memberikan siksa kepada orang yg melakukan kejelekan dan maksiat di selain bulan haram.

Akan tetapi, Allah memilih dan menghendaki beberapa bulan buat melipatgandakan semua amal kebaikan dan kejelekan di dalamnya, hal ini boleh-boleh saja bagi Allah, dan merupakan sesuai yg jaiz (boleh-boleh) saja bagi-Nya. Hal ini sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Katsir ad-Dimisyqi, dalam kitab tafsirnya, beliau mengatakan,

إِنَّ اللهَ اصْطَفَى صَفَايَا مِنْ خَلْقِهِ، اِصْطَفَى مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ رُسُلًا وَاصْطَفَى مِنَ الشُّهُوْرِ رَمَضَانَ وَالْأَشْهُرَ الْحُرُمَ

Artinya, “Allah memilih beberapa pilihan dari makhluk-Nya. Allah memilih utusan dari malaikat sebagai rasul, dari manusia sebagai rasul, dan (juga) memilih dari beberapa bulan, pada bulan raamadhan dan bulan-bulan haram.”

فَعَظِّمُوْا مَا عَظَّمَ اللهُ، فَإِنَّمَا تُعَظَّمُ الْأُمُوْرُ بِمَا عَظَّمَهَا اللهُ بِهِ

Artinya, “Maka muliakanlah sesuatu yg dimuliakan oleh Allah. Maka sungguh keagungan sesuatu bila diagungkan oleh Allah kepadanya.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anil Azhim, [Dar Tahyyibah, cetakan kedua: 1999 M], juz IV, halaman 149).

Alhasil, bulan Rajab sebagai salah satu balan haram yg sangat dimuliakan oleh Allah swt sebagaimana penjelasan di atas, maka telah saatnya buat menjalani bulan ini dgn semangat buat meningkatkan spiritualitas ibadah kepada Allah, sebagai representasi memuliakan apa yg dimuliakan oleh-Nya.

Tidak sebatas itu, pada bulan ini juga seharusnya mengurangi dan bahkan meninggalkan maksiat dgn segala macamnya. Sebab, maksiat merupakan salah satu pekerjaan yg dapat merusak kemuliaan bulan Rajab.

Adapun Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memberikan keputusan resmi bahwa awal bulan Rajab bertepatan dgn hari Kamis, 3 Februari 2022 M, yg diputuskan berlandaskan laporan tim rukyat yg tak melihat hilal di seluruh Indonesia pada Selasa 29 Jumadits Tsani 1443 H/1 Februari 2022 M. Sejak hari (Kamis) itu pula bulan Rajab dimulai.

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam, Durjan, Kokop, Bangkalan, Jawa Timur.

Membahas tentang Khutbah Jumat Bulan Rajab: Allah Ada Tanpa Tempat

Isra’ dan Mi’raj bukanlah dalil bahwa Allah ada di atas. Materi khutbah Jumat ini mengajak kaum Muslimin waspada dgn pemahaman menyimpang yg menyerupakan Allah dgn makhluk, salah satunya Allah ada pada arah atau tempat tertentu, seperti di atas langit, di atas arsy, dan semacamnya.

 

Teks khutbah Jumat berikut ini berjudul “Khutbah Jumat Bulan Rajab: Allah Ada Tanpa Tempat“. Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini (pada tampilan dekstop). Semoga bermanfaat! (Redaksi)


Khutbah I

 

الحَمْدُ لِلّٰهِ مُكَوِّنِ الْأَكْوَانِ، الْمَوْجُوْدِ أَزَلًا وَّأَبَدًا بِلَا مَكَانٍ، الْمُنَزَّهِ عَنِ الشَّكْلِ وَالْأَعْضَاءِ وَالْأَرْكَانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِصِدْقٍ وَإِحْسَانٍ، أَشْهَدُ أنْ لَا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الْمُنَزَّهُ عَنِ الْأَيْنِ وَالزَّمَانِ، وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ الَّذِي كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ 

أَمَّا بَعْدُ، عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ المَنَّانِ، الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ: فَاطِرُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا وَّمِنَ الْاَنْعَامِ اَزْوَاجًاۚ يَذْرَؤُكُمْ فِيْهِۗ لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌۚ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ (الشورى: ١١)

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Mengawali khutbah pada siang hari yg penuh keberkahan ini, khatib berwasiat kepada kita semua terutama kepada diri khatib pribadi buat senantiasa berusaha meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wata’ala dgn melakukan semua kewajiban dan meninggalkan seluruh yg diharamkan.

