Membahas tentang Alasan di Balik Penamaan Bulan Rajab

Di antara bulan-bulan hijriah yg sangat dimuliakan dalam Islam ialah bulan Rajab, yaitu bulan ke-7 dgn perhitungan kalender bulan (qamariah). Allah mendedikasikan bulan ini sebagai bulan agung dan mulia, supaya umat Islam dapat mengambil manfaat dan kemuliaan yg ada di dalamnya, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ

Artinya, “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram.” (Surat At-Taubah ayat 36).

Syekh Wahbah bin Musthafa Az-Zuhaili dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah memberikan khabar kepada manusia tentang adanya dua belas bulan dalam satu tahun. Hanya saja, dari dua belas itu terdapat empat bulan yg sangat Allah muliakan di dalamnya, yaitu empat bulan harum; (1) Dzulqa’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.

Selain dikenal sebagai bulan mulia dan agung, empat bulan di atas memiliki nilai-nilai sakralitas yg tak ada pada bulan-bulan yg lain. Bentuk-bentuk pemuliaan pada bulan tersebut ialah semua pahala ketaatan oleh Allah dilipatgandakan, begitu juga dgn kemaksiatan. Maka, barang siapa yg melakukan ketaatan atau kemaksiatan pada bulan tersebut, balasannya lebih banyak ketimbang bulan yg lain. (Syekh Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fil Aqidati was Syari’ati wal Manhaji, [Damaskus, Beirut, Darul Fikr], juz X, halaman 198).

Sebelum membahas keutamaan dan nilai-nilai yg terkandung dalam bulan haram, khususnya bulan Rajab, ada pentingnya bagi penulis buat menjelaskan beberapa pendapat para ulama perihal nama lain dari bulan Rajab, serta alasan di balik penamaan bulan Rajab. Dengannya, kita mau tahu sejarah dan kejadian yg ada di dalamnya.

Nama Lain Bulan Rajab

Syekh Abu Abdillah Muhammad bin Sa’id Ruslan, dalam salah satu kitabnya menjelaskan bahwa bulan Rajab memiliki beberapa nama. Setidaknya ada dua nama buat menggambarkan beberapa kejadian yg ada dalam bulan rajab; (1) bulan fardu; dan (2) bulan asham.

Pertama, bulan fardu yg berarti satu. Bulan Rajab dikenal dgn sebutan bulan fardu, sebab bulan haram yg satu ini merupakan satu-satunya bulan yg tak bersamaan dgn tiga bulan haram lainnya, seperti bulan Dzulqa’dah, Dzulhijah; dan Muharram yg berurutan. Oleh sebabnya, bulan Rajab dikenal dgn bulan fardu.

Kedua, bulan asham yg berarti tuli. Alasan di balik penamaan ini sebab pada bulan Rajab tak terdengar gencatan senjata buat berperang yg dilakukan oleh bangsa Arab jahiliah pada masa dahulu. Semua orang Arab pada masa itu menyimpan peralatan perang, dan kembali berdamai dgn musuh-musuh mereka. Bahkan, mereka berkunjung ke rumah orang-orang yg membunuh ayahnya di medan perang buat menghormati bulan mulia ini. (Sai’id Ruslan, asy-Syahru Rajab, [Maktabah an-Noor], halaman 8).

Dari penjelasan ini, dapat dipahami bahwa bulan Rajab memiliki spirit perdamaian yg sangat tinggi sejak zaman dahulu. Peperangan yg dilakukan di bulan-bulan sebelumnya harus terhenti ketika telah memasuki bulan haram, termasuk bulan Rajab. Bahkan, orang-orang yg memiliki dendam kepada pembunuh ayah dan keluarganya di medan perang, biasa berkunjung buat bertemu orang yg membunuh keluarganya itu.

Demikian gambaran betapa agung dan mulianya bulan Rajab. Peperangan dihentikan tak lain sebab bulan ini memiliki nilai yg sangat agung. Semua pekerjaan dan tindakan yg dapat mengotori sakralitasnya ditinggalkan dan dijeda terlebih dahulu.

Alasan di Balik Penamaan Bulan Rajab

Imam Al-Hafiz Abu Hasan bin Muhammad Hasan al-Khalal (wafat 439 H) dalam salah satu kitab khususnya yg menjelaskan tentang keutamaan bulan Rajab mengutip riwayat Anas bin Malik, bahwa Rasulullah saw bersabda,

قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ لِمَ سُمِيَ رَجَبَ؟ قَالَ: لأنَّهُ يُتَرَجَّبُ فِيهِ خَيْرٌ كَثِيرٌ لِشَعْبَانَ وَرَمَضَانَ

Artinya, “Dikatakan kepada Rasulullah, ‘Kenapa (bulan Rajab) dinamakan Rajab?’ Rasulullah menjawab: Karena sungguh banyak di dalamnya kebaikan buat bulan Sya’ban dan Ramadhan.” (Imam Abu Muhammad al-Khalal, Fadhailu Sayahri Rajab, [Lebanon, Beirut, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama: 1996 H/1416 H], halaman 47).

Imam Zainuddin Muhammad Abdurrauf bin Tajul Arifin bin Ali bin Zainal Abidin, atau yg lebih populer (popular) dgn sebutan Imam al-Manawi al-Qahiri (wafat 1031 h) dalam kitabnya menjelaskan lebih luas perihal maksud hadits di atas. Menurutnya, maksud “yatarajjabu” pada hadits riwayat Anas tersebut ialah pada bulan Rajab Allah memperbanyak kebaikan dan melipatgandakan pahala di dalamnya.

Selain itu, bulan Rajab menjadi bulan pembuka dan awal persiapan umat Islam buat memasuki dua bulan suci selanjutnya yg juga sangat mulia, yaitu bulan Sya’ban dan bulan Ramadhan. Oleh sebabnya, menjadi sebuah keharusan bagi umat Islam buat lebih semangat meningkatkan ketaatan dan kebaikan guna memasuki dua bulan tersebut,

فَالْمَعْنَى أَنْ يُهَيَّئَ فِيْهِ خَيْرٌ كَثِيْرٌ عَظِيْمٌ لِلْمُتَعَبِّدِيْنَ فِي شَعْبَانَ وَرَمَضَانَ

Artinya, “Maka makna (hadits tersebut), ialah dgn disediakan di dalamnya suatu kebaikan yg banyak dan agung bagi ahli ibadah (buat menghadapi) bulan Sya’ban dan Ramadhan.” (Imam al-Manawi, Faidhul Qadir Syarh Jami’us Shaghir, [Mesir, Maktabah at-Tijariah, cetakan pertama: 1356], juz IV, halaman 149).