 

Hadirin jama’ah shalat Jum’at rahimakumullah,

Khutbah pada siang hari ini mengambil tema “Allah Ada Tanpa Tempat”.

 

Hadirin rahimakumullah,

Seperti yg kita tahu bahwa Allah ada tanpa membutuhkan kepada tempat dan arah. Ia ada, tetapi keberadaannya tak di atas ‘arsy, tak di langit, tak di atas, di bawah, di kanan, di kiri, di depan ataupun di belakang. Ia ada tapi keberadaannya tak dapat dibaygkan sama sekali. Ia tak dapat dan tak boleh disamakan dgn apa pun dan siapa pun serta makhluk mana pun. Karena memang Ia bukan makhluk. Ia ialah Khaliq. Hakikat-Nya tak dapat dijangkau oleh pengetahuan makhluk. Tidak ada yg mengetahui hakikat-Nya kecuali hanya Dia. Keyakinan seperti ini telah disepakati oleh para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, salaf maupun khalaf.

 

Salah satu yg dipropagandakan sebagian kelompok berpaham menyimpang tiap menjelang datangnya bulan Rajab hingga bulan yg mulia ini berakhir ialah tentang keberadaan Allah yg digambarkan sebagai dzat yg membutuhkan tempat. Mereka mengaku-ngaku sebagai pengikut ulama salaf padahal ulama salaf terbebas dari keyakinan mereka yg menyimpang. Kaum ini mengajarkan keyakinan bahwa Allah di atas ‘arsy. Terkadang mereka mengatakan Allah di langit. Dan terkadang mereka mengatakan Allah di atas. Mereka juga mempropagandakan bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj menunjukkan bahwa Allah di atas. Mereka mengatakan, Nabi Muhammad diperintahkan naik ke atas buat sowan menghadap kepada Allah yg berada di atas Sidratul Muntaha. Wal ‘iyadzu billah ta’ala.

 

Sangat penting buat disampaikan ke khalayak bahwa Allah tak membutuhkan kepada apa pun, termasuk kepada tempat dan arah. Hal ini harus terus disampaikan secara masif kepada umat. Jika kita menganggap umat telah tahu mau hal ini, lalu kita berhenti mensyiarkan keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat, sedangkan mereka terus-menerus tanpa henti menyampaikan bahwa Allah membutuhkan tempat, khatib khawatir ketidakbenaran yg disampaikan terus-menerus mau dianggap benar oleh publik. Ini yg sangat berbahaya. Berikutnya, ini dapat menjadi pintu masuk buat mempropagandakan ajaran-ajaran mereka lebih lanjut, seperti pengafiran pelaku tawasul, tabarruk, pembagian tauhid menjadi tiga, dan lain-lain.

 

Isra’ dan Mi’raj bukanlah dalil bahwa Allah di atas. Tidak ada satu pun ulama Ahlussunnah yg berpendapat demikian. Maksud dan tujuan dari Isra’ dan Mi’raj ialah memuliakan Nabi dan memperlihatkan kepada beliau sebagian dari tanda-tanda kemahakuasaan Allah di alam atas serta buat menerima perintah shalat di suatu tempat yg mulia di atas sana yg tak pernah dilakukan dosa dan maksiat di dalamnya.

 

Hadirin rahimakumullah,

Wajib kita yakini bahwa Allah ada tanpa membutuhkan kepada tempat dan arah. Dalil atas keyakinan ini dari Al-Qur’an ialah surat asy-Syura ayat 11 dan ayat-ayat muhkamat lainnya yg berkaitan dgn hal itu. Allah ta’ala menegaskan:

 

لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌۚ (الشورى: ١١)

 

Maknanya: “Dia (Allah) tak menyerupai segala sesuatu pun dari makhluk-Nya” (QS asy-Syura: 11).

 

Lafazh ka dan mitsl secara makna sama, yakni seperti. Keduanya digabung dalam satu rangkaian buat menguatkan makna bahwa Allah sungguh-sungguh tak seperti segala sesuatu. Secara harfiah, ayat itu bermakna “Tidak ada yg seperti seperti Allah”. Jika yg seperti seperti Allah saja tak ada, apalagi yg seperti Allah. Jadi ayat ini menegaskan bahwa Allah sama sekali tak serupa dgn apa pun dari semua segi. Oleh sebab itu, seandainya Allah bertempat, maka ia serupa dgn makhluk-Nya yg bertempat.

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Sedangkan dalil dari hadits di antaranya ialah sabda baginda Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam yg diriwayatkan oleh Imam Muslim:

 

وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَيْءٌ (رواه مسلم)

 

Maknanya: “Ya Allah Engkaulah azh-Zhahir (segala sesuatu menunjukkan mau ada-Nya)  tak ada sesuatu di atas-Mu, dan Engkaulah al-Bathin (Yang tak dapat dibaygkan) tak ada sesuatu di bawah-Mu” (HR Muslim)

 

Al Hafizh al Baihaqi (w. 458 H) mengomentari hadits ini dalam kitab al Asma’ wa ash Shifat dgn mengatakan: “Jika tak ada sesuatu di atas-Nya dan tak ada sesuatu di bawah-Nya, maka Dia ada tanpa tempat.”

 

Hadirin jamaah shalat Jum’at rahimakumullah,

Ijma’ ulama Ahlussunnah wal Jama’ah juga menjadi rujukan dalam hal ini. Di antara yg mengutip ijma’ bahwa Allah ada tanpa tempat ialah Imam Abu Manshur al Baghdadi (w. 429 H) dalam kitab al Farq baina al Firaq. Beliau mengatakan:

 

وَأَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّهُ لَا يَحْوِيْهِ مَكَانٌ وَلَا يَجْرِي عَلَيْهِ زَمَانٌ

 

“Golongan Ahlussunnah wal Jama’ah sepakat menyatakan bahwa sesungguhnya Allah tak diliputi tempat dan tak dilalui zaman.”

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Jika kita memahami sifat 20 yg wajib ‘aqli bagi Allah, maka kita mau dgn mudah menyimpulkan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Salah satu sifat 20 bagi Allah ialah Mukhalafatuhu lil Hawadits: Allah berbeda dgn seluruh makhluk. Jika seluruh makhluk-Nya menempati suatu tempat, berarti Allah yg tak serupa dgn makhluk pasti-lah tak menempati suatu tempat. Dia ada tanpa tempat. Begitu juga sifat Qiyamuhu bi Nafsihi: Allah tak membutuhkan kepada selain-Nya. Seandainya Allah menempati ‘arsy, langit atau arah atas, maka artinya Dia membutuhkan kepada makhluk-Nya yg bernama ‘arsy, langit dan arah atas. Tentu ini mustahil.

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Begitu pentingnya keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat, sampai-sampai hal ini juga tak luput dari perhatian para ulama Nusantara. Tidak kurang dari Syekh Nawawi al Bantani, Kiai Shaleh Darat, Mufti Betawi Sayyid Utsman, Rais Akbar NU Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Zainul Hasan Kiai Muhammad Hasan al-Genggongi, Kiai Raden Asnawi Kudus, Kiai Sirajuddin Abbas, Syekh Ihsan Jampes, Kiai Abul Fadhol Senori Tuban, dan masih banyak lagi yg lain, mereka menegaskan secara eksplisit aqidah “Allah ada tanpa tempat” dalam karya-karya mereka.  