Alhasil, dari penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa bulan Rajab memiliki spirit peningkatan spiritualitas. Semua amal ibadah harus ditingkatkan oleh umat Islam, selain sebagai persiapan buat menyambut bulan Sya’ban dan Ramadhan, nilai-nilai pahala atas kebaikan dan ketaatan yg dilakukan pada bulan ini ditingkatkan oleh Allah swt melebih bulan-bulan yg lainnya.

Demikian penjelasan perihal nama lain dan alasan di balik penamaan bulan Rajab. Dengan mengetahuinya, semoga kita dapat mengambil manfaat dan mampu meningkatkan ibadah kepada Allah, Amin.

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam, Durjan, Kokop, Bangkalan, Jawa Timur.

Membahas tentang Bolehkah Suami Memukul Istri dalam Islam? Begini Penjelasannya

Seiring viralnya ceramah yg mengesankan dukungan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), banyak orang bertanya-tanya apa benar Islam membolehkan suami memukul istri? Bagaimana ketentuan sebenarnya?

Al-Qur’an sebagai kitab suci agama Islam menjelaskan, suami merupakan pemimpin dan penanggung jawab utama kehidupan keluarga. Suami mempunyai hak yg harus dipenuhi oleh istri—sebagaimana istri mempunyai hak yg harus dipenuhi suami—sebagai pasangan hidupnya. Nah dalam konteks seperti ini, ketika istri tak memenuhinya, maka suami diberi kewenangan oleh Al-Qur’an buat mengarahkan atau mendidik istri supaya kembali mematuhi atau memenuhi haknya.

 

Caranya dgn tiga tindakan secara berurutan, yaitu (1) menasihatinya secara baik; (2) bila tak berhasil maka didiamkan dan tak diajak tidur bersama; dan (3) langkah terakhir dgn memukulnya. Secara jelas Al-Qur’an menyatakan:

وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا [النساء/34

Artinya, “Istri-istri yg kalian khawatirkan melakukan pembangkangan (tidak memenuhi hak suami), maka nasehatilah mereka, diamkan mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka. Bila mereka menaati kalian, maka jangan kalian cari jalan buat merugikan mereka.” (Surat An-Nisa’ ayat 34). 

Diksi “wadhribuhunna” atau “dan pukullah mereka” inilah yg kemudian disalahpahami bahwa Al-Qur’an membolehkan suami memukul istri, lalu dijadikan pembenaran berbagai KDRT yg terus memakan banyak korban. 

Ada detail ketentuan yg harus dipahami secara baik dalam hal ini, sehingga kesalahpahaman terhadap ayat tersebut tak berulang, yg di antaranya ialah:

Pertama, tujuan utamanya ialah mendidik istri supaya kembali menaati atau memenuhi hak suami. Karenanya selama masih dapat diambil tindakan yg paling ringan, maka tak boleh mengambil tindakan yg lebih berat. Dalam hal ini Imam Fakhurddin Ar-Razi menegaskan, bagaimanapun mengambil tindakan yg paling ringan sangat perintahkan dalam hal ini, “fat takhfîf mura’â fî hâdzal bab ‘alâ ablaghil wujûh.” (Sulaiman bin Umar al-Bujairami, at-Tajrîd linaf’il ‘Abîd, [Turki, al-Makatabah al-Islamiyyah], juz III, halaman 422) dan (Fakhruddin Ar-Razi, Mafâtîhul Ghaib, [Beirut, Dârul Kutub ‘Ilmiyyah: 1421/2000],  juz X halaman 73).

Kedua, bila terpaksa mengambil tindakan akhir dgn memukul, maka hanya dgn boleh pukulan yg sangat ringan dalam rangka mendidik, seperti memukul dgn siwak atau sikat gigi dan semisalnya. Bukan pukulan kriminal seperti pukulan yg mematikan, mengakibatkan cacat permanen, luka berdarah atau patah tulang, membuat lebam, atau sangat menyakitkan. Demikian pula tak boleh memukul wajah dan bagian-bagian tubuh yg membahayakan, tak boleh memukul di luar rumah, tak boleh memukul di satu bagian tubuh secara berulang-ulang. (Muhammad bin Jarir at-Thabari, Jâmi’ul Bayân fi Ta’wîlil Qur’ân, [Muassasatur Risâlah: 1420/2000], juz VIII, halaman 314) dan (Mausû’ah al-Kuwaitiyah, [Kuwait, Wizaratul Auqâf: 1427], juz XL, halaman, 298-299).  

Memahami pukulan yg dibolehkan Al-Qur’an hanyalah pukulan ringan dgn semisal pasta gigi dalam rangka mendidik seperti ini seiring dgn Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tepatnya pasal 6 yg menyatakan: “Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a ialah perbuatan yg mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.”

Ketiga, sebelumnya tak didahului oleh permusuhan atau pertikaian antara suami istri. Bila sebelumnya telah terjadi pertikaian, maka suami tak boleh memukul istri meskipun dalam rangka mendidiknya. Bila istri masih membangkang atau tak memenuhi hak suami, jalan satu-satunya ialah melaporkan kepada hakim, bukan main hakim sendiri. (Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Hâsyiyah I’ânatut Thâlibîn, [Beirtut: Dârul Fikr], juz IV, halaman 83).

Keempat, bila istri hanya mau jera dgn pukulan yg membahayakan maka suami sama sekali tak boleh memukul istri, baik pukulan yg ringan apalagi yg membahayakan dgn alasan apapun. (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtâj dicetak bersama Hawasyîs Syirwani, [Beirut, Dârul Fikr], juz VII, halaman 455). 

Dengan mengetahui detail ketentuan seperti dalam uraian, semestinya tak terjadi lagi kesalahpahaman atas kebolehan suami memukul istri dalam lingkup kehidupan keluarga. Memang, kehidupan keluarga ialah kehidupan yg sangat dinamis. Kadang bahagia, kadang duka. Kadang rukun, kadang berdebat dan bertukar pendapat.

 

Namun bagaimanapun kondisinya, tak ada alasan apapun membenarkan suami melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri. Apalagi sampai membawa-bawa ajaran Islam sebagai alasan pembenarannya. Wallahu a’lam.

 

Ustadz Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online.

Membahas tentang Di Balik Kisah Hijrah Rasulullah & Para Sahabat

Tekanan dari orang-orang musyrik semakin garang seiring keberhasilan dakwah Rasulullah saw di Makkah. Pada puncaknya, Allah swt mengizinkan Rasulullah bersama seluruh umat Muslim di Makkah buat migrasi (hijrah) ke Yatsrib (Madinah). Langkah ini dilakukan sebagai upaya buat menghindari kekerasan musuh yg telah di luar batas, selain buat membentuk ekosistem dakwah baru yg lebih mendukung.