 

Agar khutbah ini tak terlalu panjang, dalam kesempatan yg penuh kemuliaan ini, khatib hanya mengutip apa yg didawuhkan oleh pendiri NU, Rais Akbar NU dan Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng KH Muhammad Hasyim Asy’ari yg menyatakan dalam mukadimah kitab at-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat:

 

وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ الْمُنَـزَّهُ عَنِ الْجِسْمِيَّةِ وَالْجِهَةِ وَالزَّمَانِ وَالْمَكَانِ

 

“Dan aku bersaksi bahwa tak ada Tuhan yg wajib disembah melainkan Allah semata, tak ada sekutu bagi-Nya, Dia maha suci dari berbentuk (berjisim), arah, zaman dan tempat.”

 

Dari paparan khutbah di atas, menjadi jelas bagi kita bahwa keyakinan “Allah ada tanpa tempat” ialah aqidah yg benar dan berlandaskan Al-Qur’an, hadits Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kesepakatan umat di berbagai belahan dunia serta didukung dan disebarluaskan oleh para ulama di bumi Indonesia.

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Demikian khutbah singkat pada siang hari yg penuh keberkahan ini. Semoga bermanfaat dan membawa barakah bagi kita semua. Amin.

 

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

 

Khutbah II

 

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ 

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

 

Ustadz Nur Rohmad, Anggota Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Aswaja NU Center PCNU Kab. Mojokerto


Baca juga khutbah bulan Rajab lainnya di “Kumpulan Khutbah Jumat Bulan Rajab


Membahas tentang Khutbah Jumat: Jadikan Segala Aktivitas Bernilai Ibadah

Khutbah Jumat ini mengingatkan kita semua bahwa cakupan ibadah di dunia ini sangatlah luas. Berbagai amal atau aktivitas kita di dunia dapat bernilai ibadah, bila diniatkan dgn baik. Sehingga perlu ditata lagi niat kita supaya semua aspek aktivitas dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi sebuah ibadah atau bernilai ibadah. Perlu dimulai dgn niat yg benar sehingga aktivitas kita selaras dgn misi hidup di dunia yakni beribadah kepada Allah swt.

 

 

Teks khutbah Jumat berikut ini berjudul “Khutbah Jumat: Jadikan Segala Aktivitas Bernilai Ibadah“. Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini (pada tampilan dekstop). Semoga bermanfaat! (Redaksi)


Khutbah I

الحَمْدُ لِلّٰهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَتَابِعِيْهِ عَلَى مَرِّ الزَّمَانِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الْمُنَـزَّهُ عَنِ الْجِسْمِيَّةِ وَالْجِهَةِ وَالزَّمَانِ وَالْمَكَانِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ أَمَّا بَعْدُ، عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ المَنَّانِ، الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ: وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

Jamaah Jumat rahimakumullah,
Menjadi sebuah keniscayaan bagi kita selaku makhluk yg telah dikaruniai Allah nikmat yg tak dapat dihitung satu persatu, buat senantiasa memanjatkan rasa syukur alhamdulillah. Di antara nikmat yg tengah kita nikmati ialah masih diberinya kesempatan kita buat menghirup udara segar dunia sehingga kita dapat terus beribadah meningkatkan ketakwaan dan keimanan kepada-Nya. Keimanan dan ketakwaan ini penting sebagai modal kita dalam kehidupan dunia dan juga akhirat. Hal ini ditegaskan dalam QS Al-Baqarah ayat 197:

وَتَزَوَّدُوا۟ فَإِنَّ خَيْرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقْوَىٰ ۚ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ

Artinya: “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal ialah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yg berakal.

Jamaah Jumat rahimakumullah,
Upaya buat meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt ini dapat diwujudkan dgn senantiasa menyadari bahwa Allah lah yg paling berkuasa atas hidup kita. Kita ialah makhluk lemah yg tak ada kuasa di hadapan Allah. Semua telah digariskan oleh Allah dan kita tinggal menjalankan tugas utama kita di dunia yakni beribadah atau menyembah Allah. Allah swt berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

Artinya : “Aku tak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Ad Dzariyat: 56)

Jelas dan tegas, bahwa dalam ayat kita, manusia, harus sadar, tunduk, dan merendahkan diri kepada Allah swt. Kita harus menerima segala yg ditakdirkan Allah sebab kita dijadikan atas kehendak-Nya dan diberi rezeki sesuai dgn apa yg telah Ia tentukan. Tak seorang pun yg dapat memberikan manfaat atau mendatangkan mudarat sebab kesemuanya ialah dgn kehendak Allah swt. Ayat ini menguatkan perintah buat senantiasa mengingat Allah swt dan memerintahkan kita supaya beribadah kepada Allah swt.

Pertanyaannya, seperti apa bentuknya ibadah yg harus kita lakukan dalam rangka menyembah Allah swt? Apakah ibadah itu hanya dalam bentuk semisal shalat, haji dan sejenisnya? Atau adakah ibadah-ibadah lain yg dapat kita lakukan buat mewujudkan ketaatan kita kepada Allah swt?.

Jamaah Jumat rahimakumullah,
Perlu kita ketahui, bahwa bentuk dan jenis ibadah sejatinya terbagi menjadi berbagai macam pembagian tergantung dari aspek apa kita menilainya. Namun secara umum, ibadah dibagi menjadi dua kategori yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah. Secara garis besar, ibadah mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yg telah telah ditetapkan oleh Allah, baik tata cara dan perincian-perinciannya seperti sifat, waktu, tempat dan lain sebagainya. Ibadah ini didasarkan pada dalil perintah yg ada dalam Al-Quran maupun hadits. Pelaksanaannya juga harus berpola kepada apa yg dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan bersifat suprarasional atau di luar jangkauan akal. Contoh ibadah mahdhah ini ialah seperti shalat, zakat, puasa, dan haji.

Selain ibadah mahdhah yg bersifat ritual dan berasaskan kepatuhan dan ketaatan, ada juga ibadah ibadah ghairu mahdhah yg tata cara dan perincian-perinciannya tak ditetapkan dgn detail. Ibadah ghairu mahdhah dapat berbentuk seperti zikir, dakwah, sedekah, berbuat baik pada orang lain, tolong menolong dan lain sebagainya.

Dari penjelasan ini kita dapat menilai bahwa sebenarnya cakupan ibadah di dunia ini sangatlah luas. Berbagai amal atau aktivitas kita di dunia dapat bernilai ibadah bila diniatkan dgn baik. Sehingga niat menjadi hal yg penting dalam kita memulai dan melakukan segala aktivitas dalam kehidupan kita sehari-hari. Niat menjadi pijakan awal apakah aktivitas yg kita lakukan nanti mau bernilai ibadah atau tidak. Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits riwayat Muttafaq alaih:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى

Artinya: “Sesungguhnya setiap amalan pastilah disertai dgn niat. Dan setiap pelaku amalan hanyalah mendapatkan apa yg ia niatkan.”

Jamaah Jumat rahimakumullah,
Oleh sebab itu, pada kesempatan yg mulia ini, mari kita senantiasa menata niat dgn baik dalam menjalankan segala aktivitas kita di dunia ini supaya senantiasa dapat memiliki nilai ibadah. Termasuk aktivitas kita mencari nafkah bagi keluarga harus diniatkan buat ibadah. Jangan sampai kita bekerja hanya buat mencari materi belaka sehingga lupa mau tugas utama kita yakni beribadah.

Kita perlu menyadari bahwa bukan perbuatan yg terlihat seperti ibadah akhirat saja yg bakal mendapatkan pahala dan dihitung sebagai ibadah. Namun banyak pekerjaan kita sehari-hari yg terlihat menjadi urusan dunia namun sebab niat yg baik dalam menjalankannya, hal itu dapat menjadi ibadah dan beramal akhirat. Rasulullah bersabda:

كَمْ مِنْ عَمَلٍ يَتَصَوَّرُ بِصُوْرَة أعْمالِ الدّنْياَ وَيَصِيْرُ بِحُسْنِ النِيَّة مِن أَعْمَالِ الآخِرَة، كَمْ مِنْ عَمَلٍ يَتَصَوَّرُ بِصُوْرَة أعْمالِ الأخرة ثُمَّ يَصِيْر مِن أَعْمَالِ الدُّنْيَا بِسُوْءِ النِيَّة