Persiapan hijrah

Sebelum melakukan hijrah ke Yatsrib, Rasulullah telah menyiapkan banyak hal, termasuk melakukan konsolidasi basis kekuatan Muslim di kota tujuan. Jauh hari sebelum hijrah, Rasulullah telah mengislamkan beberapa penduduk Yatsrib. Pertama, pada tahun kesebelas dari nubuwah atau tepat ketika musim haji, sebanyak enam orang Yatsrib memeluk Islam.  

Kembali ke Yatsrib, keenam orang itu turut mengajak penduduk setempat buat memeluk agama Islam. Usaha mereka membuahkan hasil. Pada musim haji berikutnya, dua belas orang datang ke Makkah buat berjuma Rasulullah. Setelah menemui Rasulullah di Mina, mereka melakukan baiat. Inilah yg dinamakan Baiat Aqabah Pertama. 

Seperti yg dilakukan enam orang sebelumnya, sekembali di Yatsrib dua belas orang itu mengajak penduduk setempat buat memeluk Islam. Usaha mereka juga berhasil, bahkan lebih banyak menggalang masyarakat buat mengikuti ajaran Rasulullah. Terbukti, pada musim haji tahun ke-13 dari nubuwah atau tepat pada bulan Juni 622 M, sebanyak 70 Muslim dari Yatsrib bersambang ke Makkah buat menunaikan ibadah haji.

Kedatangan mereka tak hanya buat haji, tetapi juga buat berjumpa Rasulullah saw dan melaksanakan baiat. Ringkas hikayat, mereka bertemu Rasulullah meski dgn cara sembunyi-sembunyi. Peristiwa ini kemudian dinamakan sebagai Baiat Aqabah Kedua atau Baiat Aqabah Kubra. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, Raḫîqul Makhtûm, [Riyadh: Muntada ats-Tsaqafah, 2013], h. 133-141)

Memulai hijrah

Semenjak peristiwa baiat aqabah kubra, Rasulullah dinilai telah berhasil memancangkan fondasi kokoh yg tak hanya dilakukan di Makkah, tetapi juga di Yatsrib. Sejak ketika itu pula, Allah mulai mengizinkan orang-orang Muslim buat melakukan hijrah ke Yatsrib guna menghindari tekanan-tekanan orang musyrik sekaligus membangun ekosistem baru yg lebih menjanbilan buat membesarkan Islam.

Kendati begitu, keputusan hijrah memiliki konsekuensi sangat besar. Selain harus meninggalkan semua aset kekayaan Muslim di Makkah, juga harus bersiap-siap menerima respons berbahaya dan cukup berisiko dari kaum musyrik. Safyurrahman al-Mubarakfuri dalam Raḫîqul Makhtûm menjelaskan:

ولم يكن معنى الهجرة إلا إهدار المصالح، والتضحية بالأموال، والنجاة بالشخص فحسب، مع الإشعار بأنه مستباح منهوب، قد يهلك في أوائل الطريق أو نهايتها، وبأنه يسير نحو مستقبل مبهم، لا يدري ما يتمخض عنه من قلاقل وأحزان.

Artinya: “Hijrah ini bukan sebatas buat mengabaikan kepentingan, mengorbankan harta benda, dan menyelamatkan nyawa pribadi, setelah hak-hak mereka banyak yg dirampas, mau tetapi mereka juga harus siap bila harus binasa di awal hijrah atau pada akhirnya. Hijrah ini juga menggambarkan masa depan yg belum jelas, mereka tak tahu duka lara apa saja yg kelak menimpa setelah itu. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, h. 142)

Parlemen Darun Nadwah

Benar saja, setelah Rasulullah berhasil menghijrahkan para sahabat ke Yatsrib, kaum musyrik naik pitam bukan kepalang. Peristiwa hijrah ini telah berhasil membuat orang musyrik merasa khawatir. Sebab, dgn langkah ini berarti kelompok Muslim telah semakin militan, belum lagi Yatsrib yg digunakan sebagai lokasi hijrah ialah tempat yg sangat strategis, termasuk dalam segi ekonomi sebab menjadi jalur kafilah dagang yg melewati pesisir Laut Merah menuju ke Syam. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, h. 142)

Penting dicatat, ketika itu seluruh orang Muslim telah berhasil hijrah ke Madinah, kecuali beberapa yg berhasil ditahan oleh orang musyrik. Posisi Rasulullah, Abu Bakar, dan Ali juga masih di Makkah, menunggu restu dari Allah buat turut hijrah. (Abdussalam Harun, Tahdzibus Sîrah Ibni Hisyâm, [Bairut: Muassasah ar-Risalah, 1985], h. 110)

Pada hari Kamis 26 Shafar tahun 14 dari nubuwah, atau bertepatan 12 September 622 M (kira-kira dua bulan setelah peristiwa Baiat Aqabah Kubra), kaum musyrik mengadakan pertemuan anggota Parlemen Makkah di Darun Nadwah yg dihadiri oleh tokoh-tokoh perwakilan setiap kabilah dari suku Quraisy. Berikut ialah nama tokoh-tokoh tersebut:

 

1. Abu Jahal bin Hisyam dari kabilah Bani Makhzum

2. Jubair bin Muth’im dan Thu’aimah bin Adi serta Al-Harits bin Amir dari Bani Naufal bin Abdi Manaf.

3. Syaiban bin Utbah, anak Rabi’ah serta Abu Sufyan bin Harb dari Bani Abdi Syams bin Abdi Manaf.

4. An-Nadhr bin Al-Harits dari Bani Abdid-Dar, yatu orang yg pernah menimpukkan isi perut hewan yg telah disembelih kepada Nabi Muhammad.

5. Abul Bakhtari bin Hisyam, Zam’ah bin Al-Aswad dan Hakim bin Hizam dari Bani Asad bin Abdul Uzza.

6. Nubih dan Munabbih, anak Al-Hajjaj dari Bani Sahm.

7. Umayyah bin Khalaf dari Bani Jumah.

Hasil pertemuan itu memutuskan supaya masing-masing drai kabilah menunjuk seorang pemuda yg gagah perkasa, berdarah bangsawan, dan mampu menjadi penengah. Setelah pemuda-pemuda tersebut berhasil membunuh Muhammad, maka Bani Abdi Manaf (pendukung Muhammad) tak mau sanggup melawan sebab bila melawan maka sama saja Bani Abdi Manaf harus melawan semua kabilah. 

Tibalah waktunya orang musyrik buat menghabisi Rasulullah. Malam hari tepat biasa Rasulullah telah tertidur di ranjangnya, mereka telah mengepung dan siap buat menikam di tempat tidurnya. Sayg sekali, atas bisikan Jibril, Rasulullah telah mengetahui rencana busuk ini. 

Begitu detik-detik menjelang penikaman, Ali telah berada di ranjang menggantikan Rasulullah dgn ditutup selimut. Aksi kaum musyrik pun gagal. Sementara Rasulullah sendiri berhasil menyelinap kabur dgn mengelabuhi pandangan musuh dgn menaburi debu ke kepada mereka sambil membaca ayat Al-Qur’an:

وَجَعَلۡنَا مِنۢ بَيۡنِ أَيۡدِيهِمۡ سَدّٗا وَمِنۡ خَلۡفِهِمۡ سَدّٗا فَأَغۡشَيۡنَٰهُمۡ فَهُمۡ لَا يُبۡصِرُونَ  

Artinya: “Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tak dapat melihat.” (QS. Yasin [36]: 9) (Safyurrahman al-Mubarakfuri, h. 142-147)

Penulis: Muhamad Abror

Editor: Fathoni Ahmad

Membahas tentang Perawatan Jenazah Perempuan

Seiring viralnya wasiat Dorce Gamalama yg mau dimakamkan seperti perempuan, muncul pertanyaan, sebenarnya cara memakamkan jenazah perempuan itu bagaimana, apakah berbeda dgn jenazah laki-laki? 

Sebagai agama yg sempurna Islam mengajarkan umatnya buat menghormati orang, baik yg masih hidup maupun meninggal. Penghormatan Islam terhadap orang yg meninggal di antaranya tercermin dalam kewajiban perawatan jenazah, mulai dari memandikan, mengafani, menshalati, dan memakamkan. Kewajiban perawatan jenazah ini bersifat fardhu kifayah bagi orang-orang yg berada di sekitar tempat wafatnya. Bila tak ada yg melakukannya, atau semua mengabaikannya maka semuanya berdosa.    
 

Sebenarnya tak ada perbedaan mendasar antara perawatan jenazah laki-laki dan jenazah perempuan. Hanya beberapa detailnya saja yg berbeda sebagaimana catatan berikut:

Memandikan Jenazah Perempuan

Dalam hal ini yg perlu diperhatikan ialah terkait siapa yg berhak memandikan jenazah perempuan. Jenazah perempuan hanya boleh dimandikan kecuali oleh perempuan, kecuali suami dan laki-laki yg mempunyai hubungan mahram dgnnya.

 

Bila tak ada perempuan, suami, atau laki-laki mahram, maka merujuk pendapat al-Ashah dalam mazhab Syafi’i maka jenazah perempuan tersebut tak dimandikan, namun ditayamumi sebagai ganti dari memandikannya; sementara menurut pendapat muqabilul ashah jenazah perempuan tersebut tetap dimandikan dgn lebih hati-hati buat menjaga kehormatannya, yaitu dgn cara sebagai berikut:

 

(1) Jenazah perempuan tetap tertutup rapat dgn bajunya; 

(2) Laki-laki yg memandikannya menggunakan alas tangan, tak menyentuh jenazah secara langsung; dan 

(3) Optimal dalam menjaga pandangannya, hanya boleh memandang jenazah dalam kondisi darurat atau seperlunya. (Muhammad bin Ahmad al-Mahalli, Syarah Al-Mahalli dicetak bersama Hâsyiyatâni Qulyûbi wa ‘Umairah, [Singapura-Jedah-Indonesia: Al-Haramain], juz I, halaman 379-380).

Mengafani Jenazah Perempuan

Dalam mengafani jenazah perempuan, ada tiga level sebagimana berikut:

(1) Batas minimal kafan bagi jenazah perempuan ialah kain yg menutupi seluruh tubuh; 

(2) Tiga lapis kain yg masing-masing dapat menutupi seluruh tubuh;

(3) Paling sempurna ialah lima lapis kain, yg terdiri dari (a dan b) dua lapis kain yg masing-masing dapat menutupi seluruh tubuh, (c) izâr yaitu kain yg menutup bagian tengan tubuh dari pusar hingga lutut, (d) gamis, dan (e) kerudung yg menutup kepala. (Ibrahim al-Bajuri, Hâsyiyah al-Bâjuri, juz I, halaman 248-249).

Menshalati Jenazah Perempuan

Siapa saja boleh menyolati jenazah perempuan, baik laki-laki apalagi perempuan. Namun ada beberapa detail yg perlu diperhatikan sebagaimana berikut:

(1) Niat dan doa-doa di dalam shalat jenazah semestinya disesuaikan dgn jenis kelamin jenazah, yaitu perempuan. Semisal pelafalan niat menjadi: Ushalli ‘ala hâdzihil mayyitati ar-ba’a takbirâtin fardhal kifâyati lillâhi ta’âla … Demikian pula pelafalan doa menjadi: Allâummaghfirlahâ war hamhâ wa ‘âfihâ wa’fu ‘anhâ

(2) Imam atau orang yg shalat jenazah sendirian (munfarid), berdiri tepat di arah pantat jenazah. (Sulaiman bin Umar al-‘Ajili, Hâsyiyatul Jamâl, [Beirut, Dârul Fikr], juz II, halaman 188).

Memakamkan Jenazah Perempuan

Tidak ada perbedaan dalam tata cara pemakamkan jenazah perempuan dan jenazah laki-laki. Batas minimalnya ialah galian lobang yg dapat mencegah baunya keluar dari dalam kubur, sehingga tak tercium orang hidup atau digali oleh binatang buas. Adapun sunnahnya ialah dgn lebar satu hasta lebih satu jengkal (kira-kira 72 cm atau lebih mudah 1 m), panjang sesuai ukuran tinggi jenazah, dan kedalaman seukuran orang berdiri dgn mengangkat tangannya ke atas (kira-kira 2 m). (Musthafa al-Khin dkk, al-Fiqhul Manhaji, [Damaskus, Dârul Qalam: 1413/1992], juz I, halaman 256). 

Adapun tentang siapa yg menurunkannya ke lubang kubur maka laki-laki, sebab umumnya wanita tak mampu melakukannya. Adapun yg paling utama melakukannya ialah suami, kemudian laki-laki yg punya hubungan mahram dgnnya, yaitu ayah, kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki, saudara laki-laki, kemudian pamannya dari ayah. Orang yg memasukkannya ke dalam kubur disunnahkan berjumlah ganjil, tiga atau selebihnya sesuai kebutuhan. (Al-Mahalli, Syarh Al-Mahalli, juz I, halaman 398-399).

 

Ustadz Ahmad Muntaha AM, pengasuh Aswaja Muda.

Membahas tentang Cara Menebus Dosa Ghibah

Ghibah ialah salah satu dosa besar dalam Islam. Ghibah mengandung daya rusak sosial luar biasa. Oleh sebab itu, dosa ghibah mesti ditebus supaya tak menjadi tanggungan kelak di akhirat yg dapat menguras perbendaharaan pahala kita.

Imam Al-Ghazali menyebutkan sejumlah cara atau langkah yg harus ditempuh bagi orang yg terlanjur melakukan dosa ghibah.

اعلم أن الواجب على المغتاب أن يندم ويتوب ويتأسف على ما فعله ليخرج به من حق الله سبحانه ثم يستحل المغتاب ليحله فيخرج من مظلمته وينبغي أن يستحله وهو حزين متأسف نادم على فعله

Artinya: “Ketahuilah, orang yg melakukan ghibah wajib menyesal, bertobat, dan bersedih atas perbuatan ghibahnya supaya ia dapat keluar dari hak Allah, kemudian ia meminta maaf kepada orang yg dighibahkan supaya korban merelakannya sehingga ia dapat keluar dari dosa kezalimannya. Ia seyogianya meminta maaf kepada orang yg dighibahkan buat merelakannya dgn keadaan bersedih dan menyesal atas perbuatannya,” (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439 H-1440 H], juz III, halaman 158).

Adapun permohonan ampun (istighfar) oleh pelaku ghibah buat korban ghibah sangat dianjurkan sebagai kafarat atau penebus dosa ghibah. Mendoakan korban merupakan salah satu jalan kafarat sebagaimana hadits berikut ini:

قال رسول الله صلى الله عليه و سلم كفارة من اغتبته أن تستغفر له

Artinya, “Rasulullah saw bersabda, ‘Kafarat (penebusan dosa) terhadap orang yg kau ghibahkan ialah kau memintakan ampunan Allah (istighfar) buatnya,’” (HR Ibnu Abid Duniya dan Musnad Harits bin Abi Usamah).

Orang yg membawa dosa ghibah tanpa penebusan mau diadili di akhirat. Pelaku kezaliman berupa ghibah salah satunya mau dituntut buat membayar kezalimannya dgn pahala yg dia punya. Kelak ketika pahalanya habis dan tak ada lagi pahala buat menebus kezalimannya, dosa korban mau ditimpakan kepada pelaku. Betapa malangnya nasib orang-orang zalim sebagaimana riwayat hadits berikut ini:

روي أنه صلى الله عليه و سلم قال من كانت لأخيه عنده مظلمة في عرض أو مال فليستحللها منه من قبل أن يأتي يوم ليس هناك دينار ولا درهم إنما يؤخذ من حسناته فإن لم يكن له حسنات أخذ من سيئات صاحبه فزيدت على سيئاته

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, ‘Siapa saja yg menyisakan kezaliman harga diri atau harta pada saudaranya, hendaklah ia meminta maaf kepada saudaranya sebelum tiba hari di mana tak ada lagi dinar dan dirham. Kelak pahala pelaku ghibah mau diambil (buat korban ghibahnya). Jika pelaku tak lagi memiliki pahala, maka dosa korban mau diambil dan dipindahkan ke dalam catatan dosa pelaku, ’” (HR Muttafaq alaih).

Adapun permohonan maaf (istihlal) kepada korban wajib dilakukan sekiranya ia mampu dan tak menimbulkan respons negatif. Sekiranya korban mau naik pitam dan berbuat kalap, permohonan maaf  sebaiknya tak dilakukan. Tetapi ia harus mengkompensasinya dgn istighfar, doa, dan amal ibadah lain yg pahalanya dimaksudkan buat korban.

فإذن لا بد من الاستحلال إن قدر عليه فإن كان غائبا أو ميتا فينبغي أن يكثر له الاستغفار والدعاء ويكثر من الحسنات

Artinya: “Kalau begitu, permintaan maaf pelaku (agar korban sudi merelakan ghibah terhadapnya) harus dilakukan bila mampu. Tetapi bila posisi korban entah di mana atau telah meninggal, maka pelaku seharusnya memperbanyak istighfar, doa, dan kebaikan (yg pahalanya dimaksudkan) buat korban ghibah,” (Al-Ghazali, 2018 M/1439 H-1440 H: III/158).

Demikian cara atau langkah penebusan dosa ghibah dan kezaliman secara umum kepada orang lain. Sekiranya diperlukan pelaku juga harus mengklarifikasi di publik sekiranya ghibah itu merupakan informasi hoaks. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)

Membahas tentang Mengapa Rajab Disebut Bulan Kemuliaan Allah?

Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentang Mengapa Rajab Disebut Bulan Kemuliaan Allah?,

Bulan Rajab disebut sebagai bulan kemuliaan Allah Swt. Mengapa demikian? Sebab, banyak keistimewaan yg dapat kita peroleh dari bulan ini.

Lafadz Rajab terdiri dari tiga huruf. Ra’ menunjukkan arti rahmat Allah, Jim menunjukkan jurmul ‘abdi atau dosa hamba Allah, dan Ba’-nya menunjukkan birrullaahi Ta’ala atau kebaikan Allah Swt.

Sebagaimana Allah berfirman: “Hai hamba-Ku, Aku letakkan dosamu dan kejahatanmu di antara kebabilan-Ku, dan rahmat-Ku. Maka tak tersisa lagi padamu dosa maupun kejahatan dgn kehormatan bulan Rajab.”

Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:

“Barangsiapa menghidupkan malam pertama bulan Rajab, maka hatinya tak mati di kala matinya hati orang-orang lain, dan Allah mencurahkan kebaikan dari atas kepalanya banyak-banyak, dan dia keluar dari dosa-dosanya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya, dan Dia memberi syafaat kepada tujuh puluh ribu orang-orang yg berdosa, yg sepatutnya masuk neraka.”

Imbuh, bersumber dari Anas bin Malik dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda:

“Barangsiapa salat setelah maghrib pada suatu malam dari bulan Rajab sebanyak dua puluh rakaat, yg pada setiap rakaatnya membaca Fatihatul kitab dan surah al-ikhlas, dan salam sebanyak sepuluh kali, maka Allah memeliharanya beserta keluarganya dan orang-orang tanggungannya dari bencana dunia dan azab akhirat.”

Selanjutnya, diriwayatkan pula dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:

“Ketahuilah, bahwasanya Rajab ialah bulan Allah yg tuli. Maka barangsiapa berpuasa satu hari di bulan Rajab sebab iman dan ikhlas, maka pastilah mendapat keridaan Allah yg terbesar.”

“Dan barangsiapa berpuasa dua hari, maka takkan ada penghuni langit maupun bumi yg dapat mengatakan tentang kemuliaan yg diperolehnya di sisi Allah. Dan barangsiapa berpuasa tiga hari, maka diselamatkan dari segala bencana dunia dan azab akhirat, penyakit gila, kusta, sopak, dan dari tpu daya Dajjal.

“Dan barangsiapa berpuasa tujuh hari, maka ditutuplah terhadapnya tujuh pintu Jahannam. Dan barangsiapa berpuasa delapan hari, maka dibukakanlah buatnya delapan pintu surga. Dan barangsiapa berpuasa sepuluh hari, maka tak ada sesuatu pun yg dimintanya kepada Allah kecuali Dia berikan kepadanya.”

“Dan barangsiapa berpuasa lima belas hari, maka Allah Ta’ala mengampuni dosa-dosanya yg telah lewat, dan menggantikan kesalahan-kesalahan dgn kebaikan-kebaikan. Dan barangsiapa  menambah puasanya, maka Allah pun menambah pahalanya.”

Suatu ketika diceritakan, ujar Rasul dalam kitab Durratun Nashihin, bahwa Rasul melihat pada malam Mi’raj sebuah sungai yg airnya lebih manis ketimbang madu, lebih sejuk ketimbang es, dan lebih harum ketimbang kasturi. 

Lalu, Rasul bertanya kepada Jibril, “Untuk siapakah ini?”

Jawab Jibril, “Untuk orang yg bersalawat kepadamu pada bulan Rajab.”

Tambah, dari Muqatil Radiyallahu anhu (RA), ia mengatakan, “Sesungguhnya di belakang gunung Qaf terdapat suatu negeri putih yg tanahnya bagaikan perak, luasnya tujuh kali lipat dunia ini, penuh dgn para malaikat, yg sekiranya ada jarum jatuh, tentu menjatuhi mereka. Dan pada tangan masing-masing malaikat terdapat sebuah bendera yg bertuliskan Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasuulullah. Mereka berkumpul pada setiap malam Jum’at dari bulan Rajab di sekeliling gunung Qaf, memohonkan selamat buat umat Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.”

Disebutkan pula, bahwa bulan Rajab merupakan bulan tuli. Karena, para malaikat pencatat yg mulia mencatat kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan pada bulan yg lain. Sementara pada bulan ini mereka hanya mencatat kebaikan-kebaikan saja tanpa mencatat keburukan-keburukan. Jadi, ketika bulan Rajab, para malaikat tak mendengar suatu keburukan yg patut dicatat.

Selaras, sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam: “Sesungguhnya Rajab itu bulan Allah, Sya’ban itu bulanku, dan Ramadan itu bulan umatku.”

Senada, Bukhari dan Muslim meriwatakan, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya di surga ada sebuah sungai yg disebut sungai Rajab, lebih putih ketimbang susu dan lebih manis ketimbang madu. Barangsiapa berpuasa sehari pada bulan Rajab, maka Allah memberinya minum dari sungai itu.” 

Sumber: Disarikan dari keterangan dalam kitab Durratun Nashihin karya Umar bin Hasan bin Ahmad Asy-Syahir Al-Khaubawiy

Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentang Mengapa Rajab Disebut Bulan Kemuliaan Allah? . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.

terima kasih





Membahas tentang Puasa Rajab, Inilah enam Keistimewaannya!

Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentang Puasa Rajab, Inilah enam Keistimewaannya!,

Bulan Rajab merupakan salah satu bulan yg diagungkan oleh Allah SWT dalam kalender hijriah. Banyak keistimewaan yg dapat kita dapat apabila menjalankan beberapa amalan selama bulan ini. Salah satunya dgn menjalankan puasa Rajab.

Keistimewaan bulan Rajab tercantum dalam QS. At-Taubah ayat 36:

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَٰتِلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ

Artinya: Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yg lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yg empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yg bertakwa.

Dalam tafsir Al-Muyassar, empat bulan haram ini ialah bulan Dzulqadah, Dzulhijjah, Muharam, dan Rajab. Bulan Rajab tahun 2022 jatuh pada hari kamis, 3 Februari 2022.

Keputusan ini ditetapkan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Hasil keputusan ini didasarkan pada laporan rukyat yg tak melihat hilal pada hari Selasa, 29 Jumadil Akhir 1443H / 1 Februari 2022 M.

Pada bulan mulia ini umat Islam disunahkan melakukan amalan-amalan seperti zikir dan puasa. Nah, kali ini mau membahas soal keistimewaan puasa di bulan Rajab.

6 keistimewaan puasa Rajab

1. Puasa satu hari setara puasa sebulan

Umat muslim yg melaksanakan puasa satu hari di bulan Rajab, maka, itu setara dgn berpuasa selama satu bulan.

Hal ini tertuang dalam sabda Rasulullah ﷺ yg berbunyi: “Barang siapa berpuasa pada bulan Rajab sehari, maka laksana ia puasa selama sebulan. Bila puasa 7 hari maka ditutuplah buatnya pintu neraka jahanam. Bila puasa 8 hari maka dibukakan buatnya 8 pintu surga. Dan apabila puasa 10 hari maka Allah mau mengabulkan semua permintaannya.” (HR. At-Thabrani)

2. Puasa pada tanggal 27 Rajab setara Puasa 60 bulan

Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa puasa pada tanggal 27 Rajab, Allah mencatatnya sebagaimana orang yg puasa selama 60 bulan.” (Abu Hurairah)

3. Puasa 7 hari menutup pintu neraka

Jika berpuasa selama 7 hari pada bulan Rajab, mau tertutup pintu neraka baginya.

4. Puasa 8 hari membuka pintu surga

Jika berpuasa selama 8 hari pada bulan Rajab, mau terbuka 8 pintu surga buatnya.

5. Puasa 10 hari menghapus dosa

Jika berpuasa selama 10 hari pada bulan Rajab, mau menghapus dosa-dosanya dan diganti dgn kebaikan.

6. Puasa satu hari dapat air susu dari sungai Rajab

Jika berpuasa sehari pada bulan Rajab, mau mendapatkan air susu yg berasal dari sungai Rajab di surga. Rasanya manis melebihi madu.

Seperti sabda Rasulullah ﷺ: “Sesungguhnya di surga terdapat sungai yg dinamakan Rajab, airnya lebih putih ketimbang susu dan rasanya lebih manis dari madu.”

Inilah beberapa keistimewaan yg mau didapat bila melaksanakan puasa di Bulan Rajab. Jadi, tertarik buat puasa di bulan Rajab?

Niat Puasa Rajab

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ فِى شَهْرِ رَجَبِ سُنَّةً ِللهِ تَعَالَى

Nawaitu sauma ghadin fi syahri rojabi sunatan lillahi ta'alaa

Akan tetapi bila lupa membaca niat puasa pada malam hari, maka boleh membacanya pada siang hari, selama masih terhindar dari hal-hal yg membatalkan puasa sejak subuh.

Niat puasa Rajab pada siang hari:

نَوَيْتُ صَوْمَ هَذَا اليَوْمِ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ رَجَبَ لِلهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma hâdzal yaumi ‘an ada'i sunnati Rajaba lillahi ta'ala.

Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentang Puasa Rajab, Inilah enam Keistimewaannya! . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.

terima kasih





Membahas tentang Bolehkah Niat Puasa Rajab Digabung dgn Qadha Puasa Ramadhan?

Puasa Rajab merupakan salah satu puasa yg sunnah dilakukan sebagaimana bulan-bulan mulia lainnya (Muharram, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah). Meski tak ada hadits shahih yg secara khusus menjelaskan keutamaan puasa Rajab, namun kesunnahan puasa Rajab telah tercakup dalam dalil anjuran berpuasa secara umum dan anjuran umum berpuasa di bulan-bulan mulia.

 

Persoalan muncul ketika sebagian orang masih memiliki tanggungan utang puasa Ramadhan, apakah boleh baginya menggabungkan niat puasa Rajab dgn qadha’ puasa Ramadhan?

 

Puasa Rajab sebagaimana puasa sunnah lainnya sah dilakukan dgn niat berpuasa secara mutlak, tak disyaratkan ta’yin (menentukan jenis puasanya). Misalkan dgn niat “Saya niat berpuasa sebab Allah”, tak harus ditambahkan “sebab melakukan kesunnahan puasa Rajab”.

 

Sementara puasa qadha’ Ramadhan tergolong puasa wajib yg wajib ditentukan jenis puasanya, misalkan dgn niat “Saya niat berpuasa qadha Ramadhan fardlu sebab Allah”.

 

Menggabungkan niat puasa Rajab dgn puasa qadha’ Ramadhan hukumnya diperbolehkan (sah) dan pahala keduanya dapat didapatkan. Bahkan menurut Syekh al-Barizi, meski hanya niat mengqadha’ puasa Ramadhan, secara otomatis pahala berpuasa Rajab dapat didapatkan.

 

Kesimpulan di atas didasarkan atas keterangan dalam kitab Fathul Mu’in beserta hasyiyahnya, I’anatuth Thalibin sebagai berikut:
وبالتعيين فيه النفل أيضا فيصح ولو مؤقتا بنية مطلقة كما اعتمده غير واحد 
(وقوله ولو مؤقتا) غاية في صحة الصوم في النفل بنية مطلقة أي لا فرق في ذلك بين أن يكون مؤقتا كصوم الاثنين والخميس وعرفة وعاشوراء وأيام البيض أو لا كأن يكون ذا سبب كصوم الاستسقاء بغير أمر الإمام أو نفلا مطلقا  
(قوله بنية مطلقة ) متعلق بيصح فيكفي في نية صوم يوم عرفة مثلا أن يقول نويت الصوم  ( قوله كما اعتمده غير واحد) أي اعتمد صحة صوم النفل المؤقت بنية مطلقة  وفي الكردي ما نصه في الأسنى ونحوه الخطيب الشربيني والجمال الرملي الصوم في الأيام المتأكد صومها منصرف إليها بل لو نوى به غيرها حصلت إلخ زاد في الإيعاب ومن ثم أفتى البارزي بأنه لو صام فيه قضاء أو نحوه حصلا نواه معه أو لا  وذكر غيره أن مثل ذلك ما لو اتفق في يوم راتبان كعرفة ويوم الخميس  انتهى
“Dan dikecualikan dgn pensyaratan ta’yin (menentukan jenis puasa) dalam puasa fardlu, yaitu puasa sunnah, maka sah berpuasa sunnah dgn niat puasa mutlak, meski puasa sunnah yg memiliki jangka waktu sebagaimana pendapat yg dipegang oleh lebih dari satu ulama. 

 

“Ucapan Syekh Zainuddin, meski puasa sunnah yg memiliki jangka waktu, ini ialah ghayah (puncak) keabsahan puasa sunnah dgn niat puasa mutlak, maksudnya tak ada perbedaan dalam keabsahan tersebut antara puasa sunnah yg berjangka waktu seperti puasa Senin-Kamis, Arafah, Asyura’ dan hari-hari tanggal purnama. Atau selain puasa sunnah yg berjangka waktu, seperti puasa yg memiliki sebab, sebagaimana puasa istisqa’ dgn tanpa perintah imam, atau puasa sunnah mutlak”.

 

“Ucapan Syekh Zainuddin, dgn niat puasa mutlak, maka cukup dalam niat puasa Arafah dgn niat semisal, saya niat berpuasa.”

 

“Ucapan Syekh Zainuddin, sebagaimana pendapat yg dipegang oleh lebih dari satu ulama, maksudnya lebih dari satu ulamaberpegangan dalam keabsahan puasa sunnah dgn niat puasa mutlak. Dalam kitabnya Syekh al-Kurdi disebutkan, dalam kitab al-Asna demikian pula Syekh Khatib al-Sayarbini dan Syekh al-Jamal al-Ramli, berpuasa di hari-hari yg dianjurkan buat berpuasa secara otomatis tertuju pada hari-hari tersebut, bahkan apabila seseorang berniat puasa beserta niat puasa lainnya, maka pahala keduanya berhasil didapatkan. Dalam kitab al-I’ab ditambahkan, dari kesimpulan tersebut, Syekh al-Barizi berfatwa bahwa apabila seseorang berpuasa qadha (Ramadhan) atau lainnya di hari-hari yg dianjurkan berpuasa, maka pahala keduanya dapat didapat, baik disertai niat berpuasa sunnah atau tidak. Ulama lain menyebutkan, demikian pula apabila berketepatan bagi seseorang dalam satu hari dua puasa rutin, seperti puasa hari Arafah dan puasa hari Kamis. (Syekh Zainuddin al-Malibari dan Syekh Abu Bakr bin Syatha, Fathul Mu’in dan Hasyiyah I’anatuth Thalibin, Surabaya, al-Haramain, tanpa tahun, juz 2, halaman 224).

 

Demikian penjelasan berkaitan dgn hukum menggabungkan niat puasa Rajab dan qadha Ramadhan. Semoga bermanfaat dan dipahami dgn baik. Wallahu a’lam.  (M. Mubasysyarum Bih)

Membahas tentang Cara Mudah Ikhlas Menerima Nasihat Menurut Imam Al-Ghazali

Menasihati orang lain mudah dan ringan. Tetapi menerima nasihat itu berat, perlu jihad. (Al-Ghazali, Ayyuhal Walad). Mendengarkan nasihat orang lain atas kekurangan, aib, atau akhlak tercela yg terdapat pada diri kita memang pahit, tetapi ia menjadi obat kalau kita menerimanya dgn tulus ikhlas. Sementara ada cara mudah supaya kita ikhlas menerima nasihat orang seperti diterangkan oleh Imam Al-Ghazali.

Banyak dari kita menyadari bahwa nasihat orang lain itu benar. Kita mengakui bahwa apa yg disampaikan orang lain mengenai kekurangan kita sebagai nasihat yg tulus itu mengandung kebenaran. Tetapi kita didorong oleh nafsu dan ego mengingkarinya. Ketika diberitahu kekurangan kita, kita cenderung menolak, resisten, dan reaktif.

Kita tak segera merendahkan hati buat mendengarkan nasihat orang tua, sahabat dekat, atau saudara yg menghendaki kebaikan kita. Sebaliknya, kita terlalu tinggi hati buat menerima catatan-catatan nasihat orang lain buat kebaikan diri kita ke depan.

Imam Al-Ghazali mengutarakan tips supaya kita mudah, ringan, ikhlas, lapang dada, dan rendah hati dalam menerima masukan dan nasihat orang lain. Imam Al-Ghazali mengajak kita buat mengubah cara pandang kita atas nasihat. Menurutnya, nasihat itu jangan dianggap pelajaran atau dikte yg menggurui kita. Anggap saja nasihat sebagai suara yg mengingatkan pada hewan berdapat di balik pakaian kita yg jelas membahayakan.

فإن الأخلاق السيئة حيات وعقارب لداغة فلو نبهنا منبه على أن تحت ثوبنا عقربا لتقلدنا منه منة وفرحنا به واشتغلنا بإزالة العقرب وإبعادها وقتلها

Artinya, “Akhlak tercela ialah ular dan kalajengking berdapat yg menyengat. Kalau ada seseorang memberi tahu bahwa di balik pakaian kita terdapat kalajengking, niscaya kita mau menerimanya sebagai anugerah dan merasa senang dgn itu, lalu kita mulai menyingkirkan, menjauhkan, dan membunuh hewan berdapat tersebut,” (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439 H-1440 H], juz III, halaman 69).

Tetapi, kebanyakan kita, kata Imam Al-Ghazali, membenci habis-hadapatn orang yg menasihati kita dan memberitahu kekurangan kita. Kalau ada anggapan demikian pada diri kita, maka fenomena itu menunjukkan kelemahan iman kita. Kita menjadi dendam dan naik pitam terhadap orang sekitar yg menasihati kita.

Adapun ular atau kalajengking menyakiti fisik kita dan sengatannya terasa sehari bahkan tak lebih dari sehari. Sedangkan daya rusak akhlak tercela dan kekurangan diri kita lainnya pada lubuk hati (seharusnya) lebih dikhawatirkan terbawa selamanya hingga mati atau ribuan tahun.

ثم إنا لا نفرح بمن ينبهنا عليها ولا نشتغل بإزالتها بل نشتغل بمقابلة الناصح بمثل مقالته فنقول له وأنت أيضا تصنع كيت وكيت وتشغلنا العداوة معه عن الانتفاع بنصحه ويشبه أن يكون ذلك من قساوة القلب التي أثمرتها كثرة الذنوب وأصل كل ذلك ضعف الإيمان

Artinya, “Tapi kemudian kita tak senang dgn orang yg mengingatkan kita perihal akhlak tercela tersebut dan tak sibuk menghilangkan akhlak tercela itu. Kita justru sibuk menentang orang yg menasihati kita dgn membalikkan perkataannya. Kita mengatakan, ‘Kamu pun melakukan ini itu.’ Kita disibukkan buat memusuhinya ketimbang mengambil manfaat dari nasihatnya. Penolakan nasihat lebih sebab keras hati yg disebabkan oleh kebanyakan dosa. Sumbernya kelemahan iman,” (Al-Ghazali, 2018 M/1439 H-1440 H: III/69).

Imam Al-Ghazali berdoa supaya Allah mengilhami kita petunjuk-Nya, memperlihatkan kekurangan kita, menyibukkan diri kita buat mengobati akhlak kita yg tercela, dan menggerakkan kita buat berterima kasih kepada mereka yg menasihati dan menunjukkan kekurangan kita dgn kemurahan dan karunia-Nya.

Semoga Allah membimbing kita buat rendah hati mendengarkan dan menerima nasihat orang lain (orang tua, saudara, sahabat, tetangga, dan lainnya), serta berterima kasih kepada mereka yg telah sudi memberikan catatan atas kekurangan diri kita. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)

Membahas tentang Silaturahim: Bukan Membalas Kunjungan, tapi Menyambung yg Putus

Silaturrahim dalam ajaran syariat Islam merupakan amalan utama sebab mampu menyambungkan apa-apa yg tadinya putus dalam relasi hablum minannas. Belum lagi keutamaan dari amalan ini yg di antaranya dapat memperpanjang umur serta melapangkan rezeki.

Terkait substansi silaturrahim ini, Muhammad Quraish Shihab dalam buku karyanya Membumikan Al-Qur’an: Peran dan Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Mizan, 1999: 317) mengungkapkan Sabda Nabi Muhammad.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: Laysa al-muwwashil bil mukafi’ wa lakin al-muwwashil ‘an tashil man qatha’ak. (Hadits Riwayat Bukhari)

Artinya: “Bukanlah bersilaturrahim orang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi yg bersilaturrahim ialah yg menyambung apa yg putus.” (HR Bukhari)

Dari Sabda Nabi Muhammad tersebut, jelas termaktub bahwa silaturahim menyambung apa yg telah putus dalam hubungan hablum minannas. Manusia tak terlepas dari dosa maupun kesalahan sehingga menyebabkan putusnya hubungan. Di titik inilah silaturrahim mempunyai peran penting dalam menyambung kembali apa-apa yg telah putus tersebut.

Lebaran merupakan momen yg paling tepat bila di hari-hari lain belum mampu menyambungkan apa yg telah putus. Energi kembali ke fithrah turut mendorong manusia buat berlomba-lomba mengembalikan jiwanya pada kesucian. Idul Fitri-lah yg mampu melakukannya.

Meskipun disadari, silaturahim sesungguhnya tak terbatas dilakukan ketika Idul Fitri tiba. Manusia tak mungkin harus menunggu berbulan-bulan hanya buat meyambungkan apa yg telah putus.

Hal ini didasarkan bahwa batas umur manusia tak ada yg tahu. Tentu manusia mau merugi ketika nyawa tak lagi dikandung badan namun masih menyimpan salah dan dosa kepada orang lain.

Dalam buku yg sama, Quraish Shihab menjelaskan arti silaturrahim ditinjau dari sisi bahasa. Silaturrahim ialah kata majemuk yg terambil dari kata bahasa Arab, shilat dan rahim. Kata shilat berakar dari kata washl yg berarti menyambung dan menghimpun. Ini berarti hanya yg putus dan terserak yg dituju oleh kata shilat itu.

Sedangkan kata rahim pada mulanya berarti kasih sayg, kemudian berkembang sehingga berarti pula peranakan (kandungan). Arti ini mengandung makna bahwa sebab anak yg dikandung selalu mendapatkan curahan kasih sayg.

Salah satu bukti yg paling konkret tentang silaturahim yg berintikan rasa rahmat dan kasih sayg itu ialah pemberian yg tulus. Sebab itu, kata shilat juga diartikan dgn pemberian atau hadiah.

 

Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muhammad Faizin