Artinya: ”Banyak sekali amal perbuatan yg tergolong amal keduniaan, tapi sebab didasari niat yg baik maka tergolong menjadi amal akhirat. Dan banyak sekali amal perbuatan tergolong amal akhirat, tapi ternyata ia tergolong amal dunia sebab didasari niat yg buruk.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْأَنِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْأَيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمِ، وَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah II

 اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

H Muhammad Faizin, Sekretaris MUI Provinsi Lampung


Baca naskah khutbah lainnya:


Membahas tentang Polisi Wajib Lepaskan Warga Wadas, Teladani Khalifah Utsman bin Affan

Puluhan warga—23 orang berdasarkan laporan kepolisian, dan 40 orang menurut laporan salah seorang warga—yg kontra dgn proyek Bendungan Bener di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo ditangkap polisi. Penangkapan terjadi bersamaan dgn proses pengukuran lahan penambangan batu andesit buat proyek Bendungan Bener, Selasa (8/2/2022).

Beberapa tokoh nasional dan tokoh agama pun segera meminta warga yg ditangkap segera dibebaskan. Mereka juag menyuarakan penundaan proyek sebelum musyawarah antara warga dan pemerintah selesai, sehingga tak menimbulkan clash di antara keduanya.

Sejak dulu, penggusuran lahan buat pembangunan fasilitas publik sering memicu konflik antara warga dan pemerintah. Warga menjadi pihak yg lemah dihadap-hadapkan dgn negara. Karenanya, negara harus memastikan bahwa kebijakan pembangunan fasilitas publik harus memenuhi kemaslahatan bagi warga yg terdekat. 

***

Peristiwa serupa pernah terjadi di masa Khalifah Utsman bin Affan ra, yaitu dalam proyek pelebaran Masjidil Haram yg telah overload menampung jamaah. Khalifah Ustman membeli beberapa rumah sekitarnya buat perluasan serta mengambil alih (take over) rumah-rumah penduduk dangan ganti harga yg mahal. Namun demikian masih ada saja penduduk sekitar yg enggan menerima kebijakan tersebut. Mereka pun berdemonstrasi di Masjidil Haram menentang kebijakan Khalifah. 

Merasa telah benar dgn kebijakannya, Khalifah Ustman merespons dari aspirasi warga dan menjawab: “Inamâ jar-akum ‘alâ hilmi ‘ankum wa lainî lakum”, (kalian berani mendemoku sebab sifat bijak dan lembutku pada kalian). Tidak hanya sampai situ, Khalifah justru menangkap dan memenjara para warga yg menentang kebijakannya.

 

Untung di ketika terjadi kebuntuan komunikasi antara Khalifah dan warga, muncul sosok Abdullah bin Khalid bin Asid Al-Makhzumi yg berani berdiskusi lebih lanjut dgn Khalifah, sehingga para warga yg ditanggap segera dibebaskan. (Ibnu Hajar Al-Haitami, al-Ishâbah fi Tamyîzis Shahâbah, [Beirut, Dârul Jîl: 1412], juz IV, halaman 71).

Nah, dalam kasus Wadas yg sedang ramai ini mungkin dapat dimaklumi, menurut perspektif pemerintah proyek Bendungan Bener sebenarnya juga buat kepentingan warga sekitar, sebagaimana diproyeksikan dapat meningkatkan jumlah panen pada area irigasi eksisting seluas 13.579 hektar dan berbagai manfaat lainnya. Namun demikian, sebelum proyek tersebut dilanjutkan, pemerintah wajib memberi ganti rugi pemukiman, rumah, dan jaminan sumber penghasilan baru bagi warga terdekat yg merasakan dampaknya secara langsung. 

Alih-alih pendekatan represif dan intimidatif dgn pengerahan aparat buat menangkap warga, pendekatan-pendekatan humanis terhadap warga yg terdampak langsung harus dilakukan. Kepolisian harus terbuka menerima saran dan kritik buat segera membebaskan warga yg hanya sedang mempertahankan hidup dan penghidupannya, sebagaimana Khalifah Utsman segera membebaskan warganya yg menentang proyek perluasan Masjidil Haram pada masanya. Wall’âhu a’lam. 

 

Ustadz Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda dan Redaktur Keislaman NU Online